Senin, 29 November 2021

Apakah Makmum yang Lupa Dalam Shalat Harus Sujud Sahwi?


 Bagi makmum yang lupa dalam shalatnya maka tidak perlu melakukan sujud sahwi, kecuali dia mengikuti imam yang melakukan sujud sahwi, sebagaimana yang dijelaskan oleh RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam,


إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ


“Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti, maka janganlah menyelisihnya. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah. Dan bila ia mengatakan ‘sami’allahu liman hamidah’, maka katakanlah,’Rabbana walakal hamdu’. Apabila ia sujud, maka sujudlah. Dan bila ia shalat dengan duduk, maka shalatlah dengan duduk semuanya” (HR. Bukhari no. 378 dan Muslim no. 412)


Dan juga disebabkan karena sujud sahwi hukumnya wajib bukan rukun, dan wajib akan gugur karena mengikuti imam, contohnya ketika ada makmum masbuk yang masuk pada raka’at kedua, maka gugur baginya untuk tasyahhud awal, karena tasyahhud awal baginya ada pada raka’at ketiga yang dilakukan imam, maka wajib baginya untuk bangkit bersama imam. (Lihat: Asy-Syarhul Mumti’ ‘Alaa Zaadil Mustaqni’ 3/387)


***


Oleh: Ustadz DR. Firanda Andirja, M.A


Di nukil dari: https://firanda.com


Artikel ini terbit di website dan aplikasi Bekal Islam

Versi web : Panduan Tata Cara Sholat Lengkap


Sabtu, 27 November 2021

Hukum Melakukan Hubungan Suami lstri Tapi Istri Belum Mandi Wajib Setelah Haid


 Pada dasarnya, hubungan intim terlarang dilakukan saat seorang wanita masih dalam masa haidh, berdasarkan firman Allah ﷻ:


(ويسألونك عن المحيض قل هو أذى فاعتزلوا النساء في المحيض ولا تقربوهن حتى يطهرن فإذا تطهرن فأتوهن…)


“Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haidh, katakanlah “itu adalah sesuatu yang kotor”, karena itu jauhilah istri pada waktu haid, dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci, apabila mereka telah suci, campurilah mereka…” (QS. Al-Baqarah: 222).


Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:


ونهي عن قربانهن بالجماع ما دام الحيض موجودا, ومفهومه حله إذا انقطع


“dan (Allah ﷻ) melarang untuk mendekati mereka (para istri) dengan melakukan jima’ (hubungan badan) selama haid masih ada, dan bisa dipahami bahwa: jika haid telah selesai maka kembali menjadi halal” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim: 1/439).


Setelah selesai masa haid dan berhenti darahnya, maka seorang wanita diwajibkan untuk melakukan mandi untuk menyucikan dirinya. Agar ia kembali bisa melakukan kewajiban-kewajiban yang telah ditinggalkan selama masa haidh, seperti sholat, puasa, dan melayani suaminya dengan berhubungan badan.


Maka mayoritas para ulama seperti Madzhab Maliki, Mazhab Syafi’I, Madzhab Hambali dan lainnya menjadikan mandi wajib setelah haid sebagai syarat dibolehkannya melakukan hubungan intim, sebagaimana Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan:


أن وطع الحائض قبل الغسل حرام, وإن انقطع دمها في قول أكثر أهل العلم


“Bahwa sesungguhnya berhubungan intim dengan wanita yang sedang haid sebelum melakukan mandi wajib hukumnya haram, walaupun darah haid nya telah berhenti, sebagaimana yang dikatakan oleh kebanyakan ahli ilmu” (Al-Mughni: 1/384).


Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan:


لا يجوز وطء الحائض والنفساء حتى يغتسلا, فإن عدمت الماء أو خافت الضرر باستعمالها الماء لمرض أو برد شديد تتيمم, وتوطأ بعد ذلك, بقوله تعالى: (ولا تقربوهن حتى يطهرن) أي ينقطع الدم, (فإذا تطهرن): اي اغتسلن بالماء.


“Tidak boleh behubungan intim dengan wanita haid dan nifas sampai melakukan mandi wajid, apabila air tidak ada atau wanita tersebut ditakutkan terjadinya bahaya jika menggunakan air karena sakit atau dingin yang sangat maka hendaklah ia ber-tayammum, dan dibolehkan melakukan hubungan intim setelah itu, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci” yaitu: berhentinya darah haid, “Maka apabila mereka telah suci” yaitu: mereka telah melakukan mandi wajib”. (Majmuatul Fatawa: 11/359).


Ketika menafsirkan firman Allah:


(فإذا تطهرن فأتوهن)


“Apabila mereka telah bersuci maka campurilah mereka.”


Para Ulama Tafsir dari kalangan sahabat seprti Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma mengatakan:


إذا اغتسلن…. فشرط لأباحة الوطء شرطين: انقطاع الدم والاغتسال, فلا يباح إلا بهما


“(Yaitu) apabila mereka telah melakukan mandi wajib”, Maka beliau (Ibnu Abbas) mensyaratkan bolehnya melakukan hubungan intim dengan 2 syarat; 1. Berhentinya darah haid, 2. Mandi wajib, maka tidak dibolehkan melakukan hubungan intim keculi jika dua syarat tersebut sudah terpenuhi”. (Al-Mughni: 2/384).


Namun Madzhab Hanafi dalam hal ini menyatakan pendapat yang berbeda:


“قالو: يحل للرجل أن يأتي امرأته حتى انقطع دم الحيض والنفاس لأكثر مدة الحيض وهي عشرة أيام كاملة, ولأكثر مدة النفاس, وهي أربعون يوما, وإن لم تغتسل.


“Mereka berkata: Dibolehkan bagi laki-laki mendatangi istrinya jika telah berhenti darah haid dan nifas yaitu setelah berlalunya batasan waktu terlama haid 10 hari, dan waktu terlama untuk nifas 40 hari, walaupun belum melakukan mandi wajib” (Al-Fiqhu ‘alal Mazahibil ‘Arba’ah: 73).


Hanya saja, mayoritas para ulama menyatakan bahwa pendapat madzhab Hanafi di sini sangat lemah, dan yang rajihnya adalah pendapat yang mengatakan bahwa mandi wajib merupakan syarat bolehnya mencampuri istri setelah berhenti darah haidnya, sehingga jika sepasang suami dan istri melakukan hubungan badan sebelum syarat ini terpenuhi maka hukumnya haram.


Wallahu A’lam.


***


Ditulis oleh: ️Ustadz Hafzan Elhadi, Lc., M.Kom  حفظه الله تعالى


Dinukil dari: konsultasisyariah.com


___________

Apa itu Hadits Qudsi?


 Ungkapan hadits Qudsi terdiri dari dua kata, hadits dan Qudsi.

Hadits [Arab: الحديث]: segala yang dinisbahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, atau karakter beliau.

Qudsi [Arab: القدسي] secara bahasa diambil dari kata Qudus, yang artinya suci. Disebut hadist Qudsi, karena perkataan ini dinisbahkan kepada Allah, Al-Quddus, Dzat Yang Maha Suci.

Hadits Qudsi secara Istilah

Ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadits Qudsi

Al-Jurjani mengatakan,

الحديث القدسي هو من حيث المعنى من عند الله تعالى ومن حيث اللفظ من رسول الله صلى الله عليه وسلم فهو ما أخبر الله تعالى به نبيه بإلهام أو بالمنام فأخبر عليه السلام عن ذلك المعنى بعبارة نفسه فالقرآن مفضل عليه لأن لفظه منزل أيضا

"Hadits Qudsi adalah hadits yang secara makna datang dari Allah, sementara redaksinya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga hadits Qudsi adalah berita dari Allah kepada Nabi-Nya melalui ilham atau mimpi, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan hal itu dengan ungkapan beliau sendiri. Untuk itu, Al-Qur'an lebih utama dibanding hadits Qudsi, karena Allah juga menurunkan redaksinya.." (at-Ta’rifat, hlm. 133)

Sementara al-Munawi memberikan pengertian,

الحديث القدسي إخبار الله تعالى نبيه عليه الصلاة والسلام معناه بإلهام أو بالمنام فأخبر النبي صلى الله عليه وسلم عن ذلك المعنى بعبارة نفسه

"Hadits Qudsi adalah berita yang Allah sampaikan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam secara makna dalam bentuk ilham atau mimpi. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan berita ‘makna’ itu dengan redaksi beliau." (Faidhul Qodir, 4/468).

Demikian pendapat mayoritas ulama mengenai hadits Qudsi, yang jika kita simpulkan bahwa hadits Qudsi adalah hadits yang maknanyadiriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah, sementara redaksinya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan inilah yang membedakan antara hadits Qudsi dengan Al-Qur'an. Dimana Al-Qur'an adalah kalam Allah, yang redaksi berikut maknanya dari Allah ta’ala.

Kemudian, ada ulama yang menyampaikan pendapat berbeda dalam mendefinisikan hadis qudsi. Diantaranya Az-Zarqani. Menurut Az-Zarqani, hadits Qudsi redaksi dan maknanya keduanya dari Allah. Sementara hadits Nabawi (hadits biasa), maknanya berdasarkan wahyu dalam kasus di luar ijtihad Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara redaksi hadis t dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Az-Zarqani mengatakan,

الحديث القدسي أُوحيت ألفاظه من الله على المشهور والحديث النبوي أوحيت معانيه في غير ما اجتهد فيه الرسول والألفاظ من الرسول

"Hadits Qudsi redaksinya diwahyukan dari Allah – menurut pendapat yang masyhur – sedangkan hadits Nabawi, makna diwahyukan dari Allah untuk selain kasus ijtihad Rasulullah, sementara redaksinya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam." (Manahil al-Urfan, 1/37)

Berdasarkan keterangan az-Zarqani, baik Al-Qur'an maupun hadits Qudsi, keduanya adalah firman Allah. Yang membedakannya adalah dalam masalah statusnya. Hadits Qudsi tidak memiliki keistimewaan khusus sebagaimana Al-Qur'an. (simak: Manahil al-Urfan, 1/37)

Beda Hadits Qudsi Dengan Al-Qur'an

Terlepas dari perbedaan ulama dalam mendefinisikan hadits Qudsi, ada beberapa poin penting yang membedakan antara hadits Qudsi dengan Al-Qur'an, diantaranya,

Al-Qur'an: turun kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibawa oleh Jibril sebagai wahyu

Hadits Qudsi: tidak harus melalui Jibril. Artinya, bisa melalui Jibril dan bisa tidak melalui Jibril, misalnya dalam bentuk ilham atau mimpi.

Al-Qur'an: sifatnya Qath’i Tsubut (pasti keabsahannya), karena semuanya diriwayatkan kaum muslimin turun-temurun secara mutawatir.Karena itu, tidak ada istilah ayat Al-Qur'an yang diragukan keabsahannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits Qudsi: Tidak ada jaminan keabsahannya. Karena itu, ada Hadits Qudsi yang shahih, ada yang dha'if, dan bahkan ada yang palsu.

Al-Qur'an: Membacanya bernilai pahala setiap huruf. Orang yang membaca satu huruf Al-Qur'an mendapat 10 pahala.

Hadits Qudsi: Semata membaca tidak bernilai pahala. Kecuali jika diniati untuk mempelajari, sehinga bernilai ibadah pada kegiatan mempelajarinya.

Al-Qur'an: Teks dan maknanya merupakan mukjizat. Karena itu, tidak ada satupun makhluk yang bisa membuat 1 surat yang semisal Al-Qur'an.

Hadits Qudsi: Teks dan maknanya bukan mukjizat. Sehingga bisa saja seseorang membuat hadits Qudsi palsu.

Al-Qur'an: Bersifat sakral, sehingga orang yang mengingkari satu huruf saja statusnya kafir.

Hadits Qudsi: Tidak sakral, sehingga mengikuti kajian hadits pada umumnya. Karena itu, bisa saja orang tidak menerima hadits Qudsi, mengingat status perawinya yang tidak bisa diterima.

Al-Qur'an: Tidak boleh disampaikan berdasarkan maknanya tanpa teks aslinya persis seperti yang Allah firmankan. Tidak boleh ada tambahan atau pengurangan satu hurufpun.

Hadits Qudsi: Boleh disampaikan secara makna.

Al-Qur'an: Menjadi mukjizat yang Allah gunakan untuk menantang manusia, terutama masyarakat arab.

Hadits Qudsi: Tidak digunakan sebagai tantangan kepada makhluk Allah lainnya.

Istilah Lain Hadits Qudsi

Beberapa ulama menyebut Hadits Qudsi dengan selain istilah yang umumnya dikenal masyarakat. Ada yang menyebutnya Hadits Ilahiatau Hadits Rabbani. Semacam ini hanya istilah, yang hakekatnya sama, yaitu hadits yang dinisbahkan kepada Allah.

Diantara ulama yang menggunakan istilah hadits ilahi adalah Syaikhul Islam sebagaimana beberapa keterangan beliau di Majmu’ Fatawa dan Minhaj as-Sunnah. Demikian pula al-Hafidz Ibnu Hajar.

Dalam salah satu pernyataannya, Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan,

الأحاديث الإلهية: وهي تحتمل أن يكون المصطفى صلى الله عليه وسلم أخذها عن الله تعالى بلا واسطة أو بواسطة

"Hadits Ilahi ada kemungkinan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambilnya dari Allah tanpa perantara atau melalui perantara." (Faidhul Qodir, 4/468).

Sementara ulama yang menggunakan istilah hadits Rabbani diantaranya adalah Jalaluddin Al-Mahalli, salah satu penulis tafsir Jalalain. Dalam salah satu pernyataannya,

الْأَحَادِيثَ الرَّبَّانِيَّةَ كَحَدِيثِ الصَّحِيحَيْنِ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي

"Hadits Rabbani itu seperti hadits yang disebutkan dalam dua kitab shahih: “Saya sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku." (Hasyiyah al-Atthar ’ala Syarh al-Mahalli).

Allahu a’lam.

***

Di Tulis Oleh ; Ammi Nur Baits, ST, BA Hafizhahullah

Dinukil dari : konsultasisyariah.com

___________



Resmi, Arab Saudi Larang Selfie Saat Umroh Atau Naik Haji, ini Hukum Selfie Saat Naik Haji Dalam lslam  


 Bismillah Alhamdulillah akhirnya Pemerintah Arab Saudi melarang selfie dan rekam video di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi 


Pemerintah Arab Saudi melarang jamaah yang datang ke Masjidil Haram dan Masjid Nabawi melakukan selfie dan merekam video, semoga ini memberikan kebaikan kepada jamaah yang datang ke dua tempat suci ini, yakni menjauhkan diri dari riya' dan ujub dalam amal ibadah yang jika dilakukan dapat menghapus pahala amal ibadah di lokasi ini, 


Allahu a'lam.


Jadi ingat hal ini pernah dibahas oleh Syaikh Ruhaili hafizhahullah ta'ala, yakni kebiasaan jamaah umroh dan haji Indonesia yang hobi selfie disaat menjalankan amalannya.


Bagi yang hobby selfie dan ingin umroh atau haji mulailah rubah kebiasaan anda mulai sekarang dengan tidak bermudah-mudah berselfie ria.


Hukum Selfie


Pertanyaan:

Banyak banget sekarang hobby selfy, mohon dijelaskan apa hukum selfie?


Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang keras seseorang ujub terhadap dirinya. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai dosa besar yang membinasakan pelakunya.


Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 


ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ 

 شُحٌّ مُطَاعٌ ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ 


"Tiga dosa pembinasa: sifat pelit yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti, dan ujub seseorang terhadap dirinya." (HR. Thabrani dalam al-Ausath 5452 dan dishaihkan al-Albani)


Di saat yang sama, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi kita untuk menjadi hamba yang berusaha merahasiakan diri kebalikan dari menonjolkan diri.


Dari Abu Said al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


 إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ 


"Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa, yang berkecukupan, dan yang tidak menonjolkan diri." (HR. Muslim 7621).


Selfie, jeprat-jepret diri sendiri, sangat tidak sejalan dengan prinsip di atas. Terlebih umumnya orang yang melakukan selfie, tidak lepas dari perasaan ujub. Meskipun tidak semua orang yang selfie itu ujub, namun terkadang perasaan lebih sulit dikendalikan.


Karena itu, sebagai mukmin yang menyadari bahaya ujub, tidak selayaknya semacam ini dilakukan. 


Allahu a’lam.


****


Di Tulis Oleh: Ustadz Ammi Nur Baits, ST, BA hafidzhahullah


Di nukil dari: https://www.fotodakwah.com



Selasa, 23 November 2021

Mengapa Matahari & Bulan Dimasukkan Ke Neraka Kelak?


 Matahari dan bulan di hari akhir nanti memang akan dimasukkan ke dalam neraka. Hal ini telah ditegaskan sendiri oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda,

الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ ثَوْرَانِ مُكَوَّرَانِ فِي النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Matahari dan rembulan seolah-olah seperti sapi jantan yang digulung ke dalam Neraka pada hari kiamat.” [HR Ath-Thahawi dalam “Al-muhalla bil-Atsar” (1/96), dan dishahihkan oleh Al-Albani di Silsilah Ash-Shahihah (124)]

Salah satu tafsirannya sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Khatthabi,

“Keberadaannya di neraka bukanlah maksudnya karena disiksa. Akan tetapi celaan terhadap orang-orang yang dahulu menyembah matahari dan rembulan ketika di dunia, agar mereka mengetahui bahwa peribadatan mereka pada keduanya adalah bathil.” (Fathul Bari, 6/215)

Matahari dan bulan dimasukkan ke neraka bukan untuk disiksa, sebagaimana malaikat-malaikat penjaga neraka juga ada di dalam neraka bukan untuk disiksa. Keadaan ini semisal dengan batu dan berhala-berhala yang mereka sembah yang ikut dimasukkan ke dalam neraka sebagai bentuk menghinakan dan mempermalukan mereka agar semakin menyesali perbuatan-perbuatan mereka di dunia dahulu.

Allah ta'ala berfirman,

اِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ حَصَبُ جَهَنَّمَۗ اَنْتُمْ لَهَا وَارِدُوْنَ

“Sungguh, kamu (orang kafir) dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah bahan bakar Jahanam. Kamu (pasti) masuk ke dalamnya.” (QS Al-Anbiya’ : 98)

Keberadaan matahari dan bulan di dalam neraka justru akan menambah siksaan batin bagi para penyembahnya. Ibarat seseorang yang kita puji-puji, kita selalu berbuat baik kepadanya ternyata di belakang kita dia malah mengolok-olok dan menjelek-jelekkan kita, maka sakit hati yang kita rasakan justru semakin menyakitkan.

Demikianlah keadaan yang dirasakan oleh penghuni neraka tatkala melihat ternyata sesembahan-sesembahan mereka dahulu menjadi bahan bakar yang semakin menambah panasnya neraka.

***

Artikel www.muslimafiyah.com

Penulis: Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp. PK

Matahari dan bulan di hari akhir nanti memang akan dimasukkan ke dalam neraka. Hal ini telah ditegaskan sendiri oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda,

الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ ثَوْرَانِ مُكَوَّرَانِ فِي النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Matahari dan rembulan seolah-olah seperti sapi jantan yang digulung ke dalam Neraka pada hari kiamat.” [HR Ath-Thahawi dalam “Al-muhalla bil-Atsar” (1/96), dan dishahihkan oleh Al-Albani di Silsilah Ash-Shahihah (124)]

Salah satu tafsirannya sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Khatthabi,

“Keberadaannya di neraka bukanlah maksudnya karena disiksa. Akan tetapi celaan terhadap orang-orang yang dahulu menyembah matahari dan rembulan ketika di dunia, agar mereka mengetahui bahwa peribadatan mereka pada keduanya adalah bathil.” (Fathul Bari, 6/215)

Matahari dan bulan dimasukkan ke neraka bukan untuk disiksa, sebagaimana malaikat-malaikat penjaga neraka juga ada di dalam neraka bukan untuk disiksa. Keadaan ini semisal dengan batu dan berhala-berhala yang mereka sembah yang ikut dimasukkan ke dalam neraka sebagai bentuk menghinakan dan mempermalukan mereka agar semakin menyesali perbuatan-perbuatan mereka di dunia dahulu.

Allah ta'ala berfirman,

اِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ حَصَبُ جَهَنَّمَۗ اَنْتُمْ لَهَا وَارِدُوْنَ

“Sungguh, kamu (orang kafir) dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah bahan bakar Jahanam. Kamu (pasti) masuk ke dalamnya.” (QS Al-Anbiya’ : 98)

Keberadaan matahari dan bulan di dalam neraka justru akan menambah siksaan batin bagi para penyembahnya. Ibarat seseorang yang kita puji-puji, kita selalu berbuat baik kepadanya ternyata di belakang kita dia malah mengolok-olok dan menjelek-jelekkan kita, maka sakit hati yang kita rasakan justru semakin menyakitkan.

Demikianlah keadaan yang dirasakan oleh penghuni neraka tatkala melihat ternyata sesembahan-sesembahan mereka dahulu menjadi bahan bakar yang semakin menambah panasnya neraka.

***

Artikel www.muslimafiyah.com

Penulis: Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp. PK

Mengapa Siksa Kubur Tidak Bisa Didengar oleh Manusia?

 

Hikmahnya antara lain disebutkan oleh Syaikh Al-'Allamah Al-Utsaimin,


1). Nabi ﷺ telah mengisyaratkan dalam sabdanya, "Kalau saja kalian tidak saling menguburkan maka aku akan berdoa kepada Allah agar memperdengarkannya kepada kalian.” 


2). Demi menutup aib si mayyit yang berdosa sehingga tidak dipergunjingkan.


3). Dirahasiakannya siksa kubur agar keluarganya tidak sedih berkepanjangan.


4). Tidak mempermalukan keluarganya dengan dikatakan, "Lihat anakmu disiksa", "Bapakmu disiksa", "Saudaramu disiksa", atau kalimat yang serupa.


5). Manusia akan binasa jika mendengarnya karena teriakan orang yang disiksa di kuburnya bukan hal yang ringan.


6). Apabila manusia mendengarnya maka beriman dengan siksa kubur merupakan keimanan terhadap sesuatu yang tampak, tidak lagi beriman terhadap hal yang gaib sehingga luput darinya maslahat ujian. 


Karena manusia akan beriman dengan perkara yang disaksikannya secara pasti. 


Apabila hal tersebut tersembunyi darinya dan mereka tidak mengetahuinya kecuali melalui jalan berita maka inilah hakikat beriman terhadap hal yang gaib.


(Majmu' Fatawa 8/482)

Minggu, 14 November 2021

BACAAN NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM PADA SHALAT WITIR

 



Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ba’du


Pada shalat Witir yang tiga rakaat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa membaca surah Al-A’la, Al-Kafirun, dan Al-Ikhlas. Pada rakaat pertama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surah Al-A’la, pada rakaat kedua beliau membaca surah Al-Kafirun, dan pada rakaat ketiga beliau membaca surah Al-Ikhlas.


Sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, disebutkan:


“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Witir tiga rakaat dengan membaca: Sabbihisma rabbikal a’laa, qul yaa ayyuhal kaafiruun, dan qul huwallaahu ahad.” (HR. Ahmad (I/299), At-Tirmidzi (no. 462), An-Nasa’i (III/236), Ibnu Majah (no. 1172), dan selainnya)


Terkadang pada rakaat ketiga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menambahnya dengan surah Al-Falaq dan surah An-Naas. Sebagaimana hadis dari Abdul Aziz bin Juraij, ia berkata, kami pernah bertanya kepada Aisyah: “Dengan membaca surah apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Witir?” 'Aisyah radhiallahu ‘anha menjawab


كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَةِ اْلأُوْلَى : سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وَفِي رَكْعَةِ الثَّانِيَةِ :قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ ، وَفِي الثَّالِثَةِ : قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد، وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ


"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada rakaat pertama dengan surat Al-A’laa, pada rakaat kedua dengan surat Al-Kafirun dan pada rakaat ketiga dengan surat Al-Ikhlas dan dua surat Mu’awidzatain (surat Al-Falaq dan surat An-Naas).” (HR. At-Tirmidzi dalam kitab Sunannya hadits no. 462 dan dihasankannya dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya, (hadits no. 2432). Syaikh Albani rahimahullah berkata: Hadits ini shahih) (Lihat Shahiih Sunan At-Tirmidzi, (I/144))


******


Sumber: permatasunnah.com



Sabtu, 13 November 2021

MENGAMBIL UPAH DARI MENCUKUR JENGGOT ADALAH HARAM.

 Fadhilah As-Syaikh Ibnu Baaz rahimahulllah:


Pertanyaan:


Sebagian pemilik salon cukur rambut mereka mencukur jenggot sebagian orang maka apa hukum harta yang mereka ambil dengan sebab pekerjaan mereka?


Jawaban:


Mencukur jenggot dan memangkasnya adalah diharamkan dan kemungkaran yang nyata, tidak boleh bagi seorang muslim melakukannya dan tidak boleh membantu atas itu, dan mengambil upah atas yang demikian adalah haram dan hasil yang haram, wajib bagi yang melakukannya untuk bertaubat kepada Allah darinya dan tidak mengulanginya, dan bersedekah disebabkan oleh apa yang dia dapatkan dari usahanya itu apabila dia mengetahui hukum Allah ta'ala tentang haramnya mencukur jenggot, dan jika dia jahil (tidak tahu) maka tidak ada dosa baginya atas apa yang telah lalu, dan wajib atasnya untuk waspada terhadap yang demikian di masa mendatang; berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla tentang memakan riba:


(فَمَن جَاۤءَهُۥ مَوۡعِظَةࣱ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمۡرُهُۥۤ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ أَصۡحَـٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِیهَا خَـٰلِدُونَ) [سورة البقرة: 275]


"... Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah.* Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (QS. Al-Baqarah: 275)


Dan di dalam dua kitab Shahih, dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, dari nabi ﷺ bersabda:


«قُصُّوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى خَالِفُوا المُشْرِكِينَ»


"Cukurlah kumis-kumis kalian, biarkanlah jenggot-jenggot kalian (memanjang), dan selisihilah kaum musyrikin".


Dan di dalam shahih Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari nabi ﷺ bersabda:


«جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ»

"Cukurlah kumis dan panjangkanlah jenggot. Selisihilah kaum Majusi."


Maka yang wajib bagi setiap muslim untuk menjalankan perintah Allah dalam membiarkan jenggot dan memeliharanya, dan mencukur kumis dan memotongnya, dan tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk tertipu dengan banyaknya orang yang menyelisihi sunnah ini dan menampakkan di hadapan Allah kemaksiatan.


Kita memohon kepada Allah hidayah bagi kaum muslimin pada setiap apa yang mengandung keridhaan-Nya, dan membantu mereka untuk taat kepada-Nya dan taat kepada Rasul-Nya ﷺ, dan agar mengaruniakan orang yang menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya berupa taubat nashuh kepada Tuhannya, dan bergegas kepada ketaatan kepada-Nya dan menjalankan perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya ﷺ, sesungguhnya Dia maha mendengar lagi maha dekat. |«


***


 http://binbaz.org.sa/fatawa/2011 

--------------

أخذ الأجرة على حلق اللحى حرام - لفضيلة الشيخ ابن باز رحمه الله 

▃▃▃▃▃▃▃


السؤال: 

 بعض أصحاب صالونات الحلاقة يحلقون لحى بعض الناس فما حكم المال الذي يأخذونه بسبب عملهم؟ 

  

 الجواب:  

 حلق اللحى وقصها محرم ومنكر ظاهر، لا يجوز للمسلم فعله ولا الإعانة عليه، وأخذ الأجرة على ذلك حرام وسحت، يجب على من فعل ذلك التوبة إلى الله منه وعدم العودة إليه، والصدقة بما دخل عليه من ذلك إذا كان يعلم حكم الله سبحانه في تحريم حلق اللحى، فإن كان جاهلاً فلا حرج عليه فيما سلف، وعليه الحذر من ذلك مستقبلاً؛ لقول الله عز وجل في أكلة الربا: فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ[1]، وفي الصحيحين، عن ابن عمر رضي الله عنهما، عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: ((قصوا الشوارب وأعفوا اللحى خالفوا المشركين)) وفي صحيح البخاري، عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: ((قصوا الشوارب ووفروا اللحى خالفوا المشركين)) وفي صحيح مسلم، عن أبي هريرة رضي الله عنه، عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: ((جزوا الشوارب وأرخوا اللحى خالفوا المجوس)) فالواجب على كل مسلم أن يمتثل أمر الله في إعفاء لحيته وتوفيرها، وقص الشارب وإحفائه، ولا ينبغي للمسلم أن يغتر بكثرة من خالف هذه السنة وبارز ربه بالمعصية.


_____________


Rabu, 10 November 2021

7 Kelakuan Negatif Suami

 *7 Kelakuan Negatif Suami*


💔 Hati seorang istri amat terluka dengan tujuh kelakuan negatif suami sebagai berikut:


1. Pengkhianatan ranjang.

2. Pemberian gelar buruk.

3. Perkataan kasar.

4. Keluyuran berkepanjangan.

5. Ketidakadilan ketika poligami.

6. Kecemburuan over dosis.

7. Pemangkasan uang belanja. 

 

✏️ Status Ustadz Zainal Abidin, Lc., M.M  حفظه الله تعالى.


🗓 Diterbitkan Selasa, 14 Agustus  2020


📱 TG: @tausiyahbimbinganislam


_____________