DIALOG IKHWAN DENGAN QUBURIYYUN
Alkisah…
Suatu ketika, tersebutlah seorang QUBURIYYUN mengajak seorang IKHWAN SALAFI ke sebuah kuburan keramat.
IKHWAN: “Lho… koq kita malah kemari...??”.
QUBURIYYUN: “Iya…mampir sebentar. ada sedikit keperluan."
IKHWAN: “Ada keperluan apa di kuburan malam-malam begini...?”.
QUBURIYUUN: “Besok pagi kita kan mau pergi safar, jadi kita perlu ziarah kemari”.
IKHWAN: “Memang apa hubungannya pergi safar dengan ziarah kubur...?”.
QUBURIYYUN: “Ya ada supaya kepergian kita nanti lebih selamat dan dimudahkan Allah”.
IKHWAN: “Lho...? Kalau ingin selamat dan dimudahkan kenapa tidak berdo’a dan minta langsung kepada Allah saja...? kenapa harus ada acara ke kuburan...? ”.
QUBURIYYUN: “Ziarah kubur itu dianjurkan dalam Islam, banyak dalilnya. jangan seperti Salafi yang melarang ziarah kubur…!!”.
IKHWAN: "Salafi melarang ziarah kubur...? kata siapa...? Ingat saudaraku, ziarah kubur adalah sunnah yang sangat dianjurkan dalam Islam, dan banyak sekali-dalil yang menerangkannya, dari sepengetahuan saya bahwa Salafi tidak ada yang melarang untuk ziarah kubur, bahkan Salafi juga ziarah kubur, yang melarang bukan Salafi, tapi Allah dan Rasul-Nya yaitu jenis ziarah kubur yang menyelisihi syari’at”.
QUBURIYYUN: “Emang seperti apa ziarah kubur yang syari’at...?”.
IKHWAN: “Kita dianjurkan ziarah kubur hanya sebatas mengucapkan salam kepada penghuni kubur dan mendo’akannya, selain itu untuk mengingatkan kita kepada kematian”.
QUBURIYYUN: “Nah, saya juga seperti itu ziarah kuburnya. jadi ziarah saya ini sesuai syari’at, terus kenapa kamu mempermasalahkannya...?”.
IKHWAN: “Bukankah tadi kamu mengatakan, bahwa niatmu ziarah kubur disini supaya kepergian kita besok bisa lebih selamat dan dimudahkan Allah...?”.
QUBURIYYUN: “Iya, bukankah itu termasuk dari memohon permintaan dan berdo’a juga...? apa yang salah...?”.
IKHWAN: “Berarti kamu meminta keselamatan dan kemudahan kepada orang yang sudah meninggal atau penghuni kubur ini, hati-hati wahai saudaraku perbuatan yang seperti itu nanti malah akan menjatuhkan kamu ke dalam perkara *syirik*, karena meminta keselamatan dan kemudahan kepada selain Allah. Bukankah yang bisa memberikan keselamatan dan kemudahan hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala...?”.
QUBURIYYUN: “Saya tidak meminta keselamatan dan kemudahan kepada penghuni kubur ini, Saya juga tahu bahwasanya hanya Allah yang mampu memberikan keselamatan dan kemudahan“.
IKHWAN: “Kalau kamu mengetahuinya, lantas kenapa harus mendatangi kuburan ini untuk minta keselamatan..?? Kenapa tidak berdo’a langsung kepada Allah di rumah atau dimesjid saja...?”.
QUBURIYYUN: “Saya hanya bertawassul (menjadikan wasilah/perantara) kepada penghuni kuburan ini. karena pemiliki kuburan ini adalah orang shalih atau wali Allah, saya meminta kepada penghuni kubur ini agar mendo’akan atau menyampaikan permintaan saya kepada Allah. saya tidak meminta langsung kepada penghuni kubur ini, tapi hanya menjadikan dia sebagai perantara saja”.
IKHWAN: “Kenapa kamu menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara...? bukankah dia sendiri sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang ? Ketika orang ini masih hidup saja, dia tidak mampu memberi kamu keselamatan, apalagi ketika dia telah meninggal, itu lebih tidak mampu lagi. hanya Allah yang mampu memberi keselamatan dan atas izin-Nya”.
QUBURIYYUN: “Kamu jangan berkata seperti itu, penghuni kubur ini adalah orang shalih, nanti kamu bisa kualat jika berkata seperti itu...!! Wali Allah itu tidak sama dengan orang biasa”.
IKHWAN : “ Wahai saudaraku…itu namannya pengkultusan kepada makhluk, sedangkan perbuatan seperti itu di larang dalam agama, bahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri adalah manusia yang paling mulia dimuka bumi ini saja tidak mau dikultuskan apalagi penghuni kuburan yang kita ziarahi ini yang hanya manusia biasa dan belum ada jaminan surga ? Tahukah kamu Rasulullah telah melarang ummatnya untuk mengkultuskan beliau secara berlebih-lebihan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
ﺗُﻄْﺮُﻭﻧِﻲ ﻛَﻤَﺎ ﺃَﻃْﺮَﺕْ ﺍﻟﻨَّﺼَﺎﺭَﻯ ﺍﺑْﻦَ ﻣَﺮْﻳَﻢَ ﻓَﺈِﻧَّﻤَﺎ ﺃَﻧَﺎ ﻋَﺒْﺪُﻩُ ﻓَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟُﻪُ
“Janganlah kalian memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani memuji Isa alaihissalam putra Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba Allah, maka panggillah aku dengan hamba Allah dan Rasulullah ”.
(HR. Al-Bukhari no. 3261).
Jadi mengkultuskan beliau saja yang jelas-jelas adalah Rasul Allah kita tidak boleh, apalagi sampai mengkultuskan penghuni kubur ini yang notabene adalah manusia biasa. Untuk itu lebih baik kita berdo’a dan meminta langsung kepada Allah subhanahu wa ta’ala secara langsung tanpa melalui perantara kepada siapapun apalagi kepada orang yang sudah meninggal sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’la berfirman:
ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺭَﺑُّﻜُﻢُ ﺍﺩْﻋُﻮﻧِﻲ ﺃَﺳْﺘَﺠِﺐْ ﻟَﻜُﻢ
“Dan Rabbmu berfirman : Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”.
(QS. Al-Mukmin : 60).
Dalam ayat yang lain Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺳَﺄَﻟَﻚَ ﻋِﺒَﺎﺩِﻱ ﻋَﻨِّﻲ ﻓَﺈِﻧِّﻲ ﻗَﺮِﻳﺐٌ ﺃُﺟِﻴﺐُ ﺩَﻋْﻮَﺓَ ﺍﻟﺪَّﺍﻉِ ﺇِﺫَﺍ ﺩَﻋَﺎﻥِ ﻓَﻠْﻴَﺴْﺘَﺠِﻴﺒُﻮﺍ ﻟِﻲ ﻭَﻟْﻴُﺆْﻣِﻨُﻮﺍ ﺑِﻲ ﻟَﻌَﻠَّﻬُﻢْ ﻳَﺮْﺷُﺪُﻭﻥَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.
(QS. Al-Baqarah : 186).
Dan disebutkan dalam Sunan ibnu Majah dari Hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu dia berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳَﺴْﺎَٔﻝِ ﺍﻟﻠﻪ ﻳَﻐْﻈَﺐْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
“Barang siapa yang tidak meminta kepada Allah ta’ala, maka Allah ta’ala murka kepadanya”.
(HR. Ibnu Majah dan lainnya).
QUBURIYYUN: “Kamu telah keliru dalam memahami makna tawassul. Sesungguhnya bila ada salah seorang diantara kita mempunyai urusan dengan seorang raja atau penguasa atau menteri yang memiliki kedudukan yang sangat besar, maka ia tidak mungkin menghadap kepadanya secara langsung, karena ia merasa tidak akan diperhatikan nantinya. makanya kita mencari seorang yang dikenal oleh raja tersebut, yang dekat dengannya, yang di dengar olehnya, lalu kita jadikan dia sebagai perantara antara kita dengan raja atau penguasa itu. dengan begitu, niscaya urusan kita akan diperhatikan oleh raja. Begitu juga halnya antara saya dengan orang shalih tersebut, yang mana orang shalih itu adalah perantara saya dalam meminta kepada Allah”.
IKHWAN: “Astaghfirullah…!! Tidakkah kamu sadar atas ucapan itu, bahwa sesungguhnya kamu baru saja menyamakan Allah dengan makhluk-Nya…?? Bahkan menyamakan Allah dengan makhluk-Nya yang zhalim dan keji…!! wal iyadzubillah…!! ”.
QUBURIYYUN: “Maksudnya ? saya tidak ada menyamakan Allah dengan makhluknya. saya hanya mengambil Qiyas, bukankah Qiyas juga merupakan sumber hukum...?”.
IKHWAN: “Perlu di ketahui dalam masalah Qiyas ini, memang ada disebagian ulama belakangan yang membolehkan Qiyas untuk menentukan perkara ibadah, namun jumhur ulama mengatakan bahwa Qiyas tidak bisa di jadikan dalil dalam agama, sebagaimana yang berlaku di zaman para shahabat dan para salafus shalih terdahulu tidak menggunakannya. Kalau dianggap dalil, maka itupun jika keadaan darurat, ingatlah...Islam tegak hanya diatas dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah shahih setelah itu ijma’, jika ibadah dibawa ke dalam Qiyas, maka akan rusaklah agama ini, karena dengan begitu tentu setiap orang akan bisa berbuat sesuka hatinya dan sekehendak hawa nafsunya dalam beragama, pada akhirnya timbullah seperti sekarang ini banyak ibadah-ibadah tambahan, bercampur aduk yang tidak ada asal-usulnya sama sekali, berdalil hanya dengan hawa nafsu, inilah diantara penyebab agama ini menjadi rusak sebagai mana Rasulullah shalalluhu ‘alaihi wa salam bersabda:
”Yang menyebakan agama ini cacat ialah hawa nafsu“.
(HR. Asysyhaab).
Ketahuilah bahwa agama ini sudah sempurna sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Maidah ayat 3,
Allah ta'ala berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Alyawma akmaltu lakum diiynakum wa-atmamtu ‘alaykum ni’matiiy warodhiiytu lakumu al-islaa ma diiyna
"Pada hari ini telah ku sempurnakan untukmu agamamu, telah kucukupkan nikmatku untuk kalian, dan ku ridhoi Islam sebagai agama kalian"
Jadi agama ini telah sempurna tidak perlu ada tambahan-tambahan ibadah baru lagi, jangan berkreasi atau ber inovasi dalam agama ini marilah kita cukupkan dengan apa yang sudah diberikan oleh Rasul kita Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, apalagi yang kamu Qiyaskan adalah sama saja dengan menyamakan Allah dengan raja atau penguasa, yang faktanya banyak yang zhalim, diktator, sewenang wenang, dan tidak memperhatikan kemaslahatan rakyatnya, yang mana mereka telah menjadikan antara dirinya dan rakyatnya dengan tirai pemisah dan pengawal, sehingga rakyatnya tidak mungkin menghadap rajanya kecuali dengan perantara atau sarana, bahkan sering. didapati dengan suap menyuap…!! Sekiranya seseorang menghadap penguasa secara langsung, berbicara dengannya tanpa perantara atau pengawal, apakah hal itu bukan sikap yang lebih sempurna dan lebih terpuji baginya, ataukah ketika ia menghadapnya dengan cara perantara yang kemungkinan butuh waktu yang terkadang panjang dan terkadang pendek...? ”.
QUBURIYYUN: "(Terdiam sejenak sambil nelan ludah)".
IKHWAN: “Kamu tahu dengan khalifah ’Umar ibnu Al-Khathab radhiyallahu ‘anhuma, bukan...? Beliau adalah salah satu khalifah kebanggaan ummat muslim dipenjuru dunia ini, beliau adalah termasuk makhluk termulia dimuka bumi ini setelah Rasulullah dan Abu bakar yang sudah di jamin surga, beliau sebagai khalifah yang sangat dekat dengan rakyatnya, sehingga orang yang miskin atau lemah, sekalipun mampu bertemu secara langsung dan bercakap cakap dengan beliau, tanpa harus ada perantara atau pengawal. maka perhatikanlah, apakah penguasa yang seperti ini lebih baik dan lebih utama ataukah penguasa yang menjadi acuan Qiyas kamu terhadap Allah yang harus melalui perantara ? Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya yaitu penguasa yang adil saja sangat di larang, apalagi menyerupakan Allah dengan penguasa yang zhalim, jahat atau buruk..?!”.
QUBURIYYUN: “Baiklah kalau begitu, bukankah tidak ada dalil yang melarang bertawassul kepada orang yang sudah meninggal...? jika hal itu dilarang, mana dalilnya..?”.
IKHWAN: “Dengar wahai saudaraku…tawassul merupakan salah satu bentuk dari ritual ibadah, jadi segala macam bentuk ibadah itu harus disertai dalil. Ada kaidahnya para ulama dalam kaidah Ushul Fiqih yang berbunyi:
ﻓَﺎﻷَﺻْﻞُ ﻓَﻲ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩَﺍﺕِ ﺍﻟﺒُﻄْﻼَﻥُ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻘُﻮْﻡَ ﺩَﻟِﻴْﻞٌ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻷَﻣْﺮِ
”Bahwa hukum asal semua ibadah itu adalah terlarang sampai ada dalil yang memerintahkan-Nya“.
Kalau tawasul itu boleh dilakukan dengan berpendapat karena hal itu tidak ada dalil yang melarangnya, baiklah, saya mau bertanya beranikah anda melakukan adzan dan iqomah ketika sholat Iedhul Fitr atau sholah Tarawih ? Kalo berani silahkan lakukan saya mau lihat karena itu juga tidak ada larangannya ! Begitupun dalam shalat Maghrib yang asal perintahnya adalah tiga raka’at kemudian kita tambah menjadi empat raka’at apakah itu juga boleh...? Atau misalnya dalam shalat Shubuh yang asalnya di kerjakan hanya dua raka’at kemudian kita tambah satu raka’at hingga menjadi tiga raka’at, apakah itu juga boleh...? Bukankah jika kita tambah rakaatnya di kedua waktu sholat itu juga tidak ada larangannya ? Tapi kenapa semua ibadah itu kita tidak di bolehkan menambahkannya ? Bahkan melakukanyapun kita berdosa...? Jawabnya, karena jelas itu tidak ada perintahnya dari Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, seyogyanya dalam melakukan sesuatu amalan itu harus berdasarkan ada perintah dalam syari'at-Nya dan janganlah menganggap semuanya boleh di kerjakan tanpa ada perintah dari Allah dan Rasul-Nya, jika setiap amalan yang tidak ada perintahnya baik dalam Al-Qur’an maupun dalam As-Sunnah sudah jelas artinya itu adalah amalan yang mengada-ada atau membuat-buat sendiri (Bid'ah), perbuatan seperti ini tidak akan bermanfaat bahkan sesat dan berdosa, sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda
ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻓِﻰ ﺃَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya dariku, maka perkara tersebut tertolak”.
(HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718).
Dalam riwayat lain dari 'Aisyah radhiallahu 'anha, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻼً ﻟَﻴْﺲَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﻣْﺮُﻧَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak”.
(HR. Muslim no. 1718
Masih banyak hadits-hadits Rasulullah lainnya yang melarang berbuat bid'ah termasuk atsar dari para shahabat tapi dengan dua hadits yang saya sampaikan ini rasanya sudah mencukupi.
QUBURIYYUN: “Kamu ternyata adalah orang yang cukup berilmu saudaraku, tapi baiklah…dengarkan, bahwa sudah banyak kejadian, dan ini nyata, yaitu banyak orang yang datang ke kuburan ini kemudian bertawassul kepada penghuni kubur ini, lalu tidak lama kemudian permintaan dan do'anya terkabul dagangan sepi kemudian datang kekuburan ini dagangan jadi laris manis, ingin punya anak datang kesini akhirnya terkabul punya anak, ingin dapat jodoh pun banyak yang akhirya segera nikah setelah ziarah kesini, para caleg pun banyak yang berhasil setelah datang kesini, dan masih banyak lagi contohnya, ini benar-benar terjadi, sehingga semakin banyak orang yang mendatangi kuburan ini kemudian hajat dan do'a-do'a mereka banyak yang terkabul, seandainya tawassul seperti itu salah, lantas kenapa Allah mengabulkan permintaan mereka ? ”.
IKHWAN: “Terkabulnya do’a dan permintaan-permintaan seperti itu adalah ujian dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk orang-orang tersebut, dan bukan berarti perbuatan tersebut merupakan tolak ukur kebenaran, apalagi jika orang-orang menyangka ini semua karena sebab penghuni kubur ini yang memiliki keutamaan dan karomah, tidak seperti itu, itu adalah pemahaman yang keliru. yang perlu kamu ketahui juga, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala juga memberikan ujian kepada hamba-Nya dengan cara memudahkan kemaksiatan untuknya. Dan ini adalah suatu perkara yang terjadi pada ummat-ummat terdahulu dan juga pada ummat ini ".
QUBURIYYUN: “Maksudnya...? saya belum paham…?!”.
IKHWAN: “Saya kasih contoh…salah satu ujian dari Allah dengan cara memberikan kemudahan dalam bermaksiat adalah seperti kisahnya Bani Isra'il yang melanggar aturan pada hari Sabtu (Lihat QS. Al-A’raf : 163). Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan Bani Isra'il untuk memancing ikan pada hari Sabtu, dan mereka tetap dalam kondisi seperti itu beberapa waktu lamanya. kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menguji mereka dengan adanya ikan-ikan besar pada hari Sabtu, ikan-ikan besar itu muncul dengan sangat banyak kepermukaan laut pada hari Sabtu, sedangkan di hari lainnya tidak mereka dapati. maka Bani Isra'il membuat tipu daya dan strategi. mereka kemudian meletakkan jaring dan memasangnya pada hari Jum’at, lalu jika ikan-ikan itu muncul pada hari Sabtu pastilah ikan-ikan itu akan terperangkap dan mereka tidak akan bisa keluar dari jaring itu. dan bila hari Ahad tiba, maka mereka pergi mengambil jaring tersebut dan mendapatkan banyak ikan di dalamnya. dengan tipu daya mereka akhirnya Allah meng-Adzab mereka dengan merubahnya menjadi kera.
Nah, begitupun halnya dengan do’a-do’a mereka yang di kabulkan oleh Allah karena tawassulnya kepada orang yang sudah meninggal. Allah subhanahu wa ta’ala sengaja memberikan ujian kepada mereka dengan memberikan kemudahan dalam bermaksiat, hingga tiba akan waktunya datang adzab dari Allah berupa berbagai macam musibah atas diri mereka, ini nyata dan banyak terjadi…Wallahul musta’an”.
QUBURIYYUN : "Astaghfirullaah...
QUBURIYYUN : "Lalu bagaimana dengan surat Al Imran ayat 169 yang artinya: "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki." bukankah berarti orang-orang shalih yang mati itu masih hidup bahkan masih mendapatkan rejeki.
IKHWAN : "Masyaa Allah...saya pernah melihat tulisan ayat ini di pajang ditempat pemakaman ketika saya masih dikampung dulu sehingga siapapun yang ziarah pasti akan membacanya, ayat itu dianggap sebagai senjata pamungkas oleh orang-orang yang suka tawasul kepada kuburan untuk melegalkan tawasul ini, ini adalah sebuah kekeliruan besar bagi kalian yang menafsirkan ayat sekehendak hawa nafsu sendiri, bagi orang awam ayat itu nampak meyakinkan seolah itu adalah benar dalil akan bolehnya tawasul kepada kuburan, padahal itu sangat keliru sejauh-jauhnya. Tahukah anda bahwa para shahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in dan para ulama ahlusunnah dahulu telah lebih dahulu mengetahui ayat itu daripada kita tapi tidak ada satupun dari mereka yang menjadikan ayat itu sebagai dalil bolehnya bertawasul kepada penghuni kubur, begitupun para ahli tafsir tidak ada satupun yang menafsirkan surat Al Imran ayat 169 itu sebagai ayat tawasul. Anda harus tahu dulu asbabun nuzul tentang ayat itu, akan saya jelaskan secara ringkasnya saja tentang asal usul turunnya ayat itu agar anda pahami, untuk anda ketahui bahwa asbabun nuzul ayat itu dikisahkan dalam riwayat Abu Dawud ceritanya tentang ayahnya Jabir bin Abdillah yaitu Abdullah bin Harom radhiyallahu 'anhu, Abdullah bin Harom itu cintanya sama mati syahid sangat luar biasa, ketika ayahnya Jabir bin Abdullah yang bernama Abdullah bin Harom gugur dalam perang yaitu dalam perang Uhud itu lalu kata Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam Allah berbicara langsung sama Abdullah bin Harom tanpa hijab alias face to face itulah kehebatan Abdullah bin Harom yang bisa bertemu langsung sama Allah tanpa hijab, lalu Allah menawarkan beberapa permintaan kepada Abdullah bin Harom lalu Abdullah bin Harom memohon kepada Allah agar dia dihidupkan lagi agar bisa ikut berperang dan bisa mati syahid lagi, tapi kata Allah ta'ala itu tidak bisa karena hidup dan matinya manusia sudah ketetapanku mintalah yang lain, lalu Allah memberi segala kenikmatan kepada Abdullah bin Harom akhirnya turunlah surat Al Imron ayat 169 itu, jadi tidak ada satu riwayatpun yang menerangkan bahwa ayat itu adalah dalil bolehnya meminta kekuburan. Seandainya ayat itu adalah dalil bolehnya meminta kepada ahli kubur namun mereka tidak bisa memenuhi permintaan orang yang masih hidup sebagaimana disebutkan dalam ayat yang lain dalam surat Al Fathir 14 bahwa dikatakan seandainya ahli kubur bisa mendengar maka mereka tidak bisa memenuhi permintaan orang yang masih hidup, dan dalam ayat itu pun tidak ada kalimat seperti mintalah kepadaku pasti akan aku kabulkan keinginanmu. Demikian saudaraku.agar dapat anda pahami.
QUBURIYYUN: “Astaghfirullah…berarti saya selama ini sudah melakukan suatu kebodohan karena telah taqlid (membeo) kepada para kyai-kyai saya tanpa mengkaji lagi akan kebenaran dalil-dalil tersebutl, lantas bagaimana halnya dengan dalil-dalil yang lainnya menyebutkan tentang bolehnya tawassul kepada orang yang sudah meninggal itu..?”.
IKHWAN: “Untuk membahas masalah dalil-dalil tersebut ada waktu tersendiri untuk membahas dalil-dalil tersebut, dan itu butuh waktu yang luang dan panjang".
Intinya, seluruh dalil yang di pakai oleh orang-orang yang membolehkan tawassul dengan orang yang telah mati, ada dua kemungkinan:
1. Dalil itu dha’if (lemah) dan dalilnya maudhu’ (palsu) atau hadits dha’if dan palsu namun lafadznya sesuai kemauan mereka.
2. Dalil itu shahih, tetapi di fahami dengan keliru (salah dalam pendalilan atau haditsnya shahih yang maknanya sengaja di pelintir kesana-kemari untuk melegalisasi atas perbuatan mereka yang rusak).
Atsar-atsar yang membolehkan Tawasul (meminta kepada penghuni kuburan) itu pada umumnya Dho'if (lemah) bahkan Maudhu' (palsu) karena semuanya bertentangan dengan Al-Qur’an. Salah satunya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺭَﺑُّﻜُﻢُ ﺍﺩْﻋُﻮﻧِﻲ ﺃَﺳْﺘَﺠِﺐْ ﻟَﻜُﻢْ ۚ ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺴْﺘَﻜْﺒِﺮُﻭﻥَ ﻋَﻦْ ﻋِﺒَﺎﺩَﺗِﻲ ﺳَﻴَﺪْﺧُﻠُﻮﻥَ ﺟَﻬَﻨَّﻢَ ﺩَﺍﺧِﺮِﻳﻦَ
"Dan Tuhanmu berfirman: "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina".
(QS. Al-Mu'min Ayat : 60).
Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya penghuni kubur ini sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi. semua amalan-amalanya telah terputus, kecuali hanya tiga perkara yaitu anak yang shalih yang mendo’akan kedua orang tuanya, ilmu yang bermanfaat, dan amal Jariyyah.
Seharusnya kamu lah yang mendo’akannya agar dia selamat dari adzab kubur dan api neraka, bukan sebaliknya kamu yang malah meminta dia untuk mendo’akan kamu, terbalik itu …!
Penghuni kubur justru sangat membutuhkan do’a dari kita yang masih hidup, karena kita tidak tahu apa yang dia alami di dalam kubur ini. Sebagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan ummatnya jika kita memasuki kuburan agar kita mendo’akannya, inilah ziarah kubur yang di Syari’atkan dan yang Islami.
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Wahai Rasulullah apakah yang harus aku ucapkan kepada mereka (kaum Muslimin, bila aku menziarahi mereka) ?”. - Beliau menjawab: “Katakanlah:
ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺃَﻫْﻞَ ﺍﻟﺪِّﻳَﺎﺭِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴْﻦَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﻭَﺇِﻧَّﺎ ﺇِﻥْ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑِﻜُﻢْ ﻻَﺣِﻘُﻮْﻥَ ﻧَﺴْﺄَﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻟَﻨَﺎ ﻭَﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟْﻌَﺎﻓِﻴَﺔَ .
”Semoga di curahkan kesejahteraan atas kalian wahai ahli kubur dari kaum mukminin dan muslimin. Dan mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepada orang yang telah mendahului kami dan kepada orang yang masih hidup dari antara kami dan in syaa Allah kami akan menyusul kalian“.
(HR. Ahmad VI/221, Muslim no. 974 dan An-Nasa-i IV/93, dan lafazdh ini milik Muslim).
Buraidah radhiallahu ‘anhu berkata:
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada mereka (para shahabat) apabila mereka memasuki pemakaman (kaum muslimin) hendaknya mengucapkan:
ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺃَﻫْﻞَ ﺍﻟﺪِّﻳَﺎﺭِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴْﻦَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﻭَﺇِﻧَّﺎ ﺇِﻥْ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑِﻜُﻢْ ﻻَﺣِﻘُﻮْﻥَ ﻧَﺴْﺄَﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻟَﻨَﺎ ﻭَﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟْﻌَﺎﻓِﻴَﺔَ .
”Mudah-mudahan di curahkan kesejahteraan atas kalian, wahai ahli kubur dari kaum mukminin dan muslimin. Dan insya Allah kami akan menyusul kalian. Kami mohon kepada Allah agar mengampuni kami dan kalian“.
(HR. Al-Imam Muslim no.975, an-Nasa-i IV/94, ibnu Majah no.1547, Ahmad V/353, 359 dan 360. Lafazdh Hadits ini adalah lafazdh ibnu Majah, shahih).
Dari ‘Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
“Kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila selesai menguburkan mayat, beliau berdiri lalu bersabda: “Mohonkanlah ampunan untuk saudaramu dan mintalah keteguhan, sesungguhnya sekarang dia sedang ditanya”.
(HR. Abu Dawud dan Hakim).
Selain itu bahwa penghuni kubur ini sudah tidak bisa mendengar perkataan apa-apa dari manusia yang hidup, sebagai mana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ﻭَﻣَﺎ ﻳَﺴْﺘَﻮِﻱ ﺍﻟْﺄَﺣْﻴَﺎﺀُ ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟْﺄَﻣْﻮَﺍﺕُ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳُﺴْﻤِﻊُ ﻣَﻦْ ﻳَﺸَﺎﺀُ ﻭَﻣَﺎ ﺃَﻧْﺖَ ﺑِﻤُﺴْﻤِﻊٍ ﻣَﻦْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻘُﺒُﻮﺭِ
“Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar“.
(QS. Al-Faathir : 22).
Dan andaikan mereka penghuni kubur bisa mendengar seruan dari orang yang hidup, merekapun tidak sanggup berbuat apa-apa.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ﺗَﺪْﻋُﻮﻫُﻢْ ﻻَ ﻳَﺴْﻤَﻌُﻮﺍْ ﺩُﻋَﺂﺀَﻛُﻢْ ﻭَﻟَﻮْ ﺳَﻤِﻌُﻮﺍْ ﻣَﺎ ﺍﺳْﺘَﺠَﺎﺑُﻮﺍْ ﻟَﻜُﻢْ ﻭَﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻳَﻜْﻔُﺮُﻭﻥَ ﺑِﺸِﺮْﻛِـﻜُﻢْ ﻭَﻻَ ﻳُﻨَﺒّﺌُﻚَ ﻣِﺜْﻞُ ﺧَﺒِﻴﺮٍ
”Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu ; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang di berikan oleh yang maha mengetahui“.
(QS. Al–Fathir : 14).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ﺃَﻣَّﻦ ﻳُﺠِﻴﺐُ ﺍﻟْﻤُﻀْﻄَﺮَّ ﺇِﺫَﺍ ﺩَﻋَﺎﻩُ ﻭَﻳَﻜْﺸِﻒُ ﺍﻟﺴُّﻮﺀَ ﻭَﻳَﺠْﻌَﻠُﻜُﻢْ ﺧُﻠَﻔَﺎﺀ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﺃَﺇِﻟَﻪٌ ﻣَّﻊَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻗَﻠِﻴﻠًﺎ ﻣَّﺎ ﺗَﺬَﻛَّﺮُﻭﻥَ
“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan Kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain) ? amat sedikitlah kamu mengingati (Nya)”.
(QS. An-Naml : 62).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ﺇِﻧّﻚَ ﻻَ ﺗُﺴْﻤِﻊُ ﺍﻟْﻤَﻮْﺗَﻰَ ﻭَﻻَ ﺗُﺴْﻤِﻊُ ﺍﻟﺼّﻢّ ﺍﻟﺪّﻋَﺂﺀَ ﺇِﺫَﺍ ﻭَﻟّﻮْﺍْ ﻣُﺪْﺑِﺮِﻳﻦ
”Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang“.
(QS. An-Naml ayat : 80).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ﻭَﻻَ ﺗَﺪْﻉُ ﻣِﻦ ﺩُﻭﻥِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻣَﺎ ﻻَ ﻳَﻨﻔَﻌُﻚَ ﻭَﻻَ ﻳَﻀُﺮُّﻙَ ﻓَﺈِﻥ ﻓَﻌَﻠْﺖَ ﻓَﺈِﻧَّﻚَ ﺇِﺫًﺍ ﻣِّﻦَ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤِﻴﻦ
”Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa’at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu) maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim“.
(QS. Yunus : 106).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﺿَﻞُّ ﻣِﻤَّﻦْ ﻳَﺪْﻋُﻮ ﻣِﻦْ ﺩُﻭﻥِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣَﻦْ ﻟَﺎ ﻳَﺴْﺘَﺠِﻴﺐُ ﻟَﻪُ ﺇِﻟَﻰٰ ﻳَﻮْﻡِ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻭَﻫُﻢْ ﻋَﻦْ ﺩُﻋَﺎﺋِﻬِﻢْ ﻏَﺎﻓِﻠُﻮﻥَ
”Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang menyembah sesembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do’anya) sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do’a mereka“.
(QS. Al-Ahqaaf : 5).
Adapun mayit yang mendengar suara langkah orang yang mengantarnya (ketika berjalan meninggalkan kuburnya) setelah dia di kubur, maka itu adalah pendengaran khusus yang di tetapkan oleh Nash (dalil), dan tidak lebih dari itu (tidak lebih dari sekedar mendengar suara terompah mereka) tidak mendengar suara yang lain, karena hal itu di perkecualikan dari dalil-dalil yang umum yang menunjukkan bahwa orang yang meninggal tidak bisa mendengar (suara orang yang masih hidup), sebagaimana yang telah lalu.
Dan sekali lagi janganlah kita terjebak dengan perbuatan yang tidak pernah disyari’atkan dalam agama, apalagi memohon do’a ke kuburan seperti ini, karena kalau tidak kita akan tergolong orang yang telah berbuat kesyirikan ... na'uzubillahi minzalik…mari kita bertaubat dan hindari perbuatan seperti ini. Dan ancaman dosa syirik ini telah banyak di sebutkan dalam Al-Qur'an di antarannya, Allah subhanahu wa ta’ala:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻻ ﻳَﻐْﻔِﺮُ ﺃَﻥْ ﻳُﺸْﺮَﻙَ ﺑِﻪِ ﻭَﻳَﻐْﻔِﺮُ ﻣَﺎ ﺩُﻭﻥَ ﺫَﻟِﻚَ ﻟِﻤَﻦْ ﻳَﺸَﺎﺀُ ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﺸْﺮِﻙْ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻓَﻘَﺪِ ﺍﻓْﺘَﺮَﻯ ﺇِﺛْﻤًﺎ ﻋَﻈِﻴﻤًﺎ ( ٤٨)
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) jika Dia (Allah) di persekutukan dengan yang lain, dan Dia (Allah) mengampuni segala dosa selain (syirik) itu, bagi siapa yang di kehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar".
(QS. An Nisaa' : 48).
Quburiyyun: ” %&$#@+:?/#….Glekk !! ”
__________________
Semoga simulasi dialog ini dapat di ambil pelajaran dan manfaatnya. Hanya pada Allah subhanahu wa ta’ala kita memohon hidayah dan pentunjukNya.
Dinukil dari beberapa sumber.
Senin, 17 September 2018
Rabu, 12 September 2018
HUKUM MEMAKAI SORBAN
HUKUM MEMAKAI SORBAN
Sorban atau serban atau turban adalah salah satu jenis pakaian yang dikenakan di kepala, biasanya berupa kain yang digelung atau diikat di kepala. Dalam bahasa arab disebut imamah. Yang sejenis dengan imamah juga ghuthrah dan syimagh. Ghuthrah biasanya berwarna putih, di pakai di atas peci. Sedangkan syimagh itu mirip seperti ghuthrah, namun ada corak-corak merah.
Tidak diragukan lagi bahwa sorban dan sejenisnya ini awalnya berasal dari budaya Arab. Namun yang menjadi masalah sekarang, apakah memakai sorban ini dikatakan pakaian yang Islami ? Karena jika kita katakan memakai sorban atau imamah adalah pakaian Islami artinya ini dianjurkan dan diajarkan oleh Islam. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah dalam salah satu ceramahnya pernah mengatakan bahwa, “sesuatu yang dinisbatkan kepada Islam artinya ia dia diajarkan oleh Islam atau memiliki landasan dari Islam”. Dan apakah memakai sorban ini lebih utama dan dinilai sebagai ibadah yang berpahala ?
HADITS-HADITS IMAMAH
Dalam beberapa hadits disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam biasa memakai imamah. Diantaranya shahabat ‘Amr bin Harits menyatakan:
أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خطب الناسَ وعليه عمامةٌ سوداءُ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam pernah berkhutbah di hadapan orang-orang dengan memakai sorban Hitam di kepalanya”.
(HR. Muslim 1359)
Demikian juga hadits mengenai mengusap imamah ketika wudhu', dari Al Mughirah bin Syu’bah beliau mengatakan:
أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ توضأ . فمسح بناصيتِه . وعلى العمامَةِ . وعلى الخُفَّينِ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam pernah berwudhu' beliau mengusap jidatnya dan imamah-nya serta mengusap kedua khuf-nya”.
(HR. Muslim 274)
Juga hadits dari Abu Sa’id Al Khudri mengenai doa memakai baju baru:
كان رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إذا استجدّ ثوبا سمّاهُ باسمهِ عمامةً أو قميصا أو رداءً ثم يقول اللهمّ لكَ الحمدُ أن كسوتنِيهِ أسألكُ خيرهُ وخيرَ ما صُنِعَ لهُ وأعوذُ بكَ من شرّهِ وشرّ ما صُنِعَ لهُ
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam jika memakai pakaian baru, beliau menamainya, baik itu imamah, gamis atau rida, kemudian berdoa: ”Ya Allah segala puji bagi-Mu atas apa yang engkau pakaikan padaku ini. Aku memohon kebaikan darinya dan dari apa yang dibuatnya. Dan aku memohon perlindungan dari kejelekannya dan kejelekan yang dibuatnya”.
(HR. At Tirmidzi 1767, ia berkata: “Hasan gharib shahih”)
dan hadits-hadits lainnya.
HUKUM MEMAKAI IMAMAH
Pada asalnya, hukum suatu model pakaian adalah mubah-mubah saja. Namun mengingat adanya beberapa hadits yang menyebutkan kebiasaan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam memakai imamah, para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya apakah mubah saja ataukah sunnah ? Sebagian ulama menyatakan hukumnya sunnah, dalam rangka meneladani Nabi Shallallahu’alaihi Wa sallam. Namun yang rajih, hukum memakai imamah adalah mubah saja, tidak sampai sunnah dan tidak bernilai ibadah. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wa sallam memakai imamah hanya sekedar kebiasaan atau adat orang setempat, bukan dalam rangka taqarrub atau ibadah. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan, “Imamah, paling maksimal bisa jadi hukumnya mustahab (sunnah). Namun yang rajih, memakai imamah adalah termasuk sunnah ‘adah (adat kebiasaan), bukan sunnah ibadah (Silsilah Adh Dha’ifah, 1/253, dinukil dari Ikhtiyarat Imam Al Albani, 480).
Apakah Memakai Imamah Lebih Utama ?
Jika seseorang tinggal di daerah yang mayoritas masyarakatnya biasa memakai sorban atau sejenisnya, atau jika tidak memakai sorban di daerah tersebut malah jadi perhatian orang-orang, maka lebih utama memakai sorban. Adapun jika masyarakat setempat tidak biasa dengan sorban, maka ketika itu tidak utama memakai sorban, karena membuat pemakainya menjadi perhatian sehingga termasuk dalam ancaman pakaian syuhrah. Sebagaimana hadits:
من لبِسَ ثوبَ شُهرةٍ في الدُّنيا ألبسَه اللَّهُ ثوبَ مذلَّةٍ يومَ القيامةِ
“barangsiapa memakai pakaian syuhrah di dunia, Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan di hari kiamat”
(HR. Ahmad 9/87. Ahmad Syakir menyatakan: “shahih”).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan, “Memakai imamah bukanlah sunnah. Bukan sunnah muakkadah ataupun sunnah ghayru muakkadah. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wa sallam dahulu memakainya dalam rangka mengikuti adat pakaian yang dikenakan orang setempat pada waktu itu. Oleh karena itu tidak ada satu huruf pun dari hadits yang memerintahkannya. Maka memakai imamah termasuk perkara adat kebiasaan yang biasa dilakukan orang-orang. Seseorang memakainya dalam rangka supaya tidak keluar dari kebiasaan orang setempat, sehingga kalau memakai selain imamah, pakaiannya malah menjadi pakaian syuhrah. Jika orang-orang setempat tidak biasa menggunakan imamah maka jangan memakainya. Inilah pendapat yang rajih dalam masalah imamah” (dinukil dari Fatawa IslamWeb no. 138986).
Memakai imamah di daerah yang masyarakat biasa memakainya itu lebih utama, dalam rangka menyelisihi orang kafir. Sehingga dari penampilan saja bisa terbedakan mana orang kafir dan mana orang Muslim. Syaikh Al Albani menyatakan, “Seorang Muslim lebih butuh untuk memakai imamah di luar shalat daripada di dalam shalat, Karena imamah adalah bentuk syiar kaum Muslimin yang membedakan mereka dengan orang kafir. Lebih lagi di zaman ini, dimana model pakaian kaum Mu’minin tercampur baur dengan orang kafir” (Silsilah Adh Dha’ifah, 1/254, dinukil dari Ikhtiyarat Imam Al Albani, 480).
Hukum Ghuthrah, Syimagh dan Penutup Kepala Lainnya
Lalu bagaimana hukum ghuthrah, syimagh dan penutup kepala lainnya yang ada dimasing-masing daerah ?
Syaikh Musthafa Al ‘Adawi menjelaskan, “ghuthrah disebut juga khimar, yaitu penutup kepala yang umum dipakai (orang Arab dan Mesir). Dan ada hadits bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wa sallam ketika wudhu' beliau mengusap khimarnya. Apakah khimar di sini adalah imamah ataukah sekedar sesuatu yang menutupi kepala ? Jawabnya, semuanya memungkinkan. Maka intinya, memakai ghuthrah hukumnya mubah saja”.
(Sumber: http://www.mostafaaladwy.com/play-6587.html).
Dari penjelasan Syaikh Musthafa di atas, dapat diambil faidah hukum memakai ghutrah atau juga syimagh dan juga penutup kepala lainnya itu sama dengan hukum imamah. Yaitu jika itu merupakan pakaian yang biasa dipakai masyarakat setempat, hukumnya mubah. Tentunya selama tidak melanggar aturan syariat, semisal tidak meniru ciri khas orang kafir, tidak menyerupai wanita dan lainnya. Dan jika menyelisihi kebiasaan masyarakat setempat atau membuat pemakainya jadi perhatian orang, maka makruh atau bahkan bisa haram karena termasuk pakaian syuhrah.
Wabillahi at taufiq wa sadaad.
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
Di arsipkan : arie49.wordpress.com
Baca selengkapnya.
Klik https://muslim.or.id/21115-memakai-sorban-disunnahkan.html
Sorban atau serban atau turban adalah salah satu jenis pakaian yang dikenakan di kepala, biasanya berupa kain yang digelung atau diikat di kepala. Dalam bahasa arab disebut imamah. Yang sejenis dengan imamah juga ghuthrah dan syimagh. Ghuthrah biasanya berwarna putih, di pakai di atas peci. Sedangkan syimagh itu mirip seperti ghuthrah, namun ada corak-corak merah.
Tidak diragukan lagi bahwa sorban dan sejenisnya ini awalnya berasal dari budaya Arab. Namun yang menjadi masalah sekarang, apakah memakai sorban ini dikatakan pakaian yang Islami ? Karena jika kita katakan memakai sorban atau imamah adalah pakaian Islami artinya ini dianjurkan dan diajarkan oleh Islam. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah dalam salah satu ceramahnya pernah mengatakan bahwa, “sesuatu yang dinisbatkan kepada Islam artinya ia dia diajarkan oleh Islam atau memiliki landasan dari Islam”. Dan apakah memakai sorban ini lebih utama dan dinilai sebagai ibadah yang berpahala ?
HADITS-HADITS IMAMAH
Dalam beberapa hadits disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam biasa memakai imamah. Diantaranya shahabat ‘Amr bin Harits menyatakan:
أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خطب الناسَ وعليه عمامةٌ سوداءُ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam pernah berkhutbah di hadapan orang-orang dengan memakai sorban Hitam di kepalanya”.
(HR. Muslim 1359)
Demikian juga hadits mengenai mengusap imamah ketika wudhu', dari Al Mughirah bin Syu’bah beliau mengatakan:
أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ توضأ . فمسح بناصيتِه . وعلى العمامَةِ . وعلى الخُفَّينِ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam pernah berwudhu' beliau mengusap jidatnya dan imamah-nya serta mengusap kedua khuf-nya”.
(HR. Muslim 274)
Juga hadits dari Abu Sa’id Al Khudri mengenai doa memakai baju baru:
كان رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إذا استجدّ ثوبا سمّاهُ باسمهِ عمامةً أو قميصا أو رداءً ثم يقول اللهمّ لكَ الحمدُ أن كسوتنِيهِ أسألكُ خيرهُ وخيرَ ما صُنِعَ لهُ وأعوذُ بكَ من شرّهِ وشرّ ما صُنِعَ لهُ
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam jika memakai pakaian baru, beliau menamainya, baik itu imamah, gamis atau rida, kemudian berdoa: ”Ya Allah segala puji bagi-Mu atas apa yang engkau pakaikan padaku ini. Aku memohon kebaikan darinya dan dari apa yang dibuatnya. Dan aku memohon perlindungan dari kejelekannya dan kejelekan yang dibuatnya”.
(HR. At Tirmidzi 1767, ia berkata: “Hasan gharib shahih”)
dan hadits-hadits lainnya.
HUKUM MEMAKAI IMAMAH
Pada asalnya, hukum suatu model pakaian adalah mubah-mubah saja. Namun mengingat adanya beberapa hadits yang menyebutkan kebiasaan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam memakai imamah, para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya apakah mubah saja ataukah sunnah ? Sebagian ulama menyatakan hukumnya sunnah, dalam rangka meneladani Nabi Shallallahu’alaihi Wa sallam. Namun yang rajih, hukum memakai imamah adalah mubah saja, tidak sampai sunnah dan tidak bernilai ibadah. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wa sallam memakai imamah hanya sekedar kebiasaan atau adat orang setempat, bukan dalam rangka taqarrub atau ibadah. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan, “Imamah, paling maksimal bisa jadi hukumnya mustahab (sunnah). Namun yang rajih, memakai imamah adalah termasuk sunnah ‘adah (adat kebiasaan), bukan sunnah ibadah (Silsilah Adh Dha’ifah, 1/253, dinukil dari Ikhtiyarat Imam Al Albani, 480).
Apakah Memakai Imamah Lebih Utama ?
Jika seseorang tinggal di daerah yang mayoritas masyarakatnya biasa memakai sorban atau sejenisnya, atau jika tidak memakai sorban di daerah tersebut malah jadi perhatian orang-orang, maka lebih utama memakai sorban. Adapun jika masyarakat setempat tidak biasa dengan sorban, maka ketika itu tidak utama memakai sorban, karena membuat pemakainya menjadi perhatian sehingga termasuk dalam ancaman pakaian syuhrah. Sebagaimana hadits:
من لبِسَ ثوبَ شُهرةٍ في الدُّنيا ألبسَه اللَّهُ ثوبَ مذلَّةٍ يومَ القيامةِ
“barangsiapa memakai pakaian syuhrah di dunia, Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan di hari kiamat”
(HR. Ahmad 9/87. Ahmad Syakir menyatakan: “shahih”).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan, “Memakai imamah bukanlah sunnah. Bukan sunnah muakkadah ataupun sunnah ghayru muakkadah. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wa sallam dahulu memakainya dalam rangka mengikuti adat pakaian yang dikenakan orang setempat pada waktu itu. Oleh karena itu tidak ada satu huruf pun dari hadits yang memerintahkannya. Maka memakai imamah termasuk perkara adat kebiasaan yang biasa dilakukan orang-orang. Seseorang memakainya dalam rangka supaya tidak keluar dari kebiasaan orang setempat, sehingga kalau memakai selain imamah, pakaiannya malah menjadi pakaian syuhrah. Jika orang-orang setempat tidak biasa menggunakan imamah maka jangan memakainya. Inilah pendapat yang rajih dalam masalah imamah” (dinukil dari Fatawa IslamWeb no. 138986).
Memakai imamah di daerah yang masyarakat biasa memakainya itu lebih utama, dalam rangka menyelisihi orang kafir. Sehingga dari penampilan saja bisa terbedakan mana orang kafir dan mana orang Muslim. Syaikh Al Albani menyatakan, “Seorang Muslim lebih butuh untuk memakai imamah di luar shalat daripada di dalam shalat, Karena imamah adalah bentuk syiar kaum Muslimin yang membedakan mereka dengan orang kafir. Lebih lagi di zaman ini, dimana model pakaian kaum Mu’minin tercampur baur dengan orang kafir” (Silsilah Adh Dha’ifah, 1/254, dinukil dari Ikhtiyarat Imam Al Albani, 480).
Hukum Ghuthrah, Syimagh dan Penutup Kepala Lainnya
Lalu bagaimana hukum ghuthrah, syimagh dan penutup kepala lainnya yang ada dimasing-masing daerah ?
Syaikh Musthafa Al ‘Adawi menjelaskan, “ghuthrah disebut juga khimar, yaitu penutup kepala yang umum dipakai (orang Arab dan Mesir). Dan ada hadits bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wa sallam ketika wudhu' beliau mengusap khimarnya. Apakah khimar di sini adalah imamah ataukah sekedar sesuatu yang menutupi kepala ? Jawabnya, semuanya memungkinkan. Maka intinya, memakai ghuthrah hukumnya mubah saja”.
(Sumber: http://www.mostafaaladwy.com/play-6587.html).
Dari penjelasan Syaikh Musthafa di atas, dapat diambil faidah hukum memakai ghutrah atau juga syimagh dan juga penutup kepala lainnya itu sama dengan hukum imamah. Yaitu jika itu merupakan pakaian yang biasa dipakai masyarakat setempat, hukumnya mubah. Tentunya selama tidak melanggar aturan syariat, semisal tidak meniru ciri khas orang kafir, tidak menyerupai wanita dan lainnya. Dan jika menyelisihi kebiasaan masyarakat setempat atau membuat pemakainya jadi perhatian orang, maka makruh atau bahkan bisa haram karena termasuk pakaian syuhrah.
Wabillahi at taufiq wa sadaad.
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
Di arsipkan : arie49.wordpress.com
Baca selengkapnya.
Klik https://muslim.or.id/21115-memakai-sorban-disunnahkan.html
HUKUM MEMAKAI SORBAN DALAM PANDANGAN NU
HUKUM SORBAN DALAM PANDANGAN NU
NU Online
Islam tidak menentukan model pakaian tertentu untuk umat Islam, termasuk penentuan pakaian ibadah. Selain ibadah haji, umat Islam diberikan kebebasan memilih pakaian yang layak digunakan untuk ibadah. Pada saat shalat kita dibolehkan menggunakan model pakaian apapun selama menutup aurat dan sesuai dengan etika pakaian Islam.
Sebab itu, tidak ada sebenarnya keutamaan menggunakan model pakaian tertentu dalam ibadah. Meskipun Islam datang dari wilayah Arab dan Nabi Muhammad pun keturunan Arab, bukan berarti menggunakan pakaian Arab ketika shalat, seperti jubah dan sorban, lebih utama dari pakaian khas Indonesia.
KH Ali Mustafa Yaqub dalam At-Thuruqus Shahihah fi Fahmis Sunnatin Nabawiyyahmengatakan, kebanyakan hadits tentang keutamaan sorban kualitasnya maudhu’ (palsu) dan dhaif jiddan (sangat lemah). Tidak ada satu hadits shahih pun yang menerangkan keutamaan bersorban saat shalat.
Pendapat KH Ali tersebut diperkuat oleh beberapa pendapat dari ulama klasik. As-Sakhawi dalam Maqashidul Hasanah mengatakan.
صلاة بخاتم تعدل سبعين بغير خاتم، هو موضوع كما قال شيخنا، وكذا رواه الديلمي من حديث ابن عمر مرفوعا بلفظ: صلاة بعمامة تعدل بخمس وعشرين، وجمعة بعمامة تعدل سبعين جمعة، ومن حديث أنس مرفوعا: الصلاة في العمامة تعدل عشرة آلاف حسنة
Artinya, “Kualitas hadits shalat dengan cincin setara dengan tujuh puluh shalat tanpa cincin ialah maudhu’, sebagaimana dikatakan syaikh kita (Ibnu Hajar). Begitu pula riwayat Ad-Dailami dari Ibnu ‘Umar, ‘Shalat dengan memakai sorban sebanding dengan dua puluh lima shalat (tanpa sorban)’, ‘Shalat Jumat dengan sorban setara dengan tujuh puluh Jumat (tanpa sorban). Demikian pula riwayat Anas, ‘Shalat menggunakan sorban sebanding dengan sepuluh ribu kebaikan.’”
Mula Al-Qari dalam Mirqatul Mafatih mengutip pendapat Al-Munufi yang mengatakan seluruh riwayat di atas lemah (batil). Selain riwayat yang disebutkan oleh As-Sakhawi di atas, Al-Minawi dalam Faidhul Qadir juga mengutip riwayat lain tentang keutamaan sorban. Riwayat yang dimaksud ialah.
ركعتان بعمامة خير من سبعين ركعة بلا عمامة
Artinya, “Shalat dua rakaat memakai sorban lebih baik dari tujuh puluh rakaat tanpa sorban.”
Kualitas hadits di atas tidak jauh berbeda dengan hadits lain yang berkaitan dengan keutamaan sorban. Hadits di atas lemah karena di dalam sanadnya terdapat rawi bernama Thariq bin Abdurrahman. Hampir sebagian kritikus hadits memberi komentar buruk terhadapnya. Ad-Dzahabi dan Al-Bukhari mengategorikan dia sebagai perawi dhaif. Al-Nasa’i mengatakan, riwayatnya tidak kuat (laysa bi qawi). Sementara As-Sakhawi menilai hadits di atas tidak berasal dari Nabi.
Dikarenakan kualitas hadits keutamaan soban sangatlah lemah, bahkan sampai pada kualitas maudhu’ (palsu), maka tidak ada perbedaan antara pakaian Arab, khususnya penutup kepala yang digunakan orang Arab dan masyarakat lainnya. Kalau di Indonesia biasa menggunakan peci atau kopiah pada saat shalat, itu juga baik dan tidak ada bedanya dengan sorban.
Silakan menggunakan sorban, tetapi jangan sampai mengatakan sorban lebih utama dipakai saat shalat ketimbang kopiah ataupun peci, karena tidak ada riwayat shahih terkait hal ini. Oleh sebab itu, terkait pakaian apa yang seharusnya digunakan saat shalat, Al-Quran menjelaskan.
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
Artinya, “Wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap memasuki masjid,” (Surat Al-A‘raf ayat 31).
Ayat ini menganjurkan agar umat Islam memakai pakaian yang bagus pada saat mengerjakan shalat. Modal dan bentuk pakaian bagus ini tidak dibatasi oleh Islam dan pengejawentahannya diserahkan sepenuhnya pada tradisi dan budaya masyarakat.
Pakaian model apapun termasuk baik dan bagus selama tidak bertentangan dengan kode etik pakaian Islam: aurat tertutup, tidak transparan, tidak terbuka, dan tidak menyerupai lawan jenis. Wallahu a‘lam.
(Hengki Ferdiansyah)
www.nu.or.id
NU Online
Islam tidak menentukan model pakaian tertentu untuk umat Islam, termasuk penentuan pakaian ibadah. Selain ibadah haji, umat Islam diberikan kebebasan memilih pakaian yang layak digunakan untuk ibadah. Pada saat shalat kita dibolehkan menggunakan model pakaian apapun selama menutup aurat dan sesuai dengan etika pakaian Islam.
Sebab itu, tidak ada sebenarnya keutamaan menggunakan model pakaian tertentu dalam ibadah. Meskipun Islam datang dari wilayah Arab dan Nabi Muhammad pun keturunan Arab, bukan berarti menggunakan pakaian Arab ketika shalat, seperti jubah dan sorban, lebih utama dari pakaian khas Indonesia.
KH Ali Mustafa Yaqub dalam At-Thuruqus Shahihah fi Fahmis Sunnatin Nabawiyyahmengatakan, kebanyakan hadits tentang keutamaan sorban kualitasnya maudhu’ (palsu) dan dhaif jiddan (sangat lemah). Tidak ada satu hadits shahih pun yang menerangkan keutamaan bersorban saat shalat.
Pendapat KH Ali tersebut diperkuat oleh beberapa pendapat dari ulama klasik. As-Sakhawi dalam Maqashidul Hasanah mengatakan.
صلاة بخاتم تعدل سبعين بغير خاتم، هو موضوع كما قال شيخنا، وكذا رواه الديلمي من حديث ابن عمر مرفوعا بلفظ: صلاة بعمامة تعدل بخمس وعشرين، وجمعة بعمامة تعدل سبعين جمعة، ومن حديث أنس مرفوعا: الصلاة في العمامة تعدل عشرة آلاف حسنة
Artinya, “Kualitas hadits shalat dengan cincin setara dengan tujuh puluh shalat tanpa cincin ialah maudhu’, sebagaimana dikatakan syaikh kita (Ibnu Hajar). Begitu pula riwayat Ad-Dailami dari Ibnu ‘Umar, ‘Shalat dengan memakai sorban sebanding dengan dua puluh lima shalat (tanpa sorban)’, ‘Shalat Jumat dengan sorban setara dengan tujuh puluh Jumat (tanpa sorban). Demikian pula riwayat Anas, ‘Shalat menggunakan sorban sebanding dengan sepuluh ribu kebaikan.’”
Mula Al-Qari dalam Mirqatul Mafatih mengutip pendapat Al-Munufi yang mengatakan seluruh riwayat di atas lemah (batil). Selain riwayat yang disebutkan oleh As-Sakhawi di atas, Al-Minawi dalam Faidhul Qadir juga mengutip riwayat lain tentang keutamaan sorban. Riwayat yang dimaksud ialah.
ركعتان بعمامة خير من سبعين ركعة بلا عمامة
Artinya, “Shalat dua rakaat memakai sorban lebih baik dari tujuh puluh rakaat tanpa sorban.”
Kualitas hadits di atas tidak jauh berbeda dengan hadits lain yang berkaitan dengan keutamaan sorban. Hadits di atas lemah karena di dalam sanadnya terdapat rawi bernama Thariq bin Abdurrahman. Hampir sebagian kritikus hadits memberi komentar buruk terhadapnya. Ad-Dzahabi dan Al-Bukhari mengategorikan dia sebagai perawi dhaif. Al-Nasa’i mengatakan, riwayatnya tidak kuat (laysa bi qawi). Sementara As-Sakhawi menilai hadits di atas tidak berasal dari Nabi.
Dikarenakan kualitas hadits keutamaan soban sangatlah lemah, bahkan sampai pada kualitas maudhu’ (palsu), maka tidak ada perbedaan antara pakaian Arab, khususnya penutup kepala yang digunakan orang Arab dan masyarakat lainnya. Kalau di Indonesia biasa menggunakan peci atau kopiah pada saat shalat, itu juga baik dan tidak ada bedanya dengan sorban.
Silakan menggunakan sorban, tetapi jangan sampai mengatakan sorban lebih utama dipakai saat shalat ketimbang kopiah ataupun peci, karena tidak ada riwayat shahih terkait hal ini. Oleh sebab itu, terkait pakaian apa yang seharusnya digunakan saat shalat, Al-Quran menjelaskan.
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
Artinya, “Wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap memasuki masjid,” (Surat Al-A‘raf ayat 31).
Ayat ini menganjurkan agar umat Islam memakai pakaian yang bagus pada saat mengerjakan shalat. Modal dan bentuk pakaian bagus ini tidak dibatasi oleh Islam dan pengejawentahannya diserahkan sepenuhnya pada tradisi dan budaya masyarakat.
Pakaian model apapun termasuk baik dan bagus selama tidak bertentangan dengan kode etik pakaian Islam: aurat tertutup, tidak transparan, tidak terbuka, dan tidak menyerupai lawan jenis. Wallahu a‘lam.
(Hengki Ferdiansyah)
www.nu.or.id
PAKAIAN GAMIS
PAKAIAN GAMIS
Sunnah Memakai Gamis bagi Pria
Oleh : Ust. Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Ketahuilah bahwa memakai gamis adalah suatu yang disunnahkan. Namun kadang memakainya melihat keadaan masyarakat, jangan sampai terjerumus dalam pakaian yang tampil beda (pakaian syuhroh).
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ أَحَبَّ الثِّيَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْقَمِيصُ
“Pakaian yang paling disukai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu gamis.”
(HR. Tirmidzi no. 1762 dan Abu Daud no. 4025. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Hadits di atas disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin di mana hadits tersebut menunjukkan bahwa pakaian yang paling disukai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pakaian gamis.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
Karena gamis disini lebih menutupi diri dibanding dengan pakaian yang dua pasang yaitu izar (pakaian bawah) dan rida’ (pakaian atas). Namun para shahabat di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang memakai pakaian atas dan bawah seperti itu. Terkadang mereka mengenakan gamis. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyukai gamis karena lebih menutupi. Karena pakaian gamis hanyalah satu dan mengenakannya pun hanya sekali. Memakai gamis di sini lebih mudah dibanding menggunakan pakaian atas bawah, di mana yang dipakai adalah bagian celana terlebih dahulu lalu memakai pakaian bagian atas.
Namun ada catatan yang diberikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin,
Akan tetapi jika engkau berada di daerah (negeri) yang terbiasa memakai pakaian atasan dan bawahan, memakai semisal mereka tidaklah masalah. Yang terpenting adalah jangan sampai menyelisihi pakaian masyarakat di negeri kalian agar tidak terjerumus dalam larangan memakai pakaian yang tampil beda. Sungguh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang pakaian syuhroh (pakaian yang tampil beda).
(Lihat Syarh Riyadhis Sholihin, 4: 284-285, terbitan Madarul Wathon).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ
“Barangsiapa memakai pakaian syuhroh, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian semisal pada hari kiamat”
(HR. Abu Daud no. 4029 dan Ibnu Majah no. 360. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin menerangkan,
أن موافقة العادات في غير المحرم هي السنة؛ لأن مخالفة العادات تجعل ذلك شهرة، والنبي صلّى الله عليه وسلّم نهى عن لباس الشهرة ، فيكون ما خالف العادة منهياً عنه.
وبناءً على ذلك نقول: هل من السنة أن يتعمم الإنسان؟ ويلبس إزاراً ورداءً؟
الجواب: إن كنا في بلد يفعلون ذلك فهو من السنة، وإذا كنا في بلد لا يعرفون ذلك، ولا يألفونه فليس من السنة.
“Mencocoki kebiasaan masyarakat dalam hal yang bukan keharaman adalah disunnahkan. Karena menyelisihi kebiasaan yang ada berarti menjadi hal yang syuhroh (suatu yang tampil beda). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpakaian syuhroh. Jadi sesuatu yang menyelishi kebiasaan masyarakat setempat, itu terlarang dilakukan.
Berdasarkan hal itu, apakah yang disunnahkan mengikuti kebiasaan masyarakat lantas memakai pakaian atasan dan bawahan ? Jawabannya, jika di negeri tersebut yang ada adalah memakai pakaian seperti itu, maka itu bagian dari sunnah. Jika mereka di negeri tersebut tidak mengenalnya bahkan tidak menyukainya, maka itu bukanlah sunnah.”
(Syarhul Mumthi’, 6: 109, terbitan Dar Ibnul Jauzi).
MENYESUAIKAN DENGAN TRADISI SETEMPAT ITU BOLEH SELAMA TIDAK MELANGGAR KETENTUAN SYARI’AT. SEHINGGA TIDAK TEPAT ADA YANG BERPENDAPAT BAHWA BERPAKAIAN BAGI ORANG YANG DIKENAL KOMITMEN DENGAN AGAMA ADALAH HARUS BERJUBAH, BERGAMIS DAN BERPECI PUTIH. KALAU DIANGGAP BAHWA BERPAKAIAN SEPERTI ITULAH YANG PALING “NYUNNAH”, ITU JELAS KLAIM TANPA DALIL. JADI SAH-SAH SAJA BERPAKAIAN KOKO, SARUNGAN DAN MEMAKAI PECIS HITAM, UNTUK MENYESUAIKAN DENGAN MASYARAKAT AGAR TIDAK DIANGGAP ANEH. WALLAHU A’LAM.
Untuk wanita sendiri, tetap mengenakan pakaian yang dituntunkan dalam Islam. Jika masyarakat punya kebiasaan memakai pakaian ketat, berjilbab kecil dan memakai celana panjang, tentu saja tidak dianjurkan untuk mengikuti mereka. Bahkan tetap berpakaian syar’i sebagaimana yang diperintahkan.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Referensi:
Syarhul Mumthi’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1424 H.
Syarh Riyadhis Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, cetakan tahun 1426 H.
@ Pesantren Darush Sholihin Gunungkidul, 12 Jumadal Ula 1435 H di pagi hari.
Akhukum fillah: Ust. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/6920-sunnah-memakai-gamis-bagi-pria.html
Sunnah Memakai Gamis bagi Pria
Oleh : Ust. Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Ketahuilah bahwa memakai gamis adalah suatu yang disunnahkan. Namun kadang memakainya melihat keadaan masyarakat, jangan sampai terjerumus dalam pakaian yang tampil beda (pakaian syuhroh).
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ أَحَبَّ الثِّيَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْقَمِيصُ
“Pakaian yang paling disukai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu gamis.”
(HR. Tirmidzi no. 1762 dan Abu Daud no. 4025. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Hadits di atas disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin di mana hadits tersebut menunjukkan bahwa pakaian yang paling disukai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pakaian gamis.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
Karena gamis disini lebih menutupi diri dibanding dengan pakaian yang dua pasang yaitu izar (pakaian bawah) dan rida’ (pakaian atas). Namun para shahabat di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang memakai pakaian atas dan bawah seperti itu. Terkadang mereka mengenakan gamis. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyukai gamis karena lebih menutupi. Karena pakaian gamis hanyalah satu dan mengenakannya pun hanya sekali. Memakai gamis di sini lebih mudah dibanding menggunakan pakaian atas bawah, di mana yang dipakai adalah bagian celana terlebih dahulu lalu memakai pakaian bagian atas.
Namun ada catatan yang diberikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin,
Akan tetapi jika engkau berada di daerah (negeri) yang terbiasa memakai pakaian atasan dan bawahan, memakai semisal mereka tidaklah masalah. Yang terpenting adalah jangan sampai menyelisihi pakaian masyarakat di negeri kalian agar tidak terjerumus dalam larangan memakai pakaian yang tampil beda. Sungguh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang pakaian syuhroh (pakaian yang tampil beda).
(Lihat Syarh Riyadhis Sholihin, 4: 284-285, terbitan Madarul Wathon).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ
“Barangsiapa memakai pakaian syuhroh, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian semisal pada hari kiamat”
(HR. Abu Daud no. 4029 dan Ibnu Majah no. 360. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin menerangkan,
أن موافقة العادات في غير المحرم هي السنة؛ لأن مخالفة العادات تجعل ذلك شهرة، والنبي صلّى الله عليه وسلّم نهى عن لباس الشهرة ، فيكون ما خالف العادة منهياً عنه.
وبناءً على ذلك نقول: هل من السنة أن يتعمم الإنسان؟ ويلبس إزاراً ورداءً؟
الجواب: إن كنا في بلد يفعلون ذلك فهو من السنة، وإذا كنا في بلد لا يعرفون ذلك، ولا يألفونه فليس من السنة.
“Mencocoki kebiasaan masyarakat dalam hal yang bukan keharaman adalah disunnahkan. Karena menyelisihi kebiasaan yang ada berarti menjadi hal yang syuhroh (suatu yang tampil beda). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpakaian syuhroh. Jadi sesuatu yang menyelishi kebiasaan masyarakat setempat, itu terlarang dilakukan.
Berdasarkan hal itu, apakah yang disunnahkan mengikuti kebiasaan masyarakat lantas memakai pakaian atasan dan bawahan ? Jawabannya, jika di negeri tersebut yang ada adalah memakai pakaian seperti itu, maka itu bagian dari sunnah. Jika mereka di negeri tersebut tidak mengenalnya bahkan tidak menyukainya, maka itu bukanlah sunnah.”
(Syarhul Mumthi’, 6: 109, terbitan Dar Ibnul Jauzi).
MENYESUAIKAN DENGAN TRADISI SETEMPAT ITU BOLEH SELAMA TIDAK MELANGGAR KETENTUAN SYARI’AT. SEHINGGA TIDAK TEPAT ADA YANG BERPENDAPAT BAHWA BERPAKAIAN BAGI ORANG YANG DIKENAL KOMITMEN DENGAN AGAMA ADALAH HARUS BERJUBAH, BERGAMIS DAN BERPECI PUTIH. KALAU DIANGGAP BAHWA BERPAKAIAN SEPERTI ITULAH YANG PALING “NYUNNAH”, ITU JELAS KLAIM TANPA DALIL. JADI SAH-SAH SAJA BERPAKAIAN KOKO, SARUNGAN DAN MEMAKAI PECIS HITAM, UNTUK MENYESUAIKAN DENGAN MASYARAKAT AGAR TIDAK DIANGGAP ANEH. WALLAHU A’LAM.
Untuk wanita sendiri, tetap mengenakan pakaian yang dituntunkan dalam Islam. Jika masyarakat punya kebiasaan memakai pakaian ketat, berjilbab kecil dan memakai celana panjang, tentu saja tidak dianjurkan untuk mengikuti mereka. Bahkan tetap berpakaian syar’i sebagaimana yang diperintahkan.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Referensi:
Syarhul Mumthi’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1424 H.
Syarh Riyadhis Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, cetakan tahun 1426 H.
@ Pesantren Darush Sholihin Gunungkidul, 12 Jumadal Ula 1435 H di pagi hari.
Akhukum fillah: Ust. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/6920-sunnah-memakai-gamis-bagi-pria.html
Langganan:
Postingan (Atom)