BANTAHAN
Dalil Bolehnya Tahlilan dalam tradisi ASWAJA / NU.
Oleh: Al Ustadz Firanda, MA
(Catatan Terhadap Tulisan Ustadz Muhammad Idrus Ramli dan Kyai Tobari Syadzili)
Telah lalu tulisan saya tentang pengingkaran para ulama Syafi'iyah terhadap acara ritual tahlilan (silahkan dibaca kembali di Tahlilan adalah Bid'ah Menurut Madzhab Syafi'i: www.firanda.com/index.php/artikel/fiqh/408-tahlilan-adalah-bid-ah-menurut-madzhab-syafi-i ).
Dan hingga saat ini saya masih berharap masukan dari para ustadz-ustadz ASWAJA yang mengaku bermadzhab Syafi'iyah untuk mendatangkan nukilan dari ulama Syafi'iyah yang mu'tabar dalam madzhab mereka yang membolehkan acara ritual tahlilan...!!!
Jika ada nukilannya, maka harus dilihat manakah yang menjadi madzhab yang mu'tamad (patokan) dalam madzhab Syafi'iyah ? Terlebih-lebih lagi jika tidak didapat nukilan sama sekali...!
Imam Malik Membolehkan Tahlilan.
Dalam tulisannya distatus facebook yang berjudul TRADISI KENDURI KEMATIAN, Ustadz Idrus Ramli tidak menyebutkan ulama madzhab fiqih Syafi'i yang mendukungnya dalam membolehkan kenduri tahlilan. Akan tetapi Idrus Ramli berpindah ke madzhab Maliki dan menyebutkan bahwa madzhab Maliki bahkan Imam Malik bin Anas Rahimahullah membolehkan kenduri kematian.
Ustadz Idrus Ramli berkata: (Pendapat Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Hal ini seperti dipaparkan oleh Syaikh Abdullah al-Jurdani, dalam Fath al-‘Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218.
Berdasarkan paparan diatas, dapat kita simpulkan bahwa hukum memberi makan orang-orang yang berta'ziyah masih diperselisihkan dikalangan ulama salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan Sunnat. Di kalangan ulama salaf tidak ada yang berpendapat haram, demikian perkataan Ustadz Idrus Ramli.
Berikut saya nukilkan scan dari kitab Fath al-'Allaam Syarh Mursyid al-Anaam [3/217-218]. Penulis kitab Fath al-'Allaam Sayyid Muhammad Abdullah al-Jardaaniy berkata:
"Dan diantara bid'ah yang makruhah adalah apa yang dilakukan oleh masyarakat yang disebut dengan "kaffaaroh", yaitu membuat makanan untuk berkumpul sebelum menguburkan mayat atau setelahnya, juga menyembelih diatas kuburan, dan Jum'at-Jum'at, emput puluhan hari, BAHKAN SEMUA INI HUKUMNYA HARAM jika menggunakan harta mayat sementara sang mayat memiliki hutang, atau diantara ahli warisnya ada yang terhalangi dari harta tersebut atau sedang tidak hadir. Memang, boleh dilakukan apa yang sudah merupakan tradisi menurut Imam Malik, seperti juma' dan yang semisalnya".
Yang sangat disayangkan adalah Ustadz Idrus Ramli menukil tentang madzhab Maliki dari literatur madzhab Syafi'iyah. Karena kitab Fathul 'Allam adalah kitab fiqih Syafi'i, judul lengkapnya adalah:
فَتْحُ العَلاَّمِ بِشَرْحِ مُرْشِدِ الْأنَامِ فِي الْفِقْهِ عَلَى مَذْهَبِ السَّادَةِ الشَّافِعِيَّةِ
Tentunya akan lebih tepat jika seseorang mengutip pendapat madzhab Malikiyah maka ia mengambil dari literatur kitab-kitab madzhab Malikiyah.
Ternyata yang saya dapati dalam kitab-kitab madzhab Maliki, adalah malah sebaliknya, yaitu pelarangan penyediaan makanan dirumah keluarga mayat dalam rangka mengumpulkan orang-orang. Berikut perkataan-perkataan para ulama madzhab Malikiyah:
Pertama: Abu Abdillah al-Maghriby [wafat 954 H], beliau berkata:
"Adapun kegiatan menghidangkan makanan yang dilakukan oleh keluarga mayit dan mengumpulkan orang-orang untuk makanan tersebut, maka hal ini dibenci oleh sekelompok ulama, dan mereka menganggap perbuatan tersebut termasuk bid'ah, karena tidak ada satupun nukilan dalil dalam masalah ini, dan momen tersebut bukanlah tempat melaksanakan walimah/kenduri...
Adapun apabila seseorang menyembelih binatang dirumahnya kemudian dibagikan kepada orang-orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit, maka tidak mengapa selama hal tersebut tidak dimaksudkan untuk riya', sum'ah, dan saling unjuk gengsi, serta tidak mengumpulkan masyarakat untuk memakan sembelihan tersebut".
(Mawahibul jalil li Syarhi Mukhtasharil Khalil, karya Abu Abdullah al-Maghriby, cetakan Dar 'Aalam al-Kutub, juz 3 hal 37).
Kedua: Muhammad 'Arofah Ad-Dusuuqi rahimahullah [wafat 1230 H], beliau berkata:
"Dan perkataannya ((Dianjurkan menyiapkan makanan untuk keluarga mayat)): hal itu dikarenakan mereka ditimpa musibah yang menyibukan mereka. (Hal ini dianjurkan) selama mereka tidak berkumpul untuk niyahah, yaitu tangisan dengan mengangkat suara. Namun jika tidak (terpenuhi syarat ini), maka tidak boleh mengirim makanan untuk keluarga mayit karena mereka adalah pelaku maksiat. Adapun mengumpulkan orang-orang untuk makanan di keluarga mayat maka itu merupakan bid'ah yang makruh".
(Hasyiyah Ad-Dusuuqy 'ala al-Syarh al-Kabir [Beirut: Darul Fikr], karya Muhammad 'Arofah Ad-Dusuuqy, juz I, hal 419).
Ketiga: Muhammad 'Ulayyisy Al-Maaliki [wafat 1299 H], dalam kitabnya Minah Al-Jaliil ia berkata:
"Dianjurkan menyiapkan dan menghadiahkan makanan kepada keluarga mayit, karena mereka ditimpa musibah yang menyibukan mereka, sehingga tidak sempat membuat makanan untuk mereka sendiri. (Hal ini dianjurkan) selama mereka tidak berkumpul untuk menangis dengan mengangkat suara atau perkataan yang buruk, maka jika demikian, jadilah haram menghadiahkan makanan kepada mereka, karena berarti membantu mereka melakukan perbuatan haram".
Adapun berkumpul untuk memakan makanan dirumah mayat maka ini merupakan bid'ah yang makruh (dibenci), jika diantara ahli warisnya tidak ada yang masih kecil. Jika (ahli warisnya) ada yang masih kecil, maka perbuatan ini haram.
Dan termasuk kesesatan yang buruk dan kemungkaran yang keji, serta kebodohan yang tidak ringan adalah menggantungkan tanah dan selalu menyediakan kopi dirumah mayit serta berkumpul dirumah tersebut untuk bercerita-cerita, dan membuang-buang waktu pada perkara-perkara yang dilarang, disertai pamer dan bangga-banggaan. Mereka tidak memikirkan orang yang mereka kuburkan ditanah dibawah kaki mereka, yang telah mereka letakan ditempat yang gelap…. Jika mereka ditanya tentang perbuatan itu, mereka menjawab: Karena mengikuti tradisi, untuk menjaga gengsi, dan mendapatkan pujian masyarakat... Maka apakah ada kebaikan pada hal ini ?? Sekali-kali tidak, bahkan itu adalah keburukan dan kerugian..."
(Syarh Minahul Jalil 'alaa Mukhtashor 'Allaamah al-Kholiil, cetakan Maktabah An-Najaah, Trooblus, Libiya, juz 1 hal 300).
DALIL BOLEHNYA TAHLILAN
Berikut ini beberapa dalil yang dijadikan hujjah oleh ustadz Idrus Ramli dan juga kiyai Tobari Syadzili akan bolehnya tahlilan. Akan tetapi berikut catatan ringan yang berkaitan dengan pendalilan tersebut.
Pendalilan Pertama.
Ustadz Idrus Ramli berkata:
"Riwayat dari Khalifah 'Umar bin al-Khathtab yang berwasiat agar disediakan makanan bagi orang-orang yang datang melayat. Al-Imam Ahmad bin Mani' meriwayatkan: Dari Ahnaf bin Qais, berkata: "Setelah Khalifah 'Umar ditikam oleh Abu Lu’luah al-Majusi, maka ia memerintahkan Shuhaib agar menjadi imam sholat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah 'Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang menyelimuti. Lalu Abbas bin Abdul Mutthalib datang dan berkata: 'Wahai manusia, dulu Rasulullah meninggal, lalu kita makan dan minum sesudah itu. Lalu Abu Bakar meninggal, kita makan dan minum sesudahnya. Wahai manusia, makanlah dari makanan ini.' Lalu Abbas menjamah makanan itu, dan orang-orang pun menjamahnya.
(HR. Ibnu Mani').
Al-Ustadz setelah itu berkata "...kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta'ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat atas perintah Khalifah 'Umar sebelum wafat".
Dalil ini juga yang telah dijadikan pegangan oleh Kiyai Thobari Syadzili sebagaimana bisa dilihat di (http://jundumuhammad.net/2011/06/07/hukum-selamatan-hari-ke-3-7-40-100-setahun-1000/)
SANGGAHAN
Kritikan terhadap pendalilan Al-Ustadz Idrus Ramli diatas dari dua sisi:
PERTAMA: Tentang Keabsahan Dalil.
Al-Ustadz Idrus Ramli tidak menyebutkan dalam kitab apa riwayat 'Umar bin Al-Khothtab ini diriwayatkan oleh Ibnu Mani', dan juga tidak menyebutkan takhriij riwayat ini secara lengkap, terlebih lagi derajat keabsahan riwayat ini.
'Alaa ad-Diin dalam kitabnya Kanzul 'Ummaal [13/509 no 37304] –setelah menyebutkan atsar diatas, ia berkata:
(Ibnu Sa'ad, Ibnu Manii', Abu Bakr fi Al-Ghoilaaniyaat, Ibnu 'Asaakir)
Berikut ini saya cantumkan riwayat atsar ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar dalam Al-Ghilaaniyaat (1/302-303 no 315. Dan lihat juga 1/296 no 296)
Ternyata dalam isnadnya ada seorang perawi yang bernama Ali bin Zaid bin Jud'aan.
Adapun Ibnu 'Asaakir maka beliau meriwayatkan atsar ini di kitabnya Taarikh Dimasyq [26/373], sebagaimana berikut:
Dan sangat jelas pula bahwa dalam isnadnya terdapat perawi yang bernama Abdullah bin Zaid bin Jud'aan.
Adapun Ibnu Sa'ad maka beliau meriwayatkan atsar ini dalam kitabnya At-Tobaqoot Al-Kubroo (4/26-27) sebagaimana berikut ini:
Adapun Ahmad bin Manii' maka beliau membawakan riwayat ini dalam Musnadnya, sebagaimana dinukil oleh Al-Haafiz Ibnu Hajar al-'Asqolaani dalam kitabnya Al-Mathoolib al-'Aaliyah Bizawaaid Al-Masaaniid Ats-Tsamaaniyah 5/328 no 1785 atau pada cetakan lama 1/198)
Beliau berkata:
Pandangan ulama terhadap keabsahan atsar ini:
Atsar ini dibawakan oleh Ahmad bin Abi Bakr al-Buushiri dalam kitabnya Ithaaf Al-Khiyaroh al-Maharoh bi Zawaaid al-Masaaniid al-'Asyaroh 2/509 no 2000, sbb:
Sangat jelas bahwa Al-Bushiri berkata, "Diriwayatkan oleh Ahmad bin Manii', dan pada sanadnya ada perawi Ali bin Zaid bin Jud'aan".
Ali bin Zaid bin Jud'aan adalah perawi yang dha'iif (lemah) bahkan tertuduh terpengaruh faham tasyayyu' (Syi'ah), silahkan merujuk ke kitab-kitab berikut [Taqriib At-Tahdziib karya Ibnu Hajar hal 401 no 4734, Tahdziibut Tahdziib karya Ibnu Hajar 7/283-284 no 545, Al-Mughniy fi Ad-Du'afaa karya Adz-Dzahabi 2/447, dan Al-Majruuhiin karya Ibnu Hibbaan 2/103-104].
KEDUA: Tentang Sisi Pendalilan
Al-Ustadz Idrus Ramli ingin berdalil dengan atsar (riwayat) diatas akan bolehnya acara ritual tahlilan.
Mari kita baca kembali terjemahan riwayat diatas dengan seksama:
"...Tatkala 'Umar ditikam, maka 'Umarpun memerintahkan Shuhaib untuk mengimami orang-orang dan memberi makanan kepada mereka selama tiga hari, hingga mereka bersepakat pada seseorang (untuk menjadi khalfiah baru pengganti 'Umar-pen). Tatkala mereka meletakan makanan maka orang-orangpun menahan diri tidak makan, maka al-'Abbaas Radhiyallahu 'anhu berkata: "Wahai manusia, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat, maka kamipun makan dan minum setelah wafatnya, dan (juga) setelah (wafatnya) Abu Bakar, dan sungguh makan itu adalah keharusan". Maka al-'Abbaas pun makan lalu orang-orangpun ikut makan".
Jika kita perhatikan isi dari kandungan atsar diatas maka bisa kita ambil kesimpulan:
PERTAMA: Penyediaan makanan tersebut telah diperintahkan oleh 'Umar sebelum beliau meninggal. Berbeda dengan ritual tahlilan yang penyediaan makanan adalah untuk orang-orang yang melakukan ta'ziyah.
KEDUA: Sangat jelas bahwa tujuan penyediaan makanan tersebut adalah agar para sahabat rapat dan menentukan pengganti Khalifah 'Umar dengan Khalifah yang baru. Sehingga makanan tersebut tidaklah disediakan dalam rangka acara ritual tahlilan untuk mendoakan 'Umar bin al-Khathtaab.
KETIGA: Adapun penyebutan jumlah tiga hari tersebut sama sekali bukan karena sebagaimana ritual Tahlilan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari dan seterusnya. Akan tetapi hingga para sahabat menentukan khalifah yang baru, dan karena 'Umar meninggal tiga hari setelah beliau ditikam.
KEEMPAT: Sama sekali tidak disebutkan tatkala itu adanya acara mendo'akan, dan kumpul-kumpul dalam rangka berdo'a, karena tatkala mereka berkumpul dan makan, 'Umar masih dalam keadaan hidup.
KELIMA: Kapan mereka menahan diri ragu untuk menyentuh makanan..?, yaitu tatkala mereka pulang dari menguburkan 'Umar. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang lain:
Tatkala mereka kembali pulang dari menguburkan 'Umar mereka datang, dan makanan telah dihidangkan. Orang-orangpun menahan diri karena kesedihan yang mereka rasakan. Maka Abbaspun datang…."
Jadi proses menyediakan makanan sudah disediakan semenjak 'Umar masih hidup dan setelah 'Umar dikubur masih juga disediakan makanan. Akan tetapi para sahabat enggan untuk memakan karena kesedihan yang mereka rasakan.
Dan dalam riwayat tersebut sangat jelas bahwa tujuan memakan makanan itu adalah karena urusan pemerintahan, dan mereka harus makan untuk terus menyelenggarakan pemilihan khalifah.
Al-'Abbas berkata:
"Wahai manusia, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat, maka kamipun makan dan minum setelah beliau (wafat), dan (juga) setelah (wafatnya) Abu Bakar, dan sungguh makan itu adalah keharusan". Maka al-'Abbaas pun makan, lalu orang-orangpun ikut makan."
Karenanya acara memakan makanan tersebut hanya disebutkan oleh Abbas berkaitan dengan setelah wafatnya para pemimpin yaitu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Abu Bakar, dan bukan berkaitan dengan acara makan-makan pada setiap ada yang meninggal. Padahal diketahui bersama bahwasanya terlalu banyak para sahabat yang meninggal sebelum meninggalnya 'Umar, baik yang meninggal dalam perang Badr, Uhud, Khondaq, Khoibar, Mu'tah, dan lain-lain, demikian pula yang meninggal dizaman Abu Bakar tatkala berperang melawan pasukan nabi palsu Musailamah al-Kadzdzaab. Akan tetapi tidak ada sama sekali perlaksanaan ritual tahlilan yang mereka lakukan...!
KEENAM: Yang jelas penyediaan makanan tersebut bukan dari harta orang yang kematian, akan tetapi dzohirnya adalah atas perintah 'Umar sang Khalifah. Jadi dari harta negara, karena untuk urusan negara, yaitu pemilihan khalifah yang baru.
Akan tetapi bagaimanapun telah jelas bahwa atsar riwayat diatas adalah ATSAR YANG LEMAH yang tidak bisa dijadikan hujjah dan dalil. Kalaupun shahih maka pendalilalnnya tidaklah nyambung.
Wallahu a'lam bis Shawaaab.
PENDALILAN KEDUA'
Ustadz Muhammad Idrus Ramli berkata:
"Riwayat dari Sayyidah 'Aisyah, istri Nabi ketika ada keluarganya meninggal dunia, beliau menghidangkan makanan. Imam Muslim meriwayatkan dalam shahih-nya:
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ. رواه مسلم
"Dari Urwah, dari 'Aisyah, istri Nabi, bahwa apabila seseorang dari keluarga 'Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka 'Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian 'Aisyah berkata: 'Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah bersabda: Talbinah dapat menenangkan hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan".
(HR. Muslim [2216).
Dua hadits diatas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta'ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat atas perintah Khalifah 'Umar sebelum wafat, dan dilakukan oleh Sayyidah 'Aisyah. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi kenduri kematian bukanlah perbuatan yang dilarang dalam agama.
SANGGAHAN
Dalil dari hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anha diatas sangat tidak diragukan akan keabsahan dan keshahihannya. Karenanya pembicaraan hanya akan tertuju pada sisi pendalilan dari hadits tersebut untuk melegalkan acara ritual tahlilan.
Jika kita membaca kembali teks hadits diatas maka bisa kita simpulkan:
PERTAMA: Sangat jelas tidak ada penyebutan acara ritual tahlilan, hanya penyebutan mengenai makanan.
KEDUA: Dalam hadits diatas disebutkan bahwa yang menyediakan makanan adalah 'Aisyah, dan yang meninggal adalah keluarga 'Aisyah, serta yang diberi makan adalah keluarga 'Aisyah dan orang-orang khususnya.
Sangat jelas dalam riwayat diatas:
أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ
"Jika ada yang meninggal dari keluarga 'Aisyah, maka para wanita pun berkumpul untuk itu, kemudian mereka bubar kecuali keluarga 'Aisyah dan orang-orang khususnya, maka 'Aisyahpun memerintahkan untuk membuat makanan talbinah seperiuk kecil".
Bahwa pembicaraan dalam hadits ini, bukanlah membuat makanan untuk seluruh orang-orang yang hadir, akan tetapi untuk orang-orang khusus beliau dari kalangan wanita saja.
Selain itu pemberian makanan talbinah ini adalah setelah para wanita bubaran, sehingga yang tersisa hanyalah keluarga 'Aisyah yang bersedih dan orang-orang khusus yang dekat dengan 'Aisyah.
KETIGA: Dalam hadits diatas juga, tujuan pembuatan makanan talbinah tersebut bukanlah dalam rangka bersedekah kepada para penta'ziyah, (karena jelas para penta'ziyah wanita telah bubaran), akan tetapi dalam rangka menghilangkan kesedihan.
Karenanya seluruh para ulama yang menjelaskan hadits diatas, menyebutkan tentang keutamaan talbinah yang disebutkan oleh Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam untuk menghilangkan kesedihan dan kesusahan. Karenanya talbinah ini tidak hanya diberikan kepada keluarga yang sedang duka, akan tetapi diberikan juga kepada orang yang sakit.
KEEMPAT: Yang dihidangkan oleh 'Aisyah adalah hanya talbinah saja bukan sembarang makanan, karena ada keutamaan talbinah yang bisa menghilangkan kesedihan. Hal ini semakin mendukung bahwa tujuan 'Aisyah bukanlah untuk murni memberi makanan, atau untuk mengenyangkan perut, atau untuk bersedekah dengan makanan, akan tetapi tujuannya adalah untuk menghilangkan kesedihan. Karena kalau dalam rangka mengenyangkan para penta'ziah dan bersedakah, maka lebih utama untuk menghidangkan makanan yang berbobot seperti kambing guling dan yang lainnya, bukan hanya sekedar semangkuk sop saja yang tidak mengenyangkan.
PENDALILAN KETIGA
Ustadz Muhammad Idrus Ramli berkata: ((Tradisi kaum salaf sejak generasi sahabat yang bersedekah makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati. Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd: "Dari Sufyan berkata: "Thawus berkata: "Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut".
Hadits diatas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya' [juz 4 hal. 11], al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur [32], al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-'Aliyah [juz 5 hal. 330] dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi [juz 2 hal. 178].
Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuthi.
Demikianlah perkataan Ustadz Muhamad Idrus Ramli
Pendalilan ini pulalah yang dipaparkan oleh Kiyai Tobari Syadzili (http://jundumuhammad.net/2011/06/07/hukum-selamatan-hari-ke-3-7-40-100-setahun-1000/)
SANGGAHAN
Ustadz Muhamad Idrus Ramli telah menyebutkan takhrij atsar ini dengan baik. Akan tetapi perlu pembahasan dari dua sisi, sisi keabsahan atsar ini, dan sisi kandungan atsar ini.
PERTAMA: Keabsahan Atsar Ini
Atsar ini sebagaimana disebutkan oleh al-Haafiz Ibnu Hajar dalam al-Mathoolib al-'Aaliyah [5/330 no 834], sebagaimana berikut:
Imam Ahmad berkata: Telah menyampaikan kepada kami Hasyim bin Al-Qoosim, telah menyampaikan kepada kami al-Asyja'iy, dari Sufyan berkata, Thowus telah berkata: "Sesungguhnya mayat-mayat diuji dalam kuburan mereka tujuh hari, maka mereka (para salaf-pen) suka untuk bersedekah makanan atas nama mayat-mayat tersebut pada hari-hari tersebut".
Dan dari jalan Al-Imam Ahmad bin Hanbal juga diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam kitabnya Hilyatul Auliyaa' [4/11] sebagaimana berikut ini:
Seluruh perawi atsar diatas adalah tsiqoh, hanya saja sanadnya terputus antara Sufyan dan Thoowuus.
Thoowuus bin Kaisaan Al-Yamaani wafat 106 H (Taqriibut Tahdziib hal 281 no 3309) adapun Sufyaan bin Sa'id bin Masruuq Ats-Tsauri lahir pada tahun 97 H (lihat Siyar A'laam An-Nubalaa 7/230). Meskipun Sufyan Ats-Tsaury mendapati zaman Thoowus, hanya saja tidak ada dalil yang menunjukan bahwa Sufyan pernah mendengar dari Thowus.
Justru yang ada adalah sebaliknya:
Pertama: Tatkala Thowus wafat [tahun 106 H} umur Sufyan At-Tsauri [yang lahir tahun 97 H] masih sangat kecil yaitu beliau berumur 9 tahun. Karenanya Sufyan tidak mendapati periwayatan dari Thoosuus bin Kaisaan.
Kedua: Dalam buku-buku Taroojum Ar-Ruwaat (seperti Tahdziib al-Kamaal, Tahdziib At-Tahdziib, Siyar A'laam An-Nubalaa, dll) tidak menyebutkan bahwa Thoowus bin Kaisaan termasuk syuyukh (guru-guru) yang Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari mereka.
Ketiga: Sufyan Ats-Tsauri selalu meriwayatkan dari Thoowus dengan perantara perawi yang lain. Diantara perawi-perawi perantara tersebut adalah (1) Habib bin Abi Tsaabit, (2) 'Amr bin Diinaar, (3) Abdullah bin Thoowuus, (4) Handzolah bin Abi Sufyan, dan (5) Ibrahim bin Maysaroh.
Keempat: Tidak ditemukan satu riwayatpun yang dimana Sufyan meriwayatkan langsung dari Thowus.
Kelima: Adapun riwayat di atas maka Sufyan tidak menggunakan shigoh (عَنْ طاووس) "Dari Thowus", akan tetapi beliau mengatakan (قَالَ طاووس) "Telah berkata Thoowus". Yang shigoh periwayatan seperti ini tidak menunjukan dengan jelas bahwa beliau meriwayatkan dari Thoowus, akan tetapi beliau hanya mengabarkan perkataan Thoowus. Karenanya sangatlah jelas jika sanad atsar ini terputus antara Sufyan dan Thowus.
KEDUA: Sisi Pendalilan
Kalaupun seandainya atsar ini shahih, maka ada beberapa perkara yang menjadi permasalahan:
Pertama: Atsar ini dihukumi marfu' mursal, karena Thoowus adalah seorang tabi'in dan dalam atsar ini ia sedang berbicara tentang hal yang ghaib, yaitu bahwasanya mayat diuji (ditanya oleh malaikat munkar dan nakiir) selama tujuh hari. Dan hadits mursal adalah hadits yang lemah.
Ustadz Muhmad Idrus Ramli berkata, (Akan tetapi sebagaimana yang diketahui bahwasanya Thowus bukanlah seorang sahabat, akan tetapi ia hanyalah seorang tabi'in. Sehingga pernyataan beliau tentang bahwa mayat diuji selama tujuh hari adalah termasuk perkara yang ghaib yang perlu dibahas lebih lanjut. Memang para ulama hadits menyebutkan bahwa jika seorang sahabat yang berbicara tentang ilmu ghaib maka diberi hukum marfu' dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, karena tidak mungkin seorang sahabat berbicara tentang ilmu ghaib kecuali berasal dari Nabi shalallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi jika seorang tabi'in yang berbicara ?!, Para ulama menyebutkan hukumnya adalah hukum mursal. Demikian perkataan al-Ustadz.
Tentunya para ulama mengecualikan sahabat yang dikenal mengambil riwayat Israiliyaat seperti Abdullah bin 'Amr bin al-'Aash, dan juga sahabat Ibnu Abbas sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama. Jika para sahabat yang dikenal mengambil dari isroiliyat berbicara tentang hal yang ghaib, maka riwayatnya itu tidak bias dihukumi mar'fuu' karena ada kemungkinan mereka mengambil dari Isrooiliyaat.
Thowus termasuk yang sering meriwayatkan dari Ibnu Abbas.
Kedua: Semakin memperkuat akan hal ini, adalah bahwasanya seluruh hadits-hadits yang shahih dan marfu' menunjukan bahwa mayat akan ditanya hanya sekali, yakni tatkala baru dikuburkan.
Ketiga: Kalaupun atsar ini shahih, maka sama sekali tidak menunjukan adanya acara tahlilan sebagaimana yang dipersangkakan. Karena atsar ini tidak menunjukan bahwa para salaf mengadakan acara berkumpul-kumpul selama tujuh hari berturut-turut dirumah keluarga mayat.
Akan tetapi hanya menunjukan akan dianjurkannya memberi makanan sebagai sedekah atas nama mayat selama tujuh hari. Dan termasuk perkara yang disepakati bolehnya adalah bersedekah atas nama mayit, karena pahalanya akan sampai kepada mayit.
Sementara pelaku acara tahlilan, banyak dari mereka seringnya hanya melakukan tahlilan pada hari ke 3 dan ke 7 lalu 40, 100, dan 1000, serta tidak melakukan tahlilan 7 hari berturut-turut.
Keempat: Hal ini didukung dengan perkataan Jariir bin 'Abdillah:
كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ
"Kami menganggap perkumpulan dikeluarga mayat dan pembuatan makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah".
(Atsar riwayat Ahmad dalam Musnadnya no 6905 dan Ibnu Maajah dalam sunannya no 1308, dan dishahihkan oleh al-Imam An-Nawawi dalam al-Majmuu' Syarh al-Muhadzdzab 5/320 dan al-Bushiri dalam Az-Zawaaid).
Keenam: Jika memang para salaf selalu melakukan tahlilan selama tujuh hari berturut-turut, dan juga hari ke 40, 100, dan 1000 hari sebagaimana yang dipahami oleh ustadz Muhammad Idrus Ramli dan juga Kiyai Syadzily Tobari, maka kenapa kita tidak menemukan sunnah ini disebutkan dalam kitab-kitab fiqih madzhab ? apakah para ahli fiqih empat madzhab sama sekali tidak mengetahui sunnah ini ?
Ketujuh: Justru kita dapati madzhab Syaifiiyah lah yang keras menentang acara tahlilan (Silahkan baca kembali Tahlilan Adalah Bid'ah Menurut Ulama Syafi'i www.firanda.com/index.php/artikel/fiqh/408-tahlilan-adalah-bid-ah-menurut-madzhab-syafi-i ).
***
Sumber: www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/423-dalil-bolehnya-tahlilan
Ustadz Firanda Andirja, M.A.
Artikel www.firanda.com