Meladzimkan do'a Qunut dalam shalat Shubuh secara terus menerus menurut pendapat yang paling shahih adalah bukan merupakan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini berdasarkan beberapa hadits shahih berikut ini:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﻨﻴﻊ ﺃﺧﺒﺮﻧﺎ ﻳﺰﻳﺪ ﺑﻦ ﻫﺎﺭﻭﻥ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻣﺎﻟﻚ ﺍﻷﺷﺠﻌﻲ ﻗﺎﻝ : ﻗﻠﺖ ﻷﺑﻲ : ﻳﺎ ﺃﺑﺖ ﺇﻧﻚ ﻗﺪ ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻭﻋﻤﺮ ﻭﻋﺜﻤﺎﻥ ﻭﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻃﺎﻟﺐ ﻫﺎﻫﻨﺎ ﺑﺎﻟﻜﻮﻓﺔ، ﻧﺤﻮﺍ ﻣﻦ ﺧﻤﺲ ﺳﻨﻴﻦ، ﺃﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻘﻨﺘﻮﻥ؟ ﻗﺎﻝ : ﺃﻱ ﺑﻨﻲ ﻣﺤﺪﺙ .
"Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Manii’: Telah mengkhabarkan kepada kami Yaziid bin Harun, dari Abu Malik al-Asyja’iy, ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada ayahku: ‘Wahai ayahku, engkau pernah shalat dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, dan Ali disini, yaitu diKufah selama kurang lebih lima tahun. Apakah mereka semua melakukan Qunut ?”. Ayahku menjawab: “Wahai anakku, itu adalah perbuatan muhdats". (perkara baru yang tidak pernah mereka lakukan).
(Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 402, dan ia berkata: “Hadits ini hasan shahih”. Diriwayatkan juga oleh Ahmad 3/472, ibnu Majah no. 1241, ath-Thabarani dalam al-Kubra 8/378 no. 8178, ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil-Atsar 1/249, adl-Dliyaa’ dalam al-Mukhtarah 8/97 & 98 no. 101 dan 104, dan al-Mizzi dalam Tahdzibul-Kamaal 13/334-335 dari jalan Yazid bin Harun, dari Abu Malik al-Asyja’i).
Dalam lafadzh ath-Thahawi. disebutkan:
ﻗﻠﺖ ﻷﺑﻲ : ﻳﺎ ﺃﺑﺖ، ﺇﻧﻚ ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺧﻠﻒ ﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻭﺧﻠﻒ ﻋﻤﺮ ﻭﺧﻠﻒ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﻭﺧﻠﻒ ﻋﻠﻲ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻢ ﻫﻬﻨﺎ ﺑﺎﻟﻜﻮﻓﺔ، ﻗﺮﻳﺒﺎ ﻣﻦ ﺧﻤﺲ ﺳﻨﻴﻦ، ﺃﻓﻜﺎﻧﻮﺍ ﻳﻘﻨﺘﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ؟ . ﻓﻘﺎﻝ : ﺃﻱ ﺑﻨﻲ، ﻣﺤﺪﺙ .
"Aku bertanya kepada ayahku: “Wahai ayahku, sesungguhnya engkau pernah shalat dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, dan Ali disini di Kufah hampir selama lima tahun. Apakah mereka semua melakukan Qunut diwaktu (shalat) Shubuh ?”. Ayahku menjawab: “Wahai anakku, itu adalah perbuatan muhdats (mengada-ada)".
Yazid bin Harun mempunyai mutaba’ah dari:
1. Hafsh bin Ghiyats dan Abdullah bin Idris sebagaimana diriwayatkan oleh ibnu Abi Syaibah 2/308 [no. 7034 & 7036[, ibnu Majah no. 1241, ath-Thabarani 8/378 no. 8179, dan adl-Dliyaa’ dalam al-Mukhtarah 8/98 no. 105 [shahih].
2. Khalaf bin Khalifah sebagaimana diriwayatkan Ahmad 6/394, an-Nasa’i 2/204 dan dalam al- Kubra 1/341 no. 671, dan ibnu Hibban no. 1989: dengan lafadzh sebagai berikut:
ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻭﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻭﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﻋﻤﺮ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻭﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻭﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﻋﻠﻲ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﺛﻢ ﻗﺎﻝ ﻳﺎ ﺑﻨﻲ ﺇﻧﻬﺎ ﺑﺪﻋﺔ .
“Aku shalat dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak Qunut. Aku shalat dibelakang Abu Bakar, ia tidak Qunut. Aku shalat dibelakang ‘Umar, ia tidak Qunut. Aku shalat dibelakang Utsman, ia tidak Qunut. Dan aku shalat dibelakang Ali, ia pun tidak Qunut”. Kemudian ayahku berkata: “Wahai anakku, ia adalah perbuatan bid’ah”.
3. Abu ‘Awaanah sebagaimana diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 403, ath-Thayalili no. 1425, ath-Thabarani dalam al-Kabir 8/378 no. 8177, al-Baihaqi 2/213, dan adl-Dliya’ 8/97-98 no. 102-103, ath-Thabarani dan adl-Dliya’ membawakan dengan lafadzh berikut:
ﺳﺄﻟﺖ ﺃﺑﻲ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻐﺪﺍﺓ ؟ ﻓﻘﺎﻝ : ﺃﻱ ﺑﻨﻲ ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻭﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻓﻠﻢ ﺃﺭ ﺃﺣﺪﺍ ﻣﻨﻬﻢ ﻳﻘﻨﺖ، ﺃﻱ ﺑﻨﻲ ﺑﺪﻋﺔ . ﻗﺎﻟﻬﺎ ﺛﻼﺛﺎ .
"Aku bertanya kepada ayahku tentang Qunut pada shalat Shubuh. Ia menjawab: “Wahai anakku, aku pernah shalat dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, namun aku tidak melihat salah seorang pun diantara mereka yang melakukan Qunut. Wahai anakku, itu adalah perbuatan Bid’ah”. Ia mengatakannya tiga kali.
4. Abu Mu’awiyyah sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bazzaar dalam al-Musnad no. 2766 dan al-Uqaili 2/484 no. 597. Lafadzh hadits ini mauquf namun dihukumi marfu’. Kesimpulan finalnya, hadits ini shahih, para perawinya tsiqat, dan sanadnya bersambung. Dishahihkan juga oleh al-Albani dalam Irwaul-Ghalil 2/182-183 no. 435, al-Wadi’i dalam al-Jami’ush-shahih mimma Laisa fish-Shahihain 2/147, al-Arna’uth dalam Takhrij Musnad al-Imam Ahmad 25/214, dan Basyar Awwad dalam Takhrij Sunan ibnu Majah 2/402-403.
Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan do'a Qunut dalam shalat Shubuh ini. Sedikit akan dipaparkan dibawah:
At-Tirmidzi rahimahullah setelah menyebutkan riwayat tentang Qunut Shubuh ini, beliau berkata:
ﻭﺍﺧﺘﻠﻒ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻔﺠﺮ، ﻓﺮﺃﻯ ﺑﻌﺾ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻔﺠﺮ . ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ . ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺣﻤﺪ، ﻭﺇﺳﺤﻖ : ﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﺇﻻ ﻋﻨﺪ ﻧﺎﺯﻟﺔ ﺗﻨﺰﻝ ﺑﺎﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ، ﻓﺈﺫﺍ ﻧﺰﻟﺖ ﻧﺎﺯﻟﺔ ﻓﻠﻺﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﺪﻋﻮ ﻟﺠﻴﻮﺵ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ .
“Para ulama berbeda pendapat mengenai Qunut shalat Shubuh. Sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka berpendapat (masyru’ -nya) Qunut pada shalat Shubuh. Itu merupakan perkataan asy-Syafi’i.
Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih berkata:
"Qunut tidak dilakukan pada shalat Shubuh, kecuali jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin. Jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin, maka imam mendo'akan (kebaikan/kemenangan) untuk pasukan kaum muslimin”.
ﻭﺍﻟﻌﻤﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﻋﻨﺪ ﺃﻛﺜﺮ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ . ﻭﻗﺎﻝ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ ﺇﻥ ﻗﻨﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻓﺤﺴﻦ، ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﺤﺴﻦ ﻭﺍﺧﺘﺎﺭ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻘﻨﺖ . ﻭﻟﻢ ﻳﺮ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻤﺒﺎﺭﻙ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ .
“(Hadits Abu Malik al-Asyja’i diatas) diamalkan oleh kebanyakan ulama. Sufyan ats-Tsauri berkata: "Apabila seseorang melakukan Qunut diwaktu shalat Shubuh, maka itu baik. Jika tidak melakukannya, itu pun baik’.
Ia (ats-Tsauri) memilih untuk tidak Qunut. Ibnul-Mubarak tidak berpendapat adanya Qunut pada shalat Shubuh”.
(Jaami’ at-Tirmidzi, 1/426-427).
Al-‘Uqaili rahimahullah berkata:
ﻭﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﻨﺖ ﺛﻢ ﺗﺮﻙ . ﻭﻫﺬﺍ ﻳﺬﻛﺮ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻢ ﻳﻘﻨﺖ .
“Dan yang benar menurut kami bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan Qunut, kemudian meninggalkannya. Hadits ini (yaitu hadits Abu Malik al-Asyja’i diatas ) menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan Qunut”.
(Adl-Dlu’afa’ , 2/484).
Abu Ja’far ath-Thahawi al-Hanafi rahimahullah berkata:
ﺇﻧﻤﺎ ﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺑﻠﻴﺔ ﻓﺈﻥ ﻭﻗﻌﺖ ﻓﺘﻨﺔ ﺃﻭ ﺑﻠﻴﺔ ﻓﻼ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ ﻓﻌﻠﻪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻱ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ
“Bahwasannya tidak dilakukan Qunut dalam shalat Shubuh disisi kami (madzhab Hanafiyyah) selain dikarenakan musibah. Apabila terjadi fitnah atau musibah, maka tidak mengapa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya, yaitu setelah rukuk”.
(Hasyiyyah ath-Thahthawi ‘ala Maraqil-Falah, hal. 377).
Abul-Husain asy-Syafi’i al-Yamani rahimahullah berkata:
ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ : ﺃﻥ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺼﺒﺢ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻟﺪﻫﺮ، ﻭﺑﻪ ﻗﺎﻝ ﻣﺎﻟﻚ، ﻭﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲ، ﻭﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻟﻴﻠﻰ، ﻭﺍﻟﺤﺴﻴﻦ ﺑﻦ ﺻﺎﻟﺢ، ﻭﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻋﻦ ﺍﻟﺨﻠﻔﺎﺀ ﺍﻷﺭﺑﻌﺔ، ﻭﺃﻧﺲ . ﻭﺫﻫﺐ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ، ﻭﺃﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ، ﻭﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﺇﻟﻰ : (ﺃﻧﻪ ﻏﻴﺮ ﻣﺴﻨﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺒﺢ ) ، ﻭﺭُﻭﻱَ ﺫﻟﻚ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ، ﻭﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ، ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ، ﻭﺃﺑﻲ ﺍﻟﺪﺭﺩﺍﺀ . ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﻳﻮﺳﻒ : ﺇﺫﺍ ﻗﻨﺖ ﺍﻹﻣﺎﻡ .....ﻓﺎﻗﻨﺖْ ﻣﻌﻪُ .....
“Dan Sunnah (dalam permasalahan ini): Melakukan Qunut pada shalat Shubuh menurut kami setiap waktu. Inilah yang dikatakan Malik, al-Auza’i, ibnu Abi Laila, al-Husain bin Shalih, dan diriwayatkan oleh asy-Syafi’i dari khalifah yang empat, dan Anas. Adapun ats-Tsauri, Abu Haniifah dan sahabat-sahabatnya berpendapat: Qunut tidak di Sunnahkan dalam shalat Shubuh. Diriwayatkan hal itu dari ibnu ‘Abbas, ibnu ‘Umar, ibnu Mas’ud, dan Abud-Darda’. Abu Yusuf berkata: “Apabila imam melakukan Qunut….maka Qunutlah bersamanya….”
(Al-Bayaan fii Madzhab asy-Syafi’i, 2/242-243).
Abul-Hasan al-Mardawi berkata ketika menerangkan posisi madzhab Ahmad bin Hanbal rahimahullah:
ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ : ﺃﻧﻪ ﻳﻜﺮﻩ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻛﻐﻴﺮﻫﺎ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﻭﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺟﻴﺰ : ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ . ﻗﻠﺖ : ﺍﻟﻨﺺ ﺍﻟﻮﺍﺭﺩ ﻋﻦ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻣﺤﺘﻤﻞ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ ﻭﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ
“Yang shahih dari madzhab: Bahwasannya Ahmad
memakruhkan Qunut diwaktu shalat Shubuh sebagaimana (kemakruhan melakukan Qunut) selain shalat witir. Inilah pendapat jumhur. Dan ia berkata dalam al-Wajiiz: ‘Tidak boleh melakukan Qunut dalam shalat Shubuh’. Aku berkata: "Nash yang ada dari al-Imam Ahmad: "tidak boleh Qunut dalam shalat Shubuh’ dibawa pada pengertian makruh tahrim".
(Al-Inshaf fii Ma’rifati-Rajih minal-Khilaf ‘ala Madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal , 2/174).
Ahmad Syakir rahimahullah berkata saat menyanggah perkataan Thariq bin Asyyam bahwasannya Qunut Shubuh adalah muhdats:
ﺛﺒﺖ ﻓﻲ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﺻﺤﻴﺤﺔ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺒﺢ، ﻭﻣﻦ ﺣﻔﻆ ﺣﺠﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺤﻔﻆ . ﻭﺍﻟﻤﺜﺒﺖ ﻣﻘﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺎﻓﻲ . ﻭﻫﻮ ﻧﻔﻞ ﻻ ﻭﺍﺟﺐ . ﻓﻤﻦ ﺗﺮﻛﻪ ﻓﻼ ﺑﺄﺱ، ﻭﻣﻦ ﻓﻌﻠﻪ ﻓﻬﻮ ﺃﻓﻀﻞ .
“Telah tetap dalam hadits-hadits shahih tentang (masyru’-nya) Qunut pada shalat Shubuh. Orang yang hapal merupakan hujjah bagi orang yang tidak hapal. Yang menetapkan lebih didahulukan dari yang meniadakan. Barangsiapa yang meninggalkannya, tidak mengapa. Dan barangsiapa yang mengerjakannya, maka itu afdhal (lebih utama)”.
(Syarh Sunan at-Tirmidzi, 2/252).
Menilik perkataan al-Imam Ahmad Syakir diatas, dan juga para ulama mutaqaddimin, memang benar ada beberapa hadits yang dianggap sebagai hujjah masyru’-nya (bolehnya) Qunut Shubuh secara terus-menerus. Diantaranya Apa yang telah dijadikan hujjah oleh madzhab Syafi’iyyah dan yang lainnya dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, sebagaimana dinukil oleh Abul-Husain asy-Syafi’i al-Yamani rahimahullah adalah hadits berikut ini:
ﻭﺣﺪﺛﻨﻲ ﻋﻤﺮﻭ ﺍﻟﻨﺎﻗﺪ ﻭﺯﻫﻴﺮ ﺑﻦ ﺣﺮﺏ . ﻗﺎﻻ : ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺇﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ﻋﻦ ﺃﻳﻮﺏ، ﻋﻦ ﻣﺤﻤﺪ . ﻗﺎﻝ : ﻗﻠﺖ ﻷﻧﺲ : ﻫﻞ ﻗﻨﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺼﺒﺢ؟ ﻗﺎﻝ : ﻧﻌﻢ . ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ ﻳﺴﻴﺮﺍ .
"Dan telah menceritakan kepadaku Amru an-Naqid dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami Isma'il, dari Ayyub, dari Muhammad, ia berkata: Aku bertanya kepada Anas: “Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan Qunut pada shalat Shubuh ?”. - Ia menjawab: “Benar, sebentar setelah rukuk”.
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 677 [298]. Diriwayatkan juga oleh al-Bukhari no. 1001, ibnu Majah no. 1184, Abu Dawud no. 1444, dan yang lainnya).
Akan tetapi, mari kita perhatikan jalan periwayatan yang lainnya dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu:
Riwayat pertama:
ﻭﺣﺪﺛﻨﻲ ﻋﺒﻴﺪﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻣﻌﺎﺫ ﺍﻟﻌﻨﺒﺮﻱ ﻭﺃﺑﻮ ﻛﺮﻳﺐ ﻭﺇﺳﺤﺎﻕ ﺑﻦ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ . ﻭﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪﺍﻷﻋﻠﻰ ( ﻭﺍﻟﻠﻔﻆ ﻻﺑﻦ ﻣﻌﺎﺫ ) ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺮ ﺑﻦ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ، ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻣﺠﻠﺰ، ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ : ﻗﻨﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺷﻬﺮﺍ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ . ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺼﺒﺢ . ﻳﺪﻋﻮ ﻋﻠﻰ ﺭﻋﻞ ﻭﺫﻛﻮﺍﻥ . ﻭﻳﻘﻮﻝ "ﻋﺼﻴﺔ ﻋﺼﺖ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ."
"Dan telah menceritakan kepadaku Ubaidullah bin Mu’adz al-Anbari, Abu Kuraib, Ishaq bin Ibrahim, Muhammad bin Abdil-A’la dan lafadzh hadits ini adalah milik ibnu Mu’adz: Telah menceritakan kepada kami al-Mu’tamir bin Sulaiman, dari ayahnya, dari Abu Mijlaz, dari Anas bin Malik: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan Qunut selama sebulan setelah rukuk dalam shalat Shubuh. Beliau mendo'akan keburukkan kepada Bani Ri’l, dan Bani Dzakwan, dan bersabda: “’Ushayyah telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”.
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 677 [299]. Diriwayatkan juga oleh al-Bukhari no. 1003:4094).
Riwayat kedua:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻤﺜﻨﻰ . ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪﺍﻟﺮﺣﻤﻦ . ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻫﺸﺎﻡ ﻋﻦ ﻗﺘﺎﺩﺓ، ﻋﻦ ﺃﻧﺲ؛ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﻨﺖ ﺷﻬﺮﺍ . ﻳﺪﻋﻮ ﻋﻠﻰ ﺃﺣﻴﺎﺀ ﻣﻦ ﺃﺣﻴﺎﺀ ﺍﻟﻌﺮﺏ . ﺛﻢ ﺗﺮﻛﻪ .
"Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna: Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman: Telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Qatadah, dari Anas: Bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan Qunut selama sebulan mendo'akan keburukkan kepada sebagian orang-orang Arab, kemudian beliau meninggalkannya”.
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 677 [304] Diriwayatkan pula oleh al-Bukhari no. 4089).
Riwayat ketiga:
ﺃﻧﺎ ﺃﺑﻮ ﻃﺎﻫﺮ ﻧﺎ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻧﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺮﺯﻭﻕ ﺍﻟﺒﺎﻫﻠﻲ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭﻱ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻋﺮﻭﺑﺔ ﻋﻦ ﻗﺘﺎﺩﺓ ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﺩﻋﺎ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﺃﻭ ﺩﻋﺎ ﻋﻠﻰ ﻗﻮﻡ
"Telah menceritakan kepada kami Abu Thahir: Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakar: Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Muhammad bin Marzuq al-Bahili: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdillah al-Anshari: Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Abi Arubah, dari Qatadah, dari Anas : Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan Qunut, kecuali jika mendo'akan kebaikan pada satu kaum atau mendo'akan keburukkan pada satu kaum”.
(Diriwayatkan oleh ibnu Khuzaimah no. 620; shahih).
Dari ketiga hadits diatas telah menjelaskan bahwa Qunut Shubuh yang dimaksudkan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu adalah do'a Qunut Nazilah (Do'a disaat ada musibah/karena sebab mendo'akan kebaikan dan keburukan suatu kaum) karena peristiwa Ri’l Ma’unah. Itupun tidak dilakukan terus-menerus, karena hanya dilakukan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selama sebulan dan kemudian beliau tinggalkan.
Lalu apakah do'a Qunut tersebut hanya dilakukan khusus pada shalat Shubuh saja ?
Perhatikan riwayat-riwayat berikut:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠّﻪ ﺑﻦ ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ ﺍﻟﺠﻤﺤﻲ، ﺛﻨﺎ ﺛﺎﺑﺖ ﺑﻦ ﻳﺰﻳﺪ، ﻋﻦ ﻫﻼﻝ ﺑﻦ ﺧﺒﺎﺏ، ﻋﻦ ﻋﻜﺮﻣﺔ، ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻗﺎﻝ : ﻗَﻨَﺖَ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠّﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠّﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺷﻬﺮﺍً ﻣﺘﺘﺎﺑﻌﺎً ﻓﻲ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﻭﺍﻟﻌﺼﺮ ﻭﺍﻟﻤﻐﺮﺏ ﻭﺍﻟﻌﺸﺎﺀ ﻭﺻﻼﺓ ﺍﻟﺼﺒﺢ ﻓﻲ ﺩﺑﺮ ﻛﻞ ﺻﻼﺓ ﺇﺫﺍ ﻗﺎﻝ : " ﺳﻤﻊ ﺍﻟﻠّﻪ ﻟﻤﻦ ﺣﻤﺪﻩ " ﻣﻦ ﺍﻟﺮﻛﻌﺔ ﺍﻵﺧﺮﺓ ﻳﺪﻋﻮ ﻋﻠﻰ ﺃﺣﻴﺎﺀ ﻣﻦ ﺑﻨﻲ ﺳﻠﻴﻢ ﻋﻠﻰ ﺭﻋﻞٍ ﻭﺫﻛﻮﺍﻥ ﻭﻋﺼﻴﺔ، ﻭﻳﺆﻣّﻦ ﻣﻦ ﺧﻠﻔﻪ .
"Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Mu’awiyyah al-Jumahi: Telah menceritakan kepada kami Tsabit bin Yazid, dari Hilal bin Khabbab, dari Ikrimah, dari ibnu Abbas, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan penuh pada shalat Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’, dan Shubuh pada akhir setiap shalat, yaitu saat beliau berkata: "sami’Allaahu liman hamidah" diraka’at terakhir. Beliau mendo'akan kejelekan pada orang-orang Bani Sulaim, Bani Ri’l, Bani Dzakwan, dan Bani Ushayyah; serta diaminkan orang-orang yang dibelakang beliau (makmum)”.
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1443: hasan).
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺛﻨﺎ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺛﻨﺎ ﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲ ﺣﺪﺛﻨﻲ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻛﺜﻴﺮ ﺣﺪﺛﻨﻲ ﺃﺑﻮ ﺳﻠﻤﺔ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ : ﻗﻨﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻌﺘﻤﺔ ﺷﻬﺮﺍ ﻳﻘﻮﻝ ﻓﻲ ﻗﻨﻮﺗﻪ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻧﺞ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻧﺞ ﺳﻠﻤﺔ ﺑﻦ ﻫﺸﺎﻡ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻧﺞ ﺍﻟﻤﺴﺘﻀﻌﻔﻴﻦ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺍﺷﺪﺩ ﻭﻃﺄﺗﻚ ﻋﻠﻰ ﻣﻀﺮ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺍﺟﻌﻠﻬﺎ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺳﻨﻴﻦ ﻛﺴﻨﻲ ﻳﻮﺳﻒ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻭﺃﺻﺒﺢ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺫﺍﺕ ﻳﻮﻡ ﻓﻠﻢ ﻳﺪﻉ ﻟﻬﻢ ﻓﺬﻛﺮﺕ ﺫﻟﻚ ﻟﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﻭﻣﺎ ﺗﺮﺍﻫﻢ ﻗﺪ ﻗﺪﻣﻮﺍ
"Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ibrahim: Telah menceritakan kepada kami al Walid: Telah menceritakan kepada kami al-Auza’i: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abi Katsir: Telah menceritakan kepadaku Abu Salamah bin Abdirrahman, dari Abu Hurairah: Bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan Qunut pada shalat ‘Atamah (Maghrib dan Isya’) selama sebulan dan berdo'a: “Ya Allah, selamatkanlah al-Walid bin al-Walid. Ya Allah, selamatkanlah Salamah bin Hisyam. Ya Allah, selamatkanlah orang-orang lemah dari kalangan mukminin. Ya Allah, keraskanlah tekanan (adzab) kepada Bani Mudlar. Ya Allah, jadikanlah hal itu terjadi atas mereka selama bertahun-tahun seperti pada masa Yusuf”. Abu Hurairah berkata: “Pada satu hari diwaktu Shubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lagi mendo'akan mereka. Maka aku pun menanyakan permasalahan itu pada beliau, lalu beliau bersabda: "Apa pendapatmu tentang mereka sementara mereka telah meninggal ?”.
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1442; shahih).
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻤﺜﻨﻰ . ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﻌﺎﺫ ﺑﻦ ﻫﺸﺎﻡ . ﺣﺪﺛﻨﻲ ﺃﺑﻲ ﻋﻦ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻛﺜﻴﺮ . ﻗﺎﻝ : ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺳﻠﻤﺔ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ؛ ﺃﻧﻪ ﺳﻤﻊ ﺃﺑﺎ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻳﻘﻮﻝ : ﻭﺍﻟﻠﻪ ! ﻷﻗﺮﺑﻦ ﺑﻜﻢ ﺻﻼﺓ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ . ﻓﻜﺎﻥ ﺃﺑﻮ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻈﻬﺮ . ﻭﺍﻟﻌﺸﺎﺀ ﺍﻵﺧﺮﺓ . ﻭﺻﻼﺓ ﺍﻟﺼﺒﺢ . ﻭﻳﺪﻋﻮ ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﻴﻦ . ﻭﻳﻠﻌﻦ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ
"Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna: Telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam: Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Yahya bin Abi Katsir, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Salamah bin Abdirrahman, bahwasannya ia pernah mendengar Abu Hurairah berkata: “Demi Allah, sungguh aku akan dekatkan kalian dengan shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Maka Abu Hurairah melakukan Qunut pada shalat Dhuhur, Isya’ yang akhir, dan Shubuh dengan mendo'akan kebaikan bagi kaum muslimin dan melaknat orang-orang kafir”.
(Diriwayatkan oleh Muslim no. 676 [296]).
Dari ketiga riwayat diatas ini dengan jelas menunjukkan bahwa do'a Qunut beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak hanya dilakukan diwaktu shalat Shubuh, akan tetapi dilakukan pula pada waktu-waktu shalat yang lain, dalam rangka untuk mendo'akan kebaikan kaum muslimin dan melaknat kaum kafir.
Ringkasnya, tidak ada pendalilan untuk hadits Anas diatas sebagai hujjah masyru’-nya do'a Qunut pada shalat Shubuh secara terus-menerus secara khusus.
Tidak dipungkiri memang, bahwa ada riwayat yang juga dari Anas bin Malik radhiallahu lainnya yang menjadi hujjah masyru’-nya do'a Qunut pada shalat Shubuh secara terus-menerus, riwayat inipun dijadikan sandaran oleh pihak untuk melegalisasi akan masyru'nya amalan ini, berikut riwayat tersebut:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺯﺍﻕ ﻗﺎﻝ ﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺟﻌﻔﺮ ﻳﻌﻨﻲ ﺍﻟﺮﺍﺯﻱ ﻋﻦ ﺍﻟﺮﺑﻴﻊ ﺑﻦ ﺃﻧﺲ ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻗﺎﻝ ﻣﺎ ﺯﺍﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﺣﺘﻰ ﻓﺎﺭﻕ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ
"Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far, yaitu ar-Razi, dari ar-Rabi’ bin Anas, dari Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan Qunut diwaktu Shubuh hingga meninggal dunia”.
(Diriwayatkan oleh Ahmad 3/162, Diriwayatkan juga oleh Abdurrazzaq no. 4963, ad-Daruquthni 2/370-372 no. 1692-1694, ibnu Abi Syaibah 2/312, al-Bazzaar dalam Kasyful-Astar no. 556, ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil-Atsar 1/244, al-Baihaqi 2/201, al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah no. 639, al-Hazimi dalam al-I’tibar hal. 86, adl-Dliya’ dalam al-Mukhtarah no. 2128; semuanya dari jalan Abu Ja’far ar-Razi. Al-Baihaqi berkata: “Sanad hadits ini shahih, para perawinya tsiqah”).
Keterangan: Perkataannya al-Baihaqi ini layak untuk dicermati keabsahannya,karena status hadits ini adalah dha'if (lemah), bahkan riwayatnya "Munkar". Riwayat Abu Ja’far ar-Razi ini tidak diterima jika menyendiri atau menyelisihi riwayat para perawi tsiqat, karena jeleknya hapalannya. Dalam riwayat ad-Daruquthni dibawakan dengan lafadzh:
ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﻨﺖ ﺷﻬﺮﺍ ﻳﺪﻋﻮﺍ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺛﻢ ﺗﺮﻛﻪ ﻭﺃﻣﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺒﺢ ﻓﻠﻢ ﻳﺰﻝ ﻳﻘﻨﺖ ﺣﺘﻰ ﻓﺎﺭﻕ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ
“Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan Qunut selama sebulan untuk mendo'akan kejelekan pada mereka, kemudian meninggalkannya. Adapun untuk (Qunut) pada shalat Shubuh, maka beliau senantiasa melakukannya hingga meninggal dunia”.
Riwayat Anas bin Malik yang dibawakan Abu Ja’far ini menyelisihi riwayat yang telah disebutkan diatas dari Anas yang menyebutkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya Qunut Nazilah selama sebulan kemudian berhenti.
(HR. Al-Bukhari no. 4089 dan Muslim no. 677).
Anas pun memberi kesaksian bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan do'a Qunut Shubuh kecuali do'a Qunut Nazilah untuk mendo'akan kebaikan atau keburukkan pada satu kaum.
(HR. Ibnu Khuzaimah no. 620).
Apalagi dalam hadits shahih riwayat dari ibnu Khuzaimah no. 619, bahwa ibnu Abbas telah menguatkan kesaksian tersebut. Oleh karena itu, riwayatnya dari Anas bin Malik yang dibawakan dari Abu Ja’far disini adalah riwayat yang "Munkar".
Ar-Rabi’ bin Anas mempunyai mutaba’ah dari:
1. Al-Hasan al-Bashri.
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺩﺍﻭﺩ ﻗﺎﻝ : ﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻣﻌﻤﺮ، ﻗﺎﻝ : ﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻮﺍﺭﺙ، ﻗﺎﻝ : ﺛﻨﺎ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﻋﺒﻴﺪ، ﻋﻦ ﺍﻟﺤﺴﻦ، ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ : ﺻﻠﻴﺖ ﻣﻊ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻠﻢ ﻳﺰﻝ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻐﺪﺍﺓ، ﺣﺘﻰ ﻓﺎﺭﻗﺘﻪ، ﻭﺻﻠﻴﺖ ﻣﻊ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻓﻠﻢ ﻳﺰﻝ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻐﺪﺍﺓ ﺣﺘﻰ ﻓﺎﺭﻗﺘﻪ .
"Telah menceritakan kepada kami ibnu Abi Dawud, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdul Warits, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Amru bin Ubaid, dari al-Hasan, dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka beliau senantiasa Qunut pada shalat Shubuh hingga meninggal dunia. Dan aku pun pernah shalat bersama 'Umar bin al-Khathab radhiallahu ‘anhuma, maka ia senantiasa Qunut pada shalat Shubuh hingga meninggal dunia”.
(Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil-Atsar, 1/243. Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi 2/202 dan ad-Daruquthni 2/372-373 no. 1695-1698).
Keterangan: Amru bin Ubaid at-Tamimi al-Bashri al-Mu’tazili menjadi penyakit utama dalam sanad hadits ini. Ia seorang yang "Matruk' sebagaimana yang dikatakan oleh Amru bin Ali dan Abu Hatim. Bahkan, Yunus bin Ubaid mengatakan ia telah memalsukan hadits. Humaid mengatakan Amru bin Ubaid at-Tamimi al-Bashri al-Mu’tazili ini telah memalsukan hadits dari al-Hasan al-Bashri. Mu’adz bin Mu’adz dan Ayyub mengatakan ia adalah seorang "Pendusta". Dan yang lainnya banyak sekali celaan dar para muhaddits (ahli hadits) terhadapnya dengan celaan-celaan yang berat.
(Selengkapnya lihat dalam: Tahdzibut-Tahdzib, 8/70-75 no. 108).
Kemudian riwayat dari Anas bin Malik lainnya yang menjadi sandaran untuk do'a Qunut Shubuh telah dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani dalam silsilah hadits adh Dha'ifah Wa Maudhu’ah no. 1238 hal. 384. Anas bin Malik radhiallahu 'anhu pernah berkata :
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan senantiasa Qunut Shubuh sampai beliau menuinggal dunia.”
Syaikh Hasan Mashur Salman mengomentari hadits ini yang bersumber dari Abu Ja’far ar Razi yang tercampur hafalannya, sebagaimana dikatakan oleh ibnu al-Madini begitu pula Abu Jur’ah beliau juga menyatakan Abu Ja’far Ar Razi adalah seorang yang sering ragu (wahm), dan ibnu Hibban berujar:”Abu Ja’far Ar Razi bersendirian dalam meriwayatkan hadits-hadits mungkar, yang masyhur sehingga derajat hadits ini tidak shahih, dengan demikian hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah untuk beribadah kepada Allah ta'ala.
(Lihat al-Qaulul Mubin fi Akhthaul Mushallin:127).
Maka, riwayat ini tidak layak untuk dijadikan hujjah untuk mereka yang membolehkan do'a Qunut Shubuh, karena haditsnya dha'iffun jiddan (sangat lemah), bahkan haditnya Maudhu' (palsu).
Ada jalur lain yang dibawakan oleh ad-Daruquthni [2/373 no. 1698] dari Isma’il al-Makki dari al-Hasan, dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu sebagai berikut:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺑﻦ ﺣﻤﺎﺩ ﺛﻨﺎ ﻋﺒﺎﺩ ﺑﻦ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺛﻨﺎ ﻗﺮﻳﺶ ﺑﻦ ﺃﻧﺲ ﺛﻨﺎ ﺇﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ﺍﻟﻤﻜﻲ ﻭﻋﻤﺮﻭ ﻋﻦ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﻗﺎﻝ : ﻗﺎﻝ ﻟﻲ ﺃﻧﺲ ﻗﻨﺖ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻣﻊ ﻋﻤﺮ ﺣﺘﻰ ﻓﺎﺭﻗﺘﻬﻤﺎ
"Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin
Hammad: Telah menceritakan kepada kami Abbad bin al-Walid: Telah menceritakan kepada kami Quraisy bin Anas: Telah menceritakan kepada kami Isma’il al-Makki dan Amru, dari al-Hasan, ia berkata: Telah berkata kepadaku Anas: “Aku melakukan Qunut bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersama Umar hingga keduanya berpisah denganku (meninggal dunia)”.
(Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi 2/202 dari jalan Quraisy bin Anas yang selanjutnya seperti riwayat ad-Daruquthni).
Keterangan: Hadits ini dha'iffun jiddan (sangat lemah), karena faktor dari Isma’il al-Makki.
Riwayat lain dari Abu Qatadah radhiallahu 'anhu disebutkan:
ﺃﺧﺒﺮﻧﺎ ﺃﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺛﻨﺎ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺣﻤﺸﺎﺫ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﻭﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻌﻨﺒﺮﻱ ﻗﺎﻻ ﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺍﻟﻌﺒﺪﻱ ﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﻨﻔﻴﻠﻲ ﺛﻨﺎ ﺧﻠﻴﺪ ﺑﻦ ﺩﻋﻠﺞ ﻋﻦ ﻗﺘﺎﺩﺓ ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﻨﺖ ﻭﺧﻠﻒ ﻋﻤﺮ ﻓﻘﻨﺖ ﻭﺧﻠﻒ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﻓﻘﻨﺖ
"Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Abdillah al-Hafidh: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hamasyadz al-‘Adl dan Yahya bin Muhammad bin Abdillah al-Anbari, mereka berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah Muhammad bin Ibrahim al-Abdi: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad an-Nufaili: Telah menceritakan kepada kami Khalid bin Dal’aj, dari Qatadah, dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, ia berkata: “Aku pernah shalat dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau melakukan Qunut. Dibelakang 'Umar ia Qunut, dan dibelakang Utsman, iapun Qunut”.
(Diriwayatkan oleh al-Baihaqi 2/202).
Keterangan: Hadits ini dha'if (lemah) lagi Munkar. Penyakitnya ada pada Khalid bin Dal’aj, ia seorang yang dha’if, ia yang meriwayatkan beberapa hadits munkar dari Qatadah. Dan ini sebagian diantaranya. Selain itu, riwayat Anas yang menyatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafaur Rasyidin setelah melakukan Qunut Shubuh secara terus-menerus sangat nyata bertentangan dengan persaksian Thariq bin Asyyam bin Mas’ud al-Asyja’i (yang disebutkan diawal bahasan) bahwasannya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan Qunut Shubuh (secara terus-menerus), dan hal itu berjalan hingga kekhalifahan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu .
Seorang Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang bernama Thariq bin Asyyam bin Mas'ud al-Asyja'i ayahanda Abu Malik Sa'd al-Asyja'i radhiallahu 'anhu dengan tegas dan tandas mengatakan bahwa: "Qunut Shubuh adalah BID'AH".
PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG QUNUT SHUBUH TERUS MENERUS.
[1]. Imam ibnul Mubarak rahimahullah berpendapat tidak ada Qunut dishalat Shubuh.
[2]. Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata: Qunut Shubuh (terus-menerus itu) dilarang.
(Lihat dalam Subulus Salam [I/378])
[3]. Abul Hasan al-Kurajiy asy-Syafi'i rahimahullah (wafat th. 532 H), beliau tidak mengerjakan Qunut Shubuh. Dan ketika ditanya: "Mengapa demikian?". Beliau menjawab: "Tidak ada satu pun hadits yang shahih tentang masalah Qunut Shubuh".
(Lihat dalam silsilatul Ahaadits adh-Dha'ifah wal Maudhuah [II/388]).
[4]. Imam ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah berkata: "Tidak ada sama sekali petunjuk dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau telah mengerjakan do'a Qunut Shubuh terus-menerus. Bahkan Jumhur (sepakat) ulama berkata: "Tidaklah Qunut Shubuh ini dikerjakan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan tidak ada satupun dalil yang sah yang menerangkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam mengerjakan yang demikian".
(Lihat Zaadul Ma'ad [I/271 : 283], tahqiq: Syuaib al-Arnauth dan Abdul Qadir al-Arnauth).
[5]. Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata: "Qunut Shubuh tidak disyari'atkan kecuali bila ada Nazilah (musibah) itupun dilakukan dalam shalat lima waktu, dan bukan hanya diwaktu shalat Shubuh saja. Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, ibnul Mubarak, Sufyan ats-Tsauri dan Ishaq, mereka semua tidak melakukan Qunut Shubuh.
(Lihat Fiqhus Sunnah [I/167-168]).
PENJELASAN TENTANG PENDAPAT MEREKA YANG MENSUNNAHKANNYA.
Sebagian orang ada yang mengatakan: Madzhab kami berpendapat Sunnah ber-Qunut pada shalat Shubuh, baik ada Nazilah ataupun tidak ada Nazilah.
Namun apabila diperhatikan, maka kita dapat mengetahui bahwa yang melatar belakangi pendapat demikian adalah karena anggapan mereka tentang adanya hadits Qunut Shubuh secara terus-menerus. Akan tetapi setelah diadakan penelitian oleh para ulama ahli hadits, ternyata hadits-hadits yang menyebutkan masyru'-nya Qunut Shubuh ini ternyata semuanya banyak kecacatan, artinya hadits tersebut semuanya berstatus dha'if (lemah) bahkan haditsnya Maudhu' (palsu).
Kemungkinan besar, mereka belum mengetahui ini karena belum sampainya berita kepada mereka tentang kecacatan hadits-hadits tersebut. Namun kendati ada ulama yang me-masyru’kan Qunut ini bukan berarti kemudian kita harus menentang, meremehkan atau menolak pendapatnya hanya karena berbeda pendapat dengan kita.
Permasalahan ini sudah masyhur adalah soal khilaf dikalangan para ulama, jika ada disebagian ulama yang bertentangan dengan pendapat kita karena berdasarkan kita mengambil pendapat dari ulama yang lain, dalam hal ini janganlah kita sampai fanatik dengan pendapat yang kita yakini, kemudian kita meremehkan pendapat ulama yang berseberangan dengan kita, akan tetapi kita tetap harus menghormati, menjunjung tinggi dan menghargai atas segala usaha serta jerih payah mereka para ulama yang telah berjuang berdakwah demi menegakkan tauhid dimuka bumi ini, dan kita tetap patut beryukur dan bangga memiliki ulama seperti mereka yang memiliki ilmu begitu luas yang tiada tandingannya diabad ini, semua itu tiada lain demi untuk menuntun kita sebagai umat muslim ke arah jalan agama yang lurus, agar tidak tersesat dari jalan Allah dan Rasul-Nya. Semoga mereka para ulama ini berkumpul bersama para Nabi dan Rasul serta bersama para sahabat dan orang-orang shalih lainya dalam surganya Allah subhanahu wa ta’ala.
Selanjutnya dalam perkara ini, harus dipahami bahwa mereka ulama tetaplah ulama yang hanya manusia biasa, siapapun dia, sebab sifat manusia itu bisa benar dan bisa salah, ada yang bisa diambil pendapatnya dan yang ditolak, katena semua umat ini tidak ada yang ma’shum (lepas dari kesalahan) kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam Malik rahimahullah:
ﻟﻴﺲ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺧﻠﻖ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻻ ﻭﻳﺆﺧﺬ ﻣﻦ ﻗﻮﻟﻪ ﻭﺗﺮﻙ ﺇﻻ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
“Tidak ada seorangpun setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kecuali perkataannya itu ada yang diambil dan ada yang ditinggalkan, kecuali Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam“.
(Ibnu Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayanil-‘Ilmi wa Fadhlihi juz II, hal. 111-112).
Tentang ketidak ma'shuman ini al-Imam Malik rahimahullah mengungkapkan bahwa beliau juga bisa keliru dan bisa benar dengan mengatakan:
ﺇﻧﻤﺎ ﺃﻧﺎ ﺑﺸﺮ ﺃﺧﻄﺊ ﻭﺃﺻﻴﺐ، ﻓﺎﻧﻈﺮﻭﺍ ﻓﻲ ﺭﺃﻳﻲ؛ ﻓﻜﻞ ﻣﺎ ﻭﺍﻓﻖ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ؛ ﻓﺨﺬﻭﻩ، ﻭﻛﻞ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻮﺍﻓﻖ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ؛ ﻓﺎﺗﺮﻛﻮﻩ
“Aku ini hanya seorang manusia biasa, yang kadang salah dan kadang benar. Maka cermatilah setiap pendapatku, jika sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah.”
(Diriwayatkan ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jami' 2/32, ibnu Hazm dalam Ushul al-Ahkam 6/149. Dinukil dari ashl Sifah Shalatin Nabi,27).
Bahkan seorang sahabat Ali bin Abi Thaalib radhiallahu ‘anhu sendiri disebutkan pernah mengatakan tentang ketidak ma'shuman dirinya dengan mengatakan:
ﻓﻼ ﺗﻜﻔﺮﻭﺍ ﻋﻦ ﻣﻘﺎﻟﺔ ﺑﺤﻖ، ﺃﻭ ﻣﺸﻮﺭﺓ ﺑﻌﺪﻝ، ﻓﺈﻧِّﻲ ﻟﺴﺖ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻲ ﺑﻔﻮﻕ ﺃﻥ ﺃﺧﻄﺊ، ﻭﻻ ﺁﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﻓﻌﻠﻲ، ﺇﻟَّﺎ ﺃﻥ ﻳﻜﻔﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﻧﻔﺴﻲ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺃﻣﻠﻚ ﺑﻪ ﻣﻨِّﻲ
“Janganlah kamu berhenti dari mengatakan kebenaran, atau bermusyawarah dengan adil. Sebab aku pada diriku tidak terbebas dari kesalahan dan aku tidak menjamin hal itu dari perbuatanku, kecuali bila Allah mencukupkan dari diriku sesuatu yang Dia lebih memilikinya daripadaku”.
(Nahjul-Balaaghah, hal 485: Daarul-Ma’rifah, Beirut).
Dan al-Imam asy-Syafi'i (lahirkan tahun 150 H dan wafat tahun 204 H) sangat memahami hal ini, sehingga beliau termasuk ulama yang paling banyak memberikan nasehat kepada umat ini untuk tidak taqlid (mengikuti) kepada pendapat siapapun termasuk kepada beliau jika pendapatnya ada yang bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau menganjurkan kepada umatnya untuk tidak berpedoman dengan pendapatnya tersebut, dan menyarankan untuk tetap berpedoman hanya kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Berikut petikan beberapa perkataan beliau:
ﺇِﺫَﺍ ﻭَﺟَﺪْﺗُﻢْ ﻓِﻲ ﻛِﺘَﺎﺑِﻲ ﺧِﻼَﻑَ ﺳُﻨَّﺔِ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﺑِﺴُﻨَّﺔِ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺩَﻋُﻮﺍ ﻣَﺎ ﻗُﻠْﺖُ - ﻭﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ - ﻓَﺎﺗَّﺒِﻌُﻮﻫَﺎ ﻭَﻻَ ﺗَﻠْﺘَﻔِﺘُﻮﺍ ﺇِﻟﻰَ ﻗَﻮْﻝِ ﺃَﺣَﺪٍ. ) ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻓﻲ. ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ 1 / 63
"Apabila kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, maka sampaikanlah Sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku". – dan dalam riwayat lain Imam asy-Syafi’i mengatakan: "Maka ikutilah Sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang".
(Lihat al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab 1/63).
Al-Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata:
ﻋِﻨْﺪَ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟﻨَّﻘْﻞِ ﺑِﺨِﻼَﻑِ ﻣَﺎ ﻗُﻠْﺖُ ﻓَﺄَﻧﺎَ ﺭَﺍﺟِﻊٌ ﻋَﻨْﻬَﺎ e ﻛُﻞُّ ﻣَﺴْﺄَﻟَﺔٍِ ﺻَﺢَّ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﺍﻟْﺨَﺒَﺮُ ﻋَﻦْ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪ (ﻓِﻲ ﺣَﻴَﺎﺗِﻲ ﻭَﺑَﻌْﺪَ ﻣَﻮْﺗِﻲ) ﺃﺑﻮ ﻧﻌﻴﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻠﻴﺔ 9 /107
"Setiap masalah yang disana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku".
(Lihat Hilyatul Auliya’ 9/107).
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
ﻛُﻞُّ ﻣَﺎ ﻗُﻠْﺖُ ﻓَﻜَﺎﻥَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺧِﻼَﻑُ ﻗَﻮْﻟِﻲْ ﻣِﻤَّﺎ ﻳَﺼِﺢُّ ﻓَﺤَﺪِﻳْﺚُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺃَﻭْﻟَﻰ، ﻓَﻼَ ﺗُﻘَﻠِّﺪُﻭْﻧِﻲ
“Setiap dari perkataanku, kemudian ada riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi perkataanku, maka hadits Nabi (harus) diutamakan. Maka janganlah kalian taqlid (mengikuti) kepadaku”.
(Diriwayatkan oleh ibnu Abi Hatim dalam Adab asy-Syafi’i [hal. 93], ibnu Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in [IV/45-46], Abu Nu’aim dan ibnu Asakir [XV/9/2] dengan sanad yang shahih. Lihat juga Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, [hal. 52] ).
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
ﺃﺟﻤﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﻦ ﺍﺳﺘﺒﺎﻧﺖ ﻟﻪ ﺳﻨﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﺪﻋﻬﺎ ﻟﻘﻮﻝ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ
“Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya Sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak boleh ia meninggalkan Sunnah demi membela pendapat siapapun”.
(Diriwayatkan oleh ibnul Qayyim dalam al-I’lam 2/361. Dinukil dari ashl Sifah Shalatin Nabi , 28).
Al-Imam asy-Syafi'i Rahimahullah berkata:
ﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﺃَﺣَﺪٍ ﺇِﻻَّ ﻭَﺗَﺬْﻫَﺐُ ﻋَﻠَﻴﻪِ ﺳُﻨَّﺔٌ ﻟِﺮَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺗَﻌْﺰُﺏُ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﻤَﻬْﻤَﺎ ﻗُﻠْﺖُ ﻣِﻦْ ﻗَﻮْﻝٍ ﺃَﻭْ ﺃَﺻَّﻠْﺖُ ﻣِﻦْ ﺃَﺻْﻞٍ, ﻓِﻴْﻪِ ﻋَﻦْ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻟِﺨِﻼَﻑِ ﻣَﺎ ﻗُﻠْﺖُ ﻓَﺎﻟْﻘَﻮْﻝُ ﻣَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﻫُﻮَ ﻗَﻮْﻟِﻲ ) ﺗﺎﺭﻳﺦ
ﺩﻣﺸﻖ ﻻﺑﻦ ﻋﺴﺎﻛﺮ 15 / 389 )
"Tidak ada seorang pun melainkan pasti ada sebagian Sunnah Rasulullah yang luput dari pengetahuannya. Maka perkataan apa pun yang pernah kukatakan, atau kaidah apa pun yang kuletakkan, sedang disana ada hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang bertentangan dengan pendapatku, maka pendapat yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Rasulullah, dan itulah pendapatku".
(Lihat: Tarikh Dimasyq, 15/389 oleh ibnu Asakir).
Al-Imam asy-Syafi'i Rahimahullah berkata:
ﺇِﺫَﺍ ﺻَﺢَّ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚُ ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﺬْﻫَﺒِﻲ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺻَﺢَّ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳْﺚُ ﻓَﺎﺿْﺮِﺑُﻮﺍ
ﺑِﻘَﻮْﻟِﻲ ﺍﻟْﺤَﺎﺋِﻂَ ) ﺳﻴﺮ ﺃﻋﻼﻡ ﺍﻟﻨﺒﻼﺀ ( 3285-3/3284 )
"Kalau ada hadits shahih, maka itulah madzhabku, dan kalau ada hadits shahih maka lemparkanlah pendapatku ke (balik) tembok".
(Lihat Siyar A’laamin Nubala’3/3284-3285).
Begitupun para Imam-imam yang lain juga mengungkapkan hal yang sama untuk tidak taqlid (mengikuti) kepada pendapat siapapun termasuk kepada pendapat beliau, seperti yang diungkapkan oleh al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, beliau berkata:
ﻻ ﺗﻘﻠﺪﻧﻲ، ﻭﻻ ﺗﻘﻠﺪ ﻣﺎﻟﻜﺎً، ﻭﻻ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ، ﻭﻻ ﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲ، ﻭﻻ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ، ﻭﺧﺬ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﺃﺧﺬﻭﺍ
“Jangan taqlid (mengikuti) kepada pendapatku, juga pendapat Malik, asy-Syafi’i, al-Auza’i maupun ats Tsauri. Tapi ambilah dari mana mereka mengambil (dalil)”.
(Diriwayatkan oleh ibnul Qayyim dalam al-I’lam 2/302. Dinukil dari ashl Sifah Shalatin Nabi, 32).
Dan masih banyak lagi pernyataan-pernyatan para ulama lainnya.
Dengan menilik perkataan para ulama diatas, jelas bahwa mereka para ulama sendiri mengakui atas segala keterbatasan mereka, sehingga mereka menuntun kita agar dalam segala perkara ibadah harus tetap merujuk kepada tuntunannya al-Qur'an dan Sunnahnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Oleh sebab itu, begitu pentingnya ittiba' ini sehingga para ulama tiada henti-hentinya berwasiat kepada seluruh umat muslim dimuka bumi ini untuk tetap patuh hanya kepada Allah dan mentaati perintah Rasul-Nya dan kita diperintahkan untuk selalu mencermati setiap mengambil pendapat dari siapapun, karena mereka para ulama tidak ingin umat muslim ini tergelincir oleh hal-hal yang jauh dari ajaran agama.
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ: “ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻧَﻔْﺲُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻟَﻮْ ﺑَﺪَﺍ ﻟَﻜُﻢْ ﻣُﻮْﺳَﻰ ﺛُﻢَّ ﺍﺗَّﺒَﻌْﺘُﻤُﻮْﻩُ ﻭَﺗَﺮَﻛْﺘُﻤُﻮْﻧِﻲْ ﻟَﻀَﻠَﻠْﺘُﻢْ ﻋَﻦْ ﺳَﻮَﺍﺀِ ﺍﻟﺴَّﺒِﻴْﻞِ ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﺣَﻴًّﺎ ﻭَﺃَﺩْﺭَﻙَ ﻧُﺒُﻮَّﺗِﻲْ ﻻَﺗَّﺒَﻌَﻨِﻲْ ”.
"Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya,
seandainya Musa hadir ditengah kalian lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, maka sungguh kalian telah tersesat dari jalan yang lurus., Kiranya Musa hidup dan menjumpai kenabianku, dia pasti mengikutiku".
(HR. Ad-Darimi dalam Sunannya [441] dan Ahmad [3/471, 4/466] Lihat al-Misykah [177] hasan oleh Syaikh al-Albani).
Maksudnya apabila kita meninggalkan Sunnahnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu kita mengikuti Nabi Musa alaihi salam, yang jelas adalah seorang Nabi mulia yang pernah diajak bicara langsung oleh Allah ta'ala, maka kita akan tersesat dari jalan yang lurus. Lantas bagaimana apabila kita meninggalkan Sunnah Nabi lalu mengikuti para kyai, tokoh agama, ustadz, mubaligh, cendekiawan dan sebagainya yang sangat jauh bila dibandingkan dengan Nabi Musa alaihi salam ?
(Lihat kitab Muqaddimah Bidayatus Suul hal. 6 oleh Syaikh al-Albani).
Dan dalam riwayat lain disebutkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ﻟَﻮْ ﺃَﻥَّ ﻣُﻮْﺳَﻰ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻛَﺎﻥَ ﺣَﻴًّﺎ ﻣَﺎ ﻭَﺳِﻌَﻪُ ﺇِﻻَّ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَّﺒِﻌَﻨِﻲْ
“Andaikan Musa hidup, tentunya tidak mungkin baginya, kecuali harus mengikutiku”.
(HR. Ahmad dalam al-Musnad (3/387), ad-Darimi dalam as-Sunan [1/115], ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah [5/2], ibnu Abdil Barr dalam al-Jami’ Bayan al-I'lm [2/42], dan lainnya. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’ [1589]).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ﺃﻣﺘﻬﻮﻛﻮﻥ ﺃﻧﺘﻢ ﻛﻤﺎ ﺗﻬﻮﻛﺖ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻭﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ؟ ﻟﻘﺪ ﺟﺌﺘﻜﻢ ﺑﻬﺎ ﺑﻴﻀﺎﺀ ﻧﻘﻴﺔ ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻣﻮﺳﻰ ﺣﻴﺎ ﻣﺎ ﻭﺳﻌﻪ ﺇﻻ ﺍﺗﺒﺎﻋﻲ
“Apakah kalian orang-orang yang bimbang seperti bimbangnya Yahudi dan Nashara ? Sungguh aku telah membawakan kalian syari'at yang putih dan bersih. Jika seandainya Musa alaihis salam hidup sekarang ini, maka tidak dibolehkan baginya melainkan dia harus mengikuti aku”.
(HR.Ahmad, Baihaqi dalam kitab syu’abul iman, dan dihasankan Syaikh al-Albani dalam al-misykaah).
Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan:
“Mayoritas orang-orang fanatik mazdhab tidak mendalami al-Qur’an dan as-Sunnah kecuali hanya segelintir orang saja. Sandaran mereka hanyalah hadits-hadits lemah, pendapat-pendapat rapuh atau hikayat-hikayat dari para tokoh ulama yang bisa jadi benar dan bisa jadi bohong."
(Majmu’ Fatawa 22/254).
QUNUT NAZILAH.
Qunut Nazilah adalah do'a Qunut yang dikerjakan ketika datang musibah atau kesulitan yang menimpa kaum Muslimin, seperti peperangan, terbunuhnya kaum Muslimin atau diserangnya kaum Muslimin oleh orang-orang kafir. Begitupun ketika ada musibah bencana lainnya seperti musim penyakit yang berbahaya, bencana alam dan lain-lain.
Selain itu Qunut Nazilah ini dilakukan untuk mendo'akan kebaikan atau kemenangan bagi kaum Muslimin dan mendo'akan keburukan atau kekalahan, kehancuran dan kebinasaan bagi orang-orang kafir, Musyrikin dan selainnya yang memerangi kaum Muslimin, Dan do'a Qunut Nazilah ini jika dilakukan pada saat-saat seperti tersebut diatas, maka hukumnya adalah Sunnah, itupun dilakukan bukan hanya didalam shalat Shubuh saja, tapi dilakukan juga disetiap shalat lima waktu. Untuk pelaksanaannya do'a Qunut Nazilah dilakukan sesudah ruku' diraka'at terakhir pada shalat wajib lima waktu, dan hal ini telah dilakukan oleh para Imam atau Ulil Amri.
Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata: Ahmad (bin Hanbal) dan Ishaq bin Rahawaih telah berkata:
"Tidak ada Qunut dalam shalat Fajar (Shubuh) kecuali bila terjadi Nazilah (musibah) yang menimpa kaum Muslimin. Maka, apabila telah terjadi sesuatu, hendaklah Imam (yakni imam kaum Muslimin atau Ulil Amri) mendo'akan kemenangan bagi tentara-tentara kaum Muslimin".
Imam an-Nawawi rahimahullah memberikan bab didalam Syarah Muslim dari Kitabul Masaajid, bab. 54: Istihbabul Qunut fii Jamiish Shalawat idza Nazalat bil Muslimin Nazilah (bab diSunnahkan Qunut pada Semua shalat (yang lima waktu) apabila ada musibah yang menimpa kaum Muslimin.
KESIMPULAN.
Hadits-hadits tersebut diatas mengkhabarkan pada kita bahwa do'a Qunut pada waktu shalat Shubuh yang dilakukan secara terus-menerus sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin sekarang ini adalah suatu amalan yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga tidak pernah dilakukan diera al-Khulafaur Rasyidin dan setelahnya. Intinnya dari uraian diatas bahwa bacaan do'a Qunut yang dikhususkan dalam shalat Shubuh terus-menerus adalah Bid'ah.
(Silahkan lihat permasalahan ini dalam Tafsir al-Qurthuby 4/200-201, al-Mughny 2/575-576, al-Inshaf 2/173, Syarh Ma’any al-Atsar 1/241-254, al-Ifshah 1/323, al-Majmu’ 3/483-485, Hasyiyah ar-Raud al-Murbi’ : 2/197-198, Nailul Author 2/155-158 [Cet. Darul Kalim ath Thoyyib], al-Majmu’ al-Fatawa 22/104-111 dan Zadul Ma’ad 1/271-285).
Seandainya memang perbuatan itu dicontohkan, sudah pasti Thariq bin Asyyam bin Mas’ud al-Asyja’i radhiallahu ‘anhu akan memberikan kesaksian lain sebagaimana riwayat diatas. Jika kita menggunakan bahasa riwayat, maka Qunut Shubuh secara terus-menerus dalam shalat Shubuh tanpa sebab adalah perkara Muhdats atau Bid’ah.
Ada satu pelajaran penting bagi kita semua bahwa khilaf permasalahan ini telah ada, minimal sejak era tabi’iin. Karena tidak mungkin riwayat dari Abu Malik al-Asy’ja’i bertanya kepada ayahnya tentang Qunut yang dilakukan manusia secara terus menerus pada shalat Shubuh jika ia sendiri tidak menyaksikannya atau mendengarnya.
Kemudian satu hal lagi yang tidak kalah penting dalam perkara do'a Qunut ini, yaitu mengenai bacaannya atau lafadzhnya, karena ada sebuah kekeliruan dalam prakteknya, dimana banyak kita dengar dari orang-orang yang membaca do'a Qunut Shubuh ini seperti "ALLAHUMMADINI FIMAA HADAIT...dan seterusnya, inilah sebuah kekeliruan, entahlah dari mana asal mula lafadz ini digunakan untuk shalat Shubuh sehingga begitu populer dan merebak dan menjadi kebiasaan dibaca oleh umat muslim sekarang, apalagi bagi masyarakat awam yang tidak mengerti ilmu agama, tentu mereka akan menganggap bahwa bacaan seperti sudah benar berdasarkan dari apa yang telah mereka lihat dan mereka dengar dari turun temurun, apalagi yang melakukan itu adalah seorang ustad atau kyai, tentu akan menambah keyakinan mereka untuk membenarkan adannya bacaan Qunut seperti ini.
Lalu pertanyaannya, apakah ada bacaan khusus untuk do'a Qunut Nazilah ini ?
Untuk diketahui bahwa lafadzh "ALLAHUMMAADIINI FIMAAN HADAIT...dan seterusnya ini tidak terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya menggunakan do'a tersebut selain untuk shalat Witir. Tidak pula terdapat satupun riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi ber-Qunut dengan bacaan do'a tersebut, baik pada shalat Shubuh maupun dalam shalat yang lain. Lafadzh do'a Qunut dengan menggunakan do'a tersebut dishalat shubuh sama sekali tidak ada dasarnya dari Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena lafadzh do'a itu adalah bacaan untuk do'a Qunut shalat Witir. Sedangkan untuk shalat Shubuh itu sendiri dilakukan seperti shalat biasa yang tidak ada bacaan do'a-do'a khusus sebagaimana dalam shalat yang lima waktu. Adapun untuk bacaan do'a Qunut Nazilah, ini juga tidak ada lafadzh atau bacaan tertentu melainkan dibaca sesuai bahasa yang kita pahami dan disesuikan dengan keadaan musibah yang terjadi, seperti ada sebab yang terkait dengan kaum muslimin secara umum. Misalnya ada bencana wabah penyakit yang menimpa kaum muslimin maka kaum muslimin disyari'atkan untuk ber-Qunut pada semua shalat wajib, termasuk didalamnya shalat Shubuh, agar Allah menghilangkan bencana dari kaum muslimin.
Selanjutnya dalam permasalahan khilaf ini baik mereka yang berpendapat masyru’-nya Qunut Shubuh atau yang tidak tetaplah saling menjaga ukhuwah atas perbedaan ini. Bagi mereka yang berpendapat masyru’-nya Qunut Shubuh, maka tidak perlu mencela kepada mereka yang mengatakan bahwa Qunut Shubuh yang dilakukan terus menerus adalah perbuatan muhdats atau Bid’ah, karena pihak yang berseberangan dengan mereka itu tentu telah memiliki landasan ilmu yang kuat dengan menggunakan sebaik-baik lafadzh yang diriwayatkan secara shahih dari para sahabat radhiallahu ‘anhu.
Sebaliknya, bagi pihak yang berpendapat Qunut Shubuh itu tidak masyru' atau perkara itu adalah muhdast atau Bid'ah, maka ia tidak perlu memaksakan pendapatnya untuk diaminkan pihak lain. Dan keduanya tidak perlu memisahkan diri dari jama’ah, lalu membuat jama’ah baru karena merasa imam yang ada melakukan sesuatu yang berlainan dengan apa yang diperbuatnya. Semuanya ini masih dalam ruang khilaf ijtihadiyyah yang ditoleransi dan diperbolehkan, walau kewajiban setiap kaum muslimin mengambil apa yang dianggapnya kuat menurut kadar pengetahuan yang dimilikinya.
Namun mirisnya, tidak sedikit kita jumpai ditengah masyarakat muslim sekarang yang masih fanatik atas apa yang ia dapati dari petunjuk orang lain tanpa dasar ilmu, mereka taqlid buta (mengekor tanpa landasan)) yaitu mengada-ada atau membuat aturan-aturan atau tata cara sendiri dalam beribadah, misalnya ketika ada pihak yang biasa shalat ber-Qunut kemudian ia terjebak menjadi makmum lalu ia ikut shalat berjamaah bersama imam yang kebetulan tidak ber-Qunut, kemudian begitu selesai berjamaah itu mereka mengulangi lagi shalat Shubuhnya tersebut, karena ia menganggap bahwa shalat shubuhnya itu terasa belum afdhal jika tanpa do'a Qunut, bahkan yang lebih parahnya lagi disebagian mereka ada yang melakukan sujud sahwi...na'uzubillahimin dzaliq....semoga pihak yang berbuat demikian mendapatkan petunjuk serta rahmatnya Allah ta'ala.
Inilah fenomena yang terjadi dizaman ini, sebuah realita yang memprihatinkan, mereka melakukannya tanpa rasa berdosa, benarlah apa yang dikatakan oleh seorang pakar ahli hadits KH. Makhrus Ali dari Sidoarjo yang dulu mantan kyai NU (begitu beliau menjuluki dirinya) kini beliau mendapat hidayah dengan hijrah kepengajian Salaf (Ahlu Sunnah waljamaah) yaitu kembali ke ajaran Islam yang murni, dalam sebuah buku beliau yang diberi judul "SESAT TANPA SADAR" dan perbuatan dari pihak yang membuat aturan-aturan ibadah sendiri ini termasuk salah satunya.
Sesungguhnya perbuatan yang seperti ini sangat tidak dibenarkan dalam Islam, karena tidak ada tauladannya atau contohnya dari baginda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari para sahabat. Padahal shalat Shubuh itu yang disyari'atkan hanya sekali dalam sehari. Jika shalatnya diulang artinya shalat Shubuh itu menjadi dua kali sehari, jadi shalat yang kedua ini adalah bathil atau tertolak, selain itu bahwa shalat fardhu maupun yang Sunnah sudah ada waktu-waktunya tersendiri yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya tanpa boleh menambah atau menguranginya, baik aturan waktu, bacaan maupun tata caranya. Begitupun sujud sahwi ini sudah ada syarat dan ketentuannya yaitu hanya boleh dilakukan karena sebab kelupaan dalam menghitung jumlah shalat rakaat selain sebab itu tidak disyari'atkan.
Oleh karena itu sesuatu perkara ibadah dalam agama ini haruslah tegak diatas dalil dengan mengikuti petunjuknya al-Qur'an dan Sunnah yang shahih, artinya sesuatu perbuatan ibadah dalam agama ini jika tidak ada tuntunannya maka ibadah tidak bermanfaat apa-apa dan sia-sia belaka, bahkan bukannya pahala yang didapat tapi justru sebaliknya yaitu musibah atau sebuah penyimpangan yang amat sesat dan penyimpangan ini jelas ancamannya adalah neraka, dalil yang menunjukkan ini adalah:
Dalam riwayat an Nasa’i dikatakan:
ﻭَﻛُﻞَّ ﺿَﻼَﻟَﺔٍ ﻓِﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
“Setiap kesesatan tempatnya dineraka”.
(HR. An Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan shahih oleh Syaikh al-Albani diShahih wa Dha’if Sunan an Nasa’i ).
Diriwayatkan dari al ‘Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
“Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini bergemetar (takut)”. Lalu ada yang mengatakan:
ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻛَﺄَﻥَّ ﻫَﺬِﻩِ ﻣَﻮْﻋِﻈَﺔُ ﻣُﻮَﺩِّﻉٍ ﻓَﻤَﺎﺫَﺍ ﺗَﻌْﻬَﺪُ ﺇِﻟَﻴْﻨَﺎ
“Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami ?”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺃُﻭﺻِﻴﻜُﻢْ ﺑِﺘَﻘْﻮَﻯ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟﺴَّﻤْﻊِ ﻭَﺍﻟﻄَّﺎﻋَﺔِ ﻭَﺇِﻥْ ﻋَﺒْﺪًﺍ ﺣَﺒَﺸِﻴًّﺎ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻣَﻦْ ﻳَﻌِﺶْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺑَﻌْﺪِﻯ ﻓَﺴَﻴَﺮَﻯ ﺍﺧْﺘِﻼَﻓًﺎ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﺴُﻨَّﺘِﻰ ﻭَﺳُﻨَّﺔِ ﺍﻟْﺨُﻠَﻔَﺎﺀِ ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻳِّﻴﻦَ ﺍﻟﺮَّﺍﺷِﺪِﻳﻦَ ﺗَﻤَﺴَّﻜُﻮﺍ ﺑِﻬَﺎ ﻭَﻋَﻀُّﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺑِﺎﻟﻨَّﻮَﺍﺟِﺬِ ﻭَﺇِﻳَّﺎﻛُﻢْ ﻭَﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺕِ ﺍﻷُﻣُﻮﺭِ ﻓَﺈِﻥَّ ﻛُﻞَّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup diantara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk.
Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.
(HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Daud dan Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺃَﻧَﺎ ﻓَﺮَﻃُﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺤَﻮْﺽِ ، ﻟَﻴُﺮْﻓَﻌَﻦَّ ﺇِﻟَﻰَّ ﺭِﺟَﺎﻝٌ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺣَﺘَّﻰ ﺇِﺫَﺍ ﺃَﻫْﻮَﻳْﺖُ ﻷُﻧَﺎﻭِﻟَﻬُﻢُ ﺍﺧْﺘُﻠِﺠُﻮﺍ ﺩُﻭﻧِﻰ ﻓَﺄَﻗُﻮﻝُ ﺃَﻯْ ﺭَﺏِّ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑِﻰ . ﻳَﻘُﻮﻝُ ﻻَ ﺗَﺪْﺭِﻯ ﻣَﺎ ﺃَﺣْﺪَﺛُﻮﺍ ﺑَﻌْﺪَﻙَ
“Aku akan mendahului kalian di al-haudh (telaga). Dinampakkan dihadapanku beberapa orang diantara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al-haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman: "Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang telah mereka perbuat sesudahmu“.
(HR. Bukhari no. 7049).
Dalam riwayat lain dikatakan:
ﺇِﻧَّﻬُﻢْ ﻣِﻨِّﻰ . ﻓَﻴُﻘَﺎﻝُ ﺇِﻧَّﻚَ ﻻَ ﺗَﺪْﺭِﻯ ﻣَﺎ ﺑَﺪَّﻟُﻮﺍ ﺑَﻌْﺪَﻙَ ﻓَﺄَﻗُﻮﻝُ ﺳُﺤْﻘًﺎ ﺳُﺤْﻘًﺎ ﻟِﻤَﻦْ ﺑَﺪَّﻝَ ﺑَﻌْﺪِﻯ
“ (Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman: ‘"Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu". Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan: “Celaka, celaka..bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.”
(HR. Bukhari no. 7051).
Begitu juga semua ibadah yang tanpa ada contoh atau tuntunannya ini tidak bermanfaat dan sia-sia bahkan tertolak sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻓِﻰ ﺃَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan agama ini yang tidak ada asalnya dari kami, maka perkara tersebut tertolak”.
(HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718).
Dari 'Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻼً ﻟَﻴْﺲَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﻣْﺮُﻧَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan dalam agama ini yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak”.
(HR. Muslim no. 1718).
Dan dari Abdullah bin 'Umar radhiallahu ‘anhuma berkata:
ﻋَﻦْ ﺍﺑﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ، ﻗَﺎﻝَ : ﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ ﻭَﺇِﻥْ ﺭَﺁﻫَﺎﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺣَﺴَﻨَﺔً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia memandangnya baik.”
(Riwayat Al-Lalika-i fii syarah Ushuul I’tiqaad Ahlissunnah wal jama'ah 1/104 no.126 dan Li Ibni Baththah,1/219,Asy-Syamilah-'Ukbari dalam Al-Ibaanah no.205)
Intinya dalam permasalahan ini yang terbaik adalah ikuti sebagaimana shalatnya imam sampai selesai inilah yang terpuji dan lebih afdhal, dan tidak perlu dikedua belah pihak sengaja mencari-cari jamaah yang khusus shalat Shubuhnya tidak ber-Qunut, atau mencari yang khusus ber-Qunut, karena yang ber-Qunut maupun tidak ber-Qunut shalat keduanya tetap sah dan bernilai pahala.
Dalam pembahasan ini kami hanya mengambil pendapat yang rajih bahwa Qunut yang dilakukan terus-menerus dalam shalat Shubuh adalah Bid'ah, sebagaimana dalil-dalil diatas dan ada tambahan dalil lain diantaranya:
1. Dari ibnu ‘Umar ibnu al-Khathab radhiallahu 'anhuma:
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﻣِﺠْﻠَﺰِ ﻗَﺎﻝَ : “ ﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﻣَﻊَ ﺍِﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﺻَﻼَﺓَ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢِ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ .” ﻓَﻘُﻠْﺖُ : “ﺁﻟﻜِﺒَﺮُ ﻳَﻤْﻨَﻌُﻚَ ,” ﻗَﺎﻝَ : “ﻣَﺎ ﺃَﺣْﻔَﻈُﻪُ ﻋَﻦْ ﺃَﺣَﺪٍ ﻣِﻦْ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑِﻲْ ”.
“Dari Abu Mijlaz beliau berkata: Aku shalat bersama ibnu ‘Umar shalat Shubuh lalu beliau tidak Qunut. Lalu aku bertanya: apakah lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya). Beliau berkata: Aku tidak menghafal hal tersebut dari para sahabatku”.
(Dikeluarkan oleh ath-Thahawi 1\246, Al-Baihaqi 2\213 dan ath-Thabarani sebagaimana dalam Majma’ az-Zawa’id 2\137 dan al-Haitsami berkata: ”rawi-rawinya tsiqah”).
2. Hadits dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu:
ﻗَﻨَﺖَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺷَﻬْﺮًﺍ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﺮُّﻛُﻮﻉِ ﻓِﻲ ﺻَﻠَﺎﺓِ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢِ ﻳَﺪْﻋُﻮ ﻋَﻠَﻰ ﺭِﻋْﻞٍ، ﻭَﺫَﻛْﻮَﺍﻥَ، ﻭَﻳَﻘُﻮﻝُ : ﻋُﺼَﻴَّﺔُ ﻋَﺼَﺖِ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟَﻪُ
“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berdo'a Qunut selama sebulan penuh, beliau mendo'akan keburukan terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta Ushayyah yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya”.
(HR. Bukhari 1003, Muslim 677).
Dalam riwayat Imam al-Bukhari diceritakan, ketika itu terjadi pengkhianatan dari suku Ri’lan, Dzakwan dan Ushayyah. Mereka membantai 70 sahabat Nabi dari kaum Anshar.
3. Hadits dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:
“Selama sebulan penuh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam setelah membaca " ﺳﻤﻊ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟِﻤَﻦْ ﺣَﻤِﺪَﻩُ " pada raka’at terakhir dari shalat Isya' beliau membaca do'a Qunut:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻧْﺞِ ﻋَﻴَّﺎﺵَ ﺑْﻦَ ﺃَﺑِﻲ ﺭَﺑِﻴﻌَﺔَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻧْﺞِ ﺍﻟْﻮَﻟِﻴﺪَ ﺑْﻦَ ﺍﻟْﻮَﻟِﻴﺪِ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻧْﺞِ ﺳَﻠَﻤَﺔَ ﺑْﻦَ ﻫِﺸَﺎﻡٍ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻧْﺞِ ﺍﻟْﻤُﺴْﺘَﻀْﻌَﻔِﻴﻦَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺷْﺪُﺩْ ﻭَﻃْﺄَﺗَﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﻀَﺮَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺟْﻌَﻠْﻬَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﺳِﻨِﻴﻦَ ﻛَﺴِﻨِﻲ ﻳُﻮﺳُﻒَ
"Ya Allah, tolonglah Ayyash bin Abi Rabi’ah. Ya Allah, tolonglah Walid bin al-Walid. Ya Allah, tolonglah Salamah bin Hisyam. Ya Allah, tolonglah orang-orang lemah dari kaum.mu’minin. Ya, Allah sempitkanlah jalan-Mu atas orang-orang yang durhaka. Ya Allah, jadikanlah tahun-tahun yang mereka lewati seperti tahun-tahun paceklik yang dilewati Yusuf“.
(HR. Bukhari 1006, 2932, 3386).
4. Hadits dari Abu Malik al-Asyja-’i:
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻴﻪِ ﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺧَﻠْﻒَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ ، ﻭَﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺧَﻠْﻒَ ﺃَﺑِﻲ ﺑَﻜْﺮٍ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ ، ﻭَﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺧَﻠْﻒَ ﻋُﻤَﺮَ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ ، ﻭَﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺧَﻠْﻒَ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥَ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ ﻭَﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺧَﻠْﻒَ ﻋَﻠِﻲٍّ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ ، ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ ﻳَﺎ ﺑُﻨَﻲَّ ﺇﻧَّﻬَﺎ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ { ﺭَﻭَﺍﻩُ ﺍﻟﻨَّﺴَﺎﺋِﻲّ ﻭَﺍﺑْﻦُ ﻣَﺎﺟَﻪْ ﻭَﺍﻟﺘِّﺮْﻣِﺬِﻱُّ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺣَﺪِﻳﺚٌ ﺣَﺴَﻦٌ ﺻَﺤِﻴﺢٌ
“Dari ayahku, ia berkata: "Aku pernah shalat menjadi makmum Nabi shallallahu’alaihi wa sallam namun ia tidak membaca qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Abu Bakar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum 'Umar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Utsman namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Ali namun ia tidak membaca Qunut. Wahai anakku ketahuilah itu perkara bid’ah”.
(HR. Nasa-i, ibnu Majah, at Tirmidzi. 330. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”).
Kemudian Atsar ibnu 'Umar dari Abul Sya’sya’, dalam Mushannaf Abdirrazzaq [4954] dengan sanad shahih Dari Abi Mijlaz ia berkata:
ﺳﺄﻟﺖ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻓﻘﺎﻝ : ﻣﺎ ﺷﻌﺮﺕ ﺍﻥ ﺍﺣﺪﺍ ﻳﻔﻌﻠﻪ
“Aku bertanya kepada ibnu 'Umar tentang Qunut diwaktu Shubuh. Ia berkata: "Aku rasa tidak ada seorang pun (sahabat) yang melakukannya”.
(Lihat Mafatihul Fiqh, 106. Atsar ini telah diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi didalam kitab Sunanul Kubra [II/213] dengan sanad yang hasan, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syaikh Syuaib al-Arnauth dalam tahqiq beliau atas kitab Zaadul Maad [I/272]).
Juga Atsar dari ibnu Mas’ud dalam Mushannaf Abdirrazzaq [4949] dengan sanad shahih yang menyatakan bahwa beliau tidak pernah membaca Qunut ketika shalat Shubuh.
(Mafatihul Fiqh,106).
Jika ditelaah hadits-hadits praktek dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam membaca Qunut, umumnya berkaitan dengan musibah. Ibnul Qayyim berkata: “Petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam berdo'a Qunut adalah mengkhususkannya hanya pada saat terjadi musibah dan tidak melakukannya jika tidak ada musibah. Selain itu tidak mengkhususkan pada shalat Shubuh saja, walaupun memang beliau paling sering melakukan pada shalat Shubuh”.
(Zaadul Ma’ad 273/1).
Syaikh Abdul Qadir Syaibatul Hamdi juga menjelaskan bahwa perkataan sahabat tentang Qunut Shubuh itu muhdats (hanya diada-adakan) apabila Qunut shubuh itu dilakukan secara terus-menerus, adapun jika dilakukan pada kejadian-kejadian tertentu (QUNUT NAWAZIL/Musibah) maka tidak apa-apa.
(Lihat Fiqhul Islam 1/263).
Pendapat ini dipegang oleh Sufyan ats Tsauri, Imam Abu Hanifah, al-Laits, pendapat terakhir Imam Ahmad, ibnu Syabramah, Imam ibnul Qayyim al Jauziyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Syaikh Mubarak Fury menjelasakn tentang QUNUT NAWAZIL ini dilakukan pada kejadian-kejadian tertentu karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hanya melakukan QUNUT NAWAZIL jika mendo'akan kebaikan bagi kaum muslimin dan mendo'akan kejelekan bagi kaum kafirin. Demikian juga Qunut ini tidak dikhususkan untuk satu shalat saja, bahkan sebaiknya dilakukan didalam shalat maktubah (shalat wajib) seluruhnya.
(Lihat dalam Taudihul Ahkam : 2/83).
Meskipun pendapat yang rajih (kuat) bahwa perkara Qunut Shubuh adalah perkara muhdast atau bid'ah, namun disini kita ambil saja jalur tengah, bahwa perkara ini adalah perkara yang luas dan longgar berdasarkan khilafiyyah dari para ulama, dan ini tergolong khilafiyyah yang ditoleransi yang diperbolehkan. Dari uraian diatas bukanlah semata-mata untuk memvonis bahwa untuk yang tidak ber-Qunut itu salah, tapi ini hanya sekedar tambahan ilmu agar bisa jadi bahan pertimbangan yang mana harus jadi acuan untuk kita , jadi silahkan menurut keyakinan kita mana yang harus dipegang diantara keduanya, dan tetap saling menjaga kerukunan sesama umat muslim.
Demikian semoga ini bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar