Jumat, 26 Juni 2020

GRUP INFO KAJIAN DAN BERBAGI ILMU SYAR'I



اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ

Barangkali ada yang ingin berbagi kebaikan dengan menyebarkan faedah ilmu...

Yuk bergabung bersama kami di grup *INFO KAJIAN DAN BERBAGI ILMU SYAR'I* semoga kita mendapatkan tambahan faedah ilmu yang sesuai dengan pemahaman para salafushalih.

*Klik link ini ⤵️ :*

*✅ Ikhwan (Laki-laki)*
https://chat.whatsapp.com/CAUuDcXOzrV62NKag8AKJc

*✅ Akhwat (Muslimah) :*
https://chat.whatsapp.com/F8emid9ueRE1cosJP8eBO7


Barakallahu fiikum

Rabu, 24 Juni 2020

BOLEHKAH PINDAH RUMAH KARENA RUMAHNYA ITU MEMBAWA SIAL?

BOLEHKAH PINDAH RUMAH KARENA RUMAHNYA ITU MEMBAWA SIAL?
____________________✒️

Syaikh Ibnu Utsaimin _rahimahullah_


*Pertanyaan :*

Seorang yang tinggal di sebuah rumah, lalu dia tertimpa.berbagai penyakit dan banyak musibah, hal itu menjadikan dia dan keluarganya menganggap kesialan pada rumah tersebut. Apakah boleh bagi dia meninggalkan rumah tersebut karena alasan itu?


*Jawaban :*

Terkadang sebagian rumah, kendaraan atau sebagian isteri itu menjadi sebab kesialan. Allah jadikan dengan hikmah Nya tatkala hal itu menyertai orang tersebut, tertimpa kejelekkan atau terluput dari kebaikan atau semisalnya. Oleh karena itu tidak mengapa menjual rumah, dan pindah ke rumah lainnya. Semoga Allah menjadikan kebaikan di rumah barunya.

Dan ada riwayat dari Nabi _shallallahu alaihi wasallam_ bersabda :

ﺍﻟﺸﺆﻡ ﻓﻲ ﺛﻼﺙ : ﺍﻟﺪﺍﺭ ﻭﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻭﺍﻟﻔﺮﺱ ‏» - ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ‏( ٥٠٩٣ ‏) ﻭﻣﺴﻠﻢ ‏( ٢٢٢٥ ) - ،

"Kesialan itu ada pada tiga perkara : Rumah, isteri dan kuda (kendaraan)".

📚 [HR. Bukhari 5092 dan Muslim 2225]

Maka pada sebagian kendaraan terkadang ada kesialan, demikian juga sebagian isteri-isteri, ada pada mereka kesialan, dan sebagian rumah ada (kesialan).

Jika seorang insan melihat hal itu, hendaknya dia mengetahui, kalau hal itu terjadi dengan takdir Allah. Dan sesungguhnya Allah Taala dengan hikmah Nya menakdirkan hal itu, agar seorang insan pindah ke rumah lainnya. Wallahu alam.

📚 [Fatawa Ulama Balad Al-Haram hal 1212]


🌐 http://telegram.me/ahlussunnahposo


Syaikh Abdul Aziz bin Baz _rahimahullah_


*Pertanyaan :*

Ada orang yang memiliki rumah, dulunya mereka dalam kondisi baik, lalu terjadi silih berganti peristiwa atas mereka dalam rumah tersebut hingga mereka pun merasa sial karenanya dan menjualnya, diantara peristiwa tersebut adalah cobaan yang mereka peroleh dan terjadinya permusuhan diantara sebagian anggota keluarga, Apakah ini termasuk menganggap sial ? Mohon berilah pengarahan manusia, jazakumullohu khairan


*Jawaban :*

Perbuatan ini bukan termasuk menganggap sial, karena Nabi _shallallahu 'alaihi wa sallam_ telah bersabda dalam hadits yang shahih :

"Kesialan itu ada pada tiga hal: rumah, hewan tunggangan, dan wanita."

Seringnya kesialan terjadi pada tiga hal ini. Dalam lafadh yang lain berbunyi:

"Sesungguhnya kesialan itu ada pada tiga hal, lalu Beliau menyebutkannya."

Maka hal ini menunjukkan atas seringnya terjadi pada sebagian istri kesialan yang menimpa suaminya, sehingga jika telah tampak dari istrinya perkara yang menunjukkan atas kesialannya karena buruknya akhlak atau pergaulan terhadap suaminya, atau pun silih bergantinya kejadian atas suaminya ketika menikahinya berupa kerugian dan kebangkrutan dalam perdagangan, kerusakan dan kemusnahan pada pertaniannya serta lainnya, maka boleh untuk menceraikan istrinya.

Demikian pula rumah, apabila terjadi silih berganti peristiwa di dalamnya, buruknya kondisi di dalamnya, dan berbagai penyakit yang menimpa dirinya dan anaknya, maka tidak masalah pindah dari rumah itu dan menyewakannya kepada orang lain atau menjualnya, berdasarkan hadits shahih ini.

Demikian pula hewan tunggangan berupa onta, kuda, atau lainnya, jika dia tidak melihat manfaat pada hewan tunggangannya dan dia melihat kejelekan yang silih berganti menimpanya disebabkan hewan tunggannya, maka tidak masalah dia menjualnya dan menggantinya berdasarkan pernyataan hadits dari Rasulullah _shallallahu 'alaihi wa sallam._

🌐 http://www.binbaz.org.sa/node/17686



​​•┅┅━━━━━◈🎯◈━━━━━┅┅•​​​​​​

📌 http://bit.ly/Al-Ukhuwwah

🌐 https://m.facebook.com/Koleksi.Hadis.Shahih/photos/bolehkah-pindah-rumah-karena-rumahnya-itu-membawa-sial-syaikh-ibnu-utsaimin-rahi/3255563277803481/

Senin, 15 Juni 2020

PENAMAAN ISTILAH USTADZ SUNNAH, KAJIAN SUNNAH

PENAMAAN ISTILAH USTADZ SUNNAH, KAJIAN SUNNAH


Oleh : Ustadz *Sofyan Chalid bin Idham Ruray*


https://abunamira.wordpress.com/2017/07/13/ustadz-sunnah-kajian-sunnah/


Segala puji hanya bagi Allah ta’ala, dengan pertolongan-Nya, kemudian perjuangan, ilmu dan hikmah para da’i dan ikhwan sunnah dengan berbagai sarana dakwah, maka kajian-kajian sunnah pun semakin marak dan tersebar, di masjid-masjid, kantor-kantor, dari desa hingga perkotaan.

Bersamaan dengan itu pula, kajian-kajian yang tidak berlandaskan sunnah dengan sendirinya berangsur meredup, melemah, tersingkir bahkan tak sedikit yang akhirnya ‘punah’,

وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا

_“Dan katakanlah: Telah datang yang benar dan telah lenyap yang batil, sungguh yang batil itu pasti lenyap.”_ *[QS. Al-Isra’: 81]*

*Asy-Syaikh Al-Mufassir As-Sa’di _rahimahullah_ berkata,*

أي: هذا وصف الباطل، ولكنه قد يكون له صولة وروجان إذا لم يقابله الحق فعند مجيء الحق يضمحل الباطل، فلا يبقى له حراك. ولهذا لا يروج الباطل إلا في الأزمان والأمكنة الخالية من العلم بآيات الله وبيناته.

“Maknanya: Yang pasti lenyap adalah sifat kebatilan, namun terkadang kebatilan itu memiliki kekuatan dan tersebar jika tidak ada kebenaran yang menghadangnya, maka tatkala kebenaran itu datang, kebatilan pun melemah, sampai tidak tersisa gerakannya. Oleh karena itu tidaklah tersebar kebatilan kecuali di masa-masa dan tempat-tempat yang kosong dari ilmu tentang ayat-ayat Allah ‘azza wa jalla dan penjelasan-penjelasannya.”. [Tafsir As-Sa’di, hal. 464]

*LATAR BELAKANG PENAMAAN “USTADZ SUNNAH” DAN “KAJIAN SUNNAH”*

Penamaan *“Ustadz Sunnah” dan “Kajian Sunnah”* tidaklah datang dengan sendirinya, tapi karena adanya faktor yang sangat kuat, yaitu tidak lain adalah karena kajian-kajian yang dibahas oleh para da’i tersebut selalu merujuk kepada sunnah Nabi _shallallahu’alaihi wa sallam,_ dan menjauhi setiap ajaran baru (bid’ah) yang tidak berdasar petunjuk beliau shallallahu’alaihi wa sallam.

Semua kajian berdasarkan pemahaman sunnah, apakah itu kajian tafsir, hadits, tauhid, fiqh, adab dan lain-lain selalu merujuk kepada sunnah Nabi _shallallahu’alaihi wa sallam,_ karena sunnah yang dimaksudkan di sini adalah semua ajaran yang berasal dari Rasulullah _shallallahu’alaihi wa sallam,_ yang tertera dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai Pemahaman Salaf.

Atau dengan kata lain *“Ustadz Sunnah” dan “Kajian Sunnah”* yang dimaksudkan di sini adalah ustadz atau kajian Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Seorang ustadz atau kajian yang selalu merujuk kepada manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, nama lainnya adalah Salafiyyah, sebuah metode beragama yang selalu merujuk kepada generasi Salaf, generasi Rasulullah _shallallahu’alaihi wa sallam_ dan para shahabat _radhiyallahu’anhum._

*Disebutkan dalam fatwa Lajnah Daimah,*

من كانوا على مثل ما كان عليه محمد بن عبد الله عليه الصلاة والسلام وأصحابه رضوان الله عليهم أجمعين، فهؤلاء هم أهل السنة والجماعة

“Orang-orang yang mengikuti ajaran Muhammad bin Abdullah _‘alaihissholaatu was salaam_ dan para shahabat beliau _ridhwaanullaahi ‘alaihim ‘ajma’in,_ mereka itulah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” *[Fatawa Al-Lajnah ad-Daimah, 2/230]*

*Disebutkan juga dalam fatwa Lajnah Daimah,*

والسلفيون: جمع سلفي نسبة إلى السلف، وقد تقدم معناه، وهم الذين ساروا على منهاج السلف من اتباع الكتاب والسنة والدعوة إليهما والعمل بهما، فكانوا بذلك أهل السنة والجماعة

“Salafiyun adalah kata jamak ‘salafiy’ yang merupakan penisbatan kepada generasi salaf yang telah berlalu penjelasan maknanya (yaitu generasi Rasulullah _shallallahu’alaihi wa sallam_ dan shahabat _radhiyallahu’anhum_), maka salafiyun adalah orang-orang yang berjalan di atas manhaj (metode beragama) kaum salaf, yaitu mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mendakwahkannya dan mengamalkannya, sehingga dengan itu merekalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” *[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 2/243]*

Maka sunnah yang dimaksudkan di sini adalah yang berlawanan dengan bid’ah, bukan yang berlawanan dengan makruh, bukan pula nama lain dari hadits, tetapi semua petunjuk yang datang dari Rasulullah _shallallahu’alaihi wa sallam_ apakah tertera dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits yang sesuai dengan Pemahaman Salaf, itulah yang dimaksud sunnah.

Jadi salah kaprah apabila *“Ustadz Sunnah”* yang dimaksudkan di sini disamakan dengan ahli hadits yang kurang paham fiqh, dan selain *“Ustadz Sunnah”* adalah ahli fiqh walau kurang menghapal dalil.

Bahkan kenyataannya di kalangan para da’i sunnah terdapat para ustadz yang juga pakar fiqh, ushul fiqh dan ekonomi syari’ah.

*Demikian pula kajian-kajian sunnah bukan hanya membahas hadits, dan pada umumnya kajian-kajian tersebut langsung menggunakan kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam berbagai bidang:*

1. Dalam pembahasan tafsir misalkan menggunakan kitab Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir As-Sa’di dan lain-lain.

2. Dalam pembahasan hadits menggunakan Kutubus Sittah, Al-Arba’in An-Nawawiyyah, Riyadhus Shaalihin, Bulughul Marom, ‘Umdatul Ahkam dan lain-lain.

3. Dalam pembahasan aqidah menggunakan kitab Syarhus Sunnah karya Imam Ahmad, Syarhus Sunnah karya Imam Muzani Asy-Syafi’i, Syarhus Sunnah karya Al-Imam Al-Barbahari, Aqidah Thahawiyyah, Aqidah Washitiyyah dan lain-lain.

4. Dalam pembahasan tauhid menggunakan Kitab Tauhid, Tsalatsatul Ushul, Al-Qowa’idul Arba’, Nawaqidhul Islam dan lain-lain.

5. Dalam pembahasan fiqh menggunakan kitab Zaadul Mustaqni’ (Manhaj Hanbali), Minhajus Saalikin (Mazhab Hanbali), Minhajut Thalibin (Mazhab Syafi’i), Al-Ghayah wat Taqrib (Mazhab Syafi’i), Al-Fiqhul Muyassar dan lain-lain.

Inilah diantara kitab-kitab yang kami saksikan diajarkan oleh para da’i sunnah untuk masyarakat umum, yaitu kitab-kitab ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dipenuhi dengan seruan-seruan untuk kembali kepada sunnah dan meninggalkan bid’ah.

Lain halnya dengan umumnya para da’i partai atau ormas, atau selain da’i sunnah, pada umumnya hanya bermain retorika, seringnya hanya memberi motivasi, tapi tidak mengajarkan bagaimana seharusnya aqidah yang benar dan amalan-amalan yang sesuai petunjuk Rasulullah _shallallahu’alaihi wa sallam_ berdasarkan hadits-hadits yang shahih, tidak pula atau sangat jarang membahas ayat-ayat dan hadits-hadits terkait fiqh maupun kitab-kitab fiqh, bagaimana bisa dikatakan ahli fiqh…?! Apatah lagi hendak disamakan dengan ulama ahli fiqh…?!

*PENTINGNYA PENAMAAN “USTADZ SUNNAH” DAN “KAJIAN SUNNAH”*

Sebagaimana penamaan Salafiyah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu diperlukan untuk membedakan antara Ahlus Sunnah dan Ahlul Bid’ah, demikian pula penamaan *“Ustadz Sunnah” dan “Kajian Sunnah”* diperlukan untuk membedakan mana yang mengajak kepada sunnah dan mana yang mengajak kepada bid’ah, apakah bid’ah dalam aqidah seperti bid’ah khawarij, asy’ariyyah, shufiyyah maupun bid’ah dalam amalan-amalan.

*Disebutkan dalam fatwa Lajnah Daimah,*

فالسلفية: لقب صالح تعني أنهم على طريق السلف الصالح من الصحابة فمن بعدهم– رضي الله عن الجميع– فهو لقب يتميزون به عن أهل البدعة ممنغير وبدل وحرف

“Salafiyyah adalah predikat yang baik, maknanya adalah mereka mengikuti jalan generasi As-Salafus Shalih, yaitu generasi sahabat dan pengikut mereka setelahnya –semoga Allah meridhoi mereka semuanya-. Maka salafiyyah adalah predikat yang membedakan mereka dengan ahlul bid’ah, yaitu orang-orang yang telah merubah, mengganti dan menyimpangkan agama.” *[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 2/407]*

Dalam fatwa para ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini kita dapat memetik pelajaran akan pentingnya penamaan untuk tujuan membedakan antara kelompok yang mengikuti sunnah dan kelompok yang berbuat bid’ah dalam agama, dan agar kaum muslimin dengan mudah mengenali yang mana Ahlus Sunnah dan yang mana Ahlul Bid’ah.

*Mengapa Perlu Dibedakan?*

Karena kaum muslimin diperintah untuk menuntut ilmu dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan meninggalkan golongan-golongan yang menyimpang.

*Al-Imam Muhammad bin Sirin _rahimahullah_ berkata,*

إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ

“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” *[HR. Muslim]*

*Al-Imam Muhammad bin Sirin _rahimahullah_ juga berkata,*

لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الْإِسْنَادِ، فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ، قَالُوا: سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ، فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ، وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ

“Para ulama dahulu tidak pernah bertanya tentang sanad, namun ketika terjadi fitnah (kesesatan), maka para ulama berkata: “Sebutkan kepada kami para perawi kalian”. Kemudian dilihat apakah berasal dari Ahlus Sunnah maka hadits mereka diterima, ataukah berasal dari Ahlul Bid’ah maka hadits mereka ditolak.” *[HR. Muslim]*

*LARANGAN MENGHADIRI MAJELIS YANG MENYELISIHI MANHAJ SUNNAH*

Allah _tabaraka wa ta’ala_ berfirman,

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

_“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).”_ *[QS. Al-An’am: 68]*

*Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata,*

وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ مَوْعِظَةٌ عَظِيمَةٌ لِمَنْ يَتَسَمَّحُ بِمُجَالَسَةِ الْمُبْتَدِعَةِ الَّذِينَ يُحَرِّفُونَ كَلَامَ اللَّهِ وَيَتَلَاعَبُونَ بِكِتَابِهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ، وَيَرُدُّونَ ذَلِكَ إِلَى أَهْوَائِهِمُ الْمُضِلَّةِ وَبِدَعِهِمُ الْفَاسِدَةِ، فَإِنَّهُ إِذَا لَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِمْ وَيُغَيِّرْ مَا هُمْ فِيهِ فَأَقَلُّ الْأَحْوَالِ أَنْ يَتْرُكَ مُجَالَسَتَهُمْ، وَذَلِكَ يَسِيرٌ عَلَيْهِ غَيْرُ عَسِيرٍ

“Dalam ayat yang mulia ini terdapat nasihat yang agung terhadap orang yang mentolerir untuk bermajelis bersama ahlul bid’ah yang menyelewengkan ucapan Allah, mempermainkan kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya, dan mengembalikan penafsirannya kepada hawa nafsu mereka yang menyesatkan dan bid’ah mereka yang rusak, karena yang seharusnya ia lakukan adalah, apabila ia tidak mengingkari mereka dan berusaha merubah kemungkaran mereka, maka paling tidak ia meninggalkan majelis mereka, dan itu mudah baginya tidak sulit.” *[Fathul Qodir, 2/146]*

*Al-Imam Asy-Syaukani _rahimahullah_ juga berkata,*

وَقَدْ يَجْعَلُونَ حُضُورَهُ مَعَهُمْ مَعَ تَنَزُّهِهِ عَمَّا يَتَلَبَّسُونَ بِهِ شُبْهَةً يُشَبِّهُونَ بِهَا عَلَى الْعَامَّةِ، فَيَكُونُ فِي حُضُورِهِ مَفْسَدَةٌ زَائِدَةٌ عَلَى مُجَرَّدِ سَمَاعِ الْمُنْكَرِ

“Dan bisa jadi mereka (ahlul bid’ah) memanfaatkan kehadirannya bersama mereka sebagai syubhat untuk menipu orang-orang awam, walau sebenarnya ia bersih dari bid’ah mereka, maka dalam kehadirannya terdapat kerusakan tambahan yang lebih dari sekedar mendengarkan kemungkaran.” *[Fathul Qodir, 2/146]*

*PRAKTEK PARA ULAMA DALAM PENAMAAN “ULAMA SUNNAH” DAN “ULAMA BID’AH”*

*Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah _rahimahullah_ berkata,*

وَأَمَّا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ ” فَهُوَ أَحَدُ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ وَهُوَ إمَامُ أَهْلِ الْحَدِيثِ فِي مَعْرِفَةِ صِحَّتِهِ وَعِلَلِهِ وَرِجَالِهِ وَضَبْطِهِ حَتَّى قَالَ أَحْمَد: مَا رَأَيْت بِعَيْنِي مِثْلَهُ يَعْنِي فِي ذَلِكَ الْفَنِّ وَعَنْهُ أَخَذَ ذَلِكَ عَلِيُّ بْنُ الْمَدِينِيِّ وَعَنْ عَلِيٍّ أَخَذَ ذَلِكَ الْبُخَارِيُّ صَاحِبُ الصَّحِيحِ وَقَدْ ذَكَرَ التِّرْمِذِيُّ أَنَّهُ لَمْ يَرَ فِي مَعْرِفَةِ عِلَلِ الْحَدِيثِ مِثْلَ مُحَمَّدِ بْنِ إسْمَاعِيلَ الْبُخَارِيِّ

“Adapun Yahya bi Sa’id Al-Qoththon maka beliau adalah salah satu *ULAMA SUNNAH* dan imam ahli hadits dalam mengenal keshahihan hadits, ‘ilal-nya, rijal-nya dan dhobth-nya, sampai-sampai berkata Imam Ahmad: Saya tidak pernah melihat dengan kedua mataku orang yang seperti beliau dalam bidang tersebut. Dari beliaulah Ali bin Madini meriwayatkan, dan dari Ali kemudian Al-Bukhari sang penulis kitab Ash-Shahih meriwayatkan, padahal At-Tirmidzi berkata bahwa ia tidak pernah melihat dalam mengenal ‘ilal hadits yang seperti Muhammad bin Ismail Al-Bukhari.” *[Majmu’ Al-Fatawa, 12/327]*

*Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah _rahimahullah_ juga berkata,*

ثُمَّ ظَهَرَ جَهْمُ مِنْ نَاحِيَةِ الْمَشْرِقِ مِنْ تِرْمِذَ، وَمِنْهَا ظَهَرَ رَأْيُ جَهْمٍ، وَلِهَذَا كَانَ عُلَمَاءُ السُّنَّةِ بِالْمَشْرِقِ أَكْثَرَ كَلَامًا فِي رَدِّ مَذْهَبِهِمْ مِنْ أَهْلِ الْحِجَازِ وَالشَّامِ وَالْعِرَاقِ، مِثْلُ إبْرَاهِيمَ بْنِ طهمان، وَخَارِجَةُ بْنُ مُصْعَبٍ، وَمِثْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ، وَأَمْثَالُهُمْ، وَقَدْ تَكَلَّمَ فِي ذَمِّهِمْ مَالِكُ وَابْنُ الماجشون وَغَيْرُهُمَا، وَكَذَلِكَ الأوزاعي، وَحَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ وَغَيْرُهُمْ، وَإِنَّمَا اشْتَهَرَتْ مَقَالَتُهُمْ مِنْ حِينِ مِحْنَةِ الْإِمَامِ أَحْمَد وَغَيْرِهِ، مِنْ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ

“Kemudian muncul Jahm bin Shofwan dari ujung Timur dari wilayah Tirmidz, dari sanalah muncul pemikiran Jahm, oleh karena itu _ULAMA SUNNAH_ di Timur lebih banyak pembicaraan mereka dalam membantah mazhab Jahmiyyah, dibandingkan ulama di Hijaz, Syam dan Irak. Ulama Sunnah di Timur seperti Ibrahim bin Thohman, Kharijah bin Mush’ab, Abdullah bin Mubarak dan yang semisal dengan mereka. Dan juga dalam membantah Jahmiyah telah berbicara Imam Malik, Ibnul Majisyun dan selain mereka berdua. Demikian pula Auza’i, Hammad bin Zaid dan selain mereka. Hanyalah menjadi terkenal pendapat mereka setelah cobaan yang menimpa Imam Ahmad dan selain beliau dari kalangan _ULAMA SUNNAH.”_ *[Majmu’ Al-Fatawa, 8/229]*

*Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah _rahimahullah_ juga berkata,*

وَأَنْكَرَ الْأَئِمَّةُ مِنْ أَصْحَابِ أَحْمَد وَغَيْرِهِمْ مِنْ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ مَنْ قَالَ: إنَّ أَصْوَاتَ الْعِبَادِ وَأَفْعَالَهُمْ غَيْرُ مَخْلُوقَةٍ

“Para ulama dari kalangan murid-murid Imam Ahmad maupun selain mereka dari kalangan *ULAMA SUNNAH* telah mengingkari orang yang berpendapat bahwa suara dan gerakan hamba bukan makhluk.” *[Majmu’ Al-Fatawa, 8/407]*

*Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah _rahimahullah_ juga berkata tatkala membantah pendapat yang menyamakan anatara ucapan Allah dan ucapan makhluk,*

وَهِيَ بِدْعَةٌ شَنِيعَةٌ لَمْ يَقُلْهَا أَحَدٌ قَطُّ مِنْ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ: لَا عُلَمَاءُ السُّنَّةِ وَلَا عُلَمَاءُ الْبِدْعَةِ وَلَا يَقُولُهَا عَاقِلٌ يَفْهَمُ مَا يَقُولُ

“Ucapan tersebut adalah bid’ah yang sangat jelek, tidak seorang pun dari kaum muslimin yang pernah mengatakan itu, tidak *ULAMA SUNNAH* dan tidak pula *ULAMA BID’AH,* bahkan tidak pula dikatakan oleh orang yang berakal, yang masih memahami ucapannya sendiri.” *[Majmu’ Al-Fatawa, 12/324]*

*SEKILAS FAKTA DI LAPANGAN*

Salah satu fakta yang kami saksikan di salah satu masjid di Ibu Kota, sebuah masjid yang marak dengan majelis ilmu dan dihadiri dengan antusias oleh jama’ah di sekitarnya dan jama’ah yang dating dari luar.

Pada awalnya yang mengisi ceramah di masjid tersebut berasal dari berbagai kalangan, hingga diundanglah sebagian da’i sunnah untuk mengisi, ada yang mengisi materi tafsir, hadits, tauhid, fiqh, ekonomi syari’ah, adab-adab dan lain-lain.

Sebagaimana ciri khas umumnya da’i sunnah, penyampaian ilmu yang penuh semangat, berusaha datang tepat waktu, lembut dan hikmah namun tegas, yang benar dikatakan benar dan yang salah dikatakan salah, dan yang terpenting adalah selalu berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai Pemahaman Salaf. Setiap pendapat selalu disertai dalil dan mengingatkan untuk tidak mengikuti yang tidak berdasarkan dalil. Selalu menyeru kepada tauhid dan memberantas kesyirikan, mengajak kepada sunnah dan meninggalkan bid’ah.

Sementara di sisi lain, terdapat para da’i dan penceramah yang berbicara hanya berdasarkan logika, akal-akalan, mengajak untuk taklid saja, menjawab pertanyaan tidak tegas, menyisakan kebimbangan, sangat jarang mengutip dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak merujuk kepada Pemahaman Salaf, tidak jarang berbicara politik di depan orang-orang awam sambil menyindir bahkan menjelek-jelekan Pemerintah, ditambah lagi jika sang da’i dikenal aktif di sebuah partai atau ormas, maka tidak jarang mereka cenderung menggiring manusia kepada partai dan ormas mereka.

*Apa yang Terjadi?*

Selang beberapa waktu, masyarakat sendiri yang akhirnya bisa menilai, mana para da’i yang menyampaikan dengan berdasarkan ilmu dan mana yang sangat sedikit muatan ilmiahnya, bahkan cenderung menyelisihi sunnah. Masyarakat sendiri yang kemudian memberi nama *“Ustadz Sunnah” dan “Kajian Sunnah”.*

Pada akhirnya yang menghadiri kajian sunnah makin marak, dan yang menghadiri kajian yang tidak berlandaskan sunnah makin berkurang, melemah dan satu persatu tersingkir dengan sendirinya,

فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ

_“Adapun buih, akan hilang sebagai suatu yang tidak ada gunanya; tetapi yang bermanfaat bagi manusia, akan tetap ada di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan.”_ [Ar-Ra’ad: 17]

*Asy-Syaikh Al-Mufassir As-Sa’di _rahimahullah_ berkata,*

كذلك الشبهات والشهوات لا يزال القلب يكرهها، ويجاهدها بالبراهين الصادقة، والإرادات الجازمة، حتى تذهب وتضمحل ويبقى القلب خالصا صافيا ليس فيه إلا ما ينفع الناس من العلم بالحق وإيثاره، والرغبة فيه، فالباطل يذهب ويمحقه الحق {إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا} وقال هنا: {كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ} ليتضح الحق من الباطل والهدى والضلال.

“Demikianlah syubhat (pendapat yang seakan benar namun hakikatnya batil karena tidak berdasarkan dalil) dan syahwat, maka hati sebenarnya membencinya, menundukkannya dengan dalil-dalil yang benar dan keinginanan yang kuat untuk mengikuti kebenaran, hingga akhirnya kebatilan itu pergi dan melemah, maka hati tetap dalam keadaan murni dan bersih, tidak ada padanya kecuali apa yang bermanfaat bagi manusia, yaitu ilmu tentang kebenaran, lebih mengutamakannya dan cinta kepadanya. Maka kebatilan pun pergi, dan kebenaran melenyapkannya, sebagaimana firman Allah: _“Sungguh yang batil itu pasti lenyap”_ (QS. Al-Isra’: 81). Dan di sini Allah berfirman: _“Demikianlah Allah membuat perumpamaan”_ (QS. Ar-Ra’ad: 17), agar menjadi jelas antara kebenaran dan kebatilan, hidayah dan kesesatan.” *[Tafsir As-Sa’di, hal. 415]*

Alhamdulillaah ini fakta umum yang kami saksikan di Ibu Kota, meski pun tidak dinafikan ada sebagian da’i sunnah yang kurang hikmah, atau murid-muridnya yang terlalu bersemangat namun kurang ilmu, sehingga mengakibatkan penolakan yang keras dari sebagian masyarakat. Semoga Allah ta’ala memperbaiki dan memberikan kemudahan.


__________________________

Sumber : http://sofyanruray.info/ustadz-sunnah-kajian-sunnah/

Di arsipkan : https://abunamira.wordpress.com/2017/07/13/ustadz-sunnah-kajian-sunnah/

MANUNGGALING KAWULO GUSTI (WIHDATUL WUJUD) DAN TARIQAT NAQSYABANDIYAH

TANYA JAWAB AJARAN SUFI: MANUNGGALING KAWULO GUSTI (WIHDATUL WUJUD) DAN TARIQAT NAQSYABANDIYAH


*Pertanyaan:*

Ustadz, mohon penjelasan tentang manunggaling kawulo gusti.


*Jawaban:*

Manunggaling kawulo gusti atau dikenal juga dalam bahasa Arabnya *‘hulul dan wihdatul wujud’* adalah bentuk ajaran sufi paling ekstrim yang pernah disebarkan di antara kaum muslimin di Indonesia oleh tokoh-tokoh sufi seperti Hamzah al Fanshuri, Syekh Siti Jenar, dll.

Syaikh Muhammad Nuruddin Ar-Raniri, seorang syaikhul islam di kerajaan Samudra Pasai, meriwayatkan dalam kitabnya, Fath Al-Mubin sebagaimana dalam Jaringan Ulama hal. 219, tentang faham wihdatul wujud di masa Sultan Iskandar Tsani yang merupakan warisan daripada Hamzah Al-Fanshuri dan Syamsuddin As-Sumatrani, “…dan lagi kata mereka itu, al-‘alam huwa Allah, huwa al-‘alam, bahwa alam itu Allah dan Allah itu alam.”

Meskipun sudah sejak dulu dicoba diberantas, ajaran sufi tersebut masih hidup dan kini diteruskan oleh kelompok Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah yang berada di Jawa, Sumatera Barat dll. Tarekat sufi ini adalah aliran sesat dan bid’ah, menyeleweng dari Kitab dan Sunnah. Barangsiapa yang merasa cukup dengan aliran sufi, maka ia lepas dari manhaj Ahlus Sunnah wa Jamaah, jika berkeyakinan bahwa syaikh sufi dapat memberikan berkah, atau dapat memberikan manfa’at dan madharat, menyembuhkan orang sakit, memberikan rezeki, menolak bahaya, atau berkeyakinan bahwa wajib menta’ati setiap yang dikatakan gurunya/syaikh, walaupun bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.

Barangsiapa berkeyakinan dengan semuanya itu, maka dia telah berbuat syirik terhadap Allah dengan kesyirikan yang besar, dia keluar dari Islam, dilarang berloyalitas padanya dan menikah dengannya.

والله أعلم بالصواب


●┈»̶•̵̌ ✽ ஜ ۩ ۞ ۩ ஜ ✽ •̵̌«̶┈●​​​​​​​​​​​​​​​​
Sumber:
https://bbg-alilmu.com/archives/2539

http://muslim.or.id/sejarah-islam/usaha-ulama-nusantara-dalam-memberantas-ajaran-sufi.html

http://almanhaj.or.id/content/1485/slash/0/tarekat-sufi-naqsyabandiyah/

🔰 @IslamAdalahSunnah

●┈»̶•̵̌ ✽ ஜ ۩ ۞ ۩ ஜ ✽ •̵̌«̶┈●​​​​​​​​​​​​​​​​

HAMBA YANG KANUD

📎 HAMBA YANG KANUD, BANYAK MENGHITUNG MUSIBAH, LUPA AKAN NIKMAT
___________________✒️


ℳـ₰ ___✍️ Oleh: Al-Faqir Ilallah, Muhammad Abduh Tuasikal


📌 artikel : http://rumaysho.com


*Apa itu "kanud"?*

Ringkasnya, kanud adalah orang yang terus menerus menghitung musibah demi musibah dan melupakan nikmat.

🎓 Ibnul Qayyim _rahimahullah_ mengatakan:

"Allah mencela orang yang disebut *kanud* yaitu yang tidak mensyukuri nikmat. Mengenai ayat,

إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ

_“Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Rabbnya.”_ (QS. Al-‘Adiyat: 6).

🎓 Al-Hasan Al-Bashri mengatakan mengenai ayat ini,

يَعُدُّ المَصَائِبَ وَيَنْسَى النِّعَمَ

“Orang yang *kanud* adalah yang terus menerus menghitung musibah demi musibah, lantas melupakan berbagai nikmat yang telah Allah beri.”

*📚 [‘Uddah Ash-Shabirin wa Dzakhirah Ash-Shabirin, hlm. 151]*


🎓 Ibnul Qayyim itu mengatakan bahwa karenanya Nabi _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ mengabarkan bahwa kebanyakan wanita menjadi penduduk neraka karena sifat di atas.

Nabi _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ bersabda,

لَوْ أَحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

```"Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang istri kalian pada suatu waktu, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata, ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu".```

*📚 [HR. Bukhari, no. 5197 dan Muslim, no. 907].*

Kalau tidak mensyukuri pemberian suami saja hukumannya seperti ini, padahal hakikatnya nikmat tersebut juga berasal dari Allah, bagaimana lagi jika kita enggan bersyukur atas nikmat Allah sama sekali.

*📚 [Lihat ‘Uddah Ash-Shabirin wa Dzakhirah Asy-Syakirin karya Ibnul Qayyim rahimahullah, hlm. 151].*

*Belajar dari Nabi Ayyub _‘alaihis salam_*

Nabi Ayyub tidak banyak hitung musibah karena nikmat yang diberi Allah begitu banyak.

Nabi Ayyub diberi sehat 70 tahun. Ia diberi sakit berat.  Namun, masih bersabar kala itu karena nikmat yang diperoleh masih lebih banyak dari musibahnya.

Ibnu Syihab mengatakan bahwa Anas menyebutkan bahwa Nabi Ayyub mendapat musibah selama 18 tahun. Wahb mengatakan selama pas hitungan tiga tahun. Ka’ab mengatakan bahwa Ayyub mengalami musibah selama 7 tahun, 7 bulan, 7 hari. Al-Hasan Al-Bashri menyatakan pula selama 7 tahun dan beberapa bulan.

*📚 [Lihat Tafsir Al-Baghawi, 17:181, juga lihat riwayat-riwayat dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:351].*

Namun, Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi _rahimahullah_ menyatakan bahwa penyebutan jenis penyakitnya secara spesifik dan lamanya beliau menderita sakit sebenarnya berasal dari berita israiliyyat.

*📚 [Lihat Adhwa’ Al-Bayan, 4:852].*

Saat mengurus dan membawa bekal pada beliau, istrinya sampai pernah bertanya kepada Nabi Ayyub yang sudah menderita sakit sangat lama, “Wahai Ayyub andai engkau mau berdoa pada Rabbmu, tentu engkau akan diberikan jalan keluar.” Nabi Ayyub menjawab, “Aku telah diberi kesehatan selama 70 tahun. Sakit ini masih derita yang sedikit yang Allah timpakan sampai aku bisa bersabar sama seperti masa sehatku yaitu 70 tahun.” Istrinya pun semakin cemas. Akhirnya karena tak sanggup lagi, istrinya mempekerjakan orang lain untuk mengurus suaminya sampai memberi makan padanya.

*📚 [Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:349-350].*


​​════​​ ༻🎯༺ ════

*Referensi:*

‘Uddah Ash-Shabirin wa Dzakhirah Asy-Syakirin. Cetakan kedua, Tahun 1429 H. Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub Az-Zar’i (Ibnu Qayyim Al-Jauzi). Penerbit Maktabah Ar-Rusyd.

Penjelasan ini adalah penyampaian singkat dari Khutbah Jum`at, 20 Syawal 1441 H di Masjid Jami’ Al-Adha Pesantren Darush Sholihin, Panggang Gunungkidul

Diselesaikan di Darush Sholihin, Sabtu siang, 21 Syawal 1441 H, 13 Juni 2020

Oleh: Al-Faqir Ilallah, Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

SIAPAKAH SYAIKH ABDUL QADIR JAILANI

🔎 SIAPAKAH SYAIKH ABDUL QADIR JAILANI
✨❄✨❄✨❄✨❄✨❄

📌 https://m.facebook.com/groups/1747671198808118?view=permalink&id=2629253383983224


*Pertanyaan :*

```Benarkah Syeikh Abdul Qodir Jailani adalah tokoh sufi sekaligus pendiri tarekat Al-Qadiriyah❓```


*Jawaban :*

Syaikh Abdul Qadir bukan seorang sufi, bukan pula pendiri tarekat Al-Qadiriyah.

Beliau seorang ulama ahlus sunnah wal Jamaah, seorang ulama salafi (pengikut salaf; shahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi’in).

Biografi Syaikh Abdul Qadir Jailani bisa mudah anda dapatkan dalam kitab kitab biografi, diantaranya Kitab Adz Dzail ‘Ala Thabaqotil Hanabilah (I/301-390, no. 134, karya Al-Hafizh Ibnu Rajab Al Hambali).

Beliau dilahirkan pada tahun 490/471 H di kota Jailan atau Kailan, sehingga beliau terkenal dengan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani atau Al-Kailani atau juga Al Jiliy.

*As-Sam’ani berkata,*

”Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau.”


*PERJALANAN MENUNTUT ILMU*

Beliau seorang yang sangat bersemangat menuntut ilmu syar’i. Disebutkan bahwa sejak mudanya beliau telah meninggalkan tanah kelahiran, merantau ke kota Baghdad belajar kepada sejumlah ulama’ seperti: Ibnu Aqil, Abul Khaththat, Abul Husain Al-Farra’, termasuk juga Abu Sa’ad Al-Muharrimi. Demikian waktu beliau curahkan untuk terus menuntut ilmu.

Suatu ketika, guru beliau Abu Sa’ad Al- Mukharrimi membangun madrasah di daerah yang bernama Babul Azaj. Pengelolaan madrasah kemudian diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani.

Madrasah berkembang pesat,banyak orang mengambil manfaat dari nasehat-nasehat beliau yang mendalam, banyak manusia yang bertaubat demi mendengar nasehat-nasehat beliau.

Al-Imam Adz Dzahabi _rahimahullah_ menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam kitabnya : *Siyar A’lamin Nubala,* dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai.berikut,

“Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”

Sebagai ulama besar beliau juga memiliki murid-murid besar yang menjadi ulama’. Seperti Al Hafidz Abdul Ghani Al-Maqdisi penulis kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil.Anam, Juga Syeikh Ibnu Qudamah penyusun kitab Al Mughni.

*Murid beliau Ibnu Qudamah Al-Maqdisi _rahimahullah_ menuturkan :*

“Kami sempat berjumpa dengan beliau diakhir masa kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu.”

Mengenai aqidah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany, beliau mengikuti aqidah salaf, yakni para shahabat tabi’in dan atba’ut tabi’in. Dan inilah aqidah ahlul Hadits, Ahlussunnah wal jama’ah.

Diantara bukti kelurusan aqidah beliau adalah karya beliau yang berjudul: Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq.

*Imam Ibnu Rajab _rahiahullah_ berkata,*

”Syeikh Abdul Qadir Al Jailani _rahimahullah_ memiliki pendapat yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang sangat masyhur, sebagaimana beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Beliau membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah .”

Diantara perkataanSyeikh Abdul Qadir Al Jailani, beliau menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, tentang sifat istiwa’ Allah.:

”Dia ( Allah ) berada diatas ‘Arsy-Nya, meliputi seluruh kerajaanNya, IlmuNya meliputi segala sesuatu.” Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadist-hadist, lalu berkata “Sepantasnya (dalam) menetapkan sifat istiwa’ ( Allah berada diatas ‘arsy-Nya adalah menetapkan ) tanpa takwil (menyimpangkan kepada makna lain). Dan istiwa’ dalam ayat sesuai dengan dzahirnya, istiwa’ dzat Allah di atas ‘Arsy.”

Walhasil Beliau adalah seorang ‘alim, beraqidah Ahlu Sunnah, mengikuti jalan ahlul hadits, mengikuti jalan Salafush Shalih.

*Syeikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136,*

”Aku telah mendapatkan aqidah beliau didalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi (pengikut madzhab salaf/shahabat). Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifatAllah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.”.

Syeikh Abdul Qadir Jailani Wafat pada hari Sabtu Malam, setelah Maghrib, pada tanggal 9 Rabi’ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj.


▪┈┈◈❂◉❖ ° ❖◉❂◈┈┈▪
✅ Facebook: *DAKWAH SALLAM SUNNAH*

✅ https://m.facebook.com/groups/1747671198808118?view=permalink&id=2629253383983224

Kamis, 04 Juni 2020

CIRI-CIRI BERITA HOAX




CIRI-CIRI BERITA HOAX

Sebagai bentuk hati-Hati kenali ciri-ciri berita yang diduga HOAX :

1. Biasanya membuat kepanikan

2. Minta untuk segera dishare dengan ada keuntungan atau konsekusensi jika tidak disebarkan

3. Sumber tidak jelas, hanya comot nama dan lembaga. Jika resmi maka kita akan dapatkan link dari web resminya, setiap organisasi umumnya pasti punya web resmi

4. Terkadang isinya agak aneh dan keluar dari kebiasaan (terkadang anti-mainstream)

Disinyalir ada sindikat atau beberapa golongan yang membuat untuk kepentingan tertentu, politik, persaingan, bisnis, pengalihan isu atau sekedar membuat panik
Jika ada berita semacam ini dan nurani kecil kita merasa ada yang aneh, kita bisa bertanya dan tidak terburu-buru ikut menyebarkannya

Contoh Hoax misalnya :

Virus HIV pada pembalut wanita yang tersebar (Ini tidak benar)
Sudah kami bahas di sini :

https://kesehatanmuslim.com/hoax-menanam-virus-hiv-pada-pembalut-wanita/
Semoga kita bisa bijak bersikap.
__________________

✒️ Penyusun: Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK
Artikel www.kesehatanmuslim.com
Follow akun:
Telegram: bit.ly/muslimafiyah
Youtube: http://www.youtube.com/c/RaehanulBahraen