ISBAL
Kalau mencermati Fiqhul Waqi’ (realita kekinian) yang tengah terjadi,niscaya akan kita saksikan betapa semakin gencarnya perang pemikiran diantara kaum muslimin, yang semuanya itu adalah bersumber dari para kaum kafir, Syi'ah dan liberal yang tak letih-letihnya meneror umat ini dengan berbagai propaganda, adu domba, dan fitnah yang tiada habis-habisnya dikalangan umat muslim.
Diantara adu domba dan propaganda itu salah satunya adalah Fitnah “ Celana Cingkrang ”. Tidak jarang kita temukan dibeberapa tempat, banyak dari kalangan (baik secara individu maupun kelompok) yang secara habis-habisan mencaci maki dan menghujat orang-orang yang bercelana “ Cingkrang/diatas mata kaki ” dengan berbagai macam kata hinaan, caci maki, cemoohan dan sebagainya, ada yang mencemoohnya dengan menggelarinya sebagai " celana kebanjiran " atau dengan mengatakan ini adalah aliran LDII (Lembaga Dakwa Islam Indonesia)". Padahal LDII itu sendiri tidak berpakaian seperti itu, entahlah dari mana ucapan seperti ini berasal. Kalau hinaan seperti itu masih ringan, tapi ada yang parah dan sadis penghinaannya terhadap orang yang berpakaian cingkrang ini, biasanya hinaan keji ini bukan saja dilontarkan dari kalangan masyarakat awam, tapi juga datang dari orang-orang yang sudah berlabel ustad atau kyai pun juga turut menghina, dengan secara membabi buta yaitu dengan menjuluki mereka sebagai teroris, Islam garis keras, Islam radikal bahkan sampai mengatakan pakaiannya orang beraliran sesat...! Laa haula wala quwwata illa billaah…kita berdo'a semoga mereka para penghujat ini selalu mendapatkan rahmat, petunjuk serta hidayahnya Allah subhanahu wa ta'ala...
Inilah suatu kekeliruan dan tuduhan dusta dari mereka karena tanpa dasar atau landasan dikarenakan minimnya ilmu, dan mereka masih menganggap bahwa pakaian dibawah mata kaki sah asal tidak sombong. Padahal sesungguhnya Islam tegak diatas dalil al-Qur'an dan as-Sunnah yang Shahih bukan agama yang direka-reka atau semau hawa nafsu kita sebagaimana yang banyak dilakukan oleh agamanya kaum kafir, karena Islam punya aturan sendiri yang tidak sama dengan agama lain, dari itu apapun dalam ibadah kita tidak boleh tasyabbuh (menyerupai) mereka, baik dalam hal tata cara ibadah maupun cara berpakaian.
Kita perhatikan mereka para kaum kafir Nasrani, Yahudi, kafir Syi'ah atau Islam liberal dan lain-lain itu bagaimana cara mereka berpakaian...? Sungguh mereka adalah orang-orang yang telah melampaui batas, sarung, celana panjang menjuntai kebawah, hingga tidak sedikit dari kaum kafir itu pakaiannya sampai menyentuh tanah, apakah itu yang dinamakan modern...? Apakah itu pantas jadi contoh umat muslim...? Lalu demi gaya dan pengaruh arus moderisasi.itu, lalu apakah Sunnahnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam harus kita pinggirkan demi arus modern...?
Dengan melihat hujjah-hujjah yang Shahih menunjukkan dengan jelas dan terang bahwa berpakaian yang tidak melibihi batas mata kaki atau hanya setengah betis ini adalah cara berpakaiannya yang syar'i, bukan hanya karena maksud sombong atau tidaknya, tapi itulah aturan dalam agamanya Allah dan Rasul-Nya sebagaimana pakaiannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para khulafaur Rasyidin. Lalu apakah Rasulullah dan para sahabat serta para ulama salaf terdahulu telah berpakaian seperti itu (cingkrang) adalah termasuk teroris...? Islam radikal...? Kain kebanjiran...? Atau pakaiannya aliran sesat...?
Untuk mengetahui itu semua tentu kita perlu mengkaji ilmu agama yang lebih luas lagi agar kita tidak terjebak dalam perbuatan yang dilarang Allah dan Rasul-Nya.
Lalu bagaimana berpakaian cingkrang (diatas mata kaki) seperti ini apakah memang merupakan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau bukan...?
Disini akan dipaparkan dalil-dalil larangan secara mutlak tentang Isbal ini, dan dipaparkan pula dalil kerancuan dari orang yang menganggapnya makruh atau mubah.
Berikut dalil-dalil itu :
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ﻫَﺬَﺍ ﻣَﻮْﺿِﻊُ ﺍْﻹِﺯَﺍﺭِ ﻓَﺈِﻥْ ﺃَﺑَﻴْﺖَ ﻓَﺄَﺳْﻔَﻞَ ﻓَﺈِﻥْ ﺃَﺑَﻴْﺖَ ﻓَﻼَ ﺣَﻖَّ ﻟِْﻺِﺯَﺍﺭِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﻴْﻦِ
" Ini (Di setengah betis) adalah tempat pakaian bagian bawah. Jika engkau tidak menginginkannya, maka turunkan sedikit, jika engkau tidak menginginkanya, maka pakaian bawah tidak boleh berada melebihi dua mata kaki ".
(HR. Turmidzi no.1709, ibnu Mâjah no. 3562, Ahmad 22159 shahih).
Sesungguhnya tidak ada orang yang lebih bertaqwa dan lebih tawadhu' serta lebih bersih hatinya dari kesombongan daripada Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam. Sifat pakaian beliau adalah menggambarkan tawadhu' beliau.
ﺇﺯﺍﺭﻩ ﺇِﻟَﻰ ﻧِﺼْﻒِ ﺳَﺎﻗَﻴْﻪِ
" (Ujung) sarung Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hingga tengah kedua betis beliau ".
(HR. At-Thirmidzi di As-Syama'il dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Mukhtashor as-Syamail al-Muhammadiyah no 97).
Dan hadits Abu Juhaifah radhiallahu 'anhu :
ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺣُﻠَّﺔً ﺣَﻤْﺮَﺍﺀَ ﻛَﺄَﻧِّﻲ ﺃَﻧْﻈُﺮُ ﺇِﻟَﻰ ﺑَﺮِﻳْﻖِ ﺳَﺎﻗَﻴْﻪِ
" Saya melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memakai baju merah, seakan-akan saya melihat putih kedua betis beliau ".
(HR. Al-Bukhari no 633).
Dari Abdullah ibnu 'Umar al-Kaththaab radhiallahu 'anhuma :
ﻋَﻦْ ﺍﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻗَﺎﻝَ : " ﺑَﻴْﻨََﺎ ﺭَﺟُﻞٌ ﻳَﺠُﺮُّ ﺇِﺯَﺍﺭَﻩُ ﺇِﺫْ ﺧُﺴِﻒَ ﺑِﻪِ , ﻓَﻬُﻮَ ﻳَﺘَﺠَﻠْﺠَﻞُ ﻓِﻲ ﺍﻷَﺭْﺽِ ﺇِﻝَ ﻳَﻮْﻡِ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ
" Dari ibnu 'Umar, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : " Tatkala seorang laki-laki sedang mengisbal (melebihi batas mata kaki) sarungnya, tiba-tiba bumi terbelah bersamanya., Maka diapun berguncang-guncang, tenggelam didalam bumi hingga hari Kiamat ".
(HR. Al-Bukhari no: 5790).
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu :
ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻣﺎ ﺃﺳﻔﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﻌﺒﻴﻦ ﻣﻦ ﺍﻹﺯﺍﺭ ﻓﻔﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ
" Dari Abi Hurairah radhiallahu ta’ala ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau bersabda : " Apa-apa yang berada dibawah mata kaki dari kain, maka tempatnya adalah dineraka...! ".
(HR. Al-Bukhari no. 5450, 5785, 5787 Ahmad no. 9936, Abdurrazzaq no 19987, Lihat : al-Misykâh no. 4314, 4331 dan yang lainnya).
Hadits ini larangan yang mutlak bermakna secara umum, yaitu dengan tegas mengatakan bahwa segala sesuatu dari kain yang dikenakan yang melebihi mata kaki adalah berdosa dan tempatnya dinereka jahanam (akibat dosa tersebut). Disini tidak ditunjukkan pembatasan (taqyid ) atas kesombongan. Objek yang dituju oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pakaian. Bukan pelakunya secara langsung.
Hadits Abu Dzarr radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺫﺭ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺛﻼﺛﺔ ﻻ ﻳﻜﻠﻤﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻭﻻ ﻳﻨﻈﺮ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻻ ﻳﺰﻛﻴﻬﻢ ﻭﻟﻬﻢ ﻋﺬﺍﺏ ﺃﻟﻴﻢ ﻗﺎﻝ ﻓﻘﺮﺃﻫﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺛﻼﺙ ﻣﺮﺍﺭ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺫﺭ ﺧﺎﺑﻮﺍ ﻭﺧﺴﺮﻭﺍ ﻣﻦ ﻫﻢ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻤﺴﺒﻞ ﻭﺍﻟﻤﻨﺎﻥ ﻭﺍﻟﻤﻨﻔﻖ ﺳﻠﻌﺘﻪ ﺑﺎﻟﺤﻠﻒ ﺍﻟﻜﺎﺫﺏ
Dari Abi Dzarr radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda : “ Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah dihari kiamat, tidak dilihat, dan tidak pula disucikan serta baginya adzab yang sanga pedih ”. Abu Dzar berkata : “ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya tiga kali ”. Kemudian Abu Dzarr bertanya : “ Sungguh sangat buruk dan meruginya mereka itu wahai Rasulullah ? ”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ (Mereka adalah) Musbil (orang yang melakukan isbal / kain melebihi batas mata kaki)), orang yang gemar mengungkit-ungkit kebaikan yang telah diberikan, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu ”.
(HR. Imam Muslim no. 106, Abu Dawud no. 4087, at-Tirmidzi no. 1211, dan yang lainnya).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
ﺍﺭْﻓَﻊْ ﺇِﺯَﺍﺭَﻙَ ﺇِﻟَﻰ ﻧِﺼْﻒِ ﺍﻟﺴَّﺎﻕِ ﻓَﺈِﻥْ ﺃَﺑَﻴْﺖَ ﻓَﺈِﻟَﻰ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﻴْﻦِ ﻭَﺇِﻳَّﺎﻙَ ﻭَﺇِﺳْﺒَﺎﻝَ ﺍﻹِﺯَﺍﺭِ ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﺨِﻴﻠَﺔِ ﻭَﺇِﻥَّ ﺍ ﻻَ ﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟْﻤَﺨِﻴﻠَﺔَ
“ Angkat sarung mu hingga pertengahan betis, apabila engkau enggan, sampai (atas) mata kaki, waspadalah engkau dari isbal sarung, karena hal itu adalah kesombongan, dan Allah subhanahu wata’ala tidak menyukai kesombongan ”.
(Shahih lighairihi , HR. Abu Dawud no. 4084 dan Ahmad 5/63).
Dari sahabat Abdullah ibnu 'Umar radhiallahu anhuma, ia berkata :
ﻣَﺮَﺭْﺕُ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﻓِﻲ ﺇِﺯَﺍﺭِﻱ ﺍﺳْﺘِﺮْﺧَﺎﺀٌ ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﻳَﺎ ﻋَﺒْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﺭْﻓَﻊْ ﺇِﺯَﺍﺭَﻙَ ! ﻓَﺮَﻓَﻌْﺘُﻪُ. ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ : ﺯِﺩْ ! ﻓَﺰِﺩْﺕُ . ﻓَﻤَﺎ ﺯِﻟْﺖُ ﺃَﺗَﺤَﺮَّﺍﻫَﺎ ﺑَﻌْﺪُ. ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺑَﻌْﺾُ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡِ : ﺇِﻟَﻰ ﺃَﻳْﻦَ؟ ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﺃَﻧْﺼَﺎﻑِ ﺍﻟﺴَّﺎﻗَﻴْﻦِ
“ Aku (ibnu 'Umar) pernah melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara kain sarungku terjurai (sampai ke tanah). Beliau pun bersabda : “ Hai Abdullah, naikkan sarungmu...!”. Aku pun langsung menaikkan kain sarungku. Setelah itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “ Naikkan lagi...!”. Aku naikkan lagi. Sejak itu aku selalu menjaga agar kainku setinggi itu ”. Ada beberapa orang yang bertanya : “ Sampai dimana batasnya...? ”. Ibnu 'Umar menjawab : “ Sampai pertengahan kedua betis ”.
(HR. Muslim no. 2086).
Dari Mughirah bin Syu’bah radhiallahu’anhu beliau berkata :
ﺭﺃﻳﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﺧﺬ ﺑﺤﺠﺰﺓ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺳﻬﻞ ﻓﻘﺎﻝ ﻳﺎ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﻻ ﺗﺴﺒﻞ ﺇﺯﺍﺭﻙ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳﺤﺐ ﺍﻟﻤﺴﺒﻠﻴﻦ
“ Aku melihat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mendatangu kamar Sufyan bin Abi Sahl, lalu beliau berkata : " Wahai Sufyan, janganlah engkau isbal (menjulurkan kain/pakaian melebihi batas mata kaki) . Karena Allah tidak mencintai orang-orang yang musbil (isbal/ menjulurkan kain/pakaian) ”.
(HR. Ibnu Maajah ll/1183 no.2892, 3574 dihasankan Syaikh al-Albani dalam shahih ibnu Majah dan dalam as-Shahihah no 4004).
Dan hadits Hudzaifah radhiallahu 'anhu, berkata :
ﻋﻦ ﺣﺬﻳﻔﺔ ﻗﺎﻝ ﺃﺧﺬ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﻌﻀﻠﺔ ﺳﺎﻗﻲ ﺃﻭ ﺳﺎﻗﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﻫﺬﺍ ﻣﻮﺿﻊ ﺍﻹﺯﺍﺭ ﻓﺈﻥ ﺃﺑﻴﺖ ﻓﺄﺳﻔﻞ ﻓﺈﻥ ﺃﺑﻴﺖ ﻓﻼ ﺣﻖ ﻟﻺﺯﺍﺭ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﻌﺒﻴﻦ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﻋﻴﺴﻰ ﻫﺬﺍ ﺣﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦ ﺻﺤﻴﺢ
" Dari Hudzaifah radlhiallahu ‘anhu ia berkata : “ Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memegang urat betisku”. Maka beliau bersabda : “ Ini adalah batas panjang kain sarungmu. Apabila engkau enggan, maka boleh dibawahnya. Dan jika engkau enggan, maka tidak ada hak bagi kain sarung untuk melebihi mata kaki ".
HR. Ath-Tirmidzi III/247 no. 1783, ibnu Majah II/1182 no 3572, dan beliau berkata : Ini adalah hadits hasan shahih. Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan ath-Tirmidzi juz : 2 hal. 290, V/481 no 2366 ).
Hadits ini juga merupakan pengharaman mutlak isbal, baik sombong maupun tidak sombong. Disitu tidak ada qarinah apa-apa yang menunjukkan pelarangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan kesombongan.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻧﻌﻢ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺧﺮﻳﻢ ﺍﻷﺳﺪﻱ ﻟﻮﻻ ﻃﻮﻝ ﺟﻤﺘﻪ ﻭﺇﺳﺒﺎﻝ ﺇﺯﺍﺭﻩ
" Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Sebaik-baik laki-laki adalah Khuraim al-Asadi jika saja dia tidak panjang rambutnya dan isbal kain sarungnya...! ”.
(HR. Ahmad no. 17659; hasan lighairihi).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
ﻧِﻌْﻢَ ﺍﻟَّﺠُﻞُ ﺧَﺮِﻳْﻢ ﺍﻷَﺳَﺪِﻱ ﻟَﻮْﻻ ﻃُﻮْﻝُ ﺟُﻤَّﺘِﻪِ ﻭَﺇِﺳْﺒَﺎﻝُ ﺇِﺯَﺍﺭِﻩ
" Sebaik-baik orang adalah Kharim al-Asadi, kalau bukan karena panjangnya jummahnya dan sarungnya yang isbal ".
(Berkata Syaikh Walid bin Muhammad : "Hadits hasan lighairihi, diriwayatkan oleh Ahmad [4/321,322,345] dari hadits Kharim bin Fatik al-Asadi. Dan pada isnadnya ada perawi yang bernama Abu Ishaq, yaitu as-Sabi'i dan dia adalah seorang Mudallis / ahli hadits, dan telah meriwayatkan hadits ini dengan 'an'anah. Hadits ini ada syahidnya (penguatnya) yaitu dari hadits Sahl bin al-Handzaliah yang diriwayatkan oleh Ahmad [4/179,180] dan Abu Dawud [4/348] dan pada sanadnya ada perawi yang bernama Qais bin Bisyr bin Qais ath-Thaglabi, dan tidak meriwayatkan dari Qais kecuali Hisyam bin Sa'd al-Madani. Abu Hatim berkata : " Menurut saya haditsnya tidak mengapa. Dan ibnu Hibban menyebutnya di ats-Tsiqat. Ibnu Hajar berkata tentang Hisyam : " Maqbul ", yaitu diterima haditsnya jika dikuatkan oleh riwayat yang lain dari jalan selain dia, dan jika tidak ada riwayat yang lain (mutaba'ah) maka haditsnya layyin. Dengan demikian derajat hadits ini adalah hasan lighairihi, Alhamdulillah. Dan hadits ini telah dihasankan oleh Imam an-Nawawi dalam Riadhus Shalihin ".
(Lihat : al-Isbal, hal. 13).
Hadits berikutnya, Dari 'Amr bin Syarid radhiallahu 'anhu berkata :
ﻋَﻦْ ﻋَﻤْﺮٍﻭ ﺑْﻦِ ﺍﻟﺸَّﺮِﻳْﺪِ ﻗَﺎﻝَ : ﺃَﺑْﻌَﺪَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺭَﺟُﻼً ﻳَﺠُﺮُّ ﺇِﺯَﺍﺭَﻩُ ﻓَﺄَﺳْﺮَﻉَ ﺇِﻟَﻴْﻪِ , ﺃَﻭْ ﻫَﺮْﻭَﻝَ ﻓَﻘَﺎﻝَ : " ﺍِﺭْﻓَﻊْ ﺇِﺯَﺍﺭَﻙَ ﻭَﺍﺗَّﻖِ ﺍﻟﻠﻪَ "! ﻗَﺎﻝَ ": ﺇِﻧﻲِّ ﺃَﺣْﻨَﻒَ ﺗَﺼْﻄَﻠِﻚُ ﺭُﻛْﺒَﺘَﺎﻱَ , ﻓَﻘَﺎﻝَ : "ﺍِﺭْﻓَﻊْ ﺇِﺯَﺍﺭَﻙَ ﻓَﺈِﻥَّ ﻛُﻞَّ ﺧَﻠْﻖِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺣَﺴَﻦٌ ." ﻓَﻤَﺎ ﺭُﺋِﻲَ ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﺑَﻌْﺪُ ﺇِﻻَّ ﺇِﺯَﺍﺭُﻩُ ﻳُﺼِﻴْﺐُ ﺃَﻧْﺼَﺎﻑَ ﺳَﺎﻗَﻴْﻪِ ﺃَﻭْ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﻧْﺼَﺎﻑَ ﺳَﺎﻗَﻴْﻪِ
" Dari 'Amr bin Syarid, berkata, " Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihat dari jauh seseorang yang menyeret sarungnya (ditanah), maka Nabi pun bersegera segera atau berlari kecil untuk menghampirinya. Lalu beliau berkata : " Angkatlah sarungmu dan bertaqwalah kepada Allah..! ". Maka orang tersebut memberitahu : " Kaki saya cacat, kedua lututku saling menempel ". Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tetap memerintahkan : " Angkatlah sarungmu, sesungguhnya seluruh ciptaan Allah indah ". (Setelah itu) orang tersebut tidak pernah terlihat lagi kecuali sarungnya sebatas pertengahan kedua betisnya ".
(HR. Ahmad IV/390 no 19490, 19493 , al-Humaidi
no. 810, ath-Thabarani di al-Mu’jam al-Kabiir VII/315 no 7238, VII/316 no 7241. Ath-Thahawi Bab Bayan Musykilah Maa Ruwiya ‘an Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam fii Dzikril-Fakhidzi Hal Huwa Minal ‘Aurah ? Al-Haitsami berkata dalam Majma’ az-Zawa’id V/124, dan para perawi Ahmad adalah para perawi ash-Shahih, dishahihkan oleh Syaikh al-Abani Lihat Silsilah ash-Shahihah no:1441).
Hadits ini menegaskan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tetap memerintahkan orang ini meski isbal bukan timbul dari rasa congkak, tetapi hanya bertujuan untuk menutupi kekurangannya karena cacat, bahkan Rasulullah tidak memberinya maaf. Bagaimana dengan kaki kita yang tidak cacat…?
tentunya kita malu dengan sahabat Rasulullah tersebut yang rela terlihat cacatnya demi melaksanakan Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meninggikan kain sarung orang tersebut diatas sangat tegas sama sekali tidak menunjukkan adanya ‘illat kesombongan. Pengingkaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dilakukan semenjak beliau melihat orang tersebut dari kejauhan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menanyakan kepada orang tersebut : “Apakah engkau melakukannya dengan sombong ? ”. Tegasnya, hadits ini adalah larangani adanya isbal biarpun tidak sombong.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersada :
ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﻗَﺎﻝَ :ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ : :" ﻣَﻦْ ﺟَﺮَّ ﺛَﻮْﺑَﻪُ ﺧُﻴَﻼﺀَ ﻟَﻢْ ﻳَﻨْﻈُﺮِ ﺍﻟﻠﻪُ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ," ﻓَﻘَﺎﻟَﺖْ ﺃُﻡُّ ﺳَﻠَﻤَﺔَ ": ﻓَﻜَﻴْﻒَ ﻳَﺼْﻨَﻌْﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀُ ﺑِﺬُﻳُﻮْﻟِﻬِﻦَّ ؟ " ﻗَﺎﻝَ ": ﻳُﺮْﺧِﻴْﻦَ ﺷِﺒْﺮﺍ ," ﻓَﻘَﺎﻟَﺖْ ":ﺇِﺫﺍًَ ﺗَﻨْﻜَﺸِﻒُ ﺃَﻗْﺪَﺍﻣُﻬُﻦَّ ," ﻗَﺎﻝَ ":ﻓَﻴُﺮْﺧِﻴْﻨَﻪُ ﺫِﺭَﺍﻋًﺎ ﻻ ﻳَﺰِﺩْﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ "
Dari ibnu 'Umar, beliau berkata : “ Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersada : " Barang siapa menjulurkan pakaiannya (ditanah) Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat ". - Ummu Salamah bertanya : " Apa yang harus dilakukan para wanita dengan ujung-ujung baju mereka ? ". - Rasulullah menjawab : " Mereka menurunkannya (dibawah mata kaki) hingga sejengkal ”. Kalau begitu akan tersingkap kaki-kaki mereka ". jelas Ummu Slamah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata (lagi) :, " Mereka turunkan hingga sehasta dan jangan melebihi kadar tersebut " .
(HR. Ath-Thirmidzi IV/223 no 1731 dan berkata : “ Ini adalah hadits hasan shahih ”, an-Nasa’i VIII/209 no. 5337 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani).
Ibnu Hajar Asqalani rahimahullah mengkritik Imam an Nawawi, yang berpandangan bahwa isbal hanya haram apabila disertai dengan kesombongan, dengan berkata :
"…Kalau memang demikian, untuk apa Ummu Salamah istifsar (bertanya) berulang kali kepada Nabi tentang hukum para wanita yang menjulurkan ujung-ujung baju mereka ?. Salah seorang Ummahatul Mukminin ini memahami bahwa isbal dilarang secara mutlaq baik karena sombong atau tidak, maka beliau pun menanyakan tentang hukum kaum wanita yang isbal lantaran mereka harus melakukannya untuk menutupi aurat mereka, sebab seluruh kaki perempuan adalah aurat. Maka Nabi pun menjelaskan, bahwa para wanita berbeda dengan kaum laki-laki dalam hukum larangan isbal…"
(Lihat : Fathul Baari 10/319).
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata :
" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengizinkan para wanita untuk isbal lebih dari sehasta karena tidak ada manfaat didalamnya (karena dengan isbal sehasta kaki-kaki mereka sudah tersembunyi), maka para lelaki lebih pantas dilarang untuk menambah (panjang celana mereka, karena tidak ada faedahnya sama sekali) ".
(Lihat : ash-Shahihah VI/409).
Ibnu Hajar Asqalani (Fathul Bari 10/319) berkata :
" Hadits Ummu Salamah ada syahidnya dari hadits ibnu 'Umar diriwayatkan oleh Abu Dawud melalui jalan Abu As-Siddiq dari ibnu 'Umar radhiallahu 'anhuma, beliau berkata :
ﺭَﺧَّﺺَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻷُﻣَّﻬَﺎﺕِ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴْﻦَ ﺷِﺒْﺮًﺍ ﺛُﻢَّ ﺍﺳْﺘَﺰَﺩْﻧَﻪُ
ﻓَﺰَﺍﺩَﻫُﻦَّ ﺷِﺒْﺮًﺍ
" Rasulullah memberi rukhsah (keringanan) bagi para Ummahatul mu'minin (istri-istri beliau untuk menurunkan ujung baju mereka) sepanjang satu jengkal, kemudian mereka meminta tambah lagi, maka Rasulullah mengizinkan mereka untuk menambah satu jengkal lagi ".
(HR Abu Dawud no 4119, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat juga as-Shahihah no 460). Perkataan ibnu 'Umar " Rasulullah memberi rukhsah " menunjukan bahwa hukum isbal pada asalnya haram, atau hukum menaikkan pakaian diatas mata kaki hukumnya adalah wajib. Karena kalimat " rukshah " (keringanan/dispensasi) biasanya digunakan untuk menjatuhkan hal-hal yang asalnya adalah wajib (atau untuk melakukan hal-hal yang asalnya terlarang) karena suatu sikon.
Hadits ini terdapat dalil tentang diharamkannya isbal baik dengan atau tanpa sombong. Asy-Syaikh Masyhur menjelaskan sebagai berikut :
ﺃﻧّﻪ ﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻛﺬﻟﻚ ﻟﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺍﺳﺘﻔﺴﺎﺭ ﺃﻡ ﺳﻠﻤﺔ ﻋﻦ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻨّﺴﺎﺀ ﻓﻲ ﺟﺮّ ﺫﻳﻮﻟﻬﻦّ ﻣﻌﻨﻰ ، ﺑﻞ ﻓﻬﻤﺖ ﺍﻟﺰّﺟﺮ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﺒﺎﻝ ﻣﻄﻠﻘﺎً ، ﺳﻮﺍﺀ ﻛﺎﻥ ﻋﻦ ﻣﺨﻴﻠﺔ ﺃﻡ ﻻ ، ﻓﺴﺄﻟﺖ ﻋﻦ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻻﺣﺘﻴﺎﺟﻬﻦّ ﺇﻟﻰ ﺍﻹﺳﺒﺎﻝ ﻣﻦ ﺃﺟﻞ ﺳﺘﺮ ﺍﻟﻌﻮﺭﺓ ، ﻷﻥ ﺟﻤﻴﻊ ﻗﺪﻣﻬﺎ ﻋﻮﺭﺓ ، ﻓﺒﻴّﻦ ﻟﻬﺎ : ﺃﻥ ﺣﻜﻤﻬﻦّ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﺧﺎﺭﺝ ﻋﻦ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﺮّﺟﺎﻝ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﻓﻘﻂ . ﻭﻗﺪ ﻧﻘﻞ ﻋﻴﺎﺽ ﺍﻹﺟﻤﺎﻉ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﻤﻨﻊ ﻓﻲ ﺣﻖِّ ﺍﻟﺮّﺟﺎﻝ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﻨّﺴﺎﺀ ، ﻭﻣﺮﺍﺩﻩ ﻣﻨﻊ ﺍﻹﺳﺒﺎﻝ ، ﻟﺘﻘﺮﻳﺮﻩ ﺃﻡ ﺳﻠﻤﺔ ﻋﻠﻰ ﻓﻬﻤﻬﺎ. ﻭﺍﻟﺤﺎﺻﻞ : ﺃﻥ ﻟﻠﺮﺟﻞ ﺣﺎﻟﻴﻦ : ﺣﺎﻝ ﺍﺳﺘﺤﺒﺎﺏ : ﻭﻫﻮ ﺃﻥ ﻳﻘﺘﺼﺮ ﺑﺎﻹﺯﺍﺭ ﻋﻠﻰ ﻧﺼﻒ ﺍﻟﺴّﺎﻕ . ﺣﺎﻝ ﺟﻮﺍﺯ : ﻭﻫﻮ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻜﻌﺒﻴﻦ . ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻟﻠﻨّﺴﺎﺀ ﺣﺎﻻﻥ : ﺣﺎﻝ ﺍﺳﺘﺤﺒﺎﺏ : ﻭﻫﻮ ﻣﺎ ﻳﺰﻳﺪ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺟﺎﺋﺰ ﻟﻠﺮّﺟﺎﻝ ، ﺑﻘﺪﺭ ﺍﻟﺸﺒﺮ . ﺣﺎﻝ ﺟﻮﺍﺯ : ﺑﻘﺪﺭ ﺍﻟﺬّﺭﺍﻉ . ﻭﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﺟﺮﻯ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﻣﻦ ﻓﻲ ﻋﻬﺪ ﻭﻣﺎ ﺑﻌﺪﻩ .
“ Bahwasannya apabila benar klaim mereka bahwa larangan isbal itu adalah karena sombong, pasti Ummu Salamah tidak akan meminta keterangan lagi tentang hukum para wanita yang memanjangkan bagian bawah pakaian mereka. Bahkan, yang dipahami oleh Ummu Salamah adalah bahwa isbal itu terlarang secara mutlak, baik karena sombong ataupun bukan karena sombong. Maka ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hukum wanita yang melakukan isbal untuk menutup aurat mereka. Hal itu dikarenakan seluruh bagian kaki adalah aurat. Oleh karena itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keterangan bahwa hukum isbal bagi wanita keluar (maksudnya : berbeda) dari hukum isbal bagi laki-laki. Dan ‘Iyadl telah menukil ijma’ bahwasannya larangan isbal itu hanya berlaku bagi laki-laki, tidak bagi para wanita. Maksudnya, isbal itu hanya berlaku pada laki-laki berdasarkan taqrir beliau atas pemahaman Ummu Salamah radhiallahu ‘anha.
Kesimpulannya, ada dua keadaan pakaian yang diperbolehkan bagi laki-laki :
A. Keadaan yang disukai (diSunnahkan), yaitu memendekkan kain sarung sampai pertengahan betis.
B. Keadaan yang diperbolehkan, yaitu keadaan panjang kain sarung hingga mata kaki (dan tidak boleh lebih).
Begitu pula bagi wanita ada dua keadaan :
A. Keadaan yang disukai (diSunnahkan), yaitu memanjangkan sejengkal dari batas yang diperbolehkan bagi laki-laki (maksudnya dipanjangkan sejengkal dibawah mata kaki).
B. Keadaan yang diperbolehkan, yaitu memanjangkan satu hasta (satu dzira’ )
(Lihat : Fathul-Baari 10/259).
Atas dasar inilah dipraktekkan oleh orang-orang dijaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau setelahnya.
(Lihat selengkapnya di al-Qaulul-Mubiin fii Akhthaail Mushalliin hal. 15 , Maktabah Al-Misykah).
Dari Ubaid bin Khalid rashiallahu 'anhu :
ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﺑﺎﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻳﻤﺸﻲ ﻓﺈﺫﺍ ﺭﺟﻞ ﻗﺎﻝ ﺍﺭﻓﻊ ﺇﺯﺍﺭﻙ ﻓﺈﻧﻪ ﺃﺑﻘﻰ ﻭﺃﺗﻘﻰ ﻓﻨﻈﺮﺕ ﻓﺈﺫﺍ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﻠﺖ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻧﻤﺎ ﻫﻲ ﺑﺮﺩﺓ ﻣﻠﺤﺎﺀ ﻗﺎﻝ ﺃﻣﺎ ﻟﻚ ﻓﻲ ﺃﺳﻮﺓ ﻓﻨﻈﺮﺕ ﻓﺈﺫﺍ ﺇﺯﺍﺭﻩ ﻋﻠﻰ ﻧﺼﻒ ﺍﻟﺴﺎﻕ
" Bahwasannya ia sedang berjalan diMadinah (dengan keadaan pakaiannya yang terjulur sampai ke tanah) dan ketika itu ada seseorang yang menegurku : “ Angkatlah kainmu, karena hal itu lebih baik dan lebih bertaqwa bagimu...! ”. Maku aku pun menoleh, dan ternyata orang tersebut adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka aku berkata : “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia hanyalah burdah bergaris saja ”. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Apakah engkau tidak menganggapku sebagai contoh...? ”. Maka aku melihat dan ternyata kain beliau sebatas pertengahan betis ”.
(HR. Ahmad no. 23136 dan Nasa’i dalam al-Kubra no. 9683; dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Musktashar asy-Syamail al-Muhammadiyyah no. 97 hal. 69– Maktabah al-Islamiyyah ‘Amman. Lihat hadits shahîh, Mukhtashar as-Syamâil no. 97)
Dalam hadits ini terdapat perintah untuk mencontoh atau meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berpakaian. Beliau juga tidak menebak-nebak apakah ‘Ubaid bin Khalid melakukannya secara sombong (sehingga menyebabkan beliau menegurnya). Hadits ini juga sekaligus membantah sebagian hujjah orang yang mengatakan bahwa hukum asal dari pakaian adalah boleh sehingga tidak mengapa isbal asal tidak sombong. Lihatlah, alasan ‘Ubaid yang dikemukakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “mirip” dengan alasan yang disampaikan kebanyakan orang.
Perkataan ‘Ubaid :
ﺇﻧﻤﺎ ﻫﻲ ﺑﺮﺩﺓ ﻣﻠﺤﺎﺀ
“ Sesungguhnya ia hanyalah burdah bergaris saja ” bukankah bisa kita qiyaskan dengan alasan :
“ Bukankah ia hanya perkara adat keduniawian saja ? ". (yang membolehkan didalamnya isbal asalkan tidak sombong). Ternyata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menerima alasan tersebut dan bahkan memerintahkan untuk mencontoh keadaan pakaian yang beliau shallallahu 'alaihi wa sallam kenakan.
Syaikh al-Albâni rahimahullah berkomentar mengenai hadits Abdullah ibnu 'Umar radhiallahu anhuma :
" Jika terhadap ibnu 'Umar radhiallahu anhuma , yang termasuk sahabat yang terkemuka dan paling bertakwa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata tidak mendiamkannya saat pakaian bawahnya menjulur (melewati mata kaki) dan beliau memerintahkannya untuk mengangkatnya; maka hal ini menunjukkan larangan isbâl (melebihi mata kaki) tidak terikat dengan niat sombong pelakunya. Seandainya menyaksikan sebagian da'i yang memanjangkan jubahnya atau celana bawahnya (hingga melewati mata kaki), pastilah beliau akan lebih mengingkarinya. Mereka tidak akan mampu membantah pengingkaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap mereka, dengan dalih tidak melakukannya dengan kesombongan, padahal dengan sengaja mereka melakukannya. Sebabnya ibnu 'Umar radhiallahu anhu yang sudah dikenal bersifat zuhud, lebih komitmen dengan Sunnah, tidak mengerjakannya dengan unsur kesombongan daripada mereka, akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap saja mengingkarinya. Ternyata sahabat ini bersegera menyambutnya. Apakah ada orang yang akan menyambutnya hari ini ? ".
(Lihat Muqaddimah Mukhtashar as-Syamâil hal. 10-11).
Khalifah 'Umar ibnu al-Khaththaab radhiallahu anhuma menyaksikan seorang pemuda datang kepadanya. Pemuda itu memuji 'Umar bin Khaththab radhiallahu anhuma. Saat ia berbalik untuk keluar, 'Umar radhiallahu anhu melihat pakaiannya menyentuh tanah. Maka dia menyuruh orang yang ada : " Panggillah kembali pemuda itu...". Ketika pemuda datang, maka 'Umar radhiallahu anhuma menasehati :
ﻳَﺎ ﺍﺑْﻦَ ﺃَﺧِﻲ ﺍﺭْﻓَﻊْ ﺛَﻮْﺑَﻚَ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﺃَﺑْﻘَﻰ ﻟِﺜَﻮْﺑِﻚَ ﻭَﺃَﺗْﻘَﻰ ﻟِﺮَﺑِّﻚَ
" Wahai anak saudaraku, angkatlah pakaianmu, itu lebih mengawetkan pakaianmu dan lebih menunjukkan ketaqwaanmu kepada Allah Azza wa Jalla ".
(HR. Al-Bukhâri no.3700).
Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu :
ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺳﻌﻴﺪ ﺍﻟﺨﺪﺭﻱ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﺯﺭﺓ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﺇﻟﻰ ﻧﺼﻒ ﺍﻟﺴﺎﻕ ﻭﻻ ﺣﺮﺝ ﺃﻭ ﻻ ﺟﻨﺎﺡ ﻓﻴﻤﺎ ﺑﻴﻨﻪ ﻭﺑﻴﻦ ﺍﻟﻜﻌﺒﻴﻦ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﺃﺳﻔﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﻌﺒﻴﻦ
ﻓﻬﻮ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﻣﻦ ﺟﺮ ﺇﺯﺍﺭﻩ ﺑﻄﺮﺍ ﻟﻢ ﻳﻨﻈﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻟﻴﻪ
" Dari Abi Sa’id al-Khudry radlhiallahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Sesungguhnya batas sarung seorang muslim adalah setengah betis dan tidak mengapa atau tidak berdosa jika berada diantara setengah betis dan mata kaki. Apabila dibawah mata kaki maka tempatnya dineraka. Dan barangsiapa menjulurkan sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihat kepadanya ”.
(HR. Abu Dawud no. 4093 dan ibnu Majah no. 3573. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam shahih Sunan Abi Dawud juz : 2 hal. 518).
Telah berkata al-‘Adhim ‘Abadi ketika mensyarah hadits tersebut :
ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻓﻴﻪ ﺩﻻﻟﺔ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﻤﺴﺘﺤﺐ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺇﺯﺍﺭ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﺇﻟﻰ ﻧﺼﻒ ﺍﻟﺴﺎﻕ ﻭﺍﻟﺠﺎﺋﺰ ﺑﻼ ﻛﺮﺍﻫﺔ ﻣﺎ ﺗﺤﺘﻪ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻜﻌﺒﻴﻦ , ﻭﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﺃﺳﻔﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﻌﺒﻴﻦ ﻓﻬﻮ ﺣﺮﺍﻡ ﻭﻣﻤﻨﻮﻉ .
" Hadits ini menunjukkan atas disukainya keadaan kain sarung seorang muslim sampai pada pertengahan betisnya. Dan diperbolehkan tanpa dibenci sampai dengan dua mata kaki. Dan apa-apa dibawah dua mata kaki, maka hal itu haram lagi terlarang ".
(Lihat : kitab ‘Aunul-Ma’bud , pada Kitabul-Libas, Bab Fii Qadri Maudli’i ‘Izar).
Hadits ini merupakan penjelas dari keterangan sebelumnya dalam hadits Abu Hurairah, Abu Dzarr, Ibnu ‘Umar, dan Hubaib radliyallaahu ‘anhum . Tidak bisa dikatakan bahwa pelarangan isbal itu hanya di-taqyid jika sombong saja. Jika ada seseorang yang memaksa untuk mengatakan seperti itu, maka makna hadits ini jadi janggal. Lafadzh :
ﻣﻦ ﺟﺮ ﺇﺯﺍﺭﻩ ﺑﻄﺮﺍ ﻟﻢ ﻳﻨﻈﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻟﻴﻪ
Dalam hadits tersebut seakan tidak berfungsi karena sudah ada taqyid kesombongan dikalimat sebelumnya yaitu pada :
ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﺃﺳﻔﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﻌﺒﻴﻦ ﻓﻬﻮ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ
Tentu saja perkataan ini tidak bisa diterima.
Dari Abu Juray Jabir bin Salim radhiallahu ‘anhu berkata :
ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺟﺮﻱ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﺳﻠﻴﻢ ﻗﺎﻝ ﺭﺃﻳﺖ ﺭﺟﻼ ﻳﺼﺪﺭ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻦ ﺭﺃﻳﻪ ﻻ ﻳﻘﻮﻝ ﺷﻴﺌﺎ ﺇﻻ ﺻﺪﺭﻭﺍ ﻋﻨﻪ ﻗﻠﺖ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﻫﺬﺍ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﻠﺖ ﻋﻠﻴﻚ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺮﺗﻴﻦ ﻗﺎﻝ ﻻ ﺗﻘﻞ ﻋﻠﻴﻚ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻓﺈﻥ ﻋﻠﻴﻚ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﺗﺤﻴﺔ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻗﻞ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻴﻚ ﻗﺎﻝ ﻗﻠﺖ ﺃﻧﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺃﻧﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺬﻱ ﺇﺫﺍ ﺃﺻﺎﺑﻚ ﺿﺮ ﻓﺪﻋﻮﺗﻪ ﻛﺸﻔﻪ ﻋﻨﻚ ﻭﺇﻥ ﺃﺻﺎﺑﻚ ﻋﺎﻡ ﺳﻨﺔ ﻓﺪﻋﻮﺗﻪ ﺃﻧﺒﺘﻬﺎ ﻟﻚ ﻭﺇﺫﺍ ﻛﻨﺖ ﺑﺄﺭﺽ ﻗﻔﺮﺍﺀ ﺃﻭ ﻓﻼﺓ ﻓﻀﻠﺖ ﺭﺍﺣﻠﺘﻚ ﻓﺪﻋﻮﺗﻪ ﺭﺩﻫﺎ ﻋﻠﻴﻚ ﻗﻠﺖ ﺍﻋﻬﺪ ﺇﻟﻲ ﻗﺎﻝ ﻻ ﺗﺴﺒﻦ ﺃﺣﺪﺍ ﻗﺎﻝ ﻓﻤﺎ ﺳﺒﺒﺖ ﺑﻌﺪﻩ ﺣﺮﺍ ﻭﻻ ﻋﺒﺪﺍ ﻭﻻ ﺑﻌﻴﺮﺍ ﻭﻻ ﺷﺎﺓ ﻗﺎﻝ ﻭﻻ ﺗﺤﻘﺮﻥ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﻭﺃﻥ ﺗﻜﻠﻢ ﺃﺧﺎﻙ ﻭﺃﻧﺖ ﻣﻨﺒﺴﻂ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺟﻬﻚ ﺇﻥ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﺭﻓﻊ ﺇﺯﺍﺭﻙ ﺇﻟﻰ ﻧﺼﻒ ﺍﻟﺴﺎﻕ ﻓﺈﻥ ﺃﺑﻴﺖ ﻓﺈﻟﻰ ﺍﻟﻜﻌﺒﻴﻦ ﻭﺇﻳﺎﻙ ﻭﺇﺳﺒﺎﻝ ﺍﻹﺯﺍﺭ ﻓﺈﻧﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺨﻴﻠﺔ ﻭﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳﺤﺐ ﺍﻟﻤﺨﻴﻠﺔ ﻭﺇﻥ ﺍﻣﺮﺅ ﺷﺘﻤﻚ ﻭﻋﻴﺮﻙ ﺑﻤﺎ ﻳﻌﻠﻢ ﻓﻴﻚ ﻓﻼ ﺗﻌﻴﺮﻩ ﺑﻤﺎ ﺗﻌﻠﻢ ﻓﻴﻪ ﻓﺈﻧﻤﺎ ﻭﺑﺎﻝ ﺫﻟﻚ ﻋﻠﻴﻪ
" Dari Abu Juray Jabir bin Salim radhiallahu ‘anhu ia berkata : " Aku melihat seorang laki-laki yang pemikirannya senantiasa diterima oleh rakyat banyak dan tidak ada seorang pun yang mengomentari ucapannya. Aku bertanya : “ Siapa ini ? ”. Mereka menjawab : “ Ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. Lalu aku katakan : “ Alaikas-Salaam ya Rasulullah ” . Sebanyak dua kali. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Jangan kamu ucapkan ‘alaikas-salaam, karena ucapan ‘alaikas-salaam itu adalah ucapan selamat terhadap orang yang mati. Tapi ucapkanlah : " Assalamu ‘alaika ” . Aku bertanya : “ Apakah engkau Rasulullah ? ”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “ Aku adalah Rasulullah (utusan Allah). Apabila kamu tertimpa marabahaya lalu berdo'a kepada-Nya, maka marabahaya tersebut akan lenyap darimu. Apabila daerahmu sedang dilanda kegersangan lalu kamu berdo'a kepada-Nya, maka bumimu akan kembali subur. Apabila kamu berada disebuah padang tandus lalu kendaraanmu hilang kemudian kamu berdo'a kepada-Nya, maka Dia akan mengembalikan kendaraanmu itu”. Aku katakan : “ Berikan kepadaku sebuah wasiat ”. Beliau bersabda : “ Jangan cela siapapun ” . Maka ia (Juray bin Salim) berkata : “ Maka mulai saat ini tidak ada seorang pun yang aku cela, baik orang merdeka, budak, unta, maupun kambing ”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Jangan engkau sepelekan perbuatan baik walau sedikit. Berbicaralah kepada saudaramu dengan wajah berseri-seri sebab hal itu juga sebuah kebaikan. Angkat kain sarungmu hingga setengah betis. Jika engkau enggan, maka julurkan persis diatas mata kaki. Janganlah kamu melakukan isbal, sebab isbal itu termasuk perbuatan sombong (al-makhillah). Sesungguhnya Allah tidak mencintai kesombongan. Apabila ada seseorang yang mencela atau mencacimu dengan sesuatu yang ia ketahui dari dirimu, maka jangan engkau balas mencercanya dengan sesuatu yang engkau ketahui dari dirinya. Sebab, bencana tersebut hanya akan menimpa dirinya sendiri ”.
(HR. Abu Dawud no. 4084; dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud juz : 2 hal. 515-516).
Mari perhatikan kalimat :
ﻭﺍﺭﻓﻊ ﺇﺯﺍﺭﻙ ﺇﻟﻰ ﻧﺼﻒ ﺍﻟﺴﺎﻕ ﻓﺈﻥ ﺃﺑﻴﺖ ﻓﺈﻟﻰ ﺍﻟﻜﻌﺒﻴﻦ ﻭﺇﻳﺎﻙ ﻭﺇﺳﺒﺎﻝ ﺍﻹﺯﺍﺭ ﻓﺈﻧﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺨﻴﻠﺔ ﻭﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳﺤﺐ ﺍﻟﻤﺨﻴﻠﺔ } “Angkat
" Kain sarungmu hingga setengah betis. Jika engkau enggan, maka julurkan persis diatas mata kaki. Janganlah kamu melakukan isbal, sebab isbal itu termasuk perbuatan sombong (al-makhillah). Sesungguhnya Allah tidak mencintai kesombongan ”.
Disini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menyebut tiga keadaan kain sarung. Dua diperbolehkan, dan satu dilarang. Dua diperbolehkan yaitu keadaan setengah betis; dan keadaan dijulurkan sampai batas maksimal mata kaki. Ini adalah penegasan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : irfa’ izaarak !! . Kemudian dua keadaan yang diperbolehkan tersebut diikuti dengan satu keadaan yang tidak diperbolehkan, yaitu melebihi batas kaki dengan kalimat larangan : " wa iyyaaka wa isbaala " (Janganlah/jauhilah kamu dari melakukan isbal ).
Kalimat ini adalah kalimat larangan muthlaq tanpa ada indikasi kebolehan jika tanpa kesombongan. Jikalau mau ditartibkan keadaan kain dalam wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah :
¯ Sampai pertengahan betis (dianjurkan).
¯ Dijulurkan sampai mata kaki (diperbolehkan).
¯ Melebihi mata kaki (dilarang).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan tartib :
¯ Sampai pertengahan betis (dianjurkan).
¯ Dijulurkan sampai mata kaki (diperbolehkan).
¯ Melebihi mata kaki jika sombong (dilarang).
Kalaupun misal keadaan isbal tanpa sombong itu diperbolehkan, tentu ia akan disebutkan secara gamblang dalam hadits tersebut dan juga dalam
hadits-hadits lain. Tapi ternyata tidak, Ini menunjukkan bahwa keadaan kain lebih dari mata kaki itu memang keadaan kain yang dilarang/diharamkan. Bahkan dalam hadits diatas disebutkan bahwa isbal tersebut merupakan hakikat kesombongan, baik si pelakunya berniat untuk sombong atau tidak sombong.
Dalil ini secara sharih menolak pendapat yang mengatakan isbal itu boleh asal tidak sombong.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu :
ﺍﻻﺯﺍﺭ ﺇﻟﻰ ﻧﺼﻒ ﺍﻟﺴﺎﻕ ﺃﻭ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻜﻌﺒﻴﻦ ، ﻻ ﺧﻴﺮ ﻓﻴﻤﺎ ﻫﻮ ﺃﺳﻔﻞ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ
“ Panjang kain sarung itu sampai pertengahan betis atau sampai dua mata kaki. Tidak ada kebaikan terhadap apa saja yang melebihi itu (yaitu melebihi dua mata kaki)”.
(Lihat : Al-Mushannaf ibnu Abi Syaibah juz : 6 hal. 29 dengan sanad shahih).
Ibnu Muflih rahimahullah berkata :
" al-Imam Imam Ahmad rahimahullah berkata : " yang panjangnya dibawah mata kaki tempatnya adalah neraka, tidak boleh menjulurkan sedikitpun bagian dari pakaian melebihi itu. Perkataan ini zhahirnya adalah pengharaman ".
(Lihat al-Adab asy Syari’ah, 3/492).
Ini juga pendapat yang dipilih oleh al-Qadhi ‘Iyadh, ibnul ‘Arabi ulama madzhab al-Imam al-Maliki, dan dari madzhab al-Imam asy-Syafi’i ada adz Dzahabi dan ibnu Hajar al-Asqalani cenderung menyetujui pendapat beliau. Juga merupakan salah satu pendapat al-Imam Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah, pendapat madzhab Zhahiriyyah, ash Shan’ani, serta para ulama dimasa ini yaitu Syaikh ibnu Baaz, al-Albani, ibnu ‘Utsaimin.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ﻻََ ﻳَﻨْﻈُﺮُ ﺍ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﻦْ ﺟَﺮَّ ﺇِﺯَﺍﺭَﻩُ ﺑَﻄَﺮًﺍ
“ Pada hari kiamat nanti, Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan melihat seseorang yang menjulurkan sarungnya karena sombong ".
(HR. Al-Bukhari no. 5785 dan Muslim no. 2087).
Hadits dari Jabir bin Sulaim radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ﺍﺭْﻓَﻊْ ﺇِﺯَﺍﺭَﻙَ ﺇِﻟَﻰ ﻧِﺼْﻒِ ﺍﻟﺴَّﺎﻕِ ﻓَﺈِﻥْ ﺃَﺑَﻴْﺖَ ﻓَﺈِﻟَﻰ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﻴْﻦِ ﻭَﺇِﻳَّﺎﻙَ ﻭَﺇِﺳْﺒَﺎﻝَ ﺍﻹِﺯَﺍﺭِ ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﺨِﻴﻠَﺔِ ﻭَﺇِﻥَّ ﺍ ﻻَ
ﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟْﻤَﺨِﻴﻠَﺔَ
“ Angkat sarung mu hingga pertengahan betis. Apabila engkau enggan, sampai (atas) mata kaki. Waspadalah engkau dari isbal sarung, karena hal itu adalah kesombongan, dan Allah subhanahu wa ta’ala tidak menyukai kesombongan ”.
(HR. Abu Dawud no. 4084 dan Ahmad 5/63 shahih).
Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ﺇِﺯْﺭَﺓُ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢ ﺇِِﻟَﻰ ﻧِﺼْﻒِ ﺍﻟﺴَّﺎﻕِ ﻭَﻻَ ﺣَﺮَﺝَ ﺃَﻭْ ﻻَ ﺟُﻨَﺎﺡَ - ﻓِﻴﻤَﺎ ﺑَﻴْﻨَﻪُ ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﻴْﻦِ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﺃَﺳْﻔَﻞَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﻴْﻦِ ﻓَﻬُﻮَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ، ﻣَﻦْ ﺟَﺮَّ ﺇِﺯَﺍﺭَﻩُ ﺑَﻄَﺮًﺍ ﻟَﻢْ ﻳَﻨْﻈُﺮِ ﺍﻟﻠﻪُ ﺇِﻟَﻴْﻪِ
“ Sarung seorang muslim sampai pertengahan betis dan tak mengapa antara itu dan kedua mata kaki. Adapun yang dibawah mata kaki tempatnya dineraka. Barang siapa yang menjulurkan (isbal) sarungnya karena sombong maka Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan melihat dia ”.
(HR. Abu Dawud no. 4093 shahih).
Asy-Syaikh shalih al-Fauzan rahimahullah berfatwa :
“ Tidak boleh bagi laki-laki menjulurkan (isbal) pakaiannya dibawah kedua mata kaki. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya dan mengancam dengan neraka, isbal termasuk dosa besar. Jika isbal dilakukan karena sombong dan
angkuh, dosanya lebih keras lagi. Adapun jika tidak ada unsur sombong dan angkuh, hukumnya juga haram karena keumuman larangan (dalam hadits) ”.
(Lihat : al-Muntaqa min Fatawa al-Fauzan 3/436).
Dari ibnu 'Umar radhiallahu 'anhu :
ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﻗَﺎﻝَ : ﻣَﻦْ ﺟَﺮَّ ﺛَﻮْﺑَﻪُ ﺧُﻴَﻼَﺀَ ﻟَﻢْ ﻳَﻨْﻈُﺮِ ﺍﻟﻠﻪُ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ , ﻗَﺎﻝَ ﺃَﺑُﻮْ ﺑَﻜْﺮٍ : ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ, ﺇِﻥَّ ﺃَﺣَﺪَ ﺷِﻘَّﻲْ ﺇِﺯَﺍﺭِﻱ ﻳَﺴْﺘَﺮْﺧِﻲ ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﻥْ ﺃَﺗَﻌَﺎﻫَﺪَ
ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻨْﻪُ . ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ : ﻟَﺴْﺖَ ﻣِﻤَّﻦْ ﻳَﺼْﻨَﻌُﻪُ ﺧُﻴَﻠَﺎﺀَ
" Dari ibnu 'Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, ” Barang siapa yang menyeret pakaiannya (ditanah) karena sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat.”, Abu Bakar mengeluh “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu sisi sarung (pakaian bawah) ku (melorot) turun (melebihi batas mata kaki) kecuali kalau aku (senantiasa) menjaga sarungku dari isbal”. Nabi
shallallahu ‘alihi wa sallam mengatakan :”Engkau bukan termasuk yang melakukannya karena sombong ".
(HR. Al-Bukhari no 5784)
Ibnu Hajar menjelaskan :
” Sebab isbalnya sarung Abu Bakar adalah karena tubuhnya yang kurus ”.
(Fathul Baari 10/314)
Ibnu Hajar menambahkan :
“ Pada riwayat Ma’mar yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (redaksinya):
ﺇِﻥَّ ﺇِﺯَﺍﺭِﻱ ﻳَﺴْﺘَﺮْﺧِﻲ ﺃَﺣْﻴَﺎﻧًﺎ
" Sesungguhnya sarungku terkadang turun ”.
(Fathul Baari 10/314)
Abu Bakar adalah orang yang kurus, jika beliau bergerak, berjalan atau melakukan gerakan yang lainnya, pakaian bawahnya (izar), melorot turun
tanpa disengaja. Namun jika beliau menjaga (memperhatikan) sarungnya maka tidak menjadi turun. Hadits ini menunjukan bahwa secara mutlak,
tidak masalah, sarung yang terjulur dibawah mata kaki kalau tanpa sengaja.
(Fathul Baari 10/314). Sebagaimana Rasulullah pernah mengisbal sarung beliau tatkala tergesa-gesa untuk shlalat gerhana matahari.
Riwayat Abu Bakar ini adalah salah satu kerancuan dari orang-orang yang berdalil atas bolehnya berpakaian isbal, dimana Abu Bakar pernah menjulurkan celana hingga dibawah mata kaki. Bagaimana jika ada yang berdalil dengan perbuatan Abu Bakar, yang mana Abu Bakar dahulu pernah menjulurkan celana hingga dibawah mata kaki...?
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah pernah mendapat pertanyaan semacam ini, lalu beliau memberikan jawaban sebagai berikut :
Adapun yang berdalil dengan hadits Abu Bakar radhiallahu ‘anhu , maka kami katakan tidak ada baginya hujjah (pembela atau dalil) ditinjau dari dua sisi :
PERTAMA : Abu Bakar radhiallahu ‘anhu mengatakan,
” Sesungguhnya salah satu ujung sarungku biasa melorot kecuali jika aku menjaga dengan seksama ”.
Maka ini bukan berarti dia melorotkan (menjulurkan) sarungnya karena kemauan dia. Namun sarungnya tersebut melorot dan selalu dijaga. Orang-orang yang isbal (menjulurkan celana hingga dibawah mata kaki,) biasa menganggap bahwa mereka tidaklah menjulurkan pakaian mereka karena maksud sombong. Kami katakan kepada orang semacam
ini : Jika kalian maksudkan menjulurkan celana hingga
berada dibawah mata kaki tanpa bermaksud sombong, maka bagian yang melorot tersebut akan disiksa di neraka. Namun jika kalian menjulurkan celana tersebut dengan sombong, maka kalian akan disiksa dengan azab (siksaan) yang lebih pedih daripada itu yaitu Allah tidak akan berbicara dengan kalian pada hari kiamat, tidak akan melihat kalian, tidak akan mensucikan kalian dan bagi kalian siksaan yang pedih.
KEDUA , Sesungguhnya Abu Bakar sudah diberi tazkiyah (rekomendasi atau penilaian baik) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sudah diakui bahwa Abu Bakar tidaklah melakukannya karena sombong. Lalu apakah diantara mereka yang berperilaku seperti diatas (dengan menjulurkan celana dan tidak bermaksud sombong) sudah mendapatkan tazkiyah dan syahadah (rekomendasi) ?! Akan tetapi syaithan membuka jalan untuk sebagian orang agar mengikuti ayat atau hadits yang samar (dalam pandangan mereka,) lalu ayat atau hadits tersebut digunakan untuk membenarkan apa yang mereka lakukan. Allah-llah yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus kepada siapa yang Allah kehendaki. Kita memohon kepada Allah agar mendapatkan petunjuk dan ampunan .
(Lihat Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, Darul Aqidah, hal. 547-548).
Dari Abu Bakroh radhialllahu 'anhu menceritakan :
ﺧَﺴَﻔَﺖِ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ ﻭَﻧَﺤْﻦُ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ , ﻓَﻘَﺎﻡَ ﻳَﺠُﺮُّ ﺛَﻮْﺑَﻪُ ﻣُﺴْﺘَﻌْﺠِﻼً ﺣَﺘَّﻰ ﺃَﺗَﻰ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪَ
" Terjadi gerhana matahari dan kami sedang berada disisi Nabi, maka Nabi pun berdiri dalam keadaan mengisbal sarung beliau karena tergea-gesa, sampai memasuki masjid ".
(HR Al-Bukhari no 5785).
Ibnu Hajar as Qalani mengatakan :
“ Pada hadits ini (terdapat dalil) bahwa isbal (yang muncul) dengan alasan ketergesaan tidak termasuk dalam larangan ”.
(Lihat : al-Fath 10/314).
Dari hadits-hadits diatas sangat jelas bahwa celana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu terjaga berada diatas mata kaki sampai pertengahan betis, dan larangan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap orang yang pakaiannya melebihi dibawah mata kaki. Boleh bagi seseorang menurunkan celananya, namun dengan syarat tidak sampai menutupi mata kaki. Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai teladan terbaik bagi kita dan bukanlah professor atau doctor atau seorang master yang dijadikan teladan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
ﻟَﻘَﺪْ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻜُﻢْ ﻓِﻲ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃُﺳْﻮَﺓٌ ﺣَﺴَﻨَﺔٌ ﻟِﻤَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﺮْﺟُﻮ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﺍﻟْﺂَﺧِﺮَ ﻭَﺫَﻛَﺮَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ
“ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah ”.
(QS. Al-Ahzab [60] : 21).
Hal penting disini, bahwa ada ulama yang menyatakan hukum isbal ini adalah makruh seperti pernyataan Imam an Nawawi dan lainnya, mereka tidak pernah menyatakan bahwa hukum isbal adalah boleh kalau tidak dengan sombong. Jangan disalah pahami maksud ulama yang mengatakan demikian. Ingatlah bahwa para ulama tersebut hanya menyatakan makruh dan bukan menyatakan boleh berisbal. Ini yang banyak salah dipahami oleh sebagian orang yang mengikuti pendapat mereka. Maka hendaklah perkara makruh itu dijauhi, jika memang kita masih memilih pendapat yang lemah tersebut. Janganlah terus-menerus dalam melakukan yang makruh. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua.
Marilah Mengagungkan dan Melaksanakan Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
ﻣَﻦْ ﻳُﻄِﻊِ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝَ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﻃَﺎﻉَ ﺍﻟﻠَّﻪَ
“ Barangsiapa yang menta’ati Rasul, sesungguhnya ia telah menta’ati Allah ”.
(QS. An Nisa’ [4] : 80).
Allah Ta’ala berfirman :
ﻓَﻠْﻴَﺤْﺬَﺭِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺨَﺎﻟِﻔُﻮﻥَ ﻋَﻦْ ﺃَﻣْﺮِﻩِ ﺃَﻥْ ﺗُﺼِﻴﺒَﻬُﻢْ ﻓِﺘْﻨَﺔٌ ﺃَﻭْ ﻳُﺼِﻴﺒَﻬُﻢْ ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﺃَﻟِﻴﻢٌ
“ Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih ”.
(QS. An Nur [24] : 63).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
ﻭَﺇِﻥْ ﺗُﻄِﻴﻌُﻮﻩُ ﺗَﻬْﺘَﺪُﻭﺍ ﻭَﻣَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝِ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟْﺒَﻠَﺎﻍُ ﺍﻟْﻤُﺒِﻴﻦُ
“ Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang ”.
(QS. An Nur [24] : 54).
Hal ini juga dapat dilihat dalam hadits al-‘Irbadh bin
Sariyah radhiallahu ‘anhu seolah-olah inilah nasehat
terakhir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati para sahabat
radhiallahu ‘anhum :
ﻓَﻌَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﺴُﻨَّﺘِﻰ ﻭَﺳُﻨَّﺔِ ﺍﻟْﺨُﻠَﻔَﺎﺀِ ﺍﻟﺮَّﺍﺷِﺪِﻳﻦَ ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻳِّﻴﻦَ ﻋَﻀُّﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺑِﺎﻟﻨَّﻮَﺍﺟِﺬِ
“ Berpegang teguhlah dengan Sunnahku dan Sunnah
khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah Sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian ”.
(HR. Abu Daud, ath Tirmidzi, ibnu Majah, ibnu Hibban. Ath Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shahih. Syaikh al-Albani mengatakan hadits ini shahih.
Lihat Shahih at Targhib wa at Tarhib no. 37).
Salah seorang khulafaur rasyidin dan manusia terbaik setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu mengatakan :
ﻟَﺴْﺖُ ﺗَﺎﺭِﻛًﺎ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَ ﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﻌْﻤَﻞُ ﺑِﻪِ ﺇِﻟَّﺎ ﻋَﻤِﻠْﺖُ ﺑِﻪِ ﺇِﻧِّﻲ ﺃَﺧْﺸَﻰ ﺇِﻥْ ﺗَﺮَﻛْﺖُ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮِﻩِ ﺃَﻥْ ﺃَﺯِﻳْﻎَ
” Aku tidaklah biarkan satupun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang ”.
(Lihat Shahih wa Dha’if Sunan Abi Daud, Syaikh al-Albani mengatakan bahwa atsar ini shahih).
LALU,SIAPA PARA PENCELA DAN PENYESAT UMAT YANG BERGENTAYANGAN DIBALIK PROPAGANDA DAN FITNAH " CELANA CINGKRANG " INI...?
Jawabannya adalah mereka orang-orang kafir Syi'ah Rafidhah laknatullah...!
Kenapa kaum kafir Syi'ah Rafidhah laknatullah...?
Bila kita menjumpai anjing-anjing menggonggong berwujud manusia yang mencela, menghina dan merendahkan orang-orang yang bercelana "cingkrang" maka ketahuilah bahwa dia tidak keluar dari dua kelompok makhluk ini :
1. Dia adalah orang jahil,yakni orang yang bodoh dan belum memahami agama dengan baik, untuk orang seperti ini maka harus dibimbing dan disampaikan ilmu agama padanya.
2. Dia adalah kaum kafir Syi'ah Rafidhah laknatullah, yaitu aliran SESAT dan sangat MENYESATKAN yang divonis KAFIR oleh seluruh Ulama dimuka bumi ini.
Kenapa kelompok kafir Syi'ah Rafidhah ini sangat benci dengan orang yang " Celana Cingkrang "...?
1. Hadits-hadits Rasulullah tentang larangan Isbal kebanyakan diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, sedangkan Syi'ah Rafidhah sangat membenci dengan Imam all-Bukhari dan Imam Muslim dan tidak menerima Riwayat-riwayat kedua Imam itu kecuali yang sesuai dengan hawa nafsu mereka.
2. Hadits-hadits tentang larangan Isbal diantaranya datang dari seorang sahabat Abu Hurairah radhiallahu'anhu, seorang sahabat Nabi yang mulia yang sangat dibenci oleh kelompok Syi'ah Rafidhah ini, karena Syi'ah Rafidhah mengkafirkan para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam salah satunya adalah Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, salah seorang sahabat mulia yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi, dan juga karena Syi'ah Rafidhah menganggap bahwa Abu Hurairah adalah manusia terkutuk bayaran Mu'awiyah Bin Abi Sufyan.
3. Kisah yang sangat terkenal dari sahabat 'Umar ibnu al-Khathab radhiallahu'anhuma yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab shahihnya dari Amr Bin Maimun, sebagaimana haditsnya yang telah dipaparkan diatas.
Suatu hari ketika 'Umar ibnu al-Khathab menjelang wafatnya saat ditikam oleh orang Syi'ah Rafidhah yaitu Abu Lu'lu'ah al-Majusi, beliau sakit parah sampai tiga hari,lalu datanglah seorang tabib (ahli pengibatan) untuk memeriksa keadaan beliau radhiallahu 'anhuma, lalu sang tabib meminumkan secangkir susu ke mulut 'Umar radhiallahu'anhu, akan tetapi susu itu justru tumpah membasahi luka bekas tikaman si anjing Majusi Abu Lu'lu'ah al-Mal'un itu. Lalu sang tabib memprediksikan bahwa keadaan beliau sudah tidak lama lagi. Sehingga datanglah kaum muslimin untuk menyalami 'Umar ibnu al-Khathab dan mengucapkan salam dan do'a untuk beliau.dan diantara orang-orang itu ada seorang pemuda yang datang mencium 'Umar dan berkata :
" Bergembiralah wahai Amirul-Mukminin dengan kabar gembira dari Allah, karena menjadi sahabat Rasulullah dan jasa baikmu dalam Islam yang telah engkau ketahui. Kemudian engkau memegang kepemimpinan dan engkau berbuat adil serta meraih mati Syahid ". 'Umar berkomentar : " Aku berharap itu cukup. Tidak menjadi bebanku atau menjadi milikku ".
Saat pemuda itu berbalik untuk keluar, dan 'Umar melihat pakaian pemuda itu melewati mata kaki (isbal), beliau pun dengan nada rendah dan sangat lemah menyuruh orang-orang yang disekitarnya : "Panggil kembali pemuda itu...Panggil kembali pemuda itu...! ". Ketika pemuda itu datang maka 'Umar menasihati pemuda itu dengan berkata :
ﻳَﺎ ﺍﺑْﻦَ ﺃَﺧِﻲ ﺍﺭْﻓَﻊْ ﺛَﻮْﺑَﻚَ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﺃَﺑْﻘَﻰ ﻟِﺜَﻮْﺑِﻚَ ﻭَﺃَﺗْﻘَﻰ ﻟِﺮَﺑِّﻚَ
" Wahai pemuda angkatlah pakaianmu, itu lebih dekat kepada taqwa, mensucikan hatimu. dan membersihkan pakaianmu ".
(HR. Al-Bukhari no. 3700).
Lalu pemuda itu mengatakan : " Jazaakallahu Khairan Yaa Amiral-Mukminiin..."
(Kisah ini terjadi saat 'Umar ibnu al-Khathab radhiallahu'anhuma dalam keadaan sakit parah setelah ditikam oleh tokoh Syi'ah Abu Lu'lu'ah al-Majusi.
Di Riwayatkan oleh Imam Bukhari no. 3700 dalam Kitab Shahihnya di Bab Manaaqibush-Shahabah dari Amr Bin Maimun).
Inilah sebab berikutnya mengapa Syi'ah Rafidhah sangat membenci "Celana Cingkrang" dan bahkan sering menghina serta mengolok-olok "celana cingkrang", karena disamping "celana cingkrang" itu perintah Rasulullah, ia juga merupakan perintah 'Umar ibnu al-Khathab radhiallahu'anhu, sahabat terbaik dan mulia Rasulullah yang berhasil menaklukkan Imperium Persia Majusi. Dan sudah sangat kita maklumi bahwa Syi'ah Rafidhah SANGAT MEMBENCI 'Umar ibnu al-Khathab dan bahkan mengkafirkannya. Oleh karena itu mereka menolak Hadits-hadits Rasulullah dan Riwayat-riwayat tentang larangan isbal karena yang meriwayatkannya diantaranya adalah sahabat-sahabat mulia yang sangat dibenci oleh Syi'ah Rafidhah yaitu Abu Hurairah dan 'Umar ibnu al-Khathab radhiallahu'anhuma.
Oleh karena itu, hanya orang-orang Syi'ah Rafidhah yang anti dan sangat benci dengan "Celana Cingkrang", bahkan mereka meng-identikkan bahwa "celana cingkrang" adalah " TERORIS ". Tujuannya agar Umat muslim menjauhi Sunnahnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan Sunnah para Sahabat-sahabatnya.
Sebaiknya kaum muslimin dalam hal ini, bagi mereka yang bercelana isbal (melebihi batas mata kaki) tidak mencela dan menghina kepada saudaranya yang bercelana cingkrang, karena mereka harus tahu bahwa itu adalah Sunnah Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam. Begitupun sebaliknya, bagi yang bercelana cingkrang untuk tidak bermudah-mudah mencela mereka yang celana isbal, dengan mengatakan mereka tidak syar'i, tidak taqwa dan lainnya, tapi hendaknya menjelaskan bahwa pakaian isbal sebenarnya tetap dilarang walaupun tanpa kesombongan, karena pakaian diatas mata kaki adalah pakaian sebagaimana yang dikenakan Rasulullah dan para sahabatnya. Janganlah kita seperti kaum Syi'ah Rafidhah laknatullah yang sangat benci dengan Sunnah Nabi dan anti dengan Sahabat Nabi.
Intinya,mengenakan kain diatas mata kaki adalah murni Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang melaksanakannya maka ia telah
tunduk kepada perintah Nabi dan barangsiapa yang mencelanya maka ia ingkar terhadap hadits Nabi.
Demikian semoga bermanfaat.
Sabtu, 06 September 2014
Rabu, 30 Juli 2014
HUKUM DO'A QUNUT SHUBUH
Meladzimkan do'a Qunut dalam shalat Shubuh secara terus menerus menurut pendapat yang paling shahih adalah bukan merupakan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini berdasarkan beberapa hadits shahih berikut ini:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﻨﻴﻊ ﺃﺧﺒﺮﻧﺎ ﻳﺰﻳﺪ ﺑﻦ ﻫﺎﺭﻭﻥ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻣﺎﻟﻚ ﺍﻷﺷﺠﻌﻲ ﻗﺎﻝ : ﻗﻠﺖ ﻷﺑﻲ : ﻳﺎ ﺃﺑﺖ ﺇﻧﻚ ﻗﺪ ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻭﻋﻤﺮ ﻭﻋﺜﻤﺎﻥ ﻭﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻃﺎﻟﺐ ﻫﺎﻫﻨﺎ ﺑﺎﻟﻜﻮﻓﺔ، ﻧﺤﻮﺍ ﻣﻦ ﺧﻤﺲ ﺳﻨﻴﻦ، ﺃﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻘﻨﺘﻮﻥ؟ ﻗﺎﻝ : ﺃﻱ ﺑﻨﻲ ﻣﺤﺪﺙ .
"Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Manii’: Telah mengkhabarkan kepada kami Yaziid bin Harun, dari Abu Malik al-Asyja’iy, ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada ayahku: ‘Wahai ayahku, engkau pernah shalat dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, dan Ali disini, yaitu diKufah selama kurang lebih lima tahun. Apakah mereka semua melakukan Qunut ?”. Ayahku menjawab: “Wahai anakku, itu adalah perbuatan muhdats". (perkara baru yang tidak pernah mereka lakukan).
(Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 402, dan ia berkata: “Hadits ini hasan shahih”. Diriwayatkan juga oleh Ahmad 3/472, ibnu Majah no. 1241, ath-Thabarani dalam al-Kubra 8/378 no. 8178, ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil-Atsar 1/249, adl-Dliyaa’ dalam al-Mukhtarah 8/97 & 98 no. 101 dan 104, dan al-Mizzi dalam Tahdzibul-Kamaal 13/334-335 dari jalan Yazid bin Harun, dari Abu Malik al-Asyja’i).
Dalam lafadzh ath-Thahawi. disebutkan:
ﻗﻠﺖ ﻷﺑﻲ : ﻳﺎ ﺃﺑﺖ، ﺇﻧﻚ ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺧﻠﻒ ﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻭﺧﻠﻒ ﻋﻤﺮ ﻭﺧﻠﻒ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﻭﺧﻠﻒ ﻋﻠﻲ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻢ ﻫﻬﻨﺎ ﺑﺎﻟﻜﻮﻓﺔ، ﻗﺮﻳﺒﺎ ﻣﻦ ﺧﻤﺲ ﺳﻨﻴﻦ، ﺃﻓﻜﺎﻧﻮﺍ ﻳﻘﻨﺘﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ؟ . ﻓﻘﺎﻝ : ﺃﻱ ﺑﻨﻲ، ﻣﺤﺪﺙ .
"Aku bertanya kepada ayahku: “Wahai ayahku, sesungguhnya engkau pernah shalat dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, dan Ali disini di Kufah hampir selama lima tahun. Apakah mereka semua melakukan Qunut diwaktu (shalat) Shubuh ?”. Ayahku menjawab: “Wahai anakku, itu adalah perbuatan muhdats (mengada-ada)".
Yazid bin Harun mempunyai mutaba’ah dari:
1. Hafsh bin Ghiyats dan Abdullah bin Idris sebagaimana diriwayatkan oleh ibnu Abi Syaibah 2/308 [no. 7034 & 7036[, ibnu Majah no. 1241, ath-Thabarani 8/378 no. 8179, dan adl-Dliyaa’ dalam al-Mukhtarah 8/98 no. 105 [shahih].
2. Khalaf bin Khalifah sebagaimana diriwayatkan Ahmad 6/394, an-Nasa’i 2/204 dan dalam al- Kubra 1/341 no. 671, dan ibnu Hibban no. 1989: dengan lafadzh sebagai berikut:
ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻭﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻭﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﻋﻤﺮ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻭﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻭﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﻋﻠﻲ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﺛﻢ ﻗﺎﻝ ﻳﺎ ﺑﻨﻲ ﺇﻧﻬﺎ ﺑﺪﻋﺔ .
“Aku shalat dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak Qunut. Aku shalat dibelakang Abu Bakar, ia tidak Qunut. Aku shalat dibelakang ‘Umar, ia tidak Qunut. Aku shalat dibelakang Utsman, ia tidak Qunut. Dan aku shalat dibelakang Ali, ia pun tidak Qunut”. Kemudian ayahku berkata: “Wahai anakku, ia adalah perbuatan bid’ah”.
3. Abu ‘Awaanah sebagaimana diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 403, ath-Thayalili no. 1425, ath-Thabarani dalam al-Kabir 8/378 no. 8177, al-Baihaqi 2/213, dan adl-Dliya’ 8/97-98 no. 102-103, ath-Thabarani dan adl-Dliya’ membawakan dengan lafadzh berikut:
ﺳﺄﻟﺖ ﺃﺑﻲ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻐﺪﺍﺓ ؟ ﻓﻘﺎﻝ : ﺃﻱ ﺑﻨﻲ ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻭﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻓﻠﻢ ﺃﺭ ﺃﺣﺪﺍ ﻣﻨﻬﻢ ﻳﻘﻨﺖ، ﺃﻱ ﺑﻨﻲ ﺑﺪﻋﺔ . ﻗﺎﻟﻬﺎ ﺛﻼﺛﺎ .
"Aku bertanya kepada ayahku tentang Qunut pada shalat Shubuh. Ia menjawab: “Wahai anakku, aku pernah shalat dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, namun aku tidak melihat salah seorang pun diantara mereka yang melakukan Qunut. Wahai anakku, itu adalah perbuatan Bid’ah”. Ia mengatakannya tiga kali.
4. Abu Mu’awiyyah sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bazzaar dalam al-Musnad no. 2766 dan al-Uqaili 2/484 no. 597. Lafadzh hadits ini mauquf namun dihukumi marfu’. Kesimpulan finalnya, hadits ini shahih, para perawinya tsiqat, dan sanadnya bersambung. Dishahihkan juga oleh al-Albani dalam Irwaul-Ghalil 2/182-183 no. 435, al-Wadi’i dalam al-Jami’ush-shahih mimma Laisa fish-Shahihain 2/147, al-Arna’uth dalam Takhrij Musnad al-Imam Ahmad 25/214, dan Basyar Awwad dalam Takhrij Sunan ibnu Majah 2/402-403.
Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan do'a Qunut dalam shalat Shubuh ini. Sedikit akan dipaparkan dibawah:
At-Tirmidzi rahimahullah setelah menyebutkan riwayat tentang Qunut Shubuh ini, beliau berkata:
ﻭﺍﺧﺘﻠﻒ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻔﺠﺮ، ﻓﺮﺃﻯ ﺑﻌﺾ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻔﺠﺮ . ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ . ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺣﻤﺪ، ﻭﺇﺳﺤﻖ : ﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﺇﻻ ﻋﻨﺪ ﻧﺎﺯﻟﺔ ﺗﻨﺰﻝ ﺑﺎﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ، ﻓﺈﺫﺍ ﻧﺰﻟﺖ ﻧﺎﺯﻟﺔ ﻓﻠﻺﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﺪﻋﻮ ﻟﺠﻴﻮﺵ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ .
“Para ulama berbeda pendapat mengenai Qunut shalat Shubuh. Sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka berpendapat (masyru’ -nya) Qunut pada shalat Shubuh. Itu merupakan perkataan asy-Syafi’i.
Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih berkata:
"Qunut tidak dilakukan pada shalat Shubuh, kecuali jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin. Jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin, maka imam mendo'akan (kebaikan/kemenangan) untuk pasukan kaum muslimin”.
ﻭﺍﻟﻌﻤﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﻋﻨﺪ ﺃﻛﺜﺮ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ . ﻭﻗﺎﻝ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ ﺇﻥ ﻗﻨﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻓﺤﺴﻦ، ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﺤﺴﻦ ﻭﺍﺧﺘﺎﺭ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻘﻨﺖ . ﻭﻟﻢ ﻳﺮ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻤﺒﺎﺭﻙ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ .
“(Hadits Abu Malik al-Asyja’i diatas) diamalkan oleh kebanyakan ulama. Sufyan ats-Tsauri berkata: "Apabila seseorang melakukan Qunut diwaktu shalat Shubuh, maka itu baik. Jika tidak melakukannya, itu pun baik’.
Ia (ats-Tsauri) memilih untuk tidak Qunut. Ibnul-Mubarak tidak berpendapat adanya Qunut pada shalat Shubuh”.
(Jaami’ at-Tirmidzi, 1/426-427).
Al-‘Uqaili rahimahullah berkata:
ﻭﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﻨﺖ ﺛﻢ ﺗﺮﻙ . ﻭﻫﺬﺍ ﻳﺬﻛﺮ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻢ ﻳﻘﻨﺖ .
“Dan yang benar menurut kami bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan Qunut, kemudian meninggalkannya. Hadits ini (yaitu hadits Abu Malik al-Asyja’i diatas ) menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan Qunut”.
(Adl-Dlu’afa’ , 2/484).
Abu Ja’far ath-Thahawi al-Hanafi rahimahullah berkata:
ﺇﻧﻤﺎ ﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺑﻠﻴﺔ ﻓﺈﻥ ﻭﻗﻌﺖ ﻓﺘﻨﺔ ﺃﻭ ﺑﻠﻴﺔ ﻓﻼ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ ﻓﻌﻠﻪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻱ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ
“Bahwasannya tidak dilakukan Qunut dalam shalat Shubuh disisi kami (madzhab Hanafiyyah) selain dikarenakan musibah. Apabila terjadi fitnah atau musibah, maka tidak mengapa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya, yaitu setelah rukuk”.
(Hasyiyyah ath-Thahthawi ‘ala Maraqil-Falah, hal. 377).
Abul-Husain asy-Syafi’i al-Yamani rahimahullah berkata:
ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ : ﺃﻥ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺼﺒﺢ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻟﺪﻫﺮ، ﻭﺑﻪ ﻗﺎﻝ ﻣﺎﻟﻚ، ﻭﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲ، ﻭﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻟﻴﻠﻰ، ﻭﺍﻟﺤﺴﻴﻦ ﺑﻦ ﺻﺎﻟﺢ، ﻭﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻋﻦ ﺍﻟﺨﻠﻔﺎﺀ ﺍﻷﺭﺑﻌﺔ، ﻭﺃﻧﺲ . ﻭﺫﻫﺐ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ، ﻭﺃﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ، ﻭﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﺇﻟﻰ : (ﺃﻧﻪ ﻏﻴﺮ ﻣﺴﻨﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺒﺢ ) ، ﻭﺭُﻭﻱَ ﺫﻟﻚ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ، ﻭﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ، ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ، ﻭﺃﺑﻲ ﺍﻟﺪﺭﺩﺍﺀ . ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﻳﻮﺳﻒ : ﺇﺫﺍ ﻗﻨﺖ ﺍﻹﻣﺎﻡ .....ﻓﺎﻗﻨﺖْ ﻣﻌﻪُ .....
“Dan Sunnah (dalam permasalahan ini): Melakukan Qunut pada shalat Shubuh menurut kami setiap waktu. Inilah yang dikatakan Malik, al-Auza’i, ibnu Abi Laila, al-Husain bin Shalih, dan diriwayatkan oleh asy-Syafi’i dari khalifah yang empat, dan Anas. Adapun ats-Tsauri, Abu Haniifah dan sahabat-sahabatnya berpendapat: Qunut tidak di Sunnahkan dalam shalat Shubuh. Diriwayatkan hal itu dari ibnu ‘Abbas, ibnu ‘Umar, ibnu Mas’ud, dan Abud-Darda’. Abu Yusuf berkata: “Apabila imam melakukan Qunut….maka Qunutlah bersamanya….”
(Al-Bayaan fii Madzhab asy-Syafi’i, 2/242-243).
Abul-Hasan al-Mardawi berkata ketika menerangkan posisi madzhab Ahmad bin Hanbal rahimahullah:
ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ : ﺃﻧﻪ ﻳﻜﺮﻩ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻛﻐﻴﺮﻫﺎ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﻭﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺟﻴﺰ : ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ . ﻗﻠﺖ : ﺍﻟﻨﺺ ﺍﻟﻮﺍﺭﺩ ﻋﻦ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻣﺤﺘﻤﻞ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ ﻭﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ
“Yang shahih dari madzhab: Bahwasannya Ahmad
memakruhkan Qunut diwaktu shalat Shubuh sebagaimana (kemakruhan melakukan Qunut) selain shalat witir. Inilah pendapat jumhur. Dan ia berkata dalam al-Wajiiz: ‘Tidak boleh melakukan Qunut dalam shalat Shubuh’. Aku berkata: "Nash yang ada dari al-Imam Ahmad: "tidak boleh Qunut dalam shalat Shubuh’ dibawa pada pengertian makruh tahrim".
(Al-Inshaf fii Ma’rifati-Rajih minal-Khilaf ‘ala Madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal , 2/174).
Ahmad Syakir rahimahullah berkata saat menyanggah perkataan Thariq bin Asyyam bahwasannya Qunut Shubuh adalah muhdats:
ﺛﺒﺖ ﻓﻲ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﺻﺤﻴﺤﺔ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺒﺢ، ﻭﻣﻦ ﺣﻔﻆ ﺣﺠﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺤﻔﻆ . ﻭﺍﻟﻤﺜﺒﺖ ﻣﻘﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺎﻓﻲ . ﻭﻫﻮ ﻧﻔﻞ ﻻ ﻭﺍﺟﺐ . ﻓﻤﻦ ﺗﺮﻛﻪ ﻓﻼ ﺑﺄﺱ، ﻭﻣﻦ ﻓﻌﻠﻪ ﻓﻬﻮ ﺃﻓﻀﻞ .
“Telah tetap dalam hadits-hadits shahih tentang (masyru’-nya) Qunut pada shalat Shubuh. Orang yang hapal merupakan hujjah bagi orang yang tidak hapal. Yang menetapkan lebih didahulukan dari yang meniadakan. Barangsiapa yang meninggalkannya, tidak mengapa. Dan barangsiapa yang mengerjakannya, maka itu afdhal (lebih utama)”.
(Syarh Sunan at-Tirmidzi, 2/252).
Menilik perkataan al-Imam Ahmad Syakir diatas, dan juga para ulama mutaqaddimin, memang benar ada beberapa hadits yang dianggap sebagai hujjah masyru’-nya (bolehnya) Qunut Shubuh secara terus-menerus. Diantaranya Apa yang telah dijadikan hujjah oleh madzhab Syafi’iyyah dan yang lainnya dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, sebagaimana dinukil oleh Abul-Husain asy-Syafi’i al-Yamani rahimahullah adalah hadits berikut ini:
ﻭﺣﺪﺛﻨﻲ ﻋﻤﺮﻭ ﺍﻟﻨﺎﻗﺪ ﻭﺯﻫﻴﺮ ﺑﻦ ﺣﺮﺏ . ﻗﺎﻻ : ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺇﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ﻋﻦ ﺃﻳﻮﺏ، ﻋﻦ ﻣﺤﻤﺪ . ﻗﺎﻝ : ﻗﻠﺖ ﻷﻧﺲ : ﻫﻞ ﻗﻨﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺼﺒﺢ؟ ﻗﺎﻝ : ﻧﻌﻢ . ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ ﻳﺴﻴﺮﺍ .
"Dan telah menceritakan kepadaku Amru an-Naqid dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami Isma'il, dari Ayyub, dari Muhammad, ia berkata: Aku bertanya kepada Anas: “Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan Qunut pada shalat Shubuh ?”. - Ia menjawab: “Benar, sebentar setelah rukuk”.
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 677 [298]. Diriwayatkan juga oleh al-Bukhari no. 1001, ibnu Majah no. 1184, Abu Dawud no. 1444, dan yang lainnya).
Akan tetapi, mari kita perhatikan jalan periwayatan yang lainnya dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu:
Riwayat pertama:
ﻭﺣﺪﺛﻨﻲ ﻋﺒﻴﺪﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻣﻌﺎﺫ ﺍﻟﻌﻨﺒﺮﻱ ﻭﺃﺑﻮ ﻛﺮﻳﺐ ﻭﺇﺳﺤﺎﻕ ﺑﻦ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ . ﻭﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪﺍﻷﻋﻠﻰ ( ﻭﺍﻟﻠﻔﻆ ﻻﺑﻦ ﻣﻌﺎﺫ ) ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺮ ﺑﻦ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ، ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻣﺠﻠﺰ، ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ : ﻗﻨﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺷﻬﺮﺍ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ . ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺼﺒﺢ . ﻳﺪﻋﻮ ﻋﻠﻰ ﺭﻋﻞ ﻭﺫﻛﻮﺍﻥ . ﻭﻳﻘﻮﻝ "ﻋﺼﻴﺔ ﻋﺼﺖ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ."
"Dan telah menceritakan kepadaku Ubaidullah bin Mu’adz al-Anbari, Abu Kuraib, Ishaq bin Ibrahim, Muhammad bin Abdil-A’la dan lafadzh hadits ini adalah milik ibnu Mu’adz: Telah menceritakan kepada kami al-Mu’tamir bin Sulaiman, dari ayahnya, dari Abu Mijlaz, dari Anas bin Malik: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan Qunut selama sebulan setelah rukuk dalam shalat Shubuh. Beliau mendo'akan keburukkan kepada Bani Ri’l, dan Bani Dzakwan, dan bersabda: “’Ushayyah telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”.
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 677 [299]. Diriwayatkan juga oleh al-Bukhari no. 1003:4094).
Riwayat kedua:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻤﺜﻨﻰ . ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪﺍﻟﺮﺣﻤﻦ . ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻫﺸﺎﻡ ﻋﻦ ﻗﺘﺎﺩﺓ، ﻋﻦ ﺃﻧﺲ؛ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﻨﺖ ﺷﻬﺮﺍ . ﻳﺪﻋﻮ ﻋﻠﻰ ﺃﺣﻴﺎﺀ ﻣﻦ ﺃﺣﻴﺎﺀ ﺍﻟﻌﺮﺏ . ﺛﻢ ﺗﺮﻛﻪ .
"Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna: Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman: Telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Qatadah, dari Anas: Bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan Qunut selama sebulan mendo'akan keburukkan kepada sebagian orang-orang Arab, kemudian beliau meninggalkannya”.
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 677 [304] Diriwayatkan pula oleh al-Bukhari no. 4089).
Riwayat ketiga:
ﺃﻧﺎ ﺃﺑﻮ ﻃﺎﻫﺮ ﻧﺎ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻧﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺮﺯﻭﻕ ﺍﻟﺒﺎﻫﻠﻲ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭﻱ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻋﺮﻭﺑﺔ ﻋﻦ ﻗﺘﺎﺩﺓ ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﺩﻋﺎ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﺃﻭ ﺩﻋﺎ ﻋﻠﻰ ﻗﻮﻡ
"Telah menceritakan kepada kami Abu Thahir: Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakar: Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Muhammad bin Marzuq al-Bahili: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdillah al-Anshari: Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Abi Arubah, dari Qatadah, dari Anas : Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan Qunut, kecuali jika mendo'akan kebaikan pada satu kaum atau mendo'akan keburukkan pada satu kaum”.
(Diriwayatkan oleh ibnu Khuzaimah no. 620; shahih).
Dari ketiga hadits diatas telah menjelaskan bahwa Qunut Shubuh yang dimaksudkan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu adalah do'a Qunut Nazilah (Do'a disaat ada musibah/karena sebab mendo'akan kebaikan dan keburukan suatu kaum) karena peristiwa Ri’l Ma’unah. Itupun tidak dilakukan terus-menerus, karena hanya dilakukan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selama sebulan dan kemudian beliau tinggalkan.
Lalu apakah do'a Qunut tersebut hanya dilakukan khusus pada shalat Shubuh saja ?
Perhatikan riwayat-riwayat berikut:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠّﻪ ﺑﻦ ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ ﺍﻟﺠﻤﺤﻲ، ﺛﻨﺎ ﺛﺎﺑﺖ ﺑﻦ ﻳﺰﻳﺪ، ﻋﻦ ﻫﻼﻝ ﺑﻦ ﺧﺒﺎﺏ، ﻋﻦ ﻋﻜﺮﻣﺔ، ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻗﺎﻝ : ﻗَﻨَﺖَ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠّﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠّﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺷﻬﺮﺍً ﻣﺘﺘﺎﺑﻌﺎً ﻓﻲ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﻭﺍﻟﻌﺼﺮ ﻭﺍﻟﻤﻐﺮﺏ ﻭﺍﻟﻌﺸﺎﺀ ﻭﺻﻼﺓ ﺍﻟﺼﺒﺢ ﻓﻲ ﺩﺑﺮ ﻛﻞ ﺻﻼﺓ ﺇﺫﺍ ﻗﺎﻝ : " ﺳﻤﻊ ﺍﻟﻠّﻪ ﻟﻤﻦ ﺣﻤﺪﻩ " ﻣﻦ ﺍﻟﺮﻛﻌﺔ ﺍﻵﺧﺮﺓ ﻳﺪﻋﻮ ﻋﻠﻰ ﺃﺣﻴﺎﺀ ﻣﻦ ﺑﻨﻲ ﺳﻠﻴﻢ ﻋﻠﻰ ﺭﻋﻞٍ ﻭﺫﻛﻮﺍﻥ ﻭﻋﺼﻴﺔ، ﻭﻳﺆﻣّﻦ ﻣﻦ ﺧﻠﻔﻪ .
"Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Mu’awiyyah al-Jumahi: Telah menceritakan kepada kami Tsabit bin Yazid, dari Hilal bin Khabbab, dari Ikrimah, dari ibnu Abbas, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan penuh pada shalat Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’, dan Shubuh pada akhir setiap shalat, yaitu saat beliau berkata: "sami’Allaahu liman hamidah" diraka’at terakhir. Beliau mendo'akan kejelekan pada orang-orang Bani Sulaim, Bani Ri’l, Bani Dzakwan, dan Bani Ushayyah; serta diaminkan orang-orang yang dibelakang beliau (makmum)”.
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1443: hasan).
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺛﻨﺎ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺛﻨﺎ ﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲ ﺣﺪﺛﻨﻲ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻛﺜﻴﺮ ﺣﺪﺛﻨﻲ ﺃﺑﻮ ﺳﻠﻤﺔ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ : ﻗﻨﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻌﺘﻤﺔ ﺷﻬﺮﺍ ﻳﻘﻮﻝ ﻓﻲ ﻗﻨﻮﺗﻪ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻧﺞ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻧﺞ ﺳﻠﻤﺔ ﺑﻦ ﻫﺸﺎﻡ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻧﺞ ﺍﻟﻤﺴﺘﻀﻌﻔﻴﻦ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺍﺷﺪﺩ ﻭﻃﺄﺗﻚ ﻋﻠﻰ ﻣﻀﺮ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺍﺟﻌﻠﻬﺎ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺳﻨﻴﻦ ﻛﺴﻨﻲ ﻳﻮﺳﻒ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻭﺃﺻﺒﺢ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺫﺍﺕ ﻳﻮﻡ ﻓﻠﻢ ﻳﺪﻉ ﻟﻬﻢ ﻓﺬﻛﺮﺕ ﺫﻟﻚ ﻟﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﻭﻣﺎ ﺗﺮﺍﻫﻢ ﻗﺪ ﻗﺪﻣﻮﺍ
"Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ibrahim: Telah menceritakan kepada kami al Walid: Telah menceritakan kepada kami al-Auza’i: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abi Katsir: Telah menceritakan kepadaku Abu Salamah bin Abdirrahman, dari Abu Hurairah: Bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan Qunut pada shalat ‘Atamah (Maghrib dan Isya’) selama sebulan dan berdo'a: “Ya Allah, selamatkanlah al-Walid bin al-Walid. Ya Allah, selamatkanlah Salamah bin Hisyam. Ya Allah, selamatkanlah orang-orang lemah dari kalangan mukminin. Ya Allah, keraskanlah tekanan (adzab) kepada Bani Mudlar. Ya Allah, jadikanlah hal itu terjadi atas mereka selama bertahun-tahun seperti pada masa Yusuf”. Abu Hurairah berkata: “Pada satu hari diwaktu Shubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lagi mendo'akan mereka. Maka aku pun menanyakan permasalahan itu pada beliau, lalu beliau bersabda: "Apa pendapatmu tentang mereka sementara mereka telah meninggal ?”.
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1442; shahih).
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻤﺜﻨﻰ . ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﻌﺎﺫ ﺑﻦ ﻫﺸﺎﻡ . ﺣﺪﺛﻨﻲ ﺃﺑﻲ ﻋﻦ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻛﺜﻴﺮ . ﻗﺎﻝ : ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺳﻠﻤﺔ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ؛ ﺃﻧﻪ ﺳﻤﻊ ﺃﺑﺎ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻳﻘﻮﻝ : ﻭﺍﻟﻠﻪ ! ﻷﻗﺮﺑﻦ ﺑﻜﻢ ﺻﻼﺓ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ . ﻓﻜﺎﻥ ﺃﺑﻮ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻈﻬﺮ . ﻭﺍﻟﻌﺸﺎﺀ ﺍﻵﺧﺮﺓ . ﻭﺻﻼﺓ ﺍﻟﺼﺒﺢ . ﻭﻳﺪﻋﻮ ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﻴﻦ . ﻭﻳﻠﻌﻦ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ
"Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna: Telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam: Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Yahya bin Abi Katsir, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Salamah bin Abdirrahman, bahwasannya ia pernah mendengar Abu Hurairah berkata: “Demi Allah, sungguh aku akan dekatkan kalian dengan shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Maka Abu Hurairah melakukan Qunut pada shalat Dhuhur, Isya’ yang akhir, dan Shubuh dengan mendo'akan kebaikan bagi kaum muslimin dan melaknat orang-orang kafir”.
(Diriwayatkan oleh Muslim no. 676 [296]).
Dari ketiga riwayat diatas ini dengan jelas menunjukkan bahwa do'a Qunut beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak hanya dilakukan diwaktu shalat Shubuh, akan tetapi dilakukan pula pada waktu-waktu shalat yang lain, dalam rangka untuk mendo'akan kebaikan kaum muslimin dan melaknat kaum kafir.
Ringkasnya, tidak ada pendalilan untuk hadits Anas diatas sebagai hujjah masyru’-nya do'a Qunut pada shalat Shubuh secara terus-menerus secara khusus.
Tidak dipungkiri memang, bahwa ada riwayat yang juga dari Anas bin Malik radhiallahu lainnya yang menjadi hujjah masyru’-nya do'a Qunut pada shalat Shubuh secara terus-menerus, riwayat inipun dijadikan sandaran oleh pihak untuk melegalisasi akan masyru'nya amalan ini, berikut riwayat tersebut:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺯﺍﻕ ﻗﺎﻝ ﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺟﻌﻔﺮ ﻳﻌﻨﻲ ﺍﻟﺮﺍﺯﻱ ﻋﻦ ﺍﻟﺮﺑﻴﻊ ﺑﻦ ﺃﻧﺲ ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻗﺎﻝ ﻣﺎ ﺯﺍﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﺣﺘﻰ ﻓﺎﺭﻕ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ
"Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far, yaitu ar-Razi, dari ar-Rabi’ bin Anas, dari Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan Qunut diwaktu Shubuh hingga meninggal dunia”.
(Diriwayatkan oleh Ahmad 3/162, Diriwayatkan juga oleh Abdurrazzaq no. 4963, ad-Daruquthni 2/370-372 no. 1692-1694, ibnu Abi Syaibah 2/312, al-Bazzaar dalam Kasyful-Astar no. 556, ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil-Atsar 1/244, al-Baihaqi 2/201, al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah no. 639, al-Hazimi dalam al-I’tibar hal. 86, adl-Dliya’ dalam al-Mukhtarah no. 2128; semuanya dari jalan Abu Ja’far ar-Razi. Al-Baihaqi berkata: “Sanad hadits ini shahih, para perawinya tsiqah”).
Keterangan: Perkataannya al-Baihaqi ini layak untuk dicermati keabsahannya,karena status hadits ini adalah dha'if (lemah), bahkan riwayatnya "Munkar". Riwayat Abu Ja’far ar-Razi ini tidak diterima jika menyendiri atau menyelisihi riwayat para perawi tsiqat, karena jeleknya hapalannya. Dalam riwayat ad-Daruquthni dibawakan dengan lafadzh:
ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﻨﺖ ﺷﻬﺮﺍ ﻳﺪﻋﻮﺍ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺛﻢ ﺗﺮﻛﻪ ﻭﺃﻣﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺒﺢ ﻓﻠﻢ ﻳﺰﻝ ﻳﻘﻨﺖ ﺣﺘﻰ ﻓﺎﺭﻕ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ
“Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan Qunut selama sebulan untuk mendo'akan kejelekan pada mereka, kemudian meninggalkannya. Adapun untuk (Qunut) pada shalat Shubuh, maka beliau senantiasa melakukannya hingga meninggal dunia”.
Riwayat Anas bin Malik yang dibawakan Abu Ja’far ini menyelisihi riwayat yang telah disebutkan diatas dari Anas yang menyebutkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya Qunut Nazilah selama sebulan kemudian berhenti.
(HR. Al-Bukhari no. 4089 dan Muslim no. 677).
Anas pun memberi kesaksian bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan do'a Qunut Shubuh kecuali do'a Qunut Nazilah untuk mendo'akan kebaikan atau keburukkan pada satu kaum.
(HR. Ibnu Khuzaimah no. 620).
Apalagi dalam hadits shahih riwayat dari ibnu Khuzaimah no. 619, bahwa ibnu Abbas telah menguatkan kesaksian tersebut. Oleh karena itu, riwayatnya dari Anas bin Malik yang dibawakan dari Abu Ja’far disini adalah riwayat yang "Munkar".
Ar-Rabi’ bin Anas mempunyai mutaba’ah dari:
1. Al-Hasan al-Bashri.
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺩﺍﻭﺩ ﻗﺎﻝ : ﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻣﻌﻤﺮ، ﻗﺎﻝ : ﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻮﺍﺭﺙ، ﻗﺎﻝ : ﺛﻨﺎ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﻋﺒﻴﺪ، ﻋﻦ ﺍﻟﺤﺴﻦ، ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ : ﺻﻠﻴﺖ ﻣﻊ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻠﻢ ﻳﺰﻝ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻐﺪﺍﺓ، ﺣﺘﻰ ﻓﺎﺭﻗﺘﻪ، ﻭﺻﻠﻴﺖ ﻣﻊ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻓﻠﻢ ﻳﺰﻝ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻐﺪﺍﺓ ﺣﺘﻰ ﻓﺎﺭﻗﺘﻪ .
"Telah menceritakan kepada kami ibnu Abi Dawud, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdul Warits, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Amru bin Ubaid, dari al-Hasan, dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka beliau senantiasa Qunut pada shalat Shubuh hingga meninggal dunia. Dan aku pun pernah shalat bersama 'Umar bin al-Khathab radhiallahu ‘anhuma, maka ia senantiasa Qunut pada shalat Shubuh hingga meninggal dunia”.
(Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil-Atsar, 1/243. Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi 2/202 dan ad-Daruquthni 2/372-373 no. 1695-1698).
Keterangan: Amru bin Ubaid at-Tamimi al-Bashri al-Mu’tazili menjadi penyakit utama dalam sanad hadits ini. Ia seorang yang "Matruk' sebagaimana yang dikatakan oleh Amru bin Ali dan Abu Hatim. Bahkan, Yunus bin Ubaid mengatakan ia telah memalsukan hadits. Humaid mengatakan Amru bin Ubaid at-Tamimi al-Bashri al-Mu’tazili ini telah memalsukan hadits dari al-Hasan al-Bashri. Mu’adz bin Mu’adz dan Ayyub mengatakan ia adalah seorang "Pendusta". Dan yang lainnya banyak sekali celaan dar para muhaddits (ahli hadits) terhadapnya dengan celaan-celaan yang berat.
(Selengkapnya lihat dalam: Tahdzibut-Tahdzib, 8/70-75 no. 108).
Kemudian riwayat dari Anas bin Malik lainnya yang menjadi sandaran untuk do'a Qunut Shubuh telah dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani dalam silsilah hadits adh Dha'ifah Wa Maudhu’ah no. 1238 hal. 384. Anas bin Malik radhiallahu 'anhu pernah berkata :
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan senantiasa Qunut Shubuh sampai beliau menuinggal dunia.”
Syaikh Hasan Mashur Salman mengomentari hadits ini yang bersumber dari Abu Ja’far ar Razi yang tercampur hafalannya, sebagaimana dikatakan oleh ibnu al-Madini begitu pula Abu Jur’ah beliau juga menyatakan Abu Ja’far Ar Razi adalah seorang yang sering ragu (wahm), dan ibnu Hibban berujar:”Abu Ja’far Ar Razi bersendirian dalam meriwayatkan hadits-hadits mungkar, yang masyhur sehingga derajat hadits ini tidak shahih, dengan demikian hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah untuk beribadah kepada Allah ta'ala.
(Lihat al-Qaulul Mubin fi Akhthaul Mushallin:127).
Maka, riwayat ini tidak layak untuk dijadikan hujjah untuk mereka yang membolehkan do'a Qunut Shubuh, karena haditsnya dha'iffun jiddan (sangat lemah), bahkan haditnya Maudhu' (palsu).
Ada jalur lain yang dibawakan oleh ad-Daruquthni [2/373 no. 1698] dari Isma’il al-Makki dari al-Hasan, dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu sebagai berikut:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺑﻦ ﺣﻤﺎﺩ ﺛﻨﺎ ﻋﺒﺎﺩ ﺑﻦ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺛﻨﺎ ﻗﺮﻳﺶ ﺑﻦ ﺃﻧﺲ ﺛﻨﺎ ﺇﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ﺍﻟﻤﻜﻲ ﻭﻋﻤﺮﻭ ﻋﻦ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﻗﺎﻝ : ﻗﺎﻝ ﻟﻲ ﺃﻧﺲ ﻗﻨﺖ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻣﻊ ﻋﻤﺮ ﺣﺘﻰ ﻓﺎﺭﻗﺘﻬﻤﺎ
"Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin
Hammad: Telah menceritakan kepada kami Abbad bin al-Walid: Telah menceritakan kepada kami Quraisy bin Anas: Telah menceritakan kepada kami Isma’il al-Makki dan Amru, dari al-Hasan, ia berkata: Telah berkata kepadaku Anas: “Aku melakukan Qunut bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersama Umar hingga keduanya berpisah denganku (meninggal dunia)”.
(Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi 2/202 dari jalan Quraisy bin Anas yang selanjutnya seperti riwayat ad-Daruquthni).
Keterangan: Hadits ini dha'iffun jiddan (sangat lemah), karena faktor dari Isma’il al-Makki.
Riwayat lain dari Abu Qatadah radhiallahu 'anhu disebutkan:
ﺃﺧﺒﺮﻧﺎ ﺃﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺛﻨﺎ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺣﻤﺸﺎﺫ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﻭﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻌﻨﺒﺮﻱ ﻗﺎﻻ ﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺍﻟﻌﺒﺪﻱ ﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﻨﻔﻴﻠﻲ ﺛﻨﺎ ﺧﻠﻴﺪ ﺑﻦ ﺩﻋﻠﺞ ﻋﻦ ﻗﺘﺎﺩﺓ ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﻨﺖ ﻭﺧﻠﻒ ﻋﻤﺮ ﻓﻘﻨﺖ ﻭﺧﻠﻒ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﻓﻘﻨﺖ
"Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Abdillah al-Hafidh: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hamasyadz al-‘Adl dan Yahya bin Muhammad bin Abdillah al-Anbari, mereka berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah Muhammad bin Ibrahim al-Abdi: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad an-Nufaili: Telah menceritakan kepada kami Khalid bin Dal’aj, dari Qatadah, dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, ia berkata: “Aku pernah shalat dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau melakukan Qunut. Dibelakang 'Umar ia Qunut, dan dibelakang Utsman, iapun Qunut”.
(Diriwayatkan oleh al-Baihaqi 2/202).
Keterangan: Hadits ini dha'if (lemah) lagi Munkar. Penyakitnya ada pada Khalid bin Dal’aj, ia seorang yang dha’if, ia yang meriwayatkan beberapa hadits munkar dari Qatadah. Dan ini sebagian diantaranya. Selain itu, riwayat Anas yang menyatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafaur Rasyidin setelah melakukan Qunut Shubuh secara terus-menerus sangat nyata bertentangan dengan persaksian Thariq bin Asyyam bin Mas’ud al-Asyja’i (yang disebutkan diawal bahasan) bahwasannya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan Qunut Shubuh (secara terus-menerus), dan hal itu berjalan hingga kekhalifahan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu .
Seorang Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang bernama Thariq bin Asyyam bin Mas'ud al-Asyja'i ayahanda Abu Malik Sa'd al-Asyja'i radhiallahu 'anhu dengan tegas dan tandas mengatakan bahwa: "Qunut Shubuh adalah BID'AH".
PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG QUNUT SHUBUH TERUS MENERUS.
[1]. Imam ibnul Mubarak rahimahullah berpendapat tidak ada Qunut dishalat Shubuh.
[2]. Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata: Qunut Shubuh (terus-menerus itu) dilarang.
(Lihat dalam Subulus Salam [I/378])
[3]. Abul Hasan al-Kurajiy asy-Syafi'i rahimahullah (wafat th. 532 H), beliau tidak mengerjakan Qunut Shubuh. Dan ketika ditanya: "Mengapa demikian?". Beliau menjawab: "Tidak ada satu pun hadits yang shahih tentang masalah Qunut Shubuh".
(Lihat dalam silsilatul Ahaadits adh-Dha'ifah wal Maudhuah [II/388]).
[4]. Imam ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah berkata: "Tidak ada sama sekali petunjuk dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau telah mengerjakan do'a Qunut Shubuh terus-menerus. Bahkan Jumhur (sepakat) ulama berkata: "Tidaklah Qunut Shubuh ini dikerjakan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan tidak ada satupun dalil yang sah yang menerangkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam mengerjakan yang demikian".
(Lihat Zaadul Ma'ad [I/271 : 283], tahqiq: Syuaib al-Arnauth dan Abdul Qadir al-Arnauth).
[5]. Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata: "Qunut Shubuh tidak disyari'atkan kecuali bila ada Nazilah (musibah) itupun dilakukan dalam shalat lima waktu, dan bukan hanya diwaktu shalat Shubuh saja. Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, ibnul Mubarak, Sufyan ats-Tsauri dan Ishaq, mereka semua tidak melakukan Qunut Shubuh.
(Lihat Fiqhus Sunnah [I/167-168]).
PENJELASAN TENTANG PENDAPAT MEREKA YANG MENSUNNAHKANNYA.
Sebagian orang ada yang mengatakan: Madzhab kami berpendapat Sunnah ber-Qunut pada shalat Shubuh, baik ada Nazilah ataupun tidak ada Nazilah.
Namun apabila diperhatikan, maka kita dapat mengetahui bahwa yang melatar belakangi pendapat demikian adalah karena anggapan mereka tentang adanya hadits Qunut Shubuh secara terus-menerus. Akan tetapi setelah diadakan penelitian oleh para ulama ahli hadits, ternyata hadits-hadits yang menyebutkan masyru'-nya Qunut Shubuh ini ternyata semuanya banyak kecacatan, artinya hadits tersebut semuanya berstatus dha'if (lemah) bahkan haditsnya Maudhu' (palsu).
Kemungkinan besar, mereka belum mengetahui ini karena belum sampainya berita kepada mereka tentang kecacatan hadits-hadits tersebut. Namun kendati ada ulama yang me-masyru’kan Qunut ini bukan berarti kemudian kita harus menentang, meremehkan atau menolak pendapatnya hanya karena berbeda pendapat dengan kita.
Permasalahan ini sudah masyhur adalah soal khilaf dikalangan para ulama, jika ada disebagian ulama yang bertentangan dengan pendapat kita karena berdasarkan kita mengambil pendapat dari ulama yang lain, dalam hal ini janganlah kita sampai fanatik dengan pendapat yang kita yakini, kemudian kita meremehkan pendapat ulama yang berseberangan dengan kita, akan tetapi kita tetap harus menghormati, menjunjung tinggi dan menghargai atas segala usaha serta jerih payah mereka para ulama yang telah berjuang berdakwah demi menegakkan tauhid dimuka bumi ini, dan kita tetap patut beryukur dan bangga memiliki ulama seperti mereka yang memiliki ilmu begitu luas yang tiada tandingannya diabad ini, semua itu tiada lain demi untuk menuntun kita sebagai umat muslim ke arah jalan agama yang lurus, agar tidak tersesat dari jalan Allah dan Rasul-Nya. Semoga mereka para ulama ini berkumpul bersama para Nabi dan Rasul serta bersama para sahabat dan orang-orang shalih lainya dalam surganya Allah subhanahu wa ta’ala.
Selanjutnya dalam perkara ini, harus dipahami bahwa mereka ulama tetaplah ulama yang hanya manusia biasa, siapapun dia, sebab sifat manusia itu bisa benar dan bisa salah, ada yang bisa diambil pendapatnya dan yang ditolak, katena semua umat ini tidak ada yang ma’shum (lepas dari kesalahan) kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam Malik rahimahullah:
ﻟﻴﺲ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺧﻠﻖ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻻ ﻭﻳﺆﺧﺬ ﻣﻦ ﻗﻮﻟﻪ ﻭﺗﺮﻙ ﺇﻻ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
“Tidak ada seorangpun setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kecuali perkataannya itu ada yang diambil dan ada yang ditinggalkan, kecuali Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam“.
(Ibnu Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayanil-‘Ilmi wa Fadhlihi juz II, hal. 111-112).
Tentang ketidak ma'shuman ini al-Imam Malik rahimahullah mengungkapkan bahwa beliau juga bisa keliru dan bisa benar dengan mengatakan:
ﺇﻧﻤﺎ ﺃﻧﺎ ﺑﺸﺮ ﺃﺧﻄﺊ ﻭﺃﺻﻴﺐ، ﻓﺎﻧﻈﺮﻭﺍ ﻓﻲ ﺭﺃﻳﻲ؛ ﻓﻜﻞ ﻣﺎ ﻭﺍﻓﻖ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ؛ ﻓﺨﺬﻭﻩ، ﻭﻛﻞ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻮﺍﻓﻖ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ؛ ﻓﺎﺗﺮﻛﻮﻩ
“Aku ini hanya seorang manusia biasa, yang kadang salah dan kadang benar. Maka cermatilah setiap pendapatku, jika sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah.”
(Diriwayatkan ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jami' 2/32, ibnu Hazm dalam Ushul al-Ahkam 6/149. Dinukil dari ashl Sifah Shalatin Nabi,27).
Bahkan seorang sahabat Ali bin Abi Thaalib radhiallahu ‘anhu sendiri disebutkan pernah mengatakan tentang ketidak ma'shuman dirinya dengan mengatakan:
ﻓﻼ ﺗﻜﻔﺮﻭﺍ ﻋﻦ ﻣﻘﺎﻟﺔ ﺑﺤﻖ، ﺃﻭ ﻣﺸﻮﺭﺓ ﺑﻌﺪﻝ، ﻓﺈﻧِّﻲ ﻟﺴﺖ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻲ ﺑﻔﻮﻕ ﺃﻥ ﺃﺧﻄﺊ، ﻭﻻ ﺁﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﻓﻌﻠﻲ، ﺇﻟَّﺎ ﺃﻥ ﻳﻜﻔﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﻧﻔﺴﻲ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺃﻣﻠﻚ ﺑﻪ ﻣﻨِّﻲ
“Janganlah kamu berhenti dari mengatakan kebenaran, atau bermusyawarah dengan adil. Sebab aku pada diriku tidak terbebas dari kesalahan dan aku tidak menjamin hal itu dari perbuatanku, kecuali bila Allah mencukupkan dari diriku sesuatu yang Dia lebih memilikinya daripadaku”.
(Nahjul-Balaaghah, hal 485: Daarul-Ma’rifah, Beirut).
Dan al-Imam asy-Syafi'i (lahirkan tahun 150 H dan wafat tahun 204 H) sangat memahami hal ini, sehingga beliau termasuk ulama yang paling banyak memberikan nasehat kepada umat ini untuk tidak taqlid (mengikuti) kepada pendapat siapapun termasuk kepada beliau jika pendapatnya ada yang bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau menganjurkan kepada umatnya untuk tidak berpedoman dengan pendapatnya tersebut, dan menyarankan untuk tetap berpedoman hanya kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Berikut petikan beberapa perkataan beliau:
ﺇِﺫَﺍ ﻭَﺟَﺪْﺗُﻢْ ﻓِﻲ ﻛِﺘَﺎﺑِﻲ ﺧِﻼَﻑَ ﺳُﻨَّﺔِ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﺑِﺴُﻨَّﺔِ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺩَﻋُﻮﺍ ﻣَﺎ ﻗُﻠْﺖُ - ﻭﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ - ﻓَﺎﺗَّﺒِﻌُﻮﻫَﺎ ﻭَﻻَ ﺗَﻠْﺘَﻔِﺘُﻮﺍ ﺇِﻟﻰَ ﻗَﻮْﻝِ ﺃَﺣَﺪٍ. ) ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻓﻲ. ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ 1 / 63
"Apabila kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, maka sampaikanlah Sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku". – dan dalam riwayat lain Imam asy-Syafi’i mengatakan: "Maka ikutilah Sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang".
(Lihat al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab 1/63).
Al-Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata:
ﻋِﻨْﺪَ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟﻨَّﻘْﻞِ ﺑِﺨِﻼَﻑِ ﻣَﺎ ﻗُﻠْﺖُ ﻓَﺄَﻧﺎَ ﺭَﺍﺟِﻊٌ ﻋَﻨْﻬَﺎ e ﻛُﻞُّ ﻣَﺴْﺄَﻟَﺔٍِ ﺻَﺢَّ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﺍﻟْﺨَﺒَﺮُ ﻋَﻦْ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪ (ﻓِﻲ ﺣَﻴَﺎﺗِﻲ ﻭَﺑَﻌْﺪَ ﻣَﻮْﺗِﻲ) ﺃﺑﻮ ﻧﻌﻴﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻠﻴﺔ 9 /107
"Setiap masalah yang disana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku".
(Lihat Hilyatul Auliya’ 9/107).
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
ﻛُﻞُّ ﻣَﺎ ﻗُﻠْﺖُ ﻓَﻜَﺎﻥَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺧِﻼَﻑُ ﻗَﻮْﻟِﻲْ ﻣِﻤَّﺎ ﻳَﺼِﺢُّ ﻓَﺤَﺪِﻳْﺚُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺃَﻭْﻟَﻰ، ﻓَﻼَ ﺗُﻘَﻠِّﺪُﻭْﻧِﻲ
“Setiap dari perkataanku, kemudian ada riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi perkataanku, maka hadits Nabi (harus) diutamakan. Maka janganlah kalian taqlid (mengikuti) kepadaku”.
(Diriwayatkan oleh ibnu Abi Hatim dalam Adab asy-Syafi’i [hal. 93], ibnu Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in [IV/45-46], Abu Nu’aim dan ibnu Asakir [XV/9/2] dengan sanad yang shahih. Lihat juga Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, [hal. 52] ).
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
ﺃﺟﻤﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﻦ ﺍﺳﺘﺒﺎﻧﺖ ﻟﻪ ﺳﻨﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﺪﻋﻬﺎ ﻟﻘﻮﻝ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ
“Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya Sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak boleh ia meninggalkan Sunnah demi membela pendapat siapapun”.
(Diriwayatkan oleh ibnul Qayyim dalam al-I’lam 2/361. Dinukil dari ashl Sifah Shalatin Nabi , 28).
Al-Imam asy-Syafi'i Rahimahullah berkata:
ﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﺃَﺣَﺪٍ ﺇِﻻَّ ﻭَﺗَﺬْﻫَﺐُ ﻋَﻠَﻴﻪِ ﺳُﻨَّﺔٌ ﻟِﺮَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺗَﻌْﺰُﺏُ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﻤَﻬْﻤَﺎ ﻗُﻠْﺖُ ﻣِﻦْ ﻗَﻮْﻝٍ ﺃَﻭْ ﺃَﺻَّﻠْﺖُ ﻣِﻦْ ﺃَﺻْﻞٍ, ﻓِﻴْﻪِ ﻋَﻦْ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻟِﺨِﻼَﻑِ ﻣَﺎ ﻗُﻠْﺖُ ﻓَﺎﻟْﻘَﻮْﻝُ ﻣَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﻫُﻮَ ﻗَﻮْﻟِﻲ ) ﺗﺎﺭﻳﺦ
ﺩﻣﺸﻖ ﻻﺑﻦ ﻋﺴﺎﻛﺮ 15 / 389 )
"Tidak ada seorang pun melainkan pasti ada sebagian Sunnah Rasulullah yang luput dari pengetahuannya. Maka perkataan apa pun yang pernah kukatakan, atau kaidah apa pun yang kuletakkan, sedang disana ada hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang bertentangan dengan pendapatku, maka pendapat yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Rasulullah, dan itulah pendapatku".
(Lihat: Tarikh Dimasyq, 15/389 oleh ibnu Asakir).
Al-Imam asy-Syafi'i Rahimahullah berkata:
ﺇِﺫَﺍ ﺻَﺢَّ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚُ ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﺬْﻫَﺒِﻲ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺻَﺢَّ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳْﺚُ ﻓَﺎﺿْﺮِﺑُﻮﺍ
ﺑِﻘَﻮْﻟِﻲ ﺍﻟْﺤَﺎﺋِﻂَ ) ﺳﻴﺮ ﺃﻋﻼﻡ ﺍﻟﻨﺒﻼﺀ ( 3285-3/3284 )
"Kalau ada hadits shahih, maka itulah madzhabku, dan kalau ada hadits shahih maka lemparkanlah pendapatku ke (balik) tembok".
(Lihat Siyar A’laamin Nubala’3/3284-3285).
Begitupun para Imam-imam yang lain juga mengungkapkan hal yang sama untuk tidak taqlid (mengikuti) kepada pendapat siapapun termasuk kepada pendapat beliau, seperti yang diungkapkan oleh al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, beliau berkata:
ﻻ ﺗﻘﻠﺪﻧﻲ، ﻭﻻ ﺗﻘﻠﺪ ﻣﺎﻟﻜﺎً، ﻭﻻ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ، ﻭﻻ ﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲ، ﻭﻻ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ، ﻭﺧﺬ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﺃﺧﺬﻭﺍ
“Jangan taqlid (mengikuti) kepada pendapatku, juga pendapat Malik, asy-Syafi’i, al-Auza’i maupun ats Tsauri. Tapi ambilah dari mana mereka mengambil (dalil)”.
(Diriwayatkan oleh ibnul Qayyim dalam al-I’lam 2/302. Dinukil dari ashl Sifah Shalatin Nabi, 32).
Dan masih banyak lagi pernyataan-pernyatan para ulama lainnya.
Dengan menilik perkataan para ulama diatas, jelas bahwa mereka para ulama sendiri mengakui atas segala keterbatasan mereka, sehingga mereka menuntun kita agar dalam segala perkara ibadah harus tetap merujuk kepada tuntunannya al-Qur'an dan Sunnahnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Oleh sebab itu, begitu pentingnya ittiba' ini sehingga para ulama tiada henti-hentinya berwasiat kepada seluruh umat muslim dimuka bumi ini untuk tetap patuh hanya kepada Allah dan mentaati perintah Rasul-Nya dan kita diperintahkan untuk selalu mencermati setiap mengambil pendapat dari siapapun, karena mereka para ulama tidak ingin umat muslim ini tergelincir oleh hal-hal yang jauh dari ajaran agama.
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ: “ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻧَﻔْﺲُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻟَﻮْ ﺑَﺪَﺍ ﻟَﻜُﻢْ ﻣُﻮْﺳَﻰ ﺛُﻢَّ ﺍﺗَّﺒَﻌْﺘُﻤُﻮْﻩُ ﻭَﺗَﺮَﻛْﺘُﻤُﻮْﻧِﻲْ ﻟَﻀَﻠَﻠْﺘُﻢْ ﻋَﻦْ ﺳَﻮَﺍﺀِ ﺍﻟﺴَّﺒِﻴْﻞِ ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﺣَﻴًّﺎ ﻭَﺃَﺩْﺭَﻙَ ﻧُﺒُﻮَّﺗِﻲْ ﻻَﺗَّﺒَﻌَﻨِﻲْ ”.
"Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya,
seandainya Musa hadir ditengah kalian lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, maka sungguh kalian telah tersesat dari jalan yang lurus., Kiranya Musa hidup dan menjumpai kenabianku, dia pasti mengikutiku".
(HR. Ad-Darimi dalam Sunannya [441] dan Ahmad [3/471, 4/466] Lihat al-Misykah [177] hasan oleh Syaikh al-Albani).
Maksudnya apabila kita meninggalkan Sunnahnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu kita mengikuti Nabi Musa alaihi salam, yang jelas adalah seorang Nabi mulia yang pernah diajak bicara langsung oleh Allah ta'ala, maka kita akan tersesat dari jalan yang lurus. Lantas bagaimana apabila kita meninggalkan Sunnah Nabi lalu mengikuti para kyai, tokoh agama, ustadz, mubaligh, cendekiawan dan sebagainya yang sangat jauh bila dibandingkan dengan Nabi Musa alaihi salam ?
(Lihat kitab Muqaddimah Bidayatus Suul hal. 6 oleh Syaikh al-Albani).
Dan dalam riwayat lain disebutkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ﻟَﻮْ ﺃَﻥَّ ﻣُﻮْﺳَﻰ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻛَﺎﻥَ ﺣَﻴًّﺎ ﻣَﺎ ﻭَﺳِﻌَﻪُ ﺇِﻻَّ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَّﺒِﻌَﻨِﻲْ
“Andaikan Musa hidup, tentunya tidak mungkin baginya, kecuali harus mengikutiku”.
(HR. Ahmad dalam al-Musnad (3/387), ad-Darimi dalam as-Sunan [1/115], ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah [5/2], ibnu Abdil Barr dalam al-Jami’ Bayan al-I'lm [2/42], dan lainnya. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’ [1589]).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ﺃﻣﺘﻬﻮﻛﻮﻥ ﺃﻧﺘﻢ ﻛﻤﺎ ﺗﻬﻮﻛﺖ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻭﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ؟ ﻟﻘﺪ ﺟﺌﺘﻜﻢ ﺑﻬﺎ ﺑﻴﻀﺎﺀ ﻧﻘﻴﺔ ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻣﻮﺳﻰ ﺣﻴﺎ ﻣﺎ ﻭﺳﻌﻪ ﺇﻻ ﺍﺗﺒﺎﻋﻲ
“Apakah kalian orang-orang yang bimbang seperti bimbangnya Yahudi dan Nashara ? Sungguh aku telah membawakan kalian syari'at yang putih dan bersih. Jika seandainya Musa alaihis salam hidup sekarang ini, maka tidak dibolehkan baginya melainkan dia harus mengikuti aku”.
(HR.Ahmad, Baihaqi dalam kitab syu’abul iman, dan dihasankan Syaikh al-Albani dalam al-misykaah).
Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan:
“Mayoritas orang-orang fanatik mazdhab tidak mendalami al-Qur’an dan as-Sunnah kecuali hanya segelintir orang saja. Sandaran mereka hanyalah hadits-hadits lemah, pendapat-pendapat rapuh atau hikayat-hikayat dari para tokoh ulama yang bisa jadi benar dan bisa jadi bohong."
(Majmu’ Fatawa 22/254).
QUNUT NAZILAH.
Qunut Nazilah adalah do'a Qunut yang dikerjakan ketika datang musibah atau kesulitan yang menimpa kaum Muslimin, seperti peperangan, terbunuhnya kaum Muslimin atau diserangnya kaum Muslimin oleh orang-orang kafir. Begitupun ketika ada musibah bencana lainnya seperti musim penyakit yang berbahaya, bencana alam dan lain-lain.
Selain itu Qunut Nazilah ini dilakukan untuk mendo'akan kebaikan atau kemenangan bagi kaum Muslimin dan mendo'akan keburukan atau kekalahan, kehancuran dan kebinasaan bagi orang-orang kafir, Musyrikin dan selainnya yang memerangi kaum Muslimin, Dan do'a Qunut Nazilah ini jika dilakukan pada saat-saat seperti tersebut diatas, maka hukumnya adalah Sunnah, itupun dilakukan bukan hanya didalam shalat Shubuh saja, tapi dilakukan juga disetiap shalat lima waktu. Untuk pelaksanaannya do'a Qunut Nazilah dilakukan sesudah ruku' diraka'at terakhir pada shalat wajib lima waktu, dan hal ini telah dilakukan oleh para Imam atau Ulil Amri.
Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata: Ahmad (bin Hanbal) dan Ishaq bin Rahawaih telah berkata:
"Tidak ada Qunut dalam shalat Fajar (Shubuh) kecuali bila terjadi Nazilah (musibah) yang menimpa kaum Muslimin. Maka, apabila telah terjadi sesuatu, hendaklah Imam (yakni imam kaum Muslimin atau Ulil Amri) mendo'akan kemenangan bagi tentara-tentara kaum Muslimin".
Imam an-Nawawi rahimahullah memberikan bab didalam Syarah Muslim dari Kitabul Masaajid, bab. 54: Istihbabul Qunut fii Jamiish Shalawat idza Nazalat bil Muslimin Nazilah (bab diSunnahkan Qunut pada Semua shalat (yang lima waktu) apabila ada musibah yang menimpa kaum Muslimin.
KESIMPULAN.
Hadits-hadits tersebut diatas mengkhabarkan pada kita bahwa do'a Qunut pada waktu shalat Shubuh yang dilakukan secara terus-menerus sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin sekarang ini adalah suatu amalan yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga tidak pernah dilakukan diera al-Khulafaur Rasyidin dan setelahnya. Intinnya dari uraian diatas bahwa bacaan do'a Qunut yang dikhususkan dalam shalat Shubuh terus-menerus adalah Bid'ah.
(Silahkan lihat permasalahan ini dalam Tafsir al-Qurthuby 4/200-201, al-Mughny 2/575-576, al-Inshaf 2/173, Syarh Ma’any al-Atsar 1/241-254, al-Ifshah 1/323, al-Majmu’ 3/483-485, Hasyiyah ar-Raud al-Murbi’ : 2/197-198, Nailul Author 2/155-158 [Cet. Darul Kalim ath Thoyyib], al-Majmu’ al-Fatawa 22/104-111 dan Zadul Ma’ad 1/271-285).
Seandainya memang perbuatan itu dicontohkan, sudah pasti Thariq bin Asyyam bin Mas’ud al-Asyja’i radhiallahu ‘anhu akan memberikan kesaksian lain sebagaimana riwayat diatas. Jika kita menggunakan bahasa riwayat, maka Qunut Shubuh secara terus-menerus dalam shalat Shubuh tanpa sebab adalah perkara Muhdats atau Bid’ah.
Ada satu pelajaran penting bagi kita semua bahwa khilaf permasalahan ini telah ada, minimal sejak era tabi’iin. Karena tidak mungkin riwayat dari Abu Malik al-Asy’ja’i bertanya kepada ayahnya tentang Qunut yang dilakukan manusia secara terus menerus pada shalat Shubuh jika ia sendiri tidak menyaksikannya atau mendengarnya.
Kemudian satu hal lagi yang tidak kalah penting dalam perkara do'a Qunut ini, yaitu mengenai bacaannya atau lafadzhnya, karena ada sebuah kekeliruan dalam prakteknya, dimana banyak kita dengar dari orang-orang yang membaca do'a Qunut Shubuh ini seperti "ALLAHUMMADINI FIMAA HADAIT...dan seterusnya, inilah sebuah kekeliruan, entahlah dari mana asal mula lafadz ini digunakan untuk shalat Shubuh sehingga begitu populer dan merebak dan menjadi kebiasaan dibaca oleh umat muslim sekarang, apalagi bagi masyarakat awam yang tidak mengerti ilmu agama, tentu mereka akan menganggap bahwa bacaan seperti sudah benar berdasarkan dari apa yang telah mereka lihat dan mereka dengar dari turun temurun, apalagi yang melakukan itu adalah seorang ustad atau kyai, tentu akan menambah keyakinan mereka untuk membenarkan adannya bacaan Qunut seperti ini.
Lalu pertanyaannya, apakah ada bacaan khusus untuk do'a Qunut Nazilah ini ?
Untuk diketahui bahwa lafadzh "ALLAHUMMAADIINI FIMAAN HADAIT...dan seterusnya ini tidak terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya menggunakan do'a tersebut selain untuk shalat Witir. Tidak pula terdapat satupun riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi ber-Qunut dengan bacaan do'a tersebut, baik pada shalat Shubuh maupun dalam shalat yang lain. Lafadzh do'a Qunut dengan menggunakan do'a tersebut dishalat shubuh sama sekali tidak ada dasarnya dari Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena lafadzh do'a itu adalah bacaan untuk do'a Qunut shalat Witir. Sedangkan untuk shalat Shubuh itu sendiri dilakukan seperti shalat biasa yang tidak ada bacaan do'a-do'a khusus sebagaimana dalam shalat yang lima waktu. Adapun untuk bacaan do'a Qunut Nazilah, ini juga tidak ada lafadzh atau bacaan tertentu melainkan dibaca sesuai bahasa yang kita pahami dan disesuikan dengan keadaan musibah yang terjadi, seperti ada sebab yang terkait dengan kaum muslimin secara umum. Misalnya ada bencana wabah penyakit yang menimpa kaum muslimin maka kaum muslimin disyari'atkan untuk ber-Qunut pada semua shalat wajib, termasuk didalamnya shalat Shubuh, agar Allah menghilangkan bencana dari kaum muslimin.
Selanjutnya dalam permasalahan khilaf ini baik mereka yang berpendapat masyru’-nya Qunut Shubuh atau yang tidak tetaplah saling menjaga ukhuwah atas perbedaan ini. Bagi mereka yang berpendapat masyru’-nya Qunut Shubuh, maka tidak perlu mencela kepada mereka yang mengatakan bahwa Qunut Shubuh yang dilakukan terus menerus adalah perbuatan muhdats atau Bid’ah, karena pihak yang berseberangan dengan mereka itu tentu telah memiliki landasan ilmu yang kuat dengan menggunakan sebaik-baik lafadzh yang diriwayatkan secara shahih dari para sahabat radhiallahu ‘anhu.
Sebaliknya, bagi pihak yang berpendapat Qunut Shubuh itu tidak masyru' atau perkara itu adalah muhdast atau Bid'ah, maka ia tidak perlu memaksakan pendapatnya untuk diaminkan pihak lain. Dan keduanya tidak perlu memisahkan diri dari jama’ah, lalu membuat jama’ah baru karena merasa imam yang ada melakukan sesuatu yang berlainan dengan apa yang diperbuatnya. Semuanya ini masih dalam ruang khilaf ijtihadiyyah yang ditoleransi dan diperbolehkan, walau kewajiban setiap kaum muslimin mengambil apa yang dianggapnya kuat menurut kadar pengetahuan yang dimilikinya.
Namun mirisnya, tidak sedikit kita jumpai ditengah masyarakat muslim sekarang yang masih fanatik atas apa yang ia dapati dari petunjuk orang lain tanpa dasar ilmu, mereka taqlid buta (mengekor tanpa landasan)) yaitu mengada-ada atau membuat aturan-aturan atau tata cara sendiri dalam beribadah, misalnya ketika ada pihak yang biasa shalat ber-Qunut kemudian ia terjebak menjadi makmum lalu ia ikut shalat berjamaah bersama imam yang kebetulan tidak ber-Qunut, kemudian begitu selesai berjamaah itu mereka mengulangi lagi shalat Shubuhnya tersebut, karena ia menganggap bahwa shalat shubuhnya itu terasa belum afdhal jika tanpa do'a Qunut, bahkan yang lebih parahnya lagi disebagian mereka ada yang melakukan sujud sahwi...na'uzubillahimin dzaliq....semoga pihak yang berbuat demikian mendapatkan petunjuk serta rahmatnya Allah ta'ala.
Inilah fenomena yang terjadi dizaman ini, sebuah realita yang memprihatinkan, mereka melakukannya tanpa rasa berdosa, benarlah apa yang dikatakan oleh seorang pakar ahli hadits KH. Makhrus Ali dari Sidoarjo yang dulu mantan kyai NU (begitu beliau menjuluki dirinya) kini beliau mendapat hidayah dengan hijrah kepengajian Salaf (Ahlu Sunnah waljamaah) yaitu kembali ke ajaran Islam yang murni, dalam sebuah buku beliau yang diberi judul "SESAT TANPA SADAR" dan perbuatan dari pihak yang membuat aturan-aturan ibadah sendiri ini termasuk salah satunya.
Sesungguhnya perbuatan yang seperti ini sangat tidak dibenarkan dalam Islam, karena tidak ada tauladannya atau contohnya dari baginda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari para sahabat. Padahal shalat Shubuh itu yang disyari'atkan hanya sekali dalam sehari. Jika shalatnya diulang artinya shalat Shubuh itu menjadi dua kali sehari, jadi shalat yang kedua ini adalah bathil atau tertolak, selain itu bahwa shalat fardhu maupun yang Sunnah sudah ada waktu-waktunya tersendiri yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya tanpa boleh menambah atau menguranginya, baik aturan waktu, bacaan maupun tata caranya. Begitupun sujud sahwi ini sudah ada syarat dan ketentuannya yaitu hanya boleh dilakukan karena sebab kelupaan dalam menghitung jumlah shalat rakaat selain sebab itu tidak disyari'atkan.
Oleh karena itu sesuatu perkara ibadah dalam agama ini haruslah tegak diatas dalil dengan mengikuti petunjuknya al-Qur'an dan Sunnah yang shahih, artinya sesuatu perbuatan ibadah dalam agama ini jika tidak ada tuntunannya maka ibadah tidak bermanfaat apa-apa dan sia-sia belaka, bahkan bukannya pahala yang didapat tapi justru sebaliknya yaitu musibah atau sebuah penyimpangan yang amat sesat dan penyimpangan ini jelas ancamannya adalah neraka, dalil yang menunjukkan ini adalah:
Dalam riwayat an Nasa’i dikatakan:
ﻭَﻛُﻞَّ ﺿَﻼَﻟَﺔٍ ﻓِﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
“Setiap kesesatan tempatnya dineraka”.
(HR. An Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan shahih oleh Syaikh al-Albani diShahih wa Dha’if Sunan an Nasa’i ).
Diriwayatkan dari al ‘Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
“Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini bergemetar (takut)”. Lalu ada yang mengatakan:
ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻛَﺄَﻥَّ ﻫَﺬِﻩِ ﻣَﻮْﻋِﻈَﺔُ ﻣُﻮَﺩِّﻉٍ ﻓَﻤَﺎﺫَﺍ ﺗَﻌْﻬَﺪُ ﺇِﻟَﻴْﻨَﺎ
“Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami ?”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺃُﻭﺻِﻴﻜُﻢْ ﺑِﺘَﻘْﻮَﻯ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟﺴَّﻤْﻊِ ﻭَﺍﻟﻄَّﺎﻋَﺔِ ﻭَﺇِﻥْ ﻋَﺒْﺪًﺍ ﺣَﺒَﺸِﻴًّﺎ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻣَﻦْ ﻳَﻌِﺶْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺑَﻌْﺪِﻯ ﻓَﺴَﻴَﺮَﻯ ﺍﺧْﺘِﻼَﻓًﺎ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﺴُﻨَّﺘِﻰ ﻭَﺳُﻨَّﺔِ ﺍﻟْﺨُﻠَﻔَﺎﺀِ ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻳِّﻴﻦَ ﺍﻟﺮَّﺍﺷِﺪِﻳﻦَ ﺗَﻤَﺴَّﻜُﻮﺍ ﺑِﻬَﺎ ﻭَﻋَﻀُّﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺑِﺎﻟﻨَّﻮَﺍﺟِﺬِ ﻭَﺇِﻳَّﺎﻛُﻢْ ﻭَﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺕِ ﺍﻷُﻣُﻮﺭِ ﻓَﺈِﻥَّ ﻛُﻞَّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup diantara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk.
Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.
(HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Daud dan Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺃَﻧَﺎ ﻓَﺮَﻃُﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺤَﻮْﺽِ ، ﻟَﻴُﺮْﻓَﻌَﻦَّ ﺇِﻟَﻰَّ ﺭِﺟَﺎﻝٌ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺣَﺘَّﻰ ﺇِﺫَﺍ ﺃَﻫْﻮَﻳْﺖُ ﻷُﻧَﺎﻭِﻟَﻬُﻢُ ﺍﺧْﺘُﻠِﺠُﻮﺍ ﺩُﻭﻧِﻰ ﻓَﺄَﻗُﻮﻝُ ﺃَﻯْ ﺭَﺏِّ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑِﻰ . ﻳَﻘُﻮﻝُ ﻻَ ﺗَﺪْﺭِﻯ ﻣَﺎ ﺃَﺣْﺪَﺛُﻮﺍ ﺑَﻌْﺪَﻙَ
“Aku akan mendahului kalian di al-haudh (telaga). Dinampakkan dihadapanku beberapa orang diantara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al-haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman: "Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang telah mereka perbuat sesudahmu“.
(HR. Bukhari no. 7049).
Dalam riwayat lain dikatakan:
ﺇِﻧَّﻬُﻢْ ﻣِﻨِّﻰ . ﻓَﻴُﻘَﺎﻝُ ﺇِﻧَّﻚَ ﻻَ ﺗَﺪْﺭِﻯ ﻣَﺎ ﺑَﺪَّﻟُﻮﺍ ﺑَﻌْﺪَﻙَ ﻓَﺄَﻗُﻮﻝُ ﺳُﺤْﻘًﺎ ﺳُﺤْﻘًﺎ ﻟِﻤَﻦْ ﺑَﺪَّﻝَ ﺑَﻌْﺪِﻯ
“ (Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman: ‘"Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu". Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan: “Celaka, celaka..bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.”
(HR. Bukhari no. 7051).
Begitu juga semua ibadah yang tanpa ada contoh atau tuntunannya ini tidak bermanfaat dan sia-sia bahkan tertolak sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻓِﻰ ﺃَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan agama ini yang tidak ada asalnya dari kami, maka perkara tersebut tertolak”.
(HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718).
Dari 'Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻼً ﻟَﻴْﺲَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﻣْﺮُﻧَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan dalam agama ini yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak”.
(HR. Muslim no. 1718).
Dan dari Abdullah bin 'Umar radhiallahu ‘anhuma berkata:
ﻋَﻦْ ﺍﺑﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ، ﻗَﺎﻝَ : ﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ ﻭَﺇِﻥْ ﺭَﺁﻫَﺎﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺣَﺴَﻨَﺔً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia memandangnya baik.”
(Riwayat Al-Lalika-i fii syarah Ushuul I’tiqaad Ahlissunnah wal jama'ah 1/104 no.126 dan Li Ibni Baththah,1/219,Asy-Syamilah-'Ukbari dalam Al-Ibaanah no.205)
Intinya dalam permasalahan ini yang terbaik adalah ikuti sebagaimana shalatnya imam sampai selesai inilah yang terpuji dan lebih afdhal, dan tidak perlu dikedua belah pihak sengaja mencari-cari jamaah yang khusus shalat Shubuhnya tidak ber-Qunut, atau mencari yang khusus ber-Qunut, karena yang ber-Qunut maupun tidak ber-Qunut shalat keduanya tetap sah dan bernilai pahala.
Dalam pembahasan ini kami hanya mengambil pendapat yang rajih bahwa Qunut yang dilakukan terus-menerus dalam shalat Shubuh adalah Bid'ah, sebagaimana dalil-dalil diatas dan ada tambahan dalil lain diantaranya:
1. Dari ibnu ‘Umar ibnu al-Khathab radhiallahu 'anhuma:
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﻣِﺠْﻠَﺰِ ﻗَﺎﻝَ : “ ﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﻣَﻊَ ﺍِﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﺻَﻼَﺓَ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢِ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ .” ﻓَﻘُﻠْﺖُ : “ﺁﻟﻜِﺒَﺮُ ﻳَﻤْﻨَﻌُﻚَ ,” ﻗَﺎﻝَ : “ﻣَﺎ ﺃَﺣْﻔَﻈُﻪُ ﻋَﻦْ ﺃَﺣَﺪٍ ﻣِﻦْ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑِﻲْ ”.
“Dari Abu Mijlaz beliau berkata: Aku shalat bersama ibnu ‘Umar shalat Shubuh lalu beliau tidak Qunut. Lalu aku bertanya: apakah lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya). Beliau berkata: Aku tidak menghafal hal tersebut dari para sahabatku”.
(Dikeluarkan oleh ath-Thahawi 1\246, Al-Baihaqi 2\213 dan ath-Thabarani sebagaimana dalam Majma’ az-Zawa’id 2\137 dan al-Haitsami berkata: ”rawi-rawinya tsiqah”).
2. Hadits dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu:
ﻗَﻨَﺖَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺷَﻬْﺮًﺍ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﺮُّﻛُﻮﻉِ ﻓِﻲ ﺻَﻠَﺎﺓِ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢِ ﻳَﺪْﻋُﻮ ﻋَﻠَﻰ ﺭِﻋْﻞٍ، ﻭَﺫَﻛْﻮَﺍﻥَ، ﻭَﻳَﻘُﻮﻝُ : ﻋُﺼَﻴَّﺔُ ﻋَﺼَﺖِ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟَﻪُ
“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berdo'a Qunut selama sebulan penuh, beliau mendo'akan keburukan terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta Ushayyah yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya”.
(HR. Bukhari 1003, Muslim 677).
Dalam riwayat Imam al-Bukhari diceritakan, ketika itu terjadi pengkhianatan dari suku Ri’lan, Dzakwan dan Ushayyah. Mereka membantai 70 sahabat Nabi dari kaum Anshar.
3. Hadits dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:
“Selama sebulan penuh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam setelah membaca " ﺳﻤﻊ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟِﻤَﻦْ ﺣَﻤِﺪَﻩُ " pada raka’at terakhir dari shalat Isya' beliau membaca do'a Qunut:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻧْﺞِ ﻋَﻴَّﺎﺵَ ﺑْﻦَ ﺃَﺑِﻲ ﺭَﺑِﻴﻌَﺔَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻧْﺞِ ﺍﻟْﻮَﻟِﻴﺪَ ﺑْﻦَ ﺍﻟْﻮَﻟِﻴﺪِ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻧْﺞِ ﺳَﻠَﻤَﺔَ ﺑْﻦَ ﻫِﺸَﺎﻡٍ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻧْﺞِ ﺍﻟْﻤُﺴْﺘَﻀْﻌَﻔِﻴﻦَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺷْﺪُﺩْ ﻭَﻃْﺄَﺗَﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﻀَﺮَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺟْﻌَﻠْﻬَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﺳِﻨِﻴﻦَ ﻛَﺴِﻨِﻲ ﻳُﻮﺳُﻒَ
"Ya Allah, tolonglah Ayyash bin Abi Rabi’ah. Ya Allah, tolonglah Walid bin al-Walid. Ya Allah, tolonglah Salamah bin Hisyam. Ya Allah, tolonglah orang-orang lemah dari kaum.mu’minin. Ya, Allah sempitkanlah jalan-Mu atas orang-orang yang durhaka. Ya Allah, jadikanlah tahun-tahun yang mereka lewati seperti tahun-tahun paceklik yang dilewati Yusuf“.
(HR. Bukhari 1006, 2932, 3386).
4. Hadits dari Abu Malik al-Asyja-’i:
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻴﻪِ ﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺧَﻠْﻒَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ ، ﻭَﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺧَﻠْﻒَ ﺃَﺑِﻲ ﺑَﻜْﺮٍ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ ، ﻭَﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺧَﻠْﻒَ ﻋُﻤَﺮَ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ ، ﻭَﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺧَﻠْﻒَ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥَ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ ﻭَﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺧَﻠْﻒَ ﻋَﻠِﻲٍّ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ ، ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ ﻳَﺎ ﺑُﻨَﻲَّ ﺇﻧَّﻬَﺎ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ { ﺭَﻭَﺍﻩُ ﺍﻟﻨَّﺴَﺎﺋِﻲّ ﻭَﺍﺑْﻦُ ﻣَﺎﺟَﻪْ ﻭَﺍﻟﺘِّﺮْﻣِﺬِﻱُّ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺣَﺪِﻳﺚٌ ﺣَﺴَﻦٌ ﺻَﺤِﻴﺢٌ
“Dari ayahku, ia berkata: "Aku pernah shalat menjadi makmum Nabi shallallahu’alaihi wa sallam namun ia tidak membaca qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Abu Bakar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum 'Umar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Utsman namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Ali namun ia tidak membaca Qunut. Wahai anakku ketahuilah itu perkara bid’ah”.
(HR. Nasa-i, ibnu Majah, at Tirmidzi. 330. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”).
Kemudian Atsar ibnu 'Umar dari Abul Sya’sya’, dalam Mushannaf Abdirrazzaq [4954] dengan sanad shahih Dari Abi Mijlaz ia berkata:
ﺳﺄﻟﺖ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻓﻘﺎﻝ : ﻣﺎ ﺷﻌﺮﺕ ﺍﻥ ﺍﺣﺪﺍ ﻳﻔﻌﻠﻪ
“Aku bertanya kepada ibnu 'Umar tentang Qunut diwaktu Shubuh. Ia berkata: "Aku rasa tidak ada seorang pun (sahabat) yang melakukannya”.
(Lihat Mafatihul Fiqh, 106. Atsar ini telah diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi didalam kitab Sunanul Kubra [II/213] dengan sanad yang hasan, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syaikh Syuaib al-Arnauth dalam tahqiq beliau atas kitab Zaadul Maad [I/272]).
Juga Atsar dari ibnu Mas’ud dalam Mushannaf Abdirrazzaq [4949] dengan sanad shahih yang menyatakan bahwa beliau tidak pernah membaca Qunut ketika shalat Shubuh.
(Mafatihul Fiqh,106).
Jika ditelaah hadits-hadits praktek dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam membaca Qunut, umumnya berkaitan dengan musibah. Ibnul Qayyim berkata: “Petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam berdo'a Qunut adalah mengkhususkannya hanya pada saat terjadi musibah dan tidak melakukannya jika tidak ada musibah. Selain itu tidak mengkhususkan pada shalat Shubuh saja, walaupun memang beliau paling sering melakukan pada shalat Shubuh”.
(Zaadul Ma’ad 273/1).
Syaikh Abdul Qadir Syaibatul Hamdi juga menjelaskan bahwa perkataan sahabat tentang Qunut Shubuh itu muhdats (hanya diada-adakan) apabila Qunut shubuh itu dilakukan secara terus-menerus, adapun jika dilakukan pada kejadian-kejadian tertentu (QUNUT NAWAZIL/Musibah) maka tidak apa-apa.
(Lihat Fiqhul Islam 1/263).
Pendapat ini dipegang oleh Sufyan ats Tsauri, Imam Abu Hanifah, al-Laits, pendapat terakhir Imam Ahmad, ibnu Syabramah, Imam ibnul Qayyim al Jauziyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Syaikh Mubarak Fury menjelasakn tentang QUNUT NAWAZIL ini dilakukan pada kejadian-kejadian tertentu karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hanya melakukan QUNUT NAWAZIL jika mendo'akan kebaikan bagi kaum muslimin dan mendo'akan kejelekan bagi kaum kafirin. Demikian juga Qunut ini tidak dikhususkan untuk satu shalat saja, bahkan sebaiknya dilakukan didalam shalat maktubah (shalat wajib) seluruhnya.
(Lihat dalam Taudihul Ahkam : 2/83).
Meskipun pendapat yang rajih (kuat) bahwa perkara Qunut Shubuh adalah perkara muhdast atau bid'ah, namun disini kita ambil saja jalur tengah, bahwa perkara ini adalah perkara yang luas dan longgar berdasarkan khilafiyyah dari para ulama, dan ini tergolong khilafiyyah yang ditoleransi yang diperbolehkan. Dari uraian diatas bukanlah semata-mata untuk memvonis bahwa untuk yang tidak ber-Qunut itu salah, tapi ini hanya sekedar tambahan ilmu agar bisa jadi bahan pertimbangan yang mana harus jadi acuan untuk kita , jadi silahkan menurut keyakinan kita mana yang harus dipegang diantara keduanya, dan tetap saling menjaga kerukunan sesama umat muslim.
Demikian semoga ini bermanfaat.
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﻨﻴﻊ ﺃﺧﺒﺮﻧﺎ ﻳﺰﻳﺪ ﺑﻦ ﻫﺎﺭﻭﻥ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻣﺎﻟﻚ ﺍﻷﺷﺠﻌﻲ ﻗﺎﻝ : ﻗﻠﺖ ﻷﺑﻲ : ﻳﺎ ﺃﺑﺖ ﺇﻧﻚ ﻗﺪ ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻭﻋﻤﺮ ﻭﻋﺜﻤﺎﻥ ﻭﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻃﺎﻟﺐ ﻫﺎﻫﻨﺎ ﺑﺎﻟﻜﻮﻓﺔ، ﻧﺤﻮﺍ ﻣﻦ ﺧﻤﺲ ﺳﻨﻴﻦ، ﺃﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻘﻨﺘﻮﻥ؟ ﻗﺎﻝ : ﺃﻱ ﺑﻨﻲ ﻣﺤﺪﺙ .
"Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Manii’: Telah mengkhabarkan kepada kami Yaziid bin Harun, dari Abu Malik al-Asyja’iy, ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada ayahku: ‘Wahai ayahku, engkau pernah shalat dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, dan Ali disini, yaitu diKufah selama kurang lebih lima tahun. Apakah mereka semua melakukan Qunut ?”. Ayahku menjawab: “Wahai anakku, itu adalah perbuatan muhdats". (perkara baru yang tidak pernah mereka lakukan).
(Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 402, dan ia berkata: “Hadits ini hasan shahih”. Diriwayatkan juga oleh Ahmad 3/472, ibnu Majah no. 1241, ath-Thabarani dalam al-Kubra 8/378 no. 8178, ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil-Atsar 1/249, adl-Dliyaa’ dalam al-Mukhtarah 8/97 & 98 no. 101 dan 104, dan al-Mizzi dalam Tahdzibul-Kamaal 13/334-335 dari jalan Yazid bin Harun, dari Abu Malik al-Asyja’i).
Dalam lafadzh ath-Thahawi. disebutkan:
ﻗﻠﺖ ﻷﺑﻲ : ﻳﺎ ﺃﺑﺖ، ﺇﻧﻚ ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺧﻠﻒ ﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻭﺧﻠﻒ ﻋﻤﺮ ﻭﺧﻠﻒ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﻭﺧﻠﻒ ﻋﻠﻲ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻢ ﻫﻬﻨﺎ ﺑﺎﻟﻜﻮﻓﺔ، ﻗﺮﻳﺒﺎ ﻣﻦ ﺧﻤﺲ ﺳﻨﻴﻦ، ﺃﻓﻜﺎﻧﻮﺍ ﻳﻘﻨﺘﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ؟ . ﻓﻘﺎﻝ : ﺃﻱ ﺑﻨﻲ، ﻣﺤﺪﺙ .
"Aku bertanya kepada ayahku: “Wahai ayahku, sesungguhnya engkau pernah shalat dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, dan Ali disini di Kufah hampir selama lima tahun. Apakah mereka semua melakukan Qunut diwaktu (shalat) Shubuh ?”. Ayahku menjawab: “Wahai anakku, itu adalah perbuatan muhdats (mengada-ada)".
Yazid bin Harun mempunyai mutaba’ah dari:
1. Hafsh bin Ghiyats dan Abdullah bin Idris sebagaimana diriwayatkan oleh ibnu Abi Syaibah 2/308 [no. 7034 & 7036[, ibnu Majah no. 1241, ath-Thabarani 8/378 no. 8179, dan adl-Dliyaa’ dalam al-Mukhtarah 8/98 no. 105 [shahih].
2. Khalaf bin Khalifah sebagaimana diriwayatkan Ahmad 6/394, an-Nasa’i 2/204 dan dalam al- Kubra 1/341 no. 671, dan ibnu Hibban no. 1989: dengan lafadzh sebagai berikut:
ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻭﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻭﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﻋﻤﺮ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻭﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻭﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﻋﻠﻲ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﺛﻢ ﻗﺎﻝ ﻳﺎ ﺑﻨﻲ ﺇﻧﻬﺎ ﺑﺪﻋﺔ .
“Aku shalat dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak Qunut. Aku shalat dibelakang Abu Bakar, ia tidak Qunut. Aku shalat dibelakang ‘Umar, ia tidak Qunut. Aku shalat dibelakang Utsman, ia tidak Qunut. Dan aku shalat dibelakang Ali, ia pun tidak Qunut”. Kemudian ayahku berkata: “Wahai anakku, ia adalah perbuatan bid’ah”.
3. Abu ‘Awaanah sebagaimana diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 403, ath-Thayalili no. 1425, ath-Thabarani dalam al-Kabir 8/378 no. 8177, al-Baihaqi 2/213, dan adl-Dliya’ 8/97-98 no. 102-103, ath-Thabarani dan adl-Dliya’ membawakan dengan lafadzh berikut:
ﺳﺄﻟﺖ ﺃﺑﻲ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻐﺪﺍﺓ ؟ ﻓﻘﺎﻝ : ﺃﻱ ﺑﻨﻲ ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻭﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻓﻠﻢ ﺃﺭ ﺃﺣﺪﺍ ﻣﻨﻬﻢ ﻳﻘﻨﺖ، ﺃﻱ ﺑﻨﻲ ﺑﺪﻋﺔ . ﻗﺎﻟﻬﺎ ﺛﻼﺛﺎ .
"Aku bertanya kepada ayahku tentang Qunut pada shalat Shubuh. Ia menjawab: “Wahai anakku, aku pernah shalat dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, namun aku tidak melihat salah seorang pun diantara mereka yang melakukan Qunut. Wahai anakku, itu adalah perbuatan Bid’ah”. Ia mengatakannya tiga kali.
4. Abu Mu’awiyyah sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bazzaar dalam al-Musnad no. 2766 dan al-Uqaili 2/484 no. 597. Lafadzh hadits ini mauquf namun dihukumi marfu’. Kesimpulan finalnya, hadits ini shahih, para perawinya tsiqat, dan sanadnya bersambung. Dishahihkan juga oleh al-Albani dalam Irwaul-Ghalil 2/182-183 no. 435, al-Wadi’i dalam al-Jami’ush-shahih mimma Laisa fish-Shahihain 2/147, al-Arna’uth dalam Takhrij Musnad al-Imam Ahmad 25/214, dan Basyar Awwad dalam Takhrij Sunan ibnu Majah 2/402-403.
Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan do'a Qunut dalam shalat Shubuh ini. Sedikit akan dipaparkan dibawah:
At-Tirmidzi rahimahullah setelah menyebutkan riwayat tentang Qunut Shubuh ini, beliau berkata:
ﻭﺍﺧﺘﻠﻒ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻔﺠﺮ، ﻓﺮﺃﻯ ﺑﻌﺾ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻔﺠﺮ . ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ . ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺣﻤﺪ، ﻭﺇﺳﺤﻖ : ﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﺇﻻ ﻋﻨﺪ ﻧﺎﺯﻟﺔ ﺗﻨﺰﻝ ﺑﺎﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ، ﻓﺈﺫﺍ ﻧﺰﻟﺖ ﻧﺎﺯﻟﺔ ﻓﻠﻺﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﺪﻋﻮ ﻟﺠﻴﻮﺵ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ .
“Para ulama berbeda pendapat mengenai Qunut shalat Shubuh. Sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka berpendapat (masyru’ -nya) Qunut pada shalat Shubuh. Itu merupakan perkataan asy-Syafi’i.
Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih berkata:
"Qunut tidak dilakukan pada shalat Shubuh, kecuali jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin. Jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin, maka imam mendo'akan (kebaikan/kemenangan) untuk pasukan kaum muslimin”.
ﻭﺍﻟﻌﻤﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﻋﻨﺪ ﺃﻛﺜﺮ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ . ﻭﻗﺎﻝ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ ﺇﻥ ﻗﻨﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻓﺤﺴﻦ، ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﺤﺴﻦ ﻭﺍﺧﺘﺎﺭ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻘﻨﺖ . ﻭﻟﻢ ﻳﺮ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻤﺒﺎﺭﻙ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ .
“(Hadits Abu Malik al-Asyja’i diatas) diamalkan oleh kebanyakan ulama. Sufyan ats-Tsauri berkata: "Apabila seseorang melakukan Qunut diwaktu shalat Shubuh, maka itu baik. Jika tidak melakukannya, itu pun baik’.
Ia (ats-Tsauri) memilih untuk tidak Qunut. Ibnul-Mubarak tidak berpendapat adanya Qunut pada shalat Shubuh”.
(Jaami’ at-Tirmidzi, 1/426-427).
Al-‘Uqaili rahimahullah berkata:
ﻭﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﻨﺖ ﺛﻢ ﺗﺮﻙ . ﻭﻫﺬﺍ ﻳﺬﻛﺮ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻢ ﻳﻘﻨﺖ .
“Dan yang benar menurut kami bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan Qunut, kemudian meninggalkannya. Hadits ini (yaitu hadits Abu Malik al-Asyja’i diatas ) menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan Qunut”.
(Adl-Dlu’afa’ , 2/484).
Abu Ja’far ath-Thahawi al-Hanafi rahimahullah berkata:
ﺇﻧﻤﺎ ﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺑﻠﻴﺔ ﻓﺈﻥ ﻭﻗﻌﺖ ﻓﺘﻨﺔ ﺃﻭ ﺑﻠﻴﺔ ﻓﻼ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ ﻓﻌﻠﻪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻱ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ
“Bahwasannya tidak dilakukan Qunut dalam shalat Shubuh disisi kami (madzhab Hanafiyyah) selain dikarenakan musibah. Apabila terjadi fitnah atau musibah, maka tidak mengapa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya, yaitu setelah rukuk”.
(Hasyiyyah ath-Thahthawi ‘ala Maraqil-Falah, hal. 377).
Abul-Husain asy-Syafi’i al-Yamani rahimahullah berkata:
ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ : ﺃﻥ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺼﺒﺢ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻟﺪﻫﺮ، ﻭﺑﻪ ﻗﺎﻝ ﻣﺎﻟﻚ، ﻭﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲ، ﻭﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻟﻴﻠﻰ، ﻭﺍﻟﺤﺴﻴﻦ ﺑﻦ ﺻﺎﻟﺢ، ﻭﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻋﻦ ﺍﻟﺨﻠﻔﺎﺀ ﺍﻷﺭﺑﻌﺔ، ﻭﺃﻧﺲ . ﻭﺫﻫﺐ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ، ﻭﺃﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ، ﻭﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﺇﻟﻰ : (ﺃﻧﻪ ﻏﻴﺮ ﻣﺴﻨﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺒﺢ ) ، ﻭﺭُﻭﻱَ ﺫﻟﻚ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ، ﻭﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ، ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ، ﻭﺃﺑﻲ ﺍﻟﺪﺭﺩﺍﺀ . ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﻳﻮﺳﻒ : ﺇﺫﺍ ﻗﻨﺖ ﺍﻹﻣﺎﻡ .....ﻓﺎﻗﻨﺖْ ﻣﻌﻪُ .....
“Dan Sunnah (dalam permasalahan ini): Melakukan Qunut pada shalat Shubuh menurut kami setiap waktu. Inilah yang dikatakan Malik, al-Auza’i, ibnu Abi Laila, al-Husain bin Shalih, dan diriwayatkan oleh asy-Syafi’i dari khalifah yang empat, dan Anas. Adapun ats-Tsauri, Abu Haniifah dan sahabat-sahabatnya berpendapat: Qunut tidak di Sunnahkan dalam shalat Shubuh. Diriwayatkan hal itu dari ibnu ‘Abbas, ibnu ‘Umar, ibnu Mas’ud, dan Abud-Darda’. Abu Yusuf berkata: “Apabila imam melakukan Qunut….maka Qunutlah bersamanya….”
(Al-Bayaan fii Madzhab asy-Syafi’i, 2/242-243).
Abul-Hasan al-Mardawi berkata ketika menerangkan posisi madzhab Ahmad bin Hanbal rahimahullah:
ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ : ﺃﻧﻪ ﻳﻜﺮﻩ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻛﻐﻴﺮﻫﺎ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﻭﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺟﻴﺰ : ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ . ﻗﻠﺖ : ﺍﻟﻨﺺ ﺍﻟﻮﺍﺭﺩ ﻋﻦ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻣﺤﺘﻤﻞ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ ﻭﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ
“Yang shahih dari madzhab: Bahwasannya Ahmad
memakruhkan Qunut diwaktu shalat Shubuh sebagaimana (kemakruhan melakukan Qunut) selain shalat witir. Inilah pendapat jumhur. Dan ia berkata dalam al-Wajiiz: ‘Tidak boleh melakukan Qunut dalam shalat Shubuh’. Aku berkata: "Nash yang ada dari al-Imam Ahmad: "tidak boleh Qunut dalam shalat Shubuh’ dibawa pada pengertian makruh tahrim".
(Al-Inshaf fii Ma’rifati-Rajih minal-Khilaf ‘ala Madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal , 2/174).
Ahmad Syakir rahimahullah berkata saat menyanggah perkataan Thariq bin Asyyam bahwasannya Qunut Shubuh adalah muhdats:
ﺛﺒﺖ ﻓﻲ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﺻﺤﻴﺤﺔ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺒﺢ، ﻭﻣﻦ ﺣﻔﻆ ﺣﺠﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺤﻔﻆ . ﻭﺍﻟﻤﺜﺒﺖ ﻣﻘﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺎﻓﻲ . ﻭﻫﻮ ﻧﻔﻞ ﻻ ﻭﺍﺟﺐ . ﻓﻤﻦ ﺗﺮﻛﻪ ﻓﻼ ﺑﺄﺱ، ﻭﻣﻦ ﻓﻌﻠﻪ ﻓﻬﻮ ﺃﻓﻀﻞ .
“Telah tetap dalam hadits-hadits shahih tentang (masyru’-nya) Qunut pada shalat Shubuh. Orang yang hapal merupakan hujjah bagi orang yang tidak hapal. Yang menetapkan lebih didahulukan dari yang meniadakan. Barangsiapa yang meninggalkannya, tidak mengapa. Dan barangsiapa yang mengerjakannya, maka itu afdhal (lebih utama)”.
(Syarh Sunan at-Tirmidzi, 2/252).
Menilik perkataan al-Imam Ahmad Syakir diatas, dan juga para ulama mutaqaddimin, memang benar ada beberapa hadits yang dianggap sebagai hujjah masyru’-nya (bolehnya) Qunut Shubuh secara terus-menerus. Diantaranya Apa yang telah dijadikan hujjah oleh madzhab Syafi’iyyah dan yang lainnya dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, sebagaimana dinukil oleh Abul-Husain asy-Syafi’i al-Yamani rahimahullah adalah hadits berikut ini:
ﻭﺣﺪﺛﻨﻲ ﻋﻤﺮﻭ ﺍﻟﻨﺎﻗﺪ ﻭﺯﻫﻴﺮ ﺑﻦ ﺣﺮﺏ . ﻗﺎﻻ : ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺇﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ﻋﻦ ﺃﻳﻮﺏ، ﻋﻦ ﻣﺤﻤﺪ . ﻗﺎﻝ : ﻗﻠﺖ ﻷﻧﺲ : ﻫﻞ ﻗﻨﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺼﺒﺢ؟ ﻗﺎﻝ : ﻧﻌﻢ . ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ ﻳﺴﻴﺮﺍ .
"Dan telah menceritakan kepadaku Amru an-Naqid dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami Isma'il, dari Ayyub, dari Muhammad, ia berkata: Aku bertanya kepada Anas: “Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan Qunut pada shalat Shubuh ?”. - Ia menjawab: “Benar, sebentar setelah rukuk”.
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 677 [298]. Diriwayatkan juga oleh al-Bukhari no. 1001, ibnu Majah no. 1184, Abu Dawud no. 1444, dan yang lainnya).
Akan tetapi, mari kita perhatikan jalan periwayatan yang lainnya dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu:
Riwayat pertama:
ﻭﺣﺪﺛﻨﻲ ﻋﺒﻴﺪﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻣﻌﺎﺫ ﺍﻟﻌﻨﺒﺮﻱ ﻭﺃﺑﻮ ﻛﺮﻳﺐ ﻭﺇﺳﺤﺎﻕ ﺑﻦ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ . ﻭﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪﺍﻷﻋﻠﻰ ( ﻭﺍﻟﻠﻔﻆ ﻻﺑﻦ ﻣﻌﺎﺫ ) ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺮ ﺑﻦ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ، ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻣﺠﻠﺰ، ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ : ﻗﻨﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺷﻬﺮﺍ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ . ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺼﺒﺢ . ﻳﺪﻋﻮ ﻋﻠﻰ ﺭﻋﻞ ﻭﺫﻛﻮﺍﻥ . ﻭﻳﻘﻮﻝ "ﻋﺼﻴﺔ ﻋﺼﺖ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ."
"Dan telah menceritakan kepadaku Ubaidullah bin Mu’adz al-Anbari, Abu Kuraib, Ishaq bin Ibrahim, Muhammad bin Abdil-A’la dan lafadzh hadits ini adalah milik ibnu Mu’adz: Telah menceritakan kepada kami al-Mu’tamir bin Sulaiman, dari ayahnya, dari Abu Mijlaz, dari Anas bin Malik: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan Qunut selama sebulan setelah rukuk dalam shalat Shubuh. Beliau mendo'akan keburukkan kepada Bani Ri’l, dan Bani Dzakwan, dan bersabda: “’Ushayyah telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”.
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 677 [299]. Diriwayatkan juga oleh al-Bukhari no. 1003:4094).
Riwayat kedua:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻤﺜﻨﻰ . ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪﺍﻟﺮﺣﻤﻦ . ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻫﺸﺎﻡ ﻋﻦ ﻗﺘﺎﺩﺓ، ﻋﻦ ﺃﻧﺲ؛ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﻨﺖ ﺷﻬﺮﺍ . ﻳﺪﻋﻮ ﻋﻠﻰ ﺃﺣﻴﺎﺀ ﻣﻦ ﺃﺣﻴﺎﺀ ﺍﻟﻌﺮﺏ . ﺛﻢ ﺗﺮﻛﻪ .
"Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna: Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman: Telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Qatadah, dari Anas: Bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan Qunut selama sebulan mendo'akan keburukkan kepada sebagian orang-orang Arab, kemudian beliau meninggalkannya”.
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 677 [304] Diriwayatkan pula oleh al-Bukhari no. 4089).
Riwayat ketiga:
ﺃﻧﺎ ﺃﺑﻮ ﻃﺎﻫﺮ ﻧﺎ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻧﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺮﺯﻭﻕ ﺍﻟﺒﺎﻫﻠﻲ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭﻱ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻋﺮﻭﺑﺔ ﻋﻦ ﻗﺘﺎﺩﺓ ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﺩﻋﺎ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﺃﻭ ﺩﻋﺎ ﻋﻠﻰ ﻗﻮﻡ
"Telah menceritakan kepada kami Abu Thahir: Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakar: Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Muhammad bin Marzuq al-Bahili: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdillah al-Anshari: Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Abi Arubah, dari Qatadah, dari Anas : Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan Qunut, kecuali jika mendo'akan kebaikan pada satu kaum atau mendo'akan keburukkan pada satu kaum”.
(Diriwayatkan oleh ibnu Khuzaimah no. 620; shahih).
Dari ketiga hadits diatas telah menjelaskan bahwa Qunut Shubuh yang dimaksudkan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu adalah do'a Qunut Nazilah (Do'a disaat ada musibah/karena sebab mendo'akan kebaikan dan keburukan suatu kaum) karena peristiwa Ri’l Ma’unah. Itupun tidak dilakukan terus-menerus, karena hanya dilakukan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selama sebulan dan kemudian beliau tinggalkan.
Lalu apakah do'a Qunut tersebut hanya dilakukan khusus pada shalat Shubuh saja ?
Perhatikan riwayat-riwayat berikut:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠّﻪ ﺑﻦ ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ ﺍﻟﺠﻤﺤﻲ، ﺛﻨﺎ ﺛﺎﺑﺖ ﺑﻦ ﻳﺰﻳﺪ، ﻋﻦ ﻫﻼﻝ ﺑﻦ ﺧﺒﺎﺏ، ﻋﻦ ﻋﻜﺮﻣﺔ، ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻗﺎﻝ : ﻗَﻨَﺖَ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠّﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠّﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺷﻬﺮﺍً ﻣﺘﺘﺎﺑﻌﺎً ﻓﻲ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﻭﺍﻟﻌﺼﺮ ﻭﺍﻟﻤﻐﺮﺏ ﻭﺍﻟﻌﺸﺎﺀ ﻭﺻﻼﺓ ﺍﻟﺼﺒﺢ ﻓﻲ ﺩﺑﺮ ﻛﻞ ﺻﻼﺓ ﺇﺫﺍ ﻗﺎﻝ : " ﺳﻤﻊ ﺍﻟﻠّﻪ ﻟﻤﻦ ﺣﻤﺪﻩ " ﻣﻦ ﺍﻟﺮﻛﻌﺔ ﺍﻵﺧﺮﺓ ﻳﺪﻋﻮ ﻋﻠﻰ ﺃﺣﻴﺎﺀ ﻣﻦ ﺑﻨﻲ ﺳﻠﻴﻢ ﻋﻠﻰ ﺭﻋﻞٍ ﻭﺫﻛﻮﺍﻥ ﻭﻋﺼﻴﺔ، ﻭﻳﺆﻣّﻦ ﻣﻦ ﺧﻠﻔﻪ .
"Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Mu’awiyyah al-Jumahi: Telah menceritakan kepada kami Tsabit bin Yazid, dari Hilal bin Khabbab, dari Ikrimah, dari ibnu Abbas, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan penuh pada shalat Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’, dan Shubuh pada akhir setiap shalat, yaitu saat beliau berkata: "sami’Allaahu liman hamidah" diraka’at terakhir. Beliau mendo'akan kejelekan pada orang-orang Bani Sulaim, Bani Ri’l, Bani Dzakwan, dan Bani Ushayyah; serta diaminkan orang-orang yang dibelakang beliau (makmum)”.
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1443: hasan).
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺛﻨﺎ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺛﻨﺎ ﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲ ﺣﺪﺛﻨﻲ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻛﺜﻴﺮ ﺣﺪﺛﻨﻲ ﺃﺑﻮ ﺳﻠﻤﺔ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ : ﻗﻨﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻌﺘﻤﺔ ﺷﻬﺮﺍ ﻳﻘﻮﻝ ﻓﻲ ﻗﻨﻮﺗﻪ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻧﺞ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻧﺞ ﺳﻠﻤﺔ ﺑﻦ ﻫﺸﺎﻡ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻧﺞ ﺍﻟﻤﺴﺘﻀﻌﻔﻴﻦ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺍﺷﺪﺩ ﻭﻃﺄﺗﻚ ﻋﻠﻰ ﻣﻀﺮ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺍﺟﻌﻠﻬﺎ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺳﻨﻴﻦ ﻛﺴﻨﻲ ﻳﻮﺳﻒ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻭﺃﺻﺒﺢ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺫﺍﺕ ﻳﻮﻡ ﻓﻠﻢ ﻳﺪﻉ ﻟﻬﻢ ﻓﺬﻛﺮﺕ ﺫﻟﻚ ﻟﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﻭﻣﺎ ﺗﺮﺍﻫﻢ ﻗﺪ ﻗﺪﻣﻮﺍ
"Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ibrahim: Telah menceritakan kepada kami al Walid: Telah menceritakan kepada kami al-Auza’i: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abi Katsir: Telah menceritakan kepadaku Abu Salamah bin Abdirrahman, dari Abu Hurairah: Bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan Qunut pada shalat ‘Atamah (Maghrib dan Isya’) selama sebulan dan berdo'a: “Ya Allah, selamatkanlah al-Walid bin al-Walid. Ya Allah, selamatkanlah Salamah bin Hisyam. Ya Allah, selamatkanlah orang-orang lemah dari kalangan mukminin. Ya Allah, keraskanlah tekanan (adzab) kepada Bani Mudlar. Ya Allah, jadikanlah hal itu terjadi atas mereka selama bertahun-tahun seperti pada masa Yusuf”. Abu Hurairah berkata: “Pada satu hari diwaktu Shubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lagi mendo'akan mereka. Maka aku pun menanyakan permasalahan itu pada beliau, lalu beliau bersabda: "Apa pendapatmu tentang mereka sementara mereka telah meninggal ?”.
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1442; shahih).
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻤﺜﻨﻰ . ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﻌﺎﺫ ﺑﻦ ﻫﺸﺎﻡ . ﺣﺪﺛﻨﻲ ﺃﺑﻲ ﻋﻦ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻛﺜﻴﺮ . ﻗﺎﻝ : ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺳﻠﻤﺔ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ؛ ﺃﻧﻪ ﺳﻤﻊ ﺃﺑﺎ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻳﻘﻮﻝ : ﻭﺍﻟﻠﻪ ! ﻷﻗﺮﺑﻦ ﺑﻜﻢ ﺻﻼﺓ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ . ﻓﻜﺎﻥ ﺃﺑﻮ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻈﻬﺮ . ﻭﺍﻟﻌﺸﺎﺀ ﺍﻵﺧﺮﺓ . ﻭﺻﻼﺓ ﺍﻟﺼﺒﺢ . ﻭﻳﺪﻋﻮ ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﻴﻦ . ﻭﻳﻠﻌﻦ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ
"Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna: Telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam: Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Yahya bin Abi Katsir, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Salamah bin Abdirrahman, bahwasannya ia pernah mendengar Abu Hurairah berkata: “Demi Allah, sungguh aku akan dekatkan kalian dengan shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Maka Abu Hurairah melakukan Qunut pada shalat Dhuhur, Isya’ yang akhir, dan Shubuh dengan mendo'akan kebaikan bagi kaum muslimin dan melaknat orang-orang kafir”.
(Diriwayatkan oleh Muslim no. 676 [296]).
Dari ketiga riwayat diatas ini dengan jelas menunjukkan bahwa do'a Qunut beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak hanya dilakukan diwaktu shalat Shubuh, akan tetapi dilakukan pula pada waktu-waktu shalat yang lain, dalam rangka untuk mendo'akan kebaikan kaum muslimin dan melaknat kaum kafir.
Ringkasnya, tidak ada pendalilan untuk hadits Anas diatas sebagai hujjah masyru’-nya do'a Qunut pada shalat Shubuh secara terus-menerus secara khusus.
Tidak dipungkiri memang, bahwa ada riwayat yang juga dari Anas bin Malik radhiallahu lainnya yang menjadi hujjah masyru’-nya do'a Qunut pada shalat Shubuh secara terus-menerus, riwayat inipun dijadikan sandaran oleh pihak untuk melegalisasi akan masyru'nya amalan ini, berikut riwayat tersebut:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺯﺍﻕ ﻗﺎﻝ ﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺟﻌﻔﺮ ﻳﻌﻨﻲ ﺍﻟﺮﺍﺯﻱ ﻋﻦ ﺍﻟﺮﺑﻴﻊ ﺑﻦ ﺃﻧﺲ ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻗﺎﻝ ﻣﺎ ﺯﺍﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﺣﺘﻰ ﻓﺎﺭﻕ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ
"Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far, yaitu ar-Razi, dari ar-Rabi’ bin Anas, dari Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan Qunut diwaktu Shubuh hingga meninggal dunia”.
(Diriwayatkan oleh Ahmad 3/162, Diriwayatkan juga oleh Abdurrazzaq no. 4963, ad-Daruquthni 2/370-372 no. 1692-1694, ibnu Abi Syaibah 2/312, al-Bazzaar dalam Kasyful-Astar no. 556, ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil-Atsar 1/244, al-Baihaqi 2/201, al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah no. 639, al-Hazimi dalam al-I’tibar hal. 86, adl-Dliya’ dalam al-Mukhtarah no. 2128; semuanya dari jalan Abu Ja’far ar-Razi. Al-Baihaqi berkata: “Sanad hadits ini shahih, para perawinya tsiqah”).
Keterangan: Perkataannya al-Baihaqi ini layak untuk dicermati keabsahannya,karena status hadits ini adalah dha'if (lemah), bahkan riwayatnya "Munkar". Riwayat Abu Ja’far ar-Razi ini tidak diterima jika menyendiri atau menyelisihi riwayat para perawi tsiqat, karena jeleknya hapalannya. Dalam riwayat ad-Daruquthni dibawakan dengan lafadzh:
ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﻨﺖ ﺷﻬﺮﺍ ﻳﺪﻋﻮﺍ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺛﻢ ﺗﺮﻛﻪ ﻭﺃﻣﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺒﺢ ﻓﻠﻢ ﻳﺰﻝ ﻳﻘﻨﺖ ﺣﺘﻰ ﻓﺎﺭﻕ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ
“Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan Qunut selama sebulan untuk mendo'akan kejelekan pada mereka, kemudian meninggalkannya. Adapun untuk (Qunut) pada shalat Shubuh, maka beliau senantiasa melakukannya hingga meninggal dunia”.
Riwayat Anas bin Malik yang dibawakan Abu Ja’far ini menyelisihi riwayat yang telah disebutkan diatas dari Anas yang menyebutkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya Qunut Nazilah selama sebulan kemudian berhenti.
(HR. Al-Bukhari no. 4089 dan Muslim no. 677).
Anas pun memberi kesaksian bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan do'a Qunut Shubuh kecuali do'a Qunut Nazilah untuk mendo'akan kebaikan atau keburukkan pada satu kaum.
(HR. Ibnu Khuzaimah no. 620).
Apalagi dalam hadits shahih riwayat dari ibnu Khuzaimah no. 619, bahwa ibnu Abbas telah menguatkan kesaksian tersebut. Oleh karena itu, riwayatnya dari Anas bin Malik yang dibawakan dari Abu Ja’far disini adalah riwayat yang "Munkar".
Ar-Rabi’ bin Anas mempunyai mutaba’ah dari:
1. Al-Hasan al-Bashri.
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺩﺍﻭﺩ ﻗﺎﻝ : ﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻣﻌﻤﺮ، ﻗﺎﻝ : ﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻮﺍﺭﺙ، ﻗﺎﻝ : ﺛﻨﺎ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﻋﺒﻴﺪ، ﻋﻦ ﺍﻟﺤﺴﻦ، ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ : ﺻﻠﻴﺖ ﻣﻊ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻠﻢ ﻳﺰﻝ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻐﺪﺍﺓ، ﺣﺘﻰ ﻓﺎﺭﻗﺘﻪ، ﻭﺻﻠﻴﺖ ﻣﻊ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻓﻠﻢ ﻳﺰﻝ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻐﺪﺍﺓ ﺣﺘﻰ ﻓﺎﺭﻗﺘﻪ .
"Telah menceritakan kepada kami ibnu Abi Dawud, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdul Warits, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Amru bin Ubaid, dari al-Hasan, dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka beliau senantiasa Qunut pada shalat Shubuh hingga meninggal dunia. Dan aku pun pernah shalat bersama 'Umar bin al-Khathab radhiallahu ‘anhuma, maka ia senantiasa Qunut pada shalat Shubuh hingga meninggal dunia”.
(Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil-Atsar, 1/243. Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi 2/202 dan ad-Daruquthni 2/372-373 no. 1695-1698).
Keterangan: Amru bin Ubaid at-Tamimi al-Bashri al-Mu’tazili menjadi penyakit utama dalam sanad hadits ini. Ia seorang yang "Matruk' sebagaimana yang dikatakan oleh Amru bin Ali dan Abu Hatim. Bahkan, Yunus bin Ubaid mengatakan ia telah memalsukan hadits. Humaid mengatakan Amru bin Ubaid at-Tamimi al-Bashri al-Mu’tazili ini telah memalsukan hadits dari al-Hasan al-Bashri. Mu’adz bin Mu’adz dan Ayyub mengatakan ia adalah seorang "Pendusta". Dan yang lainnya banyak sekali celaan dar para muhaddits (ahli hadits) terhadapnya dengan celaan-celaan yang berat.
(Selengkapnya lihat dalam: Tahdzibut-Tahdzib, 8/70-75 no. 108).
Kemudian riwayat dari Anas bin Malik lainnya yang menjadi sandaran untuk do'a Qunut Shubuh telah dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani dalam silsilah hadits adh Dha'ifah Wa Maudhu’ah no. 1238 hal. 384. Anas bin Malik radhiallahu 'anhu pernah berkata :
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan senantiasa Qunut Shubuh sampai beliau menuinggal dunia.”
Syaikh Hasan Mashur Salman mengomentari hadits ini yang bersumber dari Abu Ja’far ar Razi yang tercampur hafalannya, sebagaimana dikatakan oleh ibnu al-Madini begitu pula Abu Jur’ah beliau juga menyatakan Abu Ja’far Ar Razi adalah seorang yang sering ragu (wahm), dan ibnu Hibban berujar:”Abu Ja’far Ar Razi bersendirian dalam meriwayatkan hadits-hadits mungkar, yang masyhur sehingga derajat hadits ini tidak shahih, dengan demikian hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah untuk beribadah kepada Allah ta'ala.
(Lihat al-Qaulul Mubin fi Akhthaul Mushallin:127).
Maka, riwayat ini tidak layak untuk dijadikan hujjah untuk mereka yang membolehkan do'a Qunut Shubuh, karena haditsnya dha'iffun jiddan (sangat lemah), bahkan haditnya Maudhu' (palsu).
Ada jalur lain yang dibawakan oleh ad-Daruquthni [2/373 no. 1698] dari Isma’il al-Makki dari al-Hasan, dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu sebagai berikut:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺑﻦ ﺣﻤﺎﺩ ﺛﻨﺎ ﻋﺒﺎﺩ ﺑﻦ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺛﻨﺎ ﻗﺮﻳﺶ ﺑﻦ ﺃﻧﺲ ﺛﻨﺎ ﺇﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ﺍﻟﻤﻜﻲ ﻭﻋﻤﺮﻭ ﻋﻦ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﻗﺎﻝ : ﻗﺎﻝ ﻟﻲ ﺃﻧﺲ ﻗﻨﺖ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻣﻊ ﻋﻤﺮ ﺣﺘﻰ ﻓﺎﺭﻗﺘﻬﻤﺎ
"Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin
Hammad: Telah menceritakan kepada kami Abbad bin al-Walid: Telah menceritakan kepada kami Quraisy bin Anas: Telah menceritakan kepada kami Isma’il al-Makki dan Amru, dari al-Hasan, ia berkata: Telah berkata kepadaku Anas: “Aku melakukan Qunut bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersama Umar hingga keduanya berpisah denganku (meninggal dunia)”.
(Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi 2/202 dari jalan Quraisy bin Anas yang selanjutnya seperti riwayat ad-Daruquthni).
Keterangan: Hadits ini dha'iffun jiddan (sangat lemah), karena faktor dari Isma’il al-Makki.
Riwayat lain dari Abu Qatadah radhiallahu 'anhu disebutkan:
ﺃﺧﺒﺮﻧﺎ ﺃﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺛﻨﺎ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺣﻤﺸﺎﺫ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﻭﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻌﻨﺒﺮﻱ ﻗﺎﻻ ﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺍﻟﻌﺒﺪﻱ ﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﻨﻔﻴﻠﻲ ﺛﻨﺎ ﺧﻠﻴﺪ ﺑﻦ ﺩﻋﻠﺞ ﻋﻦ ﻗﺘﺎﺩﺓ ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﻨﺖ ﻭﺧﻠﻒ ﻋﻤﺮ ﻓﻘﻨﺖ ﻭﺧﻠﻒ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﻓﻘﻨﺖ
"Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Abdillah al-Hafidh: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hamasyadz al-‘Adl dan Yahya bin Muhammad bin Abdillah al-Anbari, mereka berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah Muhammad bin Ibrahim al-Abdi: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad an-Nufaili: Telah menceritakan kepada kami Khalid bin Dal’aj, dari Qatadah, dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, ia berkata: “Aku pernah shalat dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau melakukan Qunut. Dibelakang 'Umar ia Qunut, dan dibelakang Utsman, iapun Qunut”.
(Diriwayatkan oleh al-Baihaqi 2/202).
Keterangan: Hadits ini dha'if (lemah) lagi Munkar. Penyakitnya ada pada Khalid bin Dal’aj, ia seorang yang dha’if, ia yang meriwayatkan beberapa hadits munkar dari Qatadah. Dan ini sebagian diantaranya. Selain itu, riwayat Anas yang menyatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafaur Rasyidin setelah melakukan Qunut Shubuh secara terus-menerus sangat nyata bertentangan dengan persaksian Thariq bin Asyyam bin Mas’ud al-Asyja’i (yang disebutkan diawal bahasan) bahwasannya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan Qunut Shubuh (secara terus-menerus), dan hal itu berjalan hingga kekhalifahan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu .
Seorang Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang bernama Thariq bin Asyyam bin Mas'ud al-Asyja'i ayahanda Abu Malik Sa'd al-Asyja'i radhiallahu 'anhu dengan tegas dan tandas mengatakan bahwa: "Qunut Shubuh adalah BID'AH".
PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG QUNUT SHUBUH TERUS MENERUS.
[1]. Imam ibnul Mubarak rahimahullah berpendapat tidak ada Qunut dishalat Shubuh.
[2]. Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata: Qunut Shubuh (terus-menerus itu) dilarang.
(Lihat dalam Subulus Salam [I/378])
[3]. Abul Hasan al-Kurajiy asy-Syafi'i rahimahullah (wafat th. 532 H), beliau tidak mengerjakan Qunut Shubuh. Dan ketika ditanya: "Mengapa demikian?". Beliau menjawab: "Tidak ada satu pun hadits yang shahih tentang masalah Qunut Shubuh".
(Lihat dalam silsilatul Ahaadits adh-Dha'ifah wal Maudhuah [II/388]).
[4]. Imam ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah berkata: "Tidak ada sama sekali petunjuk dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau telah mengerjakan do'a Qunut Shubuh terus-menerus. Bahkan Jumhur (sepakat) ulama berkata: "Tidaklah Qunut Shubuh ini dikerjakan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan tidak ada satupun dalil yang sah yang menerangkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam mengerjakan yang demikian".
(Lihat Zaadul Ma'ad [I/271 : 283], tahqiq: Syuaib al-Arnauth dan Abdul Qadir al-Arnauth).
[5]. Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata: "Qunut Shubuh tidak disyari'atkan kecuali bila ada Nazilah (musibah) itupun dilakukan dalam shalat lima waktu, dan bukan hanya diwaktu shalat Shubuh saja. Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, ibnul Mubarak, Sufyan ats-Tsauri dan Ishaq, mereka semua tidak melakukan Qunut Shubuh.
(Lihat Fiqhus Sunnah [I/167-168]).
PENJELASAN TENTANG PENDAPAT MEREKA YANG MENSUNNAHKANNYA.
Sebagian orang ada yang mengatakan: Madzhab kami berpendapat Sunnah ber-Qunut pada shalat Shubuh, baik ada Nazilah ataupun tidak ada Nazilah.
Namun apabila diperhatikan, maka kita dapat mengetahui bahwa yang melatar belakangi pendapat demikian adalah karena anggapan mereka tentang adanya hadits Qunut Shubuh secara terus-menerus. Akan tetapi setelah diadakan penelitian oleh para ulama ahli hadits, ternyata hadits-hadits yang menyebutkan masyru'-nya Qunut Shubuh ini ternyata semuanya banyak kecacatan, artinya hadits tersebut semuanya berstatus dha'if (lemah) bahkan haditsnya Maudhu' (palsu).
Kemungkinan besar, mereka belum mengetahui ini karena belum sampainya berita kepada mereka tentang kecacatan hadits-hadits tersebut. Namun kendati ada ulama yang me-masyru’kan Qunut ini bukan berarti kemudian kita harus menentang, meremehkan atau menolak pendapatnya hanya karena berbeda pendapat dengan kita.
Permasalahan ini sudah masyhur adalah soal khilaf dikalangan para ulama, jika ada disebagian ulama yang bertentangan dengan pendapat kita karena berdasarkan kita mengambil pendapat dari ulama yang lain, dalam hal ini janganlah kita sampai fanatik dengan pendapat yang kita yakini, kemudian kita meremehkan pendapat ulama yang berseberangan dengan kita, akan tetapi kita tetap harus menghormati, menjunjung tinggi dan menghargai atas segala usaha serta jerih payah mereka para ulama yang telah berjuang berdakwah demi menegakkan tauhid dimuka bumi ini, dan kita tetap patut beryukur dan bangga memiliki ulama seperti mereka yang memiliki ilmu begitu luas yang tiada tandingannya diabad ini, semua itu tiada lain demi untuk menuntun kita sebagai umat muslim ke arah jalan agama yang lurus, agar tidak tersesat dari jalan Allah dan Rasul-Nya. Semoga mereka para ulama ini berkumpul bersama para Nabi dan Rasul serta bersama para sahabat dan orang-orang shalih lainya dalam surganya Allah subhanahu wa ta’ala.
Selanjutnya dalam perkara ini, harus dipahami bahwa mereka ulama tetaplah ulama yang hanya manusia biasa, siapapun dia, sebab sifat manusia itu bisa benar dan bisa salah, ada yang bisa diambil pendapatnya dan yang ditolak, katena semua umat ini tidak ada yang ma’shum (lepas dari kesalahan) kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam Malik rahimahullah:
ﻟﻴﺲ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺧﻠﻖ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻻ ﻭﻳﺆﺧﺬ ﻣﻦ ﻗﻮﻟﻪ ﻭﺗﺮﻙ ﺇﻻ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
“Tidak ada seorangpun setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kecuali perkataannya itu ada yang diambil dan ada yang ditinggalkan, kecuali Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam“.
(Ibnu Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayanil-‘Ilmi wa Fadhlihi juz II, hal. 111-112).
Tentang ketidak ma'shuman ini al-Imam Malik rahimahullah mengungkapkan bahwa beliau juga bisa keliru dan bisa benar dengan mengatakan:
ﺇﻧﻤﺎ ﺃﻧﺎ ﺑﺸﺮ ﺃﺧﻄﺊ ﻭﺃﺻﻴﺐ، ﻓﺎﻧﻈﺮﻭﺍ ﻓﻲ ﺭﺃﻳﻲ؛ ﻓﻜﻞ ﻣﺎ ﻭﺍﻓﻖ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ؛ ﻓﺨﺬﻭﻩ، ﻭﻛﻞ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻮﺍﻓﻖ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ؛ ﻓﺎﺗﺮﻛﻮﻩ
“Aku ini hanya seorang manusia biasa, yang kadang salah dan kadang benar. Maka cermatilah setiap pendapatku, jika sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah.”
(Diriwayatkan ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jami' 2/32, ibnu Hazm dalam Ushul al-Ahkam 6/149. Dinukil dari ashl Sifah Shalatin Nabi,27).
Bahkan seorang sahabat Ali bin Abi Thaalib radhiallahu ‘anhu sendiri disebutkan pernah mengatakan tentang ketidak ma'shuman dirinya dengan mengatakan:
ﻓﻼ ﺗﻜﻔﺮﻭﺍ ﻋﻦ ﻣﻘﺎﻟﺔ ﺑﺤﻖ، ﺃﻭ ﻣﺸﻮﺭﺓ ﺑﻌﺪﻝ، ﻓﺈﻧِّﻲ ﻟﺴﺖ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻲ ﺑﻔﻮﻕ ﺃﻥ ﺃﺧﻄﺊ، ﻭﻻ ﺁﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﻓﻌﻠﻲ، ﺇﻟَّﺎ ﺃﻥ ﻳﻜﻔﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﻧﻔﺴﻲ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺃﻣﻠﻚ ﺑﻪ ﻣﻨِّﻲ
“Janganlah kamu berhenti dari mengatakan kebenaran, atau bermusyawarah dengan adil. Sebab aku pada diriku tidak terbebas dari kesalahan dan aku tidak menjamin hal itu dari perbuatanku, kecuali bila Allah mencukupkan dari diriku sesuatu yang Dia lebih memilikinya daripadaku”.
(Nahjul-Balaaghah, hal 485: Daarul-Ma’rifah, Beirut).
Dan al-Imam asy-Syafi'i (lahirkan tahun 150 H dan wafat tahun 204 H) sangat memahami hal ini, sehingga beliau termasuk ulama yang paling banyak memberikan nasehat kepada umat ini untuk tidak taqlid (mengikuti) kepada pendapat siapapun termasuk kepada beliau jika pendapatnya ada yang bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau menganjurkan kepada umatnya untuk tidak berpedoman dengan pendapatnya tersebut, dan menyarankan untuk tetap berpedoman hanya kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Berikut petikan beberapa perkataan beliau:
ﺇِﺫَﺍ ﻭَﺟَﺪْﺗُﻢْ ﻓِﻲ ﻛِﺘَﺎﺑِﻲ ﺧِﻼَﻑَ ﺳُﻨَّﺔِ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﺑِﺴُﻨَّﺔِ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺩَﻋُﻮﺍ ﻣَﺎ ﻗُﻠْﺖُ - ﻭﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ - ﻓَﺎﺗَّﺒِﻌُﻮﻫَﺎ ﻭَﻻَ ﺗَﻠْﺘَﻔِﺘُﻮﺍ ﺇِﻟﻰَ ﻗَﻮْﻝِ ﺃَﺣَﺪٍ. ) ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻓﻲ. ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ 1 / 63
"Apabila kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, maka sampaikanlah Sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku". – dan dalam riwayat lain Imam asy-Syafi’i mengatakan: "Maka ikutilah Sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang".
(Lihat al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab 1/63).
Al-Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata:
ﻋِﻨْﺪَ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟﻨَّﻘْﻞِ ﺑِﺨِﻼَﻑِ ﻣَﺎ ﻗُﻠْﺖُ ﻓَﺄَﻧﺎَ ﺭَﺍﺟِﻊٌ ﻋَﻨْﻬَﺎ e ﻛُﻞُّ ﻣَﺴْﺄَﻟَﺔٍِ ﺻَﺢَّ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﺍﻟْﺨَﺒَﺮُ ﻋَﻦْ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪ (ﻓِﻲ ﺣَﻴَﺎﺗِﻲ ﻭَﺑَﻌْﺪَ ﻣَﻮْﺗِﻲ) ﺃﺑﻮ ﻧﻌﻴﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻠﻴﺔ 9 /107
"Setiap masalah yang disana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku".
(Lihat Hilyatul Auliya’ 9/107).
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
ﻛُﻞُّ ﻣَﺎ ﻗُﻠْﺖُ ﻓَﻜَﺎﻥَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺧِﻼَﻑُ ﻗَﻮْﻟِﻲْ ﻣِﻤَّﺎ ﻳَﺼِﺢُّ ﻓَﺤَﺪِﻳْﺚُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺃَﻭْﻟَﻰ، ﻓَﻼَ ﺗُﻘَﻠِّﺪُﻭْﻧِﻲ
“Setiap dari perkataanku, kemudian ada riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi perkataanku, maka hadits Nabi (harus) diutamakan. Maka janganlah kalian taqlid (mengikuti) kepadaku”.
(Diriwayatkan oleh ibnu Abi Hatim dalam Adab asy-Syafi’i [hal. 93], ibnu Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in [IV/45-46], Abu Nu’aim dan ibnu Asakir [XV/9/2] dengan sanad yang shahih. Lihat juga Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, [hal. 52] ).
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
ﺃﺟﻤﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﻦ ﺍﺳﺘﺒﺎﻧﺖ ﻟﻪ ﺳﻨﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﺪﻋﻬﺎ ﻟﻘﻮﻝ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ
“Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya Sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak boleh ia meninggalkan Sunnah demi membela pendapat siapapun”.
(Diriwayatkan oleh ibnul Qayyim dalam al-I’lam 2/361. Dinukil dari ashl Sifah Shalatin Nabi , 28).
Al-Imam asy-Syafi'i Rahimahullah berkata:
ﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﺃَﺣَﺪٍ ﺇِﻻَّ ﻭَﺗَﺬْﻫَﺐُ ﻋَﻠَﻴﻪِ ﺳُﻨَّﺔٌ ﻟِﺮَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺗَﻌْﺰُﺏُ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﻤَﻬْﻤَﺎ ﻗُﻠْﺖُ ﻣِﻦْ ﻗَﻮْﻝٍ ﺃَﻭْ ﺃَﺻَّﻠْﺖُ ﻣِﻦْ ﺃَﺻْﻞٍ, ﻓِﻴْﻪِ ﻋَﻦْ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻟِﺨِﻼَﻑِ ﻣَﺎ ﻗُﻠْﺖُ ﻓَﺎﻟْﻘَﻮْﻝُ ﻣَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﻫُﻮَ ﻗَﻮْﻟِﻲ ) ﺗﺎﺭﻳﺦ
ﺩﻣﺸﻖ ﻻﺑﻦ ﻋﺴﺎﻛﺮ 15 / 389 )
"Tidak ada seorang pun melainkan pasti ada sebagian Sunnah Rasulullah yang luput dari pengetahuannya. Maka perkataan apa pun yang pernah kukatakan, atau kaidah apa pun yang kuletakkan, sedang disana ada hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang bertentangan dengan pendapatku, maka pendapat yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Rasulullah, dan itulah pendapatku".
(Lihat: Tarikh Dimasyq, 15/389 oleh ibnu Asakir).
Al-Imam asy-Syafi'i Rahimahullah berkata:
ﺇِﺫَﺍ ﺻَﺢَّ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚُ ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﺬْﻫَﺒِﻲ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺻَﺢَّ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳْﺚُ ﻓَﺎﺿْﺮِﺑُﻮﺍ
ﺑِﻘَﻮْﻟِﻲ ﺍﻟْﺤَﺎﺋِﻂَ ) ﺳﻴﺮ ﺃﻋﻼﻡ ﺍﻟﻨﺒﻼﺀ ( 3285-3/3284 )
"Kalau ada hadits shahih, maka itulah madzhabku, dan kalau ada hadits shahih maka lemparkanlah pendapatku ke (balik) tembok".
(Lihat Siyar A’laamin Nubala’3/3284-3285).
Begitupun para Imam-imam yang lain juga mengungkapkan hal yang sama untuk tidak taqlid (mengikuti) kepada pendapat siapapun termasuk kepada pendapat beliau, seperti yang diungkapkan oleh al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, beliau berkata:
ﻻ ﺗﻘﻠﺪﻧﻲ، ﻭﻻ ﺗﻘﻠﺪ ﻣﺎﻟﻜﺎً، ﻭﻻ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ، ﻭﻻ ﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲ، ﻭﻻ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ، ﻭﺧﺬ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﺃﺧﺬﻭﺍ
“Jangan taqlid (mengikuti) kepada pendapatku, juga pendapat Malik, asy-Syafi’i, al-Auza’i maupun ats Tsauri. Tapi ambilah dari mana mereka mengambil (dalil)”.
(Diriwayatkan oleh ibnul Qayyim dalam al-I’lam 2/302. Dinukil dari ashl Sifah Shalatin Nabi, 32).
Dan masih banyak lagi pernyataan-pernyatan para ulama lainnya.
Dengan menilik perkataan para ulama diatas, jelas bahwa mereka para ulama sendiri mengakui atas segala keterbatasan mereka, sehingga mereka menuntun kita agar dalam segala perkara ibadah harus tetap merujuk kepada tuntunannya al-Qur'an dan Sunnahnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Oleh sebab itu, begitu pentingnya ittiba' ini sehingga para ulama tiada henti-hentinya berwasiat kepada seluruh umat muslim dimuka bumi ini untuk tetap patuh hanya kepada Allah dan mentaati perintah Rasul-Nya dan kita diperintahkan untuk selalu mencermati setiap mengambil pendapat dari siapapun, karena mereka para ulama tidak ingin umat muslim ini tergelincir oleh hal-hal yang jauh dari ajaran agama.
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ: “ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻧَﻔْﺲُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻟَﻮْ ﺑَﺪَﺍ ﻟَﻜُﻢْ ﻣُﻮْﺳَﻰ ﺛُﻢَّ ﺍﺗَّﺒَﻌْﺘُﻤُﻮْﻩُ ﻭَﺗَﺮَﻛْﺘُﻤُﻮْﻧِﻲْ ﻟَﻀَﻠَﻠْﺘُﻢْ ﻋَﻦْ ﺳَﻮَﺍﺀِ ﺍﻟﺴَّﺒِﻴْﻞِ ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﺣَﻴًّﺎ ﻭَﺃَﺩْﺭَﻙَ ﻧُﺒُﻮَّﺗِﻲْ ﻻَﺗَّﺒَﻌَﻨِﻲْ ”.
"Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya,
seandainya Musa hadir ditengah kalian lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, maka sungguh kalian telah tersesat dari jalan yang lurus., Kiranya Musa hidup dan menjumpai kenabianku, dia pasti mengikutiku".
(HR. Ad-Darimi dalam Sunannya [441] dan Ahmad [3/471, 4/466] Lihat al-Misykah [177] hasan oleh Syaikh al-Albani).
Maksudnya apabila kita meninggalkan Sunnahnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu kita mengikuti Nabi Musa alaihi salam, yang jelas adalah seorang Nabi mulia yang pernah diajak bicara langsung oleh Allah ta'ala, maka kita akan tersesat dari jalan yang lurus. Lantas bagaimana apabila kita meninggalkan Sunnah Nabi lalu mengikuti para kyai, tokoh agama, ustadz, mubaligh, cendekiawan dan sebagainya yang sangat jauh bila dibandingkan dengan Nabi Musa alaihi salam ?
(Lihat kitab Muqaddimah Bidayatus Suul hal. 6 oleh Syaikh al-Albani).
Dan dalam riwayat lain disebutkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ﻟَﻮْ ﺃَﻥَّ ﻣُﻮْﺳَﻰ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻛَﺎﻥَ ﺣَﻴًّﺎ ﻣَﺎ ﻭَﺳِﻌَﻪُ ﺇِﻻَّ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَّﺒِﻌَﻨِﻲْ
“Andaikan Musa hidup, tentunya tidak mungkin baginya, kecuali harus mengikutiku”.
(HR. Ahmad dalam al-Musnad (3/387), ad-Darimi dalam as-Sunan [1/115], ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah [5/2], ibnu Abdil Barr dalam al-Jami’ Bayan al-I'lm [2/42], dan lainnya. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’ [1589]).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ﺃﻣﺘﻬﻮﻛﻮﻥ ﺃﻧﺘﻢ ﻛﻤﺎ ﺗﻬﻮﻛﺖ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻭﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ؟ ﻟﻘﺪ ﺟﺌﺘﻜﻢ ﺑﻬﺎ ﺑﻴﻀﺎﺀ ﻧﻘﻴﺔ ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻣﻮﺳﻰ ﺣﻴﺎ ﻣﺎ ﻭﺳﻌﻪ ﺇﻻ ﺍﺗﺒﺎﻋﻲ
“Apakah kalian orang-orang yang bimbang seperti bimbangnya Yahudi dan Nashara ? Sungguh aku telah membawakan kalian syari'at yang putih dan bersih. Jika seandainya Musa alaihis salam hidup sekarang ini, maka tidak dibolehkan baginya melainkan dia harus mengikuti aku”.
(HR.Ahmad, Baihaqi dalam kitab syu’abul iman, dan dihasankan Syaikh al-Albani dalam al-misykaah).
Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan:
“Mayoritas orang-orang fanatik mazdhab tidak mendalami al-Qur’an dan as-Sunnah kecuali hanya segelintir orang saja. Sandaran mereka hanyalah hadits-hadits lemah, pendapat-pendapat rapuh atau hikayat-hikayat dari para tokoh ulama yang bisa jadi benar dan bisa jadi bohong."
(Majmu’ Fatawa 22/254).
QUNUT NAZILAH.
Qunut Nazilah adalah do'a Qunut yang dikerjakan ketika datang musibah atau kesulitan yang menimpa kaum Muslimin, seperti peperangan, terbunuhnya kaum Muslimin atau diserangnya kaum Muslimin oleh orang-orang kafir. Begitupun ketika ada musibah bencana lainnya seperti musim penyakit yang berbahaya, bencana alam dan lain-lain.
Selain itu Qunut Nazilah ini dilakukan untuk mendo'akan kebaikan atau kemenangan bagi kaum Muslimin dan mendo'akan keburukan atau kekalahan, kehancuran dan kebinasaan bagi orang-orang kafir, Musyrikin dan selainnya yang memerangi kaum Muslimin, Dan do'a Qunut Nazilah ini jika dilakukan pada saat-saat seperti tersebut diatas, maka hukumnya adalah Sunnah, itupun dilakukan bukan hanya didalam shalat Shubuh saja, tapi dilakukan juga disetiap shalat lima waktu. Untuk pelaksanaannya do'a Qunut Nazilah dilakukan sesudah ruku' diraka'at terakhir pada shalat wajib lima waktu, dan hal ini telah dilakukan oleh para Imam atau Ulil Amri.
Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata: Ahmad (bin Hanbal) dan Ishaq bin Rahawaih telah berkata:
"Tidak ada Qunut dalam shalat Fajar (Shubuh) kecuali bila terjadi Nazilah (musibah) yang menimpa kaum Muslimin. Maka, apabila telah terjadi sesuatu, hendaklah Imam (yakni imam kaum Muslimin atau Ulil Amri) mendo'akan kemenangan bagi tentara-tentara kaum Muslimin".
Imam an-Nawawi rahimahullah memberikan bab didalam Syarah Muslim dari Kitabul Masaajid, bab. 54: Istihbabul Qunut fii Jamiish Shalawat idza Nazalat bil Muslimin Nazilah (bab diSunnahkan Qunut pada Semua shalat (yang lima waktu) apabila ada musibah yang menimpa kaum Muslimin.
KESIMPULAN.
Hadits-hadits tersebut diatas mengkhabarkan pada kita bahwa do'a Qunut pada waktu shalat Shubuh yang dilakukan secara terus-menerus sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin sekarang ini adalah suatu amalan yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga tidak pernah dilakukan diera al-Khulafaur Rasyidin dan setelahnya. Intinnya dari uraian diatas bahwa bacaan do'a Qunut yang dikhususkan dalam shalat Shubuh terus-menerus adalah Bid'ah.
(Silahkan lihat permasalahan ini dalam Tafsir al-Qurthuby 4/200-201, al-Mughny 2/575-576, al-Inshaf 2/173, Syarh Ma’any al-Atsar 1/241-254, al-Ifshah 1/323, al-Majmu’ 3/483-485, Hasyiyah ar-Raud al-Murbi’ : 2/197-198, Nailul Author 2/155-158 [Cet. Darul Kalim ath Thoyyib], al-Majmu’ al-Fatawa 22/104-111 dan Zadul Ma’ad 1/271-285).
Seandainya memang perbuatan itu dicontohkan, sudah pasti Thariq bin Asyyam bin Mas’ud al-Asyja’i radhiallahu ‘anhu akan memberikan kesaksian lain sebagaimana riwayat diatas. Jika kita menggunakan bahasa riwayat, maka Qunut Shubuh secara terus-menerus dalam shalat Shubuh tanpa sebab adalah perkara Muhdats atau Bid’ah.
Ada satu pelajaran penting bagi kita semua bahwa khilaf permasalahan ini telah ada, minimal sejak era tabi’iin. Karena tidak mungkin riwayat dari Abu Malik al-Asy’ja’i bertanya kepada ayahnya tentang Qunut yang dilakukan manusia secara terus menerus pada shalat Shubuh jika ia sendiri tidak menyaksikannya atau mendengarnya.
Kemudian satu hal lagi yang tidak kalah penting dalam perkara do'a Qunut ini, yaitu mengenai bacaannya atau lafadzhnya, karena ada sebuah kekeliruan dalam prakteknya, dimana banyak kita dengar dari orang-orang yang membaca do'a Qunut Shubuh ini seperti "ALLAHUMMADINI FIMAA HADAIT...dan seterusnya, inilah sebuah kekeliruan, entahlah dari mana asal mula lafadz ini digunakan untuk shalat Shubuh sehingga begitu populer dan merebak dan menjadi kebiasaan dibaca oleh umat muslim sekarang, apalagi bagi masyarakat awam yang tidak mengerti ilmu agama, tentu mereka akan menganggap bahwa bacaan seperti sudah benar berdasarkan dari apa yang telah mereka lihat dan mereka dengar dari turun temurun, apalagi yang melakukan itu adalah seorang ustad atau kyai, tentu akan menambah keyakinan mereka untuk membenarkan adannya bacaan Qunut seperti ini.
Lalu pertanyaannya, apakah ada bacaan khusus untuk do'a Qunut Nazilah ini ?
Untuk diketahui bahwa lafadzh "ALLAHUMMAADIINI FIMAAN HADAIT...dan seterusnya ini tidak terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya menggunakan do'a tersebut selain untuk shalat Witir. Tidak pula terdapat satupun riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi ber-Qunut dengan bacaan do'a tersebut, baik pada shalat Shubuh maupun dalam shalat yang lain. Lafadzh do'a Qunut dengan menggunakan do'a tersebut dishalat shubuh sama sekali tidak ada dasarnya dari Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena lafadzh do'a itu adalah bacaan untuk do'a Qunut shalat Witir. Sedangkan untuk shalat Shubuh itu sendiri dilakukan seperti shalat biasa yang tidak ada bacaan do'a-do'a khusus sebagaimana dalam shalat yang lima waktu. Adapun untuk bacaan do'a Qunut Nazilah, ini juga tidak ada lafadzh atau bacaan tertentu melainkan dibaca sesuai bahasa yang kita pahami dan disesuikan dengan keadaan musibah yang terjadi, seperti ada sebab yang terkait dengan kaum muslimin secara umum. Misalnya ada bencana wabah penyakit yang menimpa kaum muslimin maka kaum muslimin disyari'atkan untuk ber-Qunut pada semua shalat wajib, termasuk didalamnya shalat Shubuh, agar Allah menghilangkan bencana dari kaum muslimin.
Selanjutnya dalam permasalahan khilaf ini baik mereka yang berpendapat masyru’-nya Qunut Shubuh atau yang tidak tetaplah saling menjaga ukhuwah atas perbedaan ini. Bagi mereka yang berpendapat masyru’-nya Qunut Shubuh, maka tidak perlu mencela kepada mereka yang mengatakan bahwa Qunut Shubuh yang dilakukan terus menerus adalah perbuatan muhdats atau Bid’ah, karena pihak yang berseberangan dengan mereka itu tentu telah memiliki landasan ilmu yang kuat dengan menggunakan sebaik-baik lafadzh yang diriwayatkan secara shahih dari para sahabat radhiallahu ‘anhu.
Sebaliknya, bagi pihak yang berpendapat Qunut Shubuh itu tidak masyru' atau perkara itu adalah muhdast atau Bid'ah, maka ia tidak perlu memaksakan pendapatnya untuk diaminkan pihak lain. Dan keduanya tidak perlu memisahkan diri dari jama’ah, lalu membuat jama’ah baru karena merasa imam yang ada melakukan sesuatu yang berlainan dengan apa yang diperbuatnya. Semuanya ini masih dalam ruang khilaf ijtihadiyyah yang ditoleransi dan diperbolehkan, walau kewajiban setiap kaum muslimin mengambil apa yang dianggapnya kuat menurut kadar pengetahuan yang dimilikinya.
Namun mirisnya, tidak sedikit kita jumpai ditengah masyarakat muslim sekarang yang masih fanatik atas apa yang ia dapati dari petunjuk orang lain tanpa dasar ilmu, mereka taqlid buta (mengekor tanpa landasan)) yaitu mengada-ada atau membuat aturan-aturan atau tata cara sendiri dalam beribadah, misalnya ketika ada pihak yang biasa shalat ber-Qunut kemudian ia terjebak menjadi makmum lalu ia ikut shalat berjamaah bersama imam yang kebetulan tidak ber-Qunut, kemudian begitu selesai berjamaah itu mereka mengulangi lagi shalat Shubuhnya tersebut, karena ia menganggap bahwa shalat shubuhnya itu terasa belum afdhal jika tanpa do'a Qunut, bahkan yang lebih parahnya lagi disebagian mereka ada yang melakukan sujud sahwi...na'uzubillahimin dzaliq....semoga pihak yang berbuat demikian mendapatkan petunjuk serta rahmatnya Allah ta'ala.
Inilah fenomena yang terjadi dizaman ini, sebuah realita yang memprihatinkan, mereka melakukannya tanpa rasa berdosa, benarlah apa yang dikatakan oleh seorang pakar ahli hadits KH. Makhrus Ali dari Sidoarjo yang dulu mantan kyai NU (begitu beliau menjuluki dirinya) kini beliau mendapat hidayah dengan hijrah kepengajian Salaf (Ahlu Sunnah waljamaah) yaitu kembali ke ajaran Islam yang murni, dalam sebuah buku beliau yang diberi judul "SESAT TANPA SADAR" dan perbuatan dari pihak yang membuat aturan-aturan ibadah sendiri ini termasuk salah satunya.
Sesungguhnya perbuatan yang seperti ini sangat tidak dibenarkan dalam Islam, karena tidak ada tauladannya atau contohnya dari baginda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari para sahabat. Padahal shalat Shubuh itu yang disyari'atkan hanya sekali dalam sehari. Jika shalatnya diulang artinya shalat Shubuh itu menjadi dua kali sehari, jadi shalat yang kedua ini adalah bathil atau tertolak, selain itu bahwa shalat fardhu maupun yang Sunnah sudah ada waktu-waktunya tersendiri yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya tanpa boleh menambah atau menguranginya, baik aturan waktu, bacaan maupun tata caranya. Begitupun sujud sahwi ini sudah ada syarat dan ketentuannya yaitu hanya boleh dilakukan karena sebab kelupaan dalam menghitung jumlah shalat rakaat selain sebab itu tidak disyari'atkan.
Oleh karena itu sesuatu perkara ibadah dalam agama ini haruslah tegak diatas dalil dengan mengikuti petunjuknya al-Qur'an dan Sunnah yang shahih, artinya sesuatu perbuatan ibadah dalam agama ini jika tidak ada tuntunannya maka ibadah tidak bermanfaat apa-apa dan sia-sia belaka, bahkan bukannya pahala yang didapat tapi justru sebaliknya yaitu musibah atau sebuah penyimpangan yang amat sesat dan penyimpangan ini jelas ancamannya adalah neraka, dalil yang menunjukkan ini adalah:
Dalam riwayat an Nasa’i dikatakan:
ﻭَﻛُﻞَّ ﺿَﻼَﻟَﺔٍ ﻓِﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
“Setiap kesesatan tempatnya dineraka”.
(HR. An Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan shahih oleh Syaikh al-Albani diShahih wa Dha’if Sunan an Nasa’i ).
Diriwayatkan dari al ‘Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
“Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini bergemetar (takut)”. Lalu ada yang mengatakan:
ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻛَﺄَﻥَّ ﻫَﺬِﻩِ ﻣَﻮْﻋِﻈَﺔُ ﻣُﻮَﺩِّﻉٍ ﻓَﻤَﺎﺫَﺍ ﺗَﻌْﻬَﺪُ ﺇِﻟَﻴْﻨَﺎ
“Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami ?”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺃُﻭﺻِﻴﻜُﻢْ ﺑِﺘَﻘْﻮَﻯ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟﺴَّﻤْﻊِ ﻭَﺍﻟﻄَّﺎﻋَﺔِ ﻭَﺇِﻥْ ﻋَﺒْﺪًﺍ ﺣَﺒَﺸِﻴًّﺎ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻣَﻦْ ﻳَﻌِﺶْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺑَﻌْﺪِﻯ ﻓَﺴَﻴَﺮَﻯ ﺍﺧْﺘِﻼَﻓًﺎ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﺴُﻨَّﺘِﻰ ﻭَﺳُﻨَّﺔِ ﺍﻟْﺨُﻠَﻔَﺎﺀِ ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻳِّﻴﻦَ ﺍﻟﺮَّﺍﺷِﺪِﻳﻦَ ﺗَﻤَﺴَّﻜُﻮﺍ ﺑِﻬَﺎ ﻭَﻋَﻀُّﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺑِﺎﻟﻨَّﻮَﺍﺟِﺬِ ﻭَﺇِﻳَّﺎﻛُﻢْ ﻭَﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺕِ ﺍﻷُﻣُﻮﺭِ ﻓَﺈِﻥَّ ﻛُﻞَّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup diantara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk.
Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.
(HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Daud dan Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺃَﻧَﺎ ﻓَﺮَﻃُﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺤَﻮْﺽِ ، ﻟَﻴُﺮْﻓَﻌَﻦَّ ﺇِﻟَﻰَّ ﺭِﺟَﺎﻝٌ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺣَﺘَّﻰ ﺇِﺫَﺍ ﺃَﻫْﻮَﻳْﺖُ ﻷُﻧَﺎﻭِﻟَﻬُﻢُ ﺍﺧْﺘُﻠِﺠُﻮﺍ ﺩُﻭﻧِﻰ ﻓَﺄَﻗُﻮﻝُ ﺃَﻯْ ﺭَﺏِّ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑِﻰ . ﻳَﻘُﻮﻝُ ﻻَ ﺗَﺪْﺭِﻯ ﻣَﺎ ﺃَﺣْﺪَﺛُﻮﺍ ﺑَﻌْﺪَﻙَ
“Aku akan mendahului kalian di al-haudh (telaga). Dinampakkan dihadapanku beberapa orang diantara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al-haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman: "Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang telah mereka perbuat sesudahmu“.
(HR. Bukhari no. 7049).
Dalam riwayat lain dikatakan:
ﺇِﻧَّﻬُﻢْ ﻣِﻨِّﻰ . ﻓَﻴُﻘَﺎﻝُ ﺇِﻧَّﻚَ ﻻَ ﺗَﺪْﺭِﻯ ﻣَﺎ ﺑَﺪَّﻟُﻮﺍ ﺑَﻌْﺪَﻙَ ﻓَﺄَﻗُﻮﻝُ ﺳُﺤْﻘًﺎ ﺳُﺤْﻘًﺎ ﻟِﻤَﻦْ ﺑَﺪَّﻝَ ﺑَﻌْﺪِﻯ
“ (Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman: ‘"Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu". Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan: “Celaka, celaka..bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.”
(HR. Bukhari no. 7051).
Begitu juga semua ibadah yang tanpa ada contoh atau tuntunannya ini tidak bermanfaat dan sia-sia bahkan tertolak sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻓِﻰ ﺃَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan agama ini yang tidak ada asalnya dari kami, maka perkara tersebut tertolak”.
(HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718).
Dari 'Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻼً ﻟَﻴْﺲَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﻣْﺮُﻧَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan dalam agama ini yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak”.
(HR. Muslim no. 1718).
Dan dari Abdullah bin 'Umar radhiallahu ‘anhuma berkata:
ﻋَﻦْ ﺍﺑﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ، ﻗَﺎﻝَ : ﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ ﻭَﺇِﻥْ ﺭَﺁﻫَﺎﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺣَﺴَﻨَﺔً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia memandangnya baik.”
(Riwayat Al-Lalika-i fii syarah Ushuul I’tiqaad Ahlissunnah wal jama'ah 1/104 no.126 dan Li Ibni Baththah,1/219,Asy-Syamilah-'Ukbari dalam Al-Ibaanah no.205)
Intinya dalam permasalahan ini yang terbaik adalah ikuti sebagaimana shalatnya imam sampai selesai inilah yang terpuji dan lebih afdhal, dan tidak perlu dikedua belah pihak sengaja mencari-cari jamaah yang khusus shalat Shubuhnya tidak ber-Qunut, atau mencari yang khusus ber-Qunut, karena yang ber-Qunut maupun tidak ber-Qunut shalat keduanya tetap sah dan bernilai pahala.
Dalam pembahasan ini kami hanya mengambil pendapat yang rajih bahwa Qunut yang dilakukan terus-menerus dalam shalat Shubuh adalah Bid'ah, sebagaimana dalil-dalil diatas dan ada tambahan dalil lain diantaranya:
1. Dari ibnu ‘Umar ibnu al-Khathab radhiallahu 'anhuma:
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﻣِﺠْﻠَﺰِ ﻗَﺎﻝَ : “ ﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﻣَﻊَ ﺍِﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﺻَﻼَﺓَ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢِ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ .” ﻓَﻘُﻠْﺖُ : “ﺁﻟﻜِﺒَﺮُ ﻳَﻤْﻨَﻌُﻚَ ,” ﻗَﺎﻝَ : “ﻣَﺎ ﺃَﺣْﻔَﻈُﻪُ ﻋَﻦْ ﺃَﺣَﺪٍ ﻣِﻦْ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑِﻲْ ”.
“Dari Abu Mijlaz beliau berkata: Aku shalat bersama ibnu ‘Umar shalat Shubuh lalu beliau tidak Qunut. Lalu aku bertanya: apakah lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya). Beliau berkata: Aku tidak menghafal hal tersebut dari para sahabatku”.
(Dikeluarkan oleh ath-Thahawi 1\246, Al-Baihaqi 2\213 dan ath-Thabarani sebagaimana dalam Majma’ az-Zawa’id 2\137 dan al-Haitsami berkata: ”rawi-rawinya tsiqah”).
2. Hadits dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu:
ﻗَﻨَﺖَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺷَﻬْﺮًﺍ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﺮُّﻛُﻮﻉِ ﻓِﻲ ﺻَﻠَﺎﺓِ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢِ ﻳَﺪْﻋُﻮ ﻋَﻠَﻰ ﺭِﻋْﻞٍ، ﻭَﺫَﻛْﻮَﺍﻥَ، ﻭَﻳَﻘُﻮﻝُ : ﻋُﺼَﻴَّﺔُ ﻋَﺼَﺖِ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟَﻪُ
“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berdo'a Qunut selama sebulan penuh, beliau mendo'akan keburukan terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta Ushayyah yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya”.
(HR. Bukhari 1003, Muslim 677).
Dalam riwayat Imam al-Bukhari diceritakan, ketika itu terjadi pengkhianatan dari suku Ri’lan, Dzakwan dan Ushayyah. Mereka membantai 70 sahabat Nabi dari kaum Anshar.
3. Hadits dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:
“Selama sebulan penuh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam setelah membaca " ﺳﻤﻊ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟِﻤَﻦْ ﺣَﻤِﺪَﻩُ " pada raka’at terakhir dari shalat Isya' beliau membaca do'a Qunut:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻧْﺞِ ﻋَﻴَّﺎﺵَ ﺑْﻦَ ﺃَﺑِﻲ ﺭَﺑِﻴﻌَﺔَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻧْﺞِ ﺍﻟْﻮَﻟِﻴﺪَ ﺑْﻦَ ﺍﻟْﻮَﻟِﻴﺪِ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻧْﺞِ ﺳَﻠَﻤَﺔَ ﺑْﻦَ ﻫِﺸَﺎﻡٍ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻧْﺞِ ﺍﻟْﻤُﺴْﺘَﻀْﻌَﻔِﻴﻦَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺷْﺪُﺩْ ﻭَﻃْﺄَﺗَﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﻀَﺮَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺟْﻌَﻠْﻬَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﺳِﻨِﻴﻦَ ﻛَﺴِﻨِﻲ ﻳُﻮﺳُﻒَ
"Ya Allah, tolonglah Ayyash bin Abi Rabi’ah. Ya Allah, tolonglah Walid bin al-Walid. Ya Allah, tolonglah Salamah bin Hisyam. Ya Allah, tolonglah orang-orang lemah dari kaum.mu’minin. Ya, Allah sempitkanlah jalan-Mu atas orang-orang yang durhaka. Ya Allah, jadikanlah tahun-tahun yang mereka lewati seperti tahun-tahun paceklik yang dilewati Yusuf“.
(HR. Bukhari 1006, 2932, 3386).
4. Hadits dari Abu Malik al-Asyja-’i:
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻴﻪِ ﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺧَﻠْﻒَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ ، ﻭَﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺧَﻠْﻒَ ﺃَﺑِﻲ ﺑَﻜْﺮٍ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ ، ﻭَﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺧَﻠْﻒَ ﻋُﻤَﺮَ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ ، ﻭَﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺧَﻠْﻒَ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥَ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ ﻭَﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺧَﻠْﻒَ ﻋَﻠِﻲٍّ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ ، ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ ﻳَﺎ ﺑُﻨَﻲَّ ﺇﻧَّﻬَﺎ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ { ﺭَﻭَﺍﻩُ ﺍﻟﻨَّﺴَﺎﺋِﻲّ ﻭَﺍﺑْﻦُ ﻣَﺎﺟَﻪْ ﻭَﺍﻟﺘِّﺮْﻣِﺬِﻱُّ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺣَﺪِﻳﺚٌ ﺣَﺴَﻦٌ ﺻَﺤِﻴﺢٌ
“Dari ayahku, ia berkata: "Aku pernah shalat menjadi makmum Nabi shallallahu’alaihi wa sallam namun ia tidak membaca qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Abu Bakar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum 'Umar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Utsman namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Ali namun ia tidak membaca Qunut. Wahai anakku ketahuilah itu perkara bid’ah”.
(HR. Nasa-i, ibnu Majah, at Tirmidzi. 330. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”).
Kemudian Atsar ibnu 'Umar dari Abul Sya’sya’, dalam Mushannaf Abdirrazzaq [4954] dengan sanad shahih Dari Abi Mijlaz ia berkata:
ﺳﺄﻟﺖ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻓﻘﺎﻝ : ﻣﺎ ﺷﻌﺮﺕ ﺍﻥ ﺍﺣﺪﺍ ﻳﻔﻌﻠﻪ
“Aku bertanya kepada ibnu 'Umar tentang Qunut diwaktu Shubuh. Ia berkata: "Aku rasa tidak ada seorang pun (sahabat) yang melakukannya”.
(Lihat Mafatihul Fiqh, 106. Atsar ini telah diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi didalam kitab Sunanul Kubra [II/213] dengan sanad yang hasan, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syaikh Syuaib al-Arnauth dalam tahqiq beliau atas kitab Zaadul Maad [I/272]).
Juga Atsar dari ibnu Mas’ud dalam Mushannaf Abdirrazzaq [4949] dengan sanad shahih yang menyatakan bahwa beliau tidak pernah membaca Qunut ketika shalat Shubuh.
(Mafatihul Fiqh,106).
Jika ditelaah hadits-hadits praktek dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam membaca Qunut, umumnya berkaitan dengan musibah. Ibnul Qayyim berkata: “Petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam berdo'a Qunut adalah mengkhususkannya hanya pada saat terjadi musibah dan tidak melakukannya jika tidak ada musibah. Selain itu tidak mengkhususkan pada shalat Shubuh saja, walaupun memang beliau paling sering melakukan pada shalat Shubuh”.
(Zaadul Ma’ad 273/1).
Syaikh Abdul Qadir Syaibatul Hamdi juga menjelaskan bahwa perkataan sahabat tentang Qunut Shubuh itu muhdats (hanya diada-adakan) apabila Qunut shubuh itu dilakukan secara terus-menerus, adapun jika dilakukan pada kejadian-kejadian tertentu (QUNUT NAWAZIL/Musibah) maka tidak apa-apa.
(Lihat Fiqhul Islam 1/263).
Pendapat ini dipegang oleh Sufyan ats Tsauri, Imam Abu Hanifah, al-Laits, pendapat terakhir Imam Ahmad, ibnu Syabramah, Imam ibnul Qayyim al Jauziyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Syaikh Mubarak Fury menjelasakn tentang QUNUT NAWAZIL ini dilakukan pada kejadian-kejadian tertentu karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hanya melakukan QUNUT NAWAZIL jika mendo'akan kebaikan bagi kaum muslimin dan mendo'akan kejelekan bagi kaum kafirin. Demikian juga Qunut ini tidak dikhususkan untuk satu shalat saja, bahkan sebaiknya dilakukan didalam shalat maktubah (shalat wajib) seluruhnya.
(Lihat dalam Taudihul Ahkam : 2/83).
Meskipun pendapat yang rajih (kuat) bahwa perkara Qunut Shubuh adalah perkara muhdast atau bid'ah, namun disini kita ambil saja jalur tengah, bahwa perkara ini adalah perkara yang luas dan longgar berdasarkan khilafiyyah dari para ulama, dan ini tergolong khilafiyyah yang ditoleransi yang diperbolehkan. Dari uraian diatas bukanlah semata-mata untuk memvonis bahwa untuk yang tidak ber-Qunut itu salah, tapi ini hanya sekedar tambahan ilmu agar bisa jadi bahan pertimbangan yang mana harus jadi acuan untuk kita , jadi silahkan menurut keyakinan kita mana yang harus dipegang diantara keduanya, dan tetap saling menjaga kerukunan sesama umat muslim.
Demikian semoga ini bermanfaat.
Langganan:
Postingan (Atom)