Selasa, 22 Desember 2015

Mau Tahu Pendiri WAHABI ?? Waspadailah Bahaya Pemikirannya, Dan Jangan Kita Tertipu Ajakannya.

Perbedaan Wahabi dan Salafy

Pendiri Wahabi adalah Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum wafat 211 H. Bukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab wafat 1206 H

Sebenarnya, Al-Wahabiyah merupakan firqah sempalan Ibadhiyah khawarij yang timbul pada abad ke 2 (dua) Hijriyah (jauh sebelum masa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab), yaitu sebutan Wahabi nisbat kepada tokoh sentralnya Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum yang wafat tahun 211 H. Wahabi merupakan kelompok yang sangat ekstrim kepada ahli sunnah, dan sangat jauh dari Islam.

Untuk menciptakan permusuhan ditengah Ummat Islam, kaum Imperialisme dan kaum munafikun memancing diair keruh dengan menyematkan baju lama (Wahabi) dengan berbagai atribut penyimpangan dan kesesatannya untuk menghantam dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau setiap dakwah mana saja yang mengajak untuk memurnikan Islam.

Karena dakwah beliau sanggup merontokkan kebathilan, menghancurkan angan-angan kaum durjana dan melumatkan tahta agen-agen asing, maka dakwah beliau dianggap sebagai penghalang yang mengancam eksistensi mereka dinegeri-negeri Islam.

Contohnya: Inggris mengulirkan isu Wahabi di India, Prancis menggulirkan isu Wahabi di Afrika Utara, Iran (Syi'ah) menuduh Arab Saudi Wahabi,bahkan Mesir menuduh semua kelompok yang menegakkan dakwah tauhid dengan sebutan Wahabi, Italia juga mengipaskan tuduhan Wahabi di Libia, dan Belanda di Indonesia, bahkan menuduh Imam Bonjol yang mengobarkan perang Padri sebagai kelompok yang beraliran Wahabi.

Semua itu, mereka lakukan karena mereka sangat ketakutan terhadap pengaruh murid-murid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang mengobarkan jihad melawan Imperialisme dimasing-masing negeri Islam.

Tuduhan buruk yang mereka lancarkan kepada dakwah beliau hanya didasari tiga faktor:

1. Tuduhan itu berasal dari para tokoh agama yang memutarbalikkan kebenaran, yang hak dikatakan bathil dan sebaliknya, keyakinan mereka bahwa mendirikan bangunan dan masjid diatas kuburan, berdoa dan meminta bantuan kepada mayit dan semisalnya termasuk bagian dari ajaran Islam. Dan barang siapa yang mengingkarinya dianggap membenci orang-orang shalih dan para wali.

2. Mereka berasal dari kalangan ilmuwan namun tidak mengetahui secara benar tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan dakwahnya, bahkan mereka hanya mendengar tentang beliau dari pihak yang sentimen dan tidak senang Islam kembali jaya, sehingga mereka mencela beliau dan dakwahnya sehingga memberinya sebutan Wahabi.

3. Ada sebagian dari mereka takut kehilangan posisi dan popularitas karena dakwah tauhid masuk wilayah mereka, yang akhirnya menumbangkan proyek raksasa yang mereka bangun siang malam.

Dan barang siapa ingin mengetahui secara utuh tentang pemikiran dan ajaran Syaikh Muhammad (Abdul Wahab) maka hendaklah membaca kitab-kitab beliau seperti Kitab Tauhid, Kasyfu As-Syubhat, Usul Ats-Tsalatsah dan Rasail beliau yang sudah banyak beredar baik berbahasa arab atau Indonesia.

FATWA AL-LAKHMI DITUJUKAN KEPADA WAHABI (ABDUL WAHHAB BIN ABDURRAHMAN BIN RUSTUM) SANG TOKOH KHAWARIJ BUKAN KEPADA SYAIKH MUHAMMAD ABDUL WAHAB

Mengenai fatwa Al-Imam Al-Lakhmi yang dia mengatakan bahwa Al-Wahhabiyyah adalah salah satu dari kelompok sesat Khawarij. Maka yg dia maksudkan adalah Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum dan kelompoknya bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya.

Hal ini karena tahun wafat Al-Lakhmi adalah 478 H sedangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wafat pada tahun 1206 H /Juni atau Juli 1792 M. Amatlah janggal bila ada orang yang telah wafat namun berfatwa tentang seseorang yang hidup berabad-abad setelahnya.

Adapun Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum maka dia meninggal pada tahun 211 H. Sehingga amatlah tepat bila fatwa Al-Lakhmi tertuju kepadanya. Berikut Al-Lakhmi merupakan mufti Andalusia dan Afrika Utara dan fitnah Wahhabiyyah Rustumiyyah ini terjadi di Afrika Utara.

Sementara dimasa Al-Lakhmi hubungan antara Najd dgn Andalusia dan Afrika Utara amatlah jauh. Sehingga bukti sejarah ini semakin menguatkan bahwa Wahhabiyyah Khawarij yang diperingatkan Al-Lakhmi adl Wahhabiyyah Rustumiyyah bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya.
(Lihat kitab Al-Mu’rib Fi Fatawa Ahlil Maghrib, karya Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi, juz 11).

Perbedaan Da’wah Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum Dan Da’wah Syaikh Muhammad Abdul Wahhab

1. Da’wah Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum (Khawarij)

Khawarij adalah salah satu kelompok dari kaum muslimin yang mengkafirkan pelaku maksiat (dosa besar), membangkang dan memberontak terhadap pemerintah Islam, dan keluar dari jama’ah kaum muslimin.

Termasuk dalam kategori Khawarij, adalah Khawarij generasi awal (Muhakkimah Haruriyah) dan sempalan -sempalannya, seperti Al-Azariqah, Ash-Shafariyyah, dan An-Najdat, ketiganya sudah lenyap dan Al-Ibadhiyah masih ada hingga sekarang.

Termasuk pula dalam kategori Khawarij, adalah siapa saja yang dasar-dasar jalan hidupnya seperti mereka, seperti Jama’ah Takfir dan Hijrah. Atas dasar ini, maka bisa saja Khawarij muncul disepanjang masa, bahkan betul-betul akan muncul pada akhir zaman, seperti telah diberitakan oleh Rasulullah.

“Pada akhir zaman akan muncul suatu kaum yang usianya rata-rata masih muda dan sedikit ilmunya. Perkataan mereka adalah sebaik-baik perkataan manusia, namun tidaklah keimanan mereka melampaui tenggorokan Maksudnya, mereka beriman hanya sebatas perkataan tidak sampai ke dalam hatinya – red.

Mereka terlepas dari agama; maksudnya, keluar dari ketaatan – red sebagaimana terlepasnya anak panah dari busurnya. Maka dimana saja kalian menjumpai mereka, bunuhlah ! Karena hal itu mendapat pahala dihari Kiamat".
(HR. Al Bukhari no. 6930, Muslim no. 1066)

2. Da’wah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (Ahlussunnah wal jama’ah)

Alangkah baiknya kami paparkan terlebih dahulu penjelasan singkat tentang hakikat dakwah yang beliau serukan. Karena hingga saat ini ‘para musuh’ dakwah beliau masih terus membangun dinding tebal dihadapan orang-orang awam, sehingga mereka terhalang untuk melihat hakikat dakwah sebenarnya yang diusung oleh beliau.

Syaikh berkata,

“Segala puji dan karunia dari Allah, serta kekuatan hanyalah bersumber dari-Nya. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberikan hidayah kepadaku untuk menempuh jalan lurus, yaitu agama yang benar; agama Nabi Ibrahim yang lurus, dan Nabi Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik. Alhamdulillah aku bukanlah orang yang mengajak kepada ajaran Sufi, ajaran imam tertentu yang aku agungkan atau ajaran orang filsafat.

Akan tetapi aku mengajak kepada Allah Yang tiada sekutu bagi-Nya, dan mengajak kepada sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah diwasiatkan kepada seluruh umatnya. Aku berharap untuk tidak menolak kebenaran jika datang kepadaku.

Bahkan aku jadikan Allah, para malaikat-Nya serta seluruh makhluk-Nya sebagai saksi bahwa jika datang kepada kami kebenaran darimu maka aku akan menerimanya dengan lapang dada. Lalu akan kubuang jauh-jauh semua yang menyelisihinya walaupun itu perkataan Imamku, kecuali perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau tidak pernah menyampaikan selain kebenaran”.
(Kitab Ad-Durar As-Saniyyah: I/37-38).

“Alhamdulillah, aku termasuk orang yang senantiasa berusaha mengikuti dalil, bukan orang yang mengada-adakan hal yang baru dalam agama”.
(Kitab Muallafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab: V/36).

Jadi ternyata Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab bukan Wahabi dan Wahabi bukan dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Akan tetapi Wahabi dari Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum

Demikian pula ternyata Salafy bukan Wahabi dan Wahabi bukan Salafy karena berbeda dalam Aqidah dan Manhaj

Dan negara Kerajaan Saudi Arabia bukan negara Wahabi, Akan tetapi Negara Islam yang Bermanhaj Salaf.

Dan Jika Kami (Salafi) Masih dituduh Wahabi maka saksikanlah kami adalah (Salafi) Wahabi yang bermanhaj Salaf.

Sumber:
https://aslibumiayu.wordpress.com/2013/03/14/mau-tahu-pendiri-wahabi-waspadailah-bahaya-pemikirannya-dan-jangan-kita-tertipu-ajakannya/

Diarsipkan oleh:
http://arie49.wordpress.com

Senin, 15 Juni 2015

DALIL YANG MENJADI ALASAN ASWAJA (NU) UNTUK MELEGALISASI PERAYAAN TAHLILAN

BANTAHAN

Dalil Bolehnya Tahlilan dalam tradisi ASWAJA / NU.

Oleh: Al Ustadz Firanda, MA

(Catatan Terhadap Tulisan Ustadz Muhammad Idrus Ramli dan Kyai Tobari Syadzili)

Telah lalu tulisan saya tentang pengingkaran para ulama Syafi'iyah terhadap acara ritual tahlilan (silahkan dibaca kembali di Tahlilan adalah Bid'ah Menurut Madzhab Syafi'i: www.firanda.com/index.php/artikel/fiqh/408-tahlilan-adalah-bid-ah-menurut-madzhab-syafi-i ).

Dan hingga saat ini saya masih berharap masukan dari para ustadz-ustadz ASWAJA yang mengaku bermadzhab Syafi'iyah untuk mendatangkan nukilan dari ulama Syafi'iyah yang mu'tabar dalam madzhab mereka yang membolehkan acara ritual tahlilan...!!!

Jika ada nukilannya, maka harus dilihat manakah yang menjadi madzhab yang mu'tamad (patokan) dalam madzhab Syafi'iyah ? Terlebih-lebih lagi jika tidak didapat nukilan sama sekali...!

Imam Malik Membolehkan Tahlilan.

Dalam tulisannya distatus facebook yang berjudul TRADISI KENDURI KEMATIAN, Ustadz Idrus Ramli tidak menyebutkan ulama madzhab fiqih Syafi'i yang mendukungnya dalam membolehkan kenduri tahlilan. Akan tetapi Idrus Ramli berpindah ke madzhab Maliki dan menyebutkan bahwa madzhab Maliki bahkan Imam Malik bin Anas Rahimahullah membolehkan kenduri kematian.

Ustadz Idrus Ramli berkata: (Pendapat Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Hal ini seperti dipaparkan oleh Syaikh Abdullah al-Jurdani, dalam Fath al-‘Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218.

Berdasarkan paparan diatas, dapat kita simpulkan bahwa hukum memberi makan orang-orang yang berta'ziyah masih diperselisihkan dikalangan ulama salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan Sunnat. Di kalangan ulama salaf tidak ada yang berpendapat haram, demikian perkataan Ustadz Idrus Ramli.

Berikut saya nukilkan scan dari kitab Fath al-'Allaam Syarh Mursyid al-Anaam [3/217-218]. Penulis kitab Fath al-'Allaam Sayyid Muhammad Abdullah al-Jardaaniy berkata:

"Dan diantara bid'ah yang makruhah adalah apa yang dilakukan oleh masyarakat yang disebut dengan "kaffaaroh", yaitu membuat makanan untuk berkumpul sebelum menguburkan mayat atau setelahnya, juga menyembelih diatas kuburan, dan Jum'at-Jum'at, emput puluhan hari, BAHKAN SEMUA INI HUKUMNYA HARAM jika menggunakan harta mayat sementara sang mayat memiliki hutang, atau diantara ahli warisnya ada yang terhalangi dari harta tersebut atau sedang tidak hadir. Memang, boleh dilakukan apa yang sudah merupakan tradisi menurut Imam Malik, seperti juma' dan yang semisalnya".

Yang sangat disayangkan adalah Ustadz Idrus Ramli menukil tentang madzhab Maliki dari literatur madzhab Syafi'iyah. Karena kitab Fathul 'Allam adalah kitab fiqih Syafi'i, judul lengkapnya adalah:

فَتْحُ العَلاَّمِ بِشَرْحِ مُرْشِدِ الْأنَامِ فِي الْفِقْهِ عَلَى مَذْهَبِ السَّادَةِ الشَّافِعِيَّةِ

Tentunya akan lebih tepat jika seseorang mengutip pendapat madzhab Malikiyah maka ia mengambil dari literatur kitab-kitab madzhab Malikiyah.

Ternyata yang saya dapati dalam kitab-kitab madzhab Maliki, adalah malah sebaliknya, yaitu pelarangan penyediaan makanan dirumah keluarga mayat dalam rangka mengumpulkan orang-orang. Berikut perkataan-perkataan para ulama madzhab Malikiyah:

Pertama: Abu Abdillah al-Maghriby [wafat 954 H], beliau berkata:

 "Adapun kegiatan menghidangkan makanan yang dilakukan oleh keluarga mayit dan mengumpulkan orang-orang untuk makanan tersebut, maka hal ini dibenci oleh sekelompok ulama, dan mereka menganggap perbuatan tersebut termasuk bid'ah, karena tidak ada satupun nukilan dalil dalam masalah ini, dan momen tersebut bukanlah tempat melaksanakan walimah/kenduri...

Adapun apabila seseorang menyembelih binatang dirumahnya kemudian dibagikan kepada orang-orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit, maka tidak mengapa selama hal tersebut tidak dimaksudkan untuk riya', sum'ah, dan saling unjuk gengsi, serta tidak mengumpulkan masyarakat untuk memakan sembelihan tersebut".
(Mawahibul jalil li Syarhi Mukhtasharil Khalil, karya Abu Abdullah al-Maghriby, cetakan  Dar 'Aalam al-Kutub, juz 3 hal 37).

Kedua: Muhammad 'Arofah Ad-Dusuuqi rahimahullah [wafat 1230 H], beliau berkata:

"Dan perkataannya ((Dianjurkan menyiapkan makanan untuk keluarga mayat)): hal itu dikarenakan mereka ditimpa musibah yang menyibukan mereka. (Hal ini dianjurkan) selama mereka tidak berkumpul untuk niyahah, yaitu tangisan dengan mengangkat suara. Namun jika tidak (terpenuhi syarat ini), maka tidak boleh mengirim makanan untuk keluarga mayit karena mereka adalah pelaku maksiat. Adapun mengumpulkan orang-orang untuk makanan di keluarga mayat maka itu merupakan bid'ah yang makruh".
(Hasyiyah Ad-Dusuuqy 'ala al-Syarh al-Kabir [Beirut: Darul Fikr], karya  Muhammad 'Arofah Ad-Dusuuqy, juz I, hal 419).

Ketiga: Muhammad 'Ulayyisy Al-Maaliki [wafat 1299 H], dalam kitabnya Minah Al-Jaliil ia berkata:

"Dianjurkan menyiapkan dan menghadiahkan makanan kepada keluarga mayit, karena mereka ditimpa musibah yang menyibukan mereka, sehingga tidak sempat membuat makanan untuk mereka sendiri. (Hal ini dianjurkan) selama mereka tidak berkumpul untuk menangis dengan mengangkat suara atau perkataan yang buruk, maka jika demikian, jadilah haram menghadiahkan makanan kepada mereka, karena berarti membantu mereka melakukan perbuatan haram".

Adapun berkumpul untuk memakan makanan dirumah mayat maka ini merupakan bid'ah yang makruh (dibenci), jika diantara ahli warisnya tidak ada yang masih kecil. Jika (ahli warisnya) ada yang masih kecil, maka perbuatan ini haram.

Dan termasuk kesesatan yang buruk dan kemungkaran yang keji, serta kebodohan yang tidak ringan adalah menggantungkan tanah dan selalu menyediakan kopi dirumah mayit serta berkumpul dirumah tersebut untuk bercerita-cerita, dan membuang-buang waktu pada perkara-perkara yang dilarang, disertai pamer dan bangga-banggaan. Mereka tidak memikirkan orang yang mereka kuburkan ditanah dibawah kaki mereka, yang telah mereka letakan ditempat yang gelap…. Jika mereka ditanya tentang perbuatan itu, mereka menjawab: Karena mengikuti tradisi, untuk menjaga gengsi, dan mendapatkan pujian masyarakat... Maka apakah ada kebaikan pada hal ini ?? Sekali-kali tidak, bahkan itu adalah keburukan dan kerugian..."
(Syarh Minahul Jalil 'alaa Mukhtashor 'Allaamah al-Kholiil, cetakan Maktabah An-Najaah, Trooblus, Libiya, juz 1 hal 300).

DALIL BOLEHNYA TAHLILAN

Berikut ini beberapa dalil yang dijadikan hujjah oleh ustadz Idrus Ramli dan juga kiyai Tobari Syadzili akan bolehnya tahlilan. Akan tetapi berikut catatan ringan yang berkaitan dengan pendalilan tersebut.

Pendalilan Pertama.

Ustadz Idrus Ramli berkata:
"Riwayat dari Khalifah 'Umar bin al-Khathtab yang berwasiat agar disediakan makanan bagi orang-orang yang datang melayat. Al-Imam Ahmad bin Mani' meriwayatkan: Dari Ahnaf bin Qais, berkata: "Setelah Khalifah 'Umar ditikam oleh Abu Lu’luah al-Majusi, maka ia memerintahkan Shuhaib agar menjadi imam sholat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah 'Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang menyelimuti. Lalu Abbas bin Abdul Mutthalib datang dan berkata: 'Wahai manusia, dulu Rasulullah meninggal, lalu kita makan dan minum sesudah itu. Lalu Abu Bakar meninggal, kita makan dan minum sesudahnya. Wahai manusia, makanlah dari makanan ini.' Lalu Abbas menjamah makanan itu, dan orang-orang pun menjamahnya.
(HR. Ibnu Mani').

Al-Ustadz setelah itu berkata "...kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta'ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat atas perintah Khalifah 'Umar sebelum wafat".

Dalil ini juga yang telah dijadikan pegangan oleh Kiyai Thobari Syadzili sebagaimana bisa dilihat di (http://jundumuhammad.net/2011/06/07/hukum-selamatan-hari-ke-3-7-40-100-setahun-1000/)


SANGGAHAN

Kritikan terhadap pendalilan Al-Ustadz Idrus Ramli diatas dari dua sisi:

PERTAMA: Tentang Keabsahan Dalil.

Al-Ustadz Idrus Ramli tidak menyebutkan dalam kitab apa riwayat 'Umar bin Al-Khothtab ini diriwayatkan oleh Ibnu Mani', dan juga tidak menyebutkan takhriij riwayat ini secara lengkap, terlebih lagi derajat keabsahan riwayat ini.

'Alaa ad-Diin dalam kitabnya Kanzul 'Ummaal [13/509 no 37304] –setelah menyebutkan atsar diatas, ia berkata:

(Ibnu Sa'ad, Ibnu Manii', Abu Bakr fi Al-Ghoilaaniyaat, Ibnu 'Asaakir)

Berikut ini saya cantumkan riwayat atsar ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar dalam Al-Ghilaaniyaat (1/302-303 no 315. Dan lihat juga 1/296 no 296)

Ternyata dalam isnadnya ada seorang perawi yang bernama Ali bin Zaid bin Jud'aan.

Adapun Ibnu 'Asaakir maka beliau meriwayatkan atsar ini di kitabnya Taarikh Dimasyq [26/373], sebagaimana berikut:

Dan sangat jelas pula bahwa dalam isnadnya terdapat perawi yang bernama Abdullah bin Zaid bin Jud'aan.

Adapun Ibnu Sa'ad maka beliau meriwayatkan atsar ini dalam kitabnya At-Tobaqoot Al-Kubroo (4/26-27) sebagaimana berikut ini:

Adapun Ahmad bin Manii' maka beliau membawakan riwayat ini dalam Musnadnya, sebagaimana dinukil oleh Al-Haafiz Ibnu Hajar al-'Asqolaani dalam kitabnya Al-Mathoolib al-'Aaliyah Bizawaaid Al-Masaaniid Ats-Tsamaaniyah 5/328 no 1785 atau pada cetakan lama 1/198)

Beliau berkata:

Pandangan ulama terhadap keabsahan atsar ini:

Atsar ini dibawakan oleh Ahmad bin Abi Bakr al-Buushiri dalam kitabnya Ithaaf Al-Khiyaroh al-Maharoh bi Zawaaid al-Masaaniid al-'Asyaroh 2/509 no 2000, sbb:

Sangat jelas bahwa Al-Bushiri berkata, "Diriwayatkan oleh Ahmad bin Manii', dan pada sanadnya ada perawi Ali bin Zaid bin Jud'aan".

Ali bin Zaid bin Jud'aan adalah perawi yang dha'iif (lemah) bahkan tertuduh terpengaruh faham tasyayyu' (Syi'ah), silahkan merujuk ke kitab-kitab berikut [Taqriib At-Tahdziib karya Ibnu Hajar hal 401 no 4734, Tahdziibut Tahdziib karya Ibnu Hajar 7/283-284 no 545, Al-Mughniy fi Ad-Du'afaa karya Adz-Dzahabi 2/447, dan Al-Majruuhiin karya Ibnu Hibbaan 2/103-104].

KEDUA: Tentang Sisi Pendalilan

Al-Ustadz Idrus Ramli ingin berdalil dengan atsar (riwayat) diatas akan bolehnya acara ritual tahlilan.

Mari kita baca kembali terjemahan riwayat diatas dengan seksama:

"...Tatkala 'Umar ditikam, maka 'Umarpun memerintahkan Shuhaib untuk mengimami orang-orang dan memberi makanan kepada mereka selama tiga hari, hingga mereka bersepakat pada seseorang (untuk menjadi khalfiah baru pengganti 'Umar-pen). Tatkala mereka meletakan makanan maka orang-orangpun menahan diri tidak makan, maka  al-'Abbaas Radhiyallahu 'anhu berkata: "Wahai manusia, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat, maka kamipun makan dan minum setelah wafatnya, dan (juga) setelah (wafatnya) Abu Bakar, dan sungguh makan itu adalah keharusan". Maka al-'Abbaas pun makan lalu orang-orangpun ikut makan".

Jika kita perhatikan isi dari kandungan atsar diatas maka bisa kita ambil kesimpulan:

PERTAMA: Penyediaan makanan tersebut telah diperintahkan oleh 'Umar sebelum beliau meninggal. Berbeda dengan ritual tahlilan yang penyediaan makanan adalah untuk orang-orang yang melakukan ta'ziyah.

KEDUA: Sangat jelas bahwa tujuan penyediaan makanan tersebut adalah agar para sahabat rapat dan menentukan pengganti Khalifah 'Umar dengan Khalifah yang baru. Sehingga makanan tersebut tidaklah disediakan dalam rangka acara ritual tahlilan untuk mendoakan 'Umar bin al-Khathtaab.

KETIGA: Adapun penyebutan jumlah tiga hari tersebut sama sekali bukan karena sebagaimana ritual Tahlilan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari dan seterusnya. Akan tetapi hingga para sahabat menentukan khalifah yang baru, dan karena 'Umar meninggal tiga hari setelah beliau ditikam.

KEEMPAT: Sama sekali tidak disebutkan tatkala itu adanya acara mendo'akan, dan kumpul-kumpul dalam rangka berdo'a, karena tatkala mereka berkumpul dan makan, 'Umar masih dalam keadaan hidup.

KELIMA: Kapan mereka menahan diri ragu untuk menyentuh makanan..?, yaitu tatkala mereka pulang dari menguburkan 'Umar. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang lain:

Tatkala mereka kembali pulang dari menguburkan 'Umar mereka datang, dan makanan telah dihidangkan. Orang-orangpun menahan diri karena kesedihan yang mereka rasakan. Maka Abbaspun datang…."

Jadi proses menyediakan makanan sudah disediakan semenjak 'Umar masih hidup dan setelah 'Umar dikubur masih juga disediakan makanan. Akan tetapi para sahabat enggan untuk memakan karena kesedihan yang mereka rasakan.

Dan dalam riwayat tersebut sangat jelas bahwa tujuan memakan makanan itu adalah karena urusan pemerintahan, dan mereka harus makan untuk terus menyelenggarakan pemilihan khalifah.

Al-'Abbas berkata:

"Wahai manusia, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat, maka kamipun makan dan minum setelah beliau (wafat), dan (juga) setelah (wafatnya) Abu Bakar, dan sungguh makan itu adalah keharusan". Maka al-'Abbaas pun makan, lalu orang-orangpun ikut makan."

Karenanya acara memakan makanan tersebut hanya disebutkan oleh Abbas berkaitan dengan setelah wafatnya para pemimpin yaitu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Abu Bakar, dan bukan berkaitan dengan acara makan-makan pada setiap ada yang meninggal. Padahal diketahui bersama bahwasanya terlalu banyak para sahabat yang meninggal sebelum meninggalnya 'Umar, baik yang meninggal dalam perang Badr, Uhud, Khondaq, Khoibar, Mu'tah, dan lain-lain, demikian pula yang meninggal dizaman Abu Bakar tatkala berperang melawan pasukan nabi palsu Musailamah al-Kadzdzaab. Akan tetapi tidak ada sama sekali perlaksanaan ritual tahlilan yang mereka lakukan...!

KEENAM: Yang jelas penyediaan makanan tersebut bukan dari harta orang yang kematian, akan tetapi dzohirnya adalah atas perintah 'Umar sang Khalifah. Jadi dari harta negara, karena untuk urusan negara, yaitu pemilihan khalifah yang baru.

Akan tetapi bagaimanapun telah jelas bahwa atsar riwayat diatas adalah ATSAR YANG LEMAH yang tidak bisa dijadikan hujjah dan dalil. Kalaupun shahih maka pendalilalnnya tidaklah nyambung.
Wallahu a'lam bis Shawaaab.

PENDALILAN KEDUA'

Ustadz Muhammad Idrus Ramli berkata:

"Riwayat dari Sayyidah 'Aisyah, istri Nabi ketika ada keluarganya meninggal dunia, beliau menghidangkan makanan. Imam Muslim meriwayatkan dalam shahih-nya:

عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ. رواه مسلم

"Dari Urwah, dari 'Aisyah, istri Nabi, bahwa apabila seseorang dari keluarga 'Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka 'Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian 'Aisyah berkata: 'Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah bersabda: Talbinah dapat menenangkan hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan".
(HR. Muslim [2216).

Dua hadits diatas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta'ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat atas perintah Khalifah 'Umar sebelum wafat, dan dilakukan oleh Sayyidah 'Aisyah. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi kenduri kematian bukanlah perbuatan yang dilarang dalam agama.

SANGGAHAN

Dalil dari hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anha diatas sangat tidak diragukan akan keabsahan dan keshahihannya. Karenanya pembicaraan hanya akan tertuju pada sisi pendalilan dari hadits tersebut untuk melegalkan acara ritual tahlilan.

Jika kita membaca kembali teks hadits diatas maka bisa kita simpulkan:

PERTAMA: Sangat jelas tidak ada penyebutan acara ritual tahlilan, hanya penyebutan mengenai makanan.

KEDUA: Dalam hadits diatas disebutkan bahwa yang menyediakan makanan adalah 'Aisyah, dan yang meninggal adalah keluarga 'Aisyah, serta yang diberi makan adalah keluarga 'Aisyah dan orang-orang khususnya.

Sangat jelas dalam riwayat diatas:

أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ

"Jika ada yang meninggal dari keluarga 'Aisyah, maka para wanita pun berkumpul untuk itu, kemudian mereka bubar kecuali keluarga 'Aisyah dan orang-orang khususnya, maka 'Aisyahpun memerintahkan untuk membuat makanan talbinah seperiuk kecil".

Bahwa pembicaraan dalam hadits ini, bukanlah membuat makanan untuk seluruh orang-orang yang hadir, akan tetapi untuk orang-orang khusus beliau dari kalangan wanita saja.

Selain itu pemberian makanan talbinah ini adalah setelah para wanita bubaran, sehingga yang tersisa hanyalah keluarga 'Aisyah yang bersedih dan orang-orang khusus yang dekat dengan 'Aisyah.

KETIGA: Dalam hadits diatas juga, tujuan pembuatan makanan talbinah tersebut bukanlah dalam rangka bersedekah kepada para penta'ziyah, (karena jelas para penta'ziyah wanita telah bubaran), akan tetapi dalam rangka menghilangkan kesedihan.

Karenanya seluruh para ulama yang menjelaskan hadits diatas, menyebutkan tentang keutamaan talbinah yang disebutkan oleh Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam untuk menghilangkan kesedihan dan kesusahan. Karenanya talbinah ini tidak hanya diberikan kepada keluarga yang sedang duka, akan tetapi diberikan juga kepada orang yang sakit.

KEEMPAT: Yang dihidangkan oleh 'Aisyah adalah hanya talbinah saja bukan sembarang makanan, karena ada keutamaan talbinah yang bisa menghilangkan kesedihan. Hal ini semakin mendukung bahwa tujuan 'Aisyah bukanlah untuk murni memberi makanan, atau untuk mengenyangkan perut, atau untuk bersedekah dengan makanan, akan tetapi tujuannya adalah untuk menghilangkan kesedihan. Karena kalau dalam rangka mengenyangkan para penta'ziah dan bersedakah, maka lebih utama untuk menghidangkan makanan yang berbobot seperti kambing guling dan yang lainnya, bukan hanya sekedar semangkuk sop saja yang tidak mengenyangkan.


PENDALILAN KETIGA

Ustadz Muhammad Idrus Ramli berkata: ((Tradisi kaum salaf sejak generasi sahabat yang bersedekah makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati. Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd: "Dari Sufyan berkata: "Thawus berkata: "Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut".

Hadits diatas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya' [juz 4 hal. 11], al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur [32], al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-'Aliyah [juz 5 hal. 330] dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi [juz 2 hal. 178].

Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuthi.

Demikianlah perkataan Ustadz Muhamad Idrus Ramli

Pendalilan ini pulalah yang dipaparkan oleh Kiyai Tobari Syadzili (http://jundumuhammad.net/2011/06/07/hukum-selamatan-hari-ke-3-7-40-100-setahun-1000/)

SANGGAHAN

Ustadz Muhamad Idrus Ramli telah menyebutkan takhrij atsar ini dengan baik. Akan tetapi perlu pembahasan dari dua sisi, sisi keabsahan atsar ini, dan sisi kandungan atsar ini.

PERTAMA: Keabsahan Atsar Ini

Atsar ini sebagaimana disebutkan oleh al-Haafiz Ibnu Hajar dalam al-Mathoolib al-'Aaliyah [5/330 no 834], sebagaimana berikut:

Imam Ahmad berkata: Telah menyampaikan kepada kami Hasyim bin Al-Qoosim, telah menyampaikan kepada kami al-Asyja'iy, dari Sufyan berkata, Thowus telah berkata: "Sesungguhnya mayat-mayat diuji dalam kuburan mereka tujuh hari, maka mereka (para salaf-pen) suka untuk bersedekah makanan atas nama mayat-mayat tersebut pada hari-hari tersebut".

Dan dari jalan Al-Imam Ahmad bin Hanbal juga diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam kitabnya Hilyatul Auliyaa' [4/11] sebagaimana berikut ini:

Seluruh perawi atsar diatas adalah tsiqoh, hanya saja sanadnya terputus antara Sufyan dan Thoowuus.
Thoowuus bin Kaisaan Al-Yamaani wafat 106 H (Taqriibut Tahdziib hal 281 no 3309) adapun Sufyaan bin Sa'id bin Masruuq Ats-Tsauri lahir pada tahun 97 H (lihat Siyar A'laam An-Nubalaa 7/230). Meskipun Sufyan Ats-Tsaury mendapati zaman Thoowus, hanya saja tidak ada dalil yang menunjukan bahwa Sufyan pernah mendengar dari Thowus.

Justru yang ada adalah sebaliknya:

Pertama: Tatkala Thowus wafat [tahun 106 H} umur Sufyan At-Tsauri [yang lahir tahun 97 H] masih sangat kecil yaitu beliau berumur 9 tahun. Karenanya Sufyan tidak mendapati periwayatan dari Thoosuus bin Kaisaan.

Kedua: Dalam buku-buku Taroojum Ar-Ruwaat (seperti Tahdziib al-Kamaal, Tahdziib At-Tahdziib, Siyar A'laam An-Nubalaa, dll) tidak menyebutkan bahwa Thoowus bin Kaisaan termasuk syuyukh (guru-guru) yang Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari mereka.

Ketiga: Sufyan Ats-Tsauri selalu meriwayatkan dari Thoowus dengan perantara perawi yang lain. Diantara perawi-perawi perantara tersebut adalah (1) Habib bin Abi Tsaabit, (2) 'Amr bin Diinaar, (3) Abdullah bin Thoowuus, (4) Handzolah bin Abi Sufyan, dan (5) Ibrahim bin Maysaroh.

Keempat: Tidak ditemukan satu riwayatpun yang dimana Sufyan meriwayatkan langsung dari Thowus.

Kelima: Adapun riwayat di atas maka Sufyan tidak menggunakan shigoh (عَنْ طاووس) "Dari Thowus", akan tetapi beliau mengatakan (قَالَ طاووس) "Telah berkata Thoowus". Yang shigoh periwayatan seperti ini tidak menunjukan dengan jelas bahwa beliau meriwayatkan dari Thoowus, akan tetapi beliau hanya mengabarkan perkataan Thoowus. Karenanya sangatlah jelas jika sanad atsar ini terputus antara Sufyan dan Thowus.

KEDUA: Sisi Pendalilan

Kalaupun seandainya atsar ini shahih, maka ada beberapa perkara yang menjadi permasalahan:

Pertama: Atsar ini dihukumi marfu' mursal, karena Thoowus adalah seorang tabi'in dan dalam atsar ini ia sedang berbicara tentang hal yang ghaib, yaitu bahwasanya mayat diuji (ditanya oleh malaikat munkar dan nakiir) selama tujuh hari. Dan hadits mursal adalah hadits yang lemah.

Ustadz Muhmad Idrus Ramli berkata, (Akan tetapi sebagaimana yang diketahui bahwasanya Thowus bukanlah seorang sahabat, akan tetapi ia hanyalah seorang tabi'in. Sehingga pernyataan beliau tentang bahwa mayat diuji selama tujuh hari adalah termasuk perkara yang ghaib yang perlu dibahas lebih lanjut. Memang para ulama hadits menyebutkan bahwa jika seorang sahabat yang berbicara tentang ilmu ghaib maka diberi hukum marfu' dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, karena tidak mungkin seorang sahabat berbicara tentang ilmu ghaib kecuali berasal dari Nabi shalallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi jika seorang tabi'in yang berbicara ?!, Para ulama menyebutkan hukumnya adalah hukum mursal. Demikian perkataan al-Ustadz.

Tentunya para ulama mengecualikan sahabat yang dikenal mengambil riwayat Israiliyaat seperti Abdullah bin 'Amr bin al-'Aash, dan juga sahabat Ibnu Abbas sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama. Jika para sahabat yang dikenal mengambil dari isroiliyat berbicara tentang hal yang ghaib, maka riwayatnya itu tidak bias dihukumi mar'fuu' karena ada kemungkinan mereka mengambil dari Isrooiliyaat.

Thowus termasuk yang sering meriwayatkan dari Ibnu Abbas.

Kedua: Semakin memperkuat akan hal ini, adalah bahwasanya seluruh hadits-hadits yang shahih dan marfu' menunjukan bahwa mayat akan ditanya hanya sekali, yakni tatkala baru dikuburkan.

Ketiga: Kalaupun atsar ini shahih, maka sama sekali tidak menunjukan adanya acara tahlilan sebagaimana yang dipersangkakan. Karena atsar ini tidak menunjukan bahwa para salaf mengadakan acara berkumpul-kumpul selama tujuh hari berturut-turut dirumah keluarga mayat.

Akan tetapi hanya menunjukan akan dianjurkannya memberi makanan sebagai sedekah atas nama mayat selama tujuh hari. Dan termasuk perkara yang disepakati bolehnya adalah bersedekah atas nama mayit, karena pahalanya akan sampai kepada mayit.

Sementara pelaku acara tahlilan, banyak dari mereka seringnya hanya melakukan tahlilan pada hari ke 3 dan ke 7 lalu 40, 100, dan 1000, serta tidak melakukan tahlilan 7 hari berturut-turut.

Keempat: Hal ini didukung dengan perkataan Jariir bin 'Abdillah:

كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ

"Kami menganggap perkumpulan dikeluarga mayat dan pembuatan makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah".
(Atsar riwayat Ahmad dalam Musnadnya no 6905 dan Ibnu Maajah dalam sunannya no 1308, dan dishahihkan oleh al-Imam An-Nawawi dalam al-Majmuu' Syarh al-Muhadzdzab 5/320 dan al-Bushiri dalam Az-Zawaaid).

Keenam: Jika memang para salaf selalu melakukan tahlilan selama tujuh hari berturut-turut, dan juga hari ke 40, 100, dan 1000 hari sebagaimana yang dipahami oleh ustadz Muhammad Idrus Ramli dan juga Kiyai Syadzily Tobari, maka kenapa kita tidak menemukan sunnah ini disebutkan dalam kitab-kitab fiqih madzhab ? apakah para ahli fiqih empat madzhab sama sekali tidak mengetahui sunnah ini ?

Ketujuh: Justru kita dapati madzhab Syaifiiyah lah yang keras menentang acara tahlilan (Silahkan baca kembali Tahlilan Adalah Bid'ah Menurut Ulama Syafi'i www.firanda.com/index.php/artikel/fiqh/408-tahlilan-adalah-bid-ah-menurut-madzhab-syafi-i ).

***

Sumber: www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/423-dalil-bolehnya-tahlilan

Ustadz Firanda Andirja, M.A.
Artikel www.firanda.com

Selasa, 12 Mei 2015

HUKUM BACA SURAT YASIN DIKUBURAN

BACAAN SURAT YASIN BUKAN UNTUK ORANG MATI

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.

HADITS PERTAMA.

:ﻣَﻦْ ﻗَﺮَﺃَ ﻳَﺲ ﻓِﻲْ ﻟَﻴْﻠَﺔٍ ﺍﺑْﺘِﻐَﺎﺀَ ﻭَﺟْﻪِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻏُﻔِﺮَ ﻟَﻪُ ﻣَﺎ ﺗَﻘَﺪَّﻡَ ﻣِﻦْ ﺫَﻧْﺒِﻪِ ﻓَﺎﻗْﺮَﺅُﻭْﻫَﺎ ﻋِﻨْﺪَ ﻣَﻮْﺗَﺎﻛُﻢْ .

“Barang siapa membaca surat Yasin karena mencari ke ridhaan Allah ta’ala, maka Allah akan mengampunkan dosa-dosanya yang telah lalu. Oleh karena itu, bacakanlah surat itu untuk orang yang akan mati diantara kalian”.
(HR. Al-Baihaqi dalam kitabnya, Syu’abul Iman).

Keterangan: hadits ini dha'if ( ﺿَﻌِﻴْﻒٌ) Lemah.
( Lihat: Dha’if Jami’ush Shaghir [no. 5785] dan Misykatul Mashaabih [no. 2178] ).

HADITS KEDUA.

ﻣَﻦْ ﺯَﺍﺭَ ﻗَﺒْﺮَ ﻭَﺍﻟِﺪَﻳْﻪِ ﻛُﻞَّ ﺟُﻤُﻌَﺔٍ ﻓَﻘَﺮَﺃَ ﻋِﻨْﺪَﻫُﻤَﺎ ﺃَﻭْ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﻳَﺲ ﻏُﻔِﺮَ ﻟَﻪُ ﺑِﻌَﺪَﺩِ ﻛُﻞِّ ﺁﻳَﺔٍ ﺃَﻭْ ﺣَﺮْﻑٍ .

“Barangsiapa menziarahi kubur kedua orang tuanya setiap Jum’at dan membacakan surat Yasin (diatasnya), maka ia akan diampuni (dosa)nya sebanyak ayat atau huruf yang dibacanya”.

Keterangan: hadits ini  maudhu' ( ﻣَﻮْﺿُﻮْﻉٌ ) Palsu.

Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi [I/286], Abu Nu’aim dalam kitab Akhbaru Ashbahan [II/344-345] dan ‘Abdul Ghani Al-Maqdisi dalam Sunannya [II/91] dari jalan Abu Mas’ud Yazid bin Khalid. Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaim ath-Thaifi, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, dari Abu Bakar secara marfu’.
( Lihat Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah [no. 50] ).

Dalam hadits ini ada ‘Amr bin Ziyad Abul Hasan Ats-Tsaubani. Kata Ibnu ‘Adiy: “Ia sering mencuri hadits dan menyampaikan hadits-hadits yang bathil”.

Setelah membawakan hadits ini, Ibnu ‘Adiy berkata: “Sanad hadits ini bathil, dan ‘Amr bin Ziyad dituduh oleh para ulama memalsukan hadits”.

Kata Imam Daruquthni: “Ia sering memalsukan hadits”.
(Periksa: Mizaanul I’tidal [III/260-261 no. 6371], Lisanul Mizan [IV/364-365] ).

Hadits-hadits diatas sering dijadikan pegangan pokok tentang dianjurkannya membaca surat Yasin ketika ada orang yang sedang naza’ (sakaratul maut) dan ketika berziarah ke pemakaman kaum muslimin terutama ketika menziarahi kedua orangtua. Bahkan sebagian besar kaum muslimin menganggap hal itu sunnah. Maka sekali lagi bahwa semua hadits-hadits yang menganjurkan itu "LEMAH", bahkan "PALSU", sebagaimana yang sudah diterangkan diatas dan hadits-hadits lemah tidak bisa dijadikan hujjah, karena itu, orang yang melakukan demikian adalah berarti dia telah berbuat "BID’AH". Dan telah menyalahi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sah yang menerangkan apa yang harus dilakukan ketika ada orang yang sedang dalam keadaan naza’ dan ketika berziarah ke kubur.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata:

“Membacakan surat Yasin ketika ada orang yang sedang dalam keadaan naza’ dan membaca al-Qur-an (membaca surat Yasin atau surat-surat lainnya) ketika berziarah ke kubur adalah bid'ah dan tidak ada asal-usulnya sama sekali dari nabi shalallahu 'alaihi wa sallam.
(Lihat Ahkamul Janaa-iz wa Bida’uha [hal. 20, 241, 307 & 325], cet. Maktabah al-Ma’arif).

Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada orang yang sedang dalam keadaan naza’:

Pertama:
Ditalqin-kan (diajarkan) dengan ucapan: ‘Laa iIaaha illallah’ agar ia (orang yang akan mati) mengucapkan “ ﻻَﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠَّﻪُ (Laa ilaaha illallah)”.

Dari Abu Sa’id al-Khudri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

 ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﺳَﻌِﻴْﺪِ ﺍﻟْﺨُﺪْﺭِﻱِّ ﻳَﻘُﻮْﻝُ : ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ : ﻟَﻘِّﻨُﻮْﺍ ﻣَﻮْﺗَﺎﻛُﻢْ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّﺍﻟﻠَّﻪُ

"Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:"Ajarkanlah ‘Laa ilaaha illallah’ kepada orang yang hampir mati diantara kalian”.
(HR. Shahih Muslim [no. 916], Abu Dawud [no. 3117], An-Nasa-i [IV/5], at-Tirmidzi [no. 976], Ibnu Majah [no. 1445], al-Baihaqi [III/383] dan Ahmad [III/3] ).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar kalimat tauhid ini yang terakhir diucapkan, supaya dengan demikian dapat masuk surga.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﺁﺧِﺮُ ﻛَﻼَﻣِﻪِ ﻻَﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ .

“Barang siapa yang akhir perkataannya "Laa ilaaha illallah,’ maka ia akan masuk surga”.
(Hadits riwayat Ahmad [V/233, 247], Abu Dawud [no. 3116] dan al-Hakim [I/351], dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu).

Kedua:
Hendaklah mendo’akan kebaikan untuknya dan kepada mereka yang hadir pada saat itu. Hendaknya mereka berkata yang baik.

ﻋَﻦْ ﺃُﻡِّ ﺳَﻠَﻤَﺔَ ﻗَﺎﻟَﺖْ : ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ : ﺇِﺫَﺍ ﺣَﻀَﺮْﺗُﻢْ ﺍﻟْﻤَﺮِﻳْﺾَ ﺃَﻭِ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖَ ﻓَﻘُﻮْﻟُﻮْﺍ : ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟْﻤَﻼَﺋِﻜَﺔَ ﻳُﺆَّﻣِّﻨُﻮْﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﺗَﻘُﻮْﻟُﻮْﻥَ

"Dari Ummu Salamah, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: "Apabila kalian menjenguk orang sakit atau berada disisi orang yang hampir mati, maka katakanlah yang baik, Karena sesungguhnya para malaikat mengaminkan (doa) yang kalian ucapkan”.
(Hadits shahih riwayat Muslim [no. 919] dan al-Baihaqi [III/384] dan selain keduanya.)

Sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berziarah Ke pemakaman kaum muslimin:

Pertama:
Mengucapkan salam kepada mereka.

Dalilnya ialah:
‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah apakah yang harus aku ucapkan kepada mereka (kaum Muslimin, bila aku menziarahi mereka)?” - Beliau menjawab: “Katakanlah
:ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟﺪِّﻳَﺎﺭِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴْﻦَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْ
َ ﻭَﻳَﺮْﺣَﻢُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟْﻤُﺴْﺘَﻘْﺪِﻣِﻴْﻦَ ﻣِﻨَّﺎ ﻭَﺍﻟْﻤُﺴْﺘَﺄْﺧِﺮِﻳْﻦَ ﻭَﺇِﻧَّﺎ ﺇِﻥْ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑِﻜُﻢْ ﻟَﻼَﺣِﻘُﻮْﻥَ

"Semoga dicurahkan kesejahteraan atas kalian wahai ahli kubur dari kaum mukminin dan muslimin. Dan mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepada orang yang telah mendahului kami dan kepada orang yang masih hidup dari antara kami dan insya Allah kami akan menyusul kalian”.
(Hadits shahih riwayat Ahmad [VI/221], Muslim [no. 974] dan an-Nasa-i [IV/93], dan lafazdh ini milik Muslim).

Buraidah berkata:“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada mereka (para sahabat) apabila mereka memasuki pemakaman (kaum muslimin) hendaknya mengucapkan:

:ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺃَﻫْﻞَ ﺍﻟﺪِّﻳَﺎﺭِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴْﻦَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﻭَﺇِﻧَّﺎ ﺇِﻥْ  ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑِﻜُﻢْ ﻻَﺣِﻘُﻮْﻥَ ﻧَﺴْﺄَﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻟَﻨَﺎ ﻭَﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟْﻌَﺎﻓِﻴَﺔَ .

"Mudah-mudahan dicurahkan kesejahteraan atas kalian, wahai ahli kubur dari kaum mukminin dan muslimin. Dan insya Allah kami akan menyusul kalian. Kami mohon kepada Allah agar mengampuni kami dan kalian”.
(Hadits shahih riwayat Muslim [no.975], an-Nasa'i [IV/94], Ibnu Majah [no.1547], Ahmad [V/353, 359 dan 360]. Lafazdh hadits ini adalah lafazdh Ibnu Majah).

Kedua:
Mendo’akan serta memohonkan ampunan bagi mereka.

Dalilnya:

:ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﺨْﺮُﺝُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﺒَﻘِﻴْﻊِ ﻓَﻴَﺪْﻋُﻮْ ﻟَﻬُﻢْ ﻓَﺴَﺄَﻟَﺘْﻪُ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔُ ﻋَﻦْ ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﺇِﻧِّﻲْ ﺃُﻣِﺮْﺕُ ﺃَﻥْ ﺃَﺩْﻋُﻮَ ﻟَﻬُﻢْ

" ‘Aisyah berkata: “Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar ke Baqi’ (tempat pemakaman kaum muslimin), lalu beliau mendo’akan mereka.” Kemudian ‘Aisyah bertanya tentang hal itu, beliau menjawab: “Sesungguhnya aku diperintah untuk mendo’akan mereka”.
(Hadits shahih riwayat Ahmad [VI/252] )

Baca al-Qur-an dipemakaman menyalahi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hadits-hadits yang disebutkan diatas tentang adab ziarah, menunjukkan bahwa baca al-Qur-an dipemakaman tidak disyari’atkan oleh Islam. Karena seandainya disyari’atkan, niscaya sudah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau pasti sudah mengajarkannya kepada para sahabatnya.

‘Aisyah ketika bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang harus diucapkan (dibaca) ketika ziarah kubur ? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengajarkan salam dan do’a. Beliau tidak mengajarkan baca al-Fatihah, baca Yaasiin, baca surat al-Ikhlash dan lainnya. Seandainya baca al-Qur-an disyari’atkan, pasti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyembunyikannya.

Menurut ilmu Ushul Fiqih:

:ﺗَﺄْﺧِﻴْﺮُ ﺍﻟْﺒَﻴَﺎﻥِ ﻋَﻦْ ﻭَﻗْﺖِ ﺍﻟْﺤَﺎﺟَﺔِ ﻻَ ﻳَﺠُﻮْﺯُ .

“Menunda keterangan pada waktu keterangan itu dibutuhkan tidak boleh.”Kita yakin bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin menyembunyikan ilmu dan tidak pernah pula beliau mengajarkan baca al-Qur'an dipemakaman. Lagi pula tidak ada satu haditspun yang sah tentang masalah itu. Membaca al-Qur'an dipemakaman menyalahi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita membaca al-Qur-an dirumah

:ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ : ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺎﻝَ : ﻻَ ﺗَﺠْﻌَﻠُﻮْﺍ ﺑُﻴُﻮْﺗَﻜُﻢْ ﻣَﻘَﺎﺑِﺮَ، ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥَ ﻳَﻨْﻔِﺮُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺒَﻴْﺖِ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺗُﻘْﺮَﺃُ ﻓِﻴْﻪِ ﺳُﻮْﺭَﺓُ ﺍﻟْﺒَﻘَﺮَ ; ( ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ ﺭﻗﻢ : 780 ) ﻭﺃﺣﻤﺪ ﻭﺍﻟﺘّﺮﻣﻴﺬﻱ ﻭﺻﺤﺤﻪ

"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Janganlah kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan, karena sesungguhnya syaithan akan lari dari rumah yang dibaca didalamnya surat al-Baqarah”.
(Hadits riwayat Muslim [no. 780], Ahmad [II/284, 337, 387, 388] dan at-Tirmidzi [no. 2877] serta ia men-shahihkannya).

Hadits ini jelas sekali menerangkan bahwa pemakaman menurut syari’at Islam bukanlah tempat untuk membaca al-Qur-an, melainkan tempatnya dirumah, dan melarang keras menjadikan rumah seperti kuburan, kita dianjurkan membaca al-Qur-an dan shalat-shalat sunnah dirumah.

Jumhur ulama salaf seperti imam Abu Hanifah, imam Malik dan imam-imam yang lainnya melarang membaca al-Qur-an dipemakaman, dan inilah nukilan pendapat mereka:

Pendapat imam Ahmad, imam Abu Dawud berkata dalam kitab Masaa-il imam Ahmad hal. 158:

“Aku mendengar imam Ahmad ketika beliau ditanya tentang baca al-Qur-an dipemakaman ? Beliau menjawab: “TIDAK BOLEH”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Dari asy-Syafi’i sendiri tidak terdapat perkataan tentang masalah ini, yang demikian ini menunjukkan bahwa (baca al-Qur-an dipemakaman) menurut beliau adalah bid'ah.

Imam Malik Rahimahullah berkata:
‘Tidak aku dapati seorang pun dari sahabat dan tabi’in yang melakukan hal itu..!”.
(Lihat Iqtidhaa’ Shirathal Mustaqim [II/264], Ahkaamul Janaa-iz [hal. 241-242] ).

Pahala bacaan al-Qur-an tidak akan sampai kepada si mayyit. Al-Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat: “Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh (pahala) selain apa yang diusahakannya.”(QS. An-Najm: 53) beliau rahimahullah berkata:

:ﺃَﻱْ : ﻛَﻤَﺎ ﻻَ ﻳُﺤْﻤَﻞُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭِﺯْﺭُ ﻏَﻴْﺮِﻩِ، ﻛَﺬَﻟِﻚَ ﻻَ ﻳَﺤْﺼُﻞُ ﻣِﻦَ ﺍْﻷَﺟْﺮِ ﺇِﻻَّ ﻣَﺎﻛَﺴَﺐَ ﻫُﻮَ ﻟِﻨَﻔْﺴِﻪِ. ﻭَﻣِﻦْ ﻫَﺬِﻩِ ﺍْﻵﻳَﺔِ ﺍﻟﻜَﺮِﻳْﻤَﺔِ ﺍﺳْﺘَﻨْﺒَﻂَ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲُّ ﺭَﺣِﻤَﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﻣَﻦِ ﺍﺗَّﺒَﻌَﻪُ ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﻘِﺮَﺍﺀَﺓَ ﻻَ ﻳَﺼِﻞُ ﺇِﻫْﺪَﺍﺀُ ﺛَﻮَﺍﺑِﻬَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻤَﻮْﺗَﻰ، ِﻷَﻧَّﻪُ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻦْ ﻋَﻤَﻠِﻬِﻢْ ﻭَﻛَﺴْﺒِﻬِﻢْ ﻭَﻟِﻬَﺬَﺍ ﻟَﻢْ ﻳَﻨْﺪُﺏْ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃُﻣَّﺘَﻪُ، ﻭَﻻَ ﺣَﺜَّﻬُﻢْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﻻَ ﺃَﺭْﺷَﺪَﻫُﻢْ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺑِﻨَﺺٍّ ﻭَﻻَ ﺇِﻳْﻤَﺎﺀٍ، ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﻨْﻘَﻞْ ﺫَﻟِﻚَ ﻋَﻦْ ﺃَﺣَﺪٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺼَّﺤَﺎﺑَﺔِ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻢْ، ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻟَﺴَﺒَﻘُﻮْﻧَﺎ ﺇِﻟَﻴْﻪِ، ﻭَﺑَﺎﺏُ ﺍﻟْﻘُﺮَﺑَﺎﺕِ ﻳُﻘْﺘَﺼَﺮُ ﻓِﻴْﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨُّﺼُﻮْﺹِ، ﻭَﻻَ ﻳُﺘَﺼَﺮَّﻑُ ﻓِﻴْﻪِ ﺑِﺄَﻧْﻮَﺍﻉِ ﺍْﻷَﻗْﻴِﺴَﺔِ ﻭَﺍْﻷَﺭَﺍﺀِ

“Sebagaimana dosa seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, maka demikian pula ganjaran seseorang (tidak dapat dipindahkan / dikirimkan) kepada orang lain, melainkan didapat dari hasil usahanya sendiri. Dari ayat ini Imam asy-Syafi’i dan orang yang mengikuti beliau beristinbat (mengambil dalil) bahwasanya pahala bacaan al-Qur'an tidak sampai kepada si mayit dan tidak dapat dihadiahkan kepada si mayit, karena yang demikian bukanlah amal dan usaha mereka.

Tentang (mengirimkan pahala bacaan kepada mayit) tidak pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam men-sunnahkan umatnya, tidak pernah mengajarkan kepada mereka dengan satu nash yang sah dan tidak pula ada seorang sahabatpun yang melakukan demikian. Seandainya masalah membaca al-Qur-an dipemakaman dan menghadiahkan pahala bacaannya baik, semestinya merekalah yang lebih dulu mengerjakan perbuatan yang baik itu.Tentang bab amal-amal Qurbah (amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah) hanya dibolehkan berdasarkan nash (dalil / contoh) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh memakai qiyas atau pendapat".
(Periksa tafsir Ibni Katsir [IV/272], cet. Darus Salam dan Ahkaamul Janaa-iz [hal. 220] cet. Maktabah Al-Ma’arif).

Apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dari imam asy-Syafi’i itu merupakan pendapat sebagian besar ulama dan juga pendapatnya imam Hanafi, sebagaimana dinukil oleh az-Zubaidi dalam Syarah Ihya’ ‘Ulumuddin [X/369].(Lihat Ahkaamul Janaa-iz [hal. 220-221], cet. Maktabah al-Ma’arif th. 1412 H).

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman tentang al-Qur-an:

“Supaya ia (al-Qur-an) memberi peringatan kepada orang yang hidup…”
(QS. Yaasiin : 70)

"Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur-an ataukah hati mereka terkunci".
(QS. Muhammad : 24)

Yang wajib juga diperhatikan oleh seorang muslim adalah, tidak boleh beribadah disisi kubur dengan melakukan shalat, berdo’a, menyembelih binatang, bernadzar atau membaca al-Qur-an dan ibadah lainnya.Tidak ada satupun keterangan yang sah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya bahwa mereka melakukan ibadah disisi kubur. Bahkan, ancaman yang keraslah bagi orang yang beribadah disisi kubur orang yang shalih, apakah dia wali atau Nabi, terlebih lagi dia bukan seorang yang shalih.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam keras terhadap orang yang menjadikan kubur sebagai tempat ibadah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

:ﻟَﻌَﻦَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟْﻴَﻬُﻮْﺩَ ﻭَﺍﻟﻨَّﺼَﺎﺭَﻯ ﺍﺗَّﺨَﺬُﻭْﺍ ﻗُﺒُﻮْﺭَ ﺃَﻧْﺒِﻴَﺎﺋِﻬِﻢْ ﻣَﺴَﺎﺟِﺪَ .

“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani (karena) mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai tempat ibadah".

Tidak ada satu pun kuburan dimuka bumi ini yang mengandung keramat dan barakah, sehingga orang yang sengaja menuju kesana untuk mencari keramat dan barakah, mereka telah jatuh dalam perbuatan bid’ah dan syirik. Dalam Islam, tidak dibenarkan sengaja mengadakan safar (perjalanan) ziarah (dengan tujuan ibadah) ke kubur-kubur tertentu, seperti, kuburan wali, kyai, habib dan lainnya dengan niat mencari keramat dan barakah dan mengadakan ibadah disana. Hal ini dilarang dan tidak dibenarkan dalam Islam, karena perbuatan ini adalah bid’ah dan sarana yang menjurus kepada kesyirikan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

:ﻻَ ﺗُﺸَﺪُّ ﺍﻟﺮِّﺣَﺎﻝُ ﺇِﻻَّ ﺇِﻟَﻰ ﺛَﻼَﺛَﺔِ ﻣَﺴَﺎﺟِﺪَ : ﻣَﺴْﺠِﺪِﻱْ ﻫَﺬَﺍ، ﻭَﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡِ، ﻭَﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ ﺍْﻷَﻗْﺼَﻰ

“Tidak boleh mengadakan safar (perjalanan dengan tujuan beribadah) kecuali ketiga masjid, yaitu mesjidku ini (masjid Nabawi), masjidil Haram dan masjidil Aqsha”.

Adapun adab ziarah kubur, kaum muslimin dianjurkan ziarah ke pemakaman kaum muslimin dengan mengucapkan salam dan mendo’akan agar dosa-dosa mereka diampuni dan diberikan rahmat oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Wallaahu a’lam bish shawab.

MARAJI’
1.Tafsir Ibni Katsir, cet. Daarus Salam, th. 1413 H.
2. Shahih al-Bukhari.
3. Shahih Muslim.
4. Sunan Abi Dawud.
5. Sunan an-Nasaa-i.
6. Sunan Ibni Majah.
7. Musnad Imam Ahmad.
8. Sunanul Kubra’, oleh al-Baihaqy.
9. Al-Mustadrak, oleh Imam al-Hakim.
10. Syu’abul Iman, oleh Imam al-Baihaqy.
11. Dha’if Jami’ush Shaghir, oleh Imam Muhammad Na-shiruddin al-Albany.
12. Misykatul Mashabih, tahqiq: Imam Muhammad Na-shiruddin al-Albany.
13. Al-Kamil fii Dhu’afaa-ir Rijal, oleh Imam Ibnu ‘Ady.
14. Mizaanul I’tidal, oleh Imam adz-Dzahaby, tahqiq: ‘Ali Muhammad al-Bajaawy, cet. Daarul Fikr.
15. Lisanul Mizan, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany.
16. Ahkamul Janaa-iz wa Bida’uha, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany, cet. Maktabah al-Ma’arif.
17. Iqtidha’ Shirathal Mustaqim, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq dan ta’liq: Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql, tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Muhammad Zuhair asy-Syawaisy, cet. Al-Maktab al-Islamy, th. 1403 H.18. Fat-hul Majiid Syarh Kitaabit Tauhiid, oleh Syaikh ‘Ab-durrahman bin Hasan Alu Syaikh, tahqiq: Dr.Walid bin ‘Abdirrahman bin Muhammad Alu Furayyan.

(Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M)

_______

Footnote
Fat-hul Majiid Syarh Kitaabit Tauhiid hal. 18: "Sebab kekufuran anak Adam dan mereka meninggalkan agama mereka adalah karena ghuluw (berlebihan) kepada orang-orang shalih”. Dan bab 19: “Ancaman keras kepada orang yang beribadah kepada Allah disisi kubur orang yang shalih, bagaimana jika ia menyembahnya ??!”. Ditulis oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, wafat th. 1285 H, tahqiq: Dr. Walid bin ‘Abdurrahman bin Muhammad Alu Furayyan.
(HR. Al-Bukhari [no. 435, 1330, 1390, 3453, 4441], Muslim [no. 531] Ahmad [I/218, VI/21, 34, 80, 255], dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha. HR. Al-Bukhari [no. 1189] dan Muslim [no. 1397 (511] dari Abu Hu-rairah Radhiyallahu ‘anhu dan diriwayatkan juga oleh al-Bukhari [no. 1197, 1864, 1995] dan Muslim [no. 827] dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, derajatnya mutawatir. Lihat Irwaa-ul Ghaliil [III/226, no. 773]. Silahkan merujuk kepada kitab Wirid Mengobati Guna-Guna dan Sihir Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah [hal. 97-99.]).

Rabu, 06 Mei 2015

HUKUM FOTO DAN GAMBAR MAKHLUK BERNYAWA DALAM ISLAM


HUKUM MEMAJANG FOTO ATAU GAMBAR.

Dalam hadits muttafaqun ‘alaih di sebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻤَﻼَﺋِﻜَﺔَ ﻻَ ﺗَﺪْﺧُﻞُ ﺑَﻴْﺘًﺎ ﻓِﻴﻪِ ﺻُﻮﺭَﺓٌ

”Para malaikat tidak akan masuk ke rumah yang terdapat gambar di dalamnya (yaitu gambar makhluk hidup bernyawa)”.
(HR. Bukhari no. 3224 dan HR. Muslim no. 2106).

Hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu dia berkata:

ﻧَﻬَﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋَﻦِ ﺍﻟﺼُّﻮَﺭِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺒَﻴْﺖِ ﻭَﻧَﻬَﻰ ﺃَﻥْ ﻳَﺼْﻨَﻊَ ﺫَﻟِﻚَ

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang adanya gambar di dalam rumah dan beliau melarang untuk membuat gambar”.
(HR. Tirmizi no. 1749 dan beliau berkata bahwa hadits ini hasan shahih).

Hadits Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

ﺃَﻥْ ﻻَ ﺗَﺪَﻉْ ﺗِﻤْﺜَﺎﻻً ﺇِﻻَّ ﻃَﻤَﺴْﺘَﻪُ ﻭَﻻَ ﻗَﺒْﺮًﺍ ﻣُﺸْﺮَﻓًﺎ ﺇِﻻَّ ﺳَﻮَّﻳْﺘَﻪُ

“Jangan kamu membiarkan ada gambar kecuali kamu hapus dan tidak pula kubur yang di tinggikan kecuali engkau meratakannya”.
(HR. Muslim no. 969).

Dalam riwayat An-Nasai:

ﻭَﻟَﺎ ﺻُﻮﺭَﺓً ﻓِﻲ ﺑَﻴْﺖٍ ﺇِﻟَّﺎ ﻃَﻤَﺴْﺘَﻬَﺎ

“Dan tidak pula gambar di dalam rumah kecuali kamu hapus”.
(HR. An Nasai no. 2031. Syaikh al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dia berkata:

ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻟَﻤَّﺎ ﺭَﺃَﻯ ﺍﻟﺼُّﻮَﺭَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺒَﻴْﺖِ ﻳَﻌْﻨِﻲ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﺔَ ﻟَﻢْ ﻳَﺪْﺧُﻞْ ﻭَﺃَﻣَﺮَ ﺑِﻬَﺎ ﻓَﻤُﺤِﻴَﺖْ ﻭَﺭَﺃَﻯ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢَ ﻭَﺇِﺳْﻤَﺎﻋِﻴﻞَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻤَﺎ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡ ﺑِﺄَﻳْﺪِﻳﻬِﻤَﺎ ﺍﻟْﺄَﺯْﻟَﺎﻡُ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻗَﺎﺗَﻠَﻬُﻢْ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣَﺎ ﺍﺳْﺘَﻘْﺴَﻤَﺎ ﺑِﺎﻟْﺄَﺯْﻟَﺎﻡِ ﻗَﻂُّ

“Bahwa tatkala Nabi melihat gambar di (dinding) Ka’bah, beliau tidak masuk ke dalamnya dan beliau memerintahkan agar semua gambar itu di hapus. Beliau melihat gambar Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihis salam tengah memegang anak panah (untuk mengundi nasib), maka beliau bersabda, “Semoga Allah membinasakan mereka, demi Allah keduanya tidak pernah mengundi nasib dengan anak panah sekalipun“.
(HR. Ahmad 1/365. Kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari dan periwayatnya tsiqoh, termasuk perawi Bukhari Muslim selain ‘Ikrimah yang hanya menjadi periwayat Bukhari).

‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahku sementara saya baru saja menutup rumahku dengan tirai yang padanya terdapat gambar - gambar. Tatkala beliau melihatnya, maka wajah beliau berubah (marah) lalu menarik menarik tirai tersebut sampai putus. Lalu beliau bersabda:

ﺇِﻥَّ ﻣِﻦْ ﺃَﺷَﺪِّ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻋَﺬَﺍﺑًﺎ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺸَﺒِّﻬُﻮﻥَ ﺑِﺨَﻠْﻖِ ﺍﻟﻠَّﻪِ

“Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah mereka yang menyerupakan makhluk Allah”.
(HR. Bukhari no. 5954 dan Muslim no. 2107 dan ini adalah lafazdh Muslim).

Dalam riwayat Muslim di sebutkan:

ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﻧَﺼَﺒَﺖْ ﺳِﺘْﺮًﺍ ﻓِﻴﻪِ ﺗَﺼَﺎﻭِﻳﺮُ ﻓَﺪَﺧَﻞَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓَﻨَﺰَﻋَﻪُ ، ﻗَﺎﻟَﺖْ : ﻓَﻘَﻄَﻌْﺘُﻪُ ﻭِﺳَﺎﺩَﺗَﻴْﻦِ

“Dia ( 'Aisyah Radhiyallahu 'anha ) memasang tirai yang padanya terdapat gambar - gambar, maka Rasulullah masuk lalu mencabutnya. Dia berkata, “Maka saya memotong tirai tersebut lalu saya membuat dua bantal darinya”.

Dari Ali Radhiyallahu anhu, dia berkata. :

ﺻَﻨَﻌْﺖُ ﻃَﻌَﺎﻣًﺎ ﻓَﺪَﻋَﻮْﺕُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓَﺠَﺎﺀَ ﻓَﺪَﺧَﻞَ ﻓَﺮَﺃَﻯ ﺳِﺘْﺮًﺍ ﻓِﻴﻪِ ﺗَﺼَﺎﻭِﻳﺮُ ﻓَﺨَﺮَﺝَ . ﻭَﻗَﺎﻝَ : ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻤَﻼﺋِﻜَﺔَ ﻻ ﺗَﺪْﺧُﻞُ ﺑَﻴْﺘًﺎ ﻓِﻴﻪِ ﺗَﺼَﺎﻭِﻳﺮُ

“Saya membuat makanan lalu mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk datang. Ketika beliau datang dan masuk ke dalam rumah, beliau melihat ada tirai yang bergambar, maka beliau segera keluar seraya bersabda, “Sesungguhnya para malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada gambar - gambar”.
(HR. An-Nasai no. 5351. Syaikh al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dia berkata:

ﺍﺳْﺘَﺄْﺫَﻥَ ﺟِﺒْﺮِﻳﻞُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺴَّﻼﻡ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓَﻘَﺎﻝَ : ‏« ﺍﺩْﺧُﻞْ ‏» . ﻓَﻘَﺎﻝَ : ‏« ﻛَﻴْﻒَ ﺃَﺩْﺧُﻞُ ﻭَﻓِﻲ ﺑَﻴْﺘِﻚَ ﺳِﺘْﺮٌ ﻓِﻴﻪِ ﺗَﺼَﺎﻭِﻳﺮُ ﻓَﺈِﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗُﻘْﻄَﻊَ ﺭُﺅﻭﺳُﻬَﺎ ﺃَﻭْ ﺗُﺠْﻌَﻞَ ﺑِﺴَﺎﻃًﺎ ﻳُﻮﻃَﺄُ ﻓَﺈِﻧَّﺎ ﻣَﻌْﺸَﺮَ ﺍﻟْﻤَﻼﺋِﻜَﺔِ ﻻ ﻧَﺪْﺧُﻞُ ﺑَﻴْﺘًﺎ ﻓِﻴﻪِ ﺗَﺼَﺎﻭِﻳﺮُ

“Jibril ‘alaihis salam meminta izin kepada Nabi maka Nabi bersabda, “Masuklah.” Lalu Jibril menjawab, “Bagaimana saya mau masuk sementara di dalam rumahmu ada tirai yang bergambar. Sebaiknya kamu
menghilangkan bagian kepala - kepalanya atau kamu menjadikannya sebagai alas yang di pakai berbaring, karena kami para malaikat tidak masuk rumah yang di dalamnya terdapat gambar - gambar”.
(HR. An-Nasai no. 5365. Syaikh al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

KESIMPULAN:

Hukum memajang foto atau gambar baik itu foto anak, saudara, pahlawan, ulama, kyai, wali, orang tua dan hewan yang di pajang  dalam rumah, di bingkai, di dinding rumah, dinding sekolah, dinding mesjid atau di tempat - tempat lainya adalah "HARAM".

Demikian semoga bermanfaat

Sabtu, 02 Mei 2015

HADITS - HADITS PALSU TENTANG KE UTAMAAN SHALAT DAN PUASA DI BULAN RAJAB

HADITS - HADITS PALSU TENTANG KEUTAMAAN SHALAT DAN PUASA DI BULAN RAJAB

Oleh:
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Apabila kita memperhatikan hari-hari, pekan-pekan, bulan-bulan, sepanjang tahun serta malam dan siangnya, niscaya kita akan mendapatkan bahwa Allah Yang Maha Bijaksana mengistimewakan sebagian dari sebagian lainnya dengan keistimewaan dan keutamaan tertentu. Ada bulan yang dipandang lebih utama dari bulan lainnya, misalnya bulan Ramadhan dengan kewajiban puasa pada siangnya dan sunnah menambah ibadah pada malamnya. Di antara bulan-bulan itu ada pula yang dipilih sebagai bulan haram atau bulan yang dihormati, dan diharamkan berperang pada bulan-bulan itu.

Allah juga mengkhususkan hari Jum’at dalam sepekan untuk berkumpul shalat Jum’at dan mendengarkan khutbah yang berisi peringatan dan nasehat.

Ibnul Qayyim menerangkan dalam kitabnya, Zaadul Ma’aad, bahwa Jum’at mempunyai lebih dari tiga puluh keutamaan, kendatipun demikian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengkhususkan ibadah pada malam Jum’at atau puasa pada hari Jum’at, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَخُصُّوْا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِيْ، وَلاَ تَخُصُّوْا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اْلأَياَّمِ، إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ فِيْ صَوْمٍ يَصُوْمُهُ أَحَدُكُمْ.

"Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at untuk beribadah dari malam - malam yang lain dan jangan pula kalian mengkhususkan puasa pada hari Jum’at dari hari-hari yang lainnya, kecuali bila bertepatan (hari Jum’at itu) dengan puasa yang biasa kalian berpuasa padanya”.
(HR. Muslim no. 1144 [148] dan Ibnu Hibban [no. 3603], lihat Silsilatul Ahaadits ash-Shahihah [no. 980]).

Allah Yang Mahabijaksana telah mengutamakan sebagian waktu malam dan siang dengan menjanjikan terkabulnya do’a dan terpenuhinya permintaan. Demikian Allah mengutamakan tiga generasi pertama sesudah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka di anggap sebagai generasi terbaik apabila di bandingkan dengan generasi berikutnya sampai hari Kiamat. Ada beberapa tempat dan masjid yang di utamakan oleh Allah di bandingkan tempat dan masjid lainnya. Semua hal tersebut kita ketahui berdasarkan hadits - hadits yang shahih dan contoh yang benar.

Adapun tentang bulan Rajab, keutamaannya dalam masalah shalat dan puasa padanya di banding dengan bulan - bulan yang lainnya, semua haditsnya sangat lemah dan palsu. Oleh karena itu tidak boleh seorang Muslim mengutamakan dan melakukan ibadah yang khusus pada bulan Rajab.

Di bawah ini akan di paparkan beberapa hadits - hadits palsu tentang keutamaan shalat dan puasa di bulan Rajab.

HADITS PERTAMA

رَجَبٌ شَهْرُ اللهِ وَشَعْبَانُ شَهْرِيْ وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِيْ.

“Rajab bulan Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadhan adalah bulan ummatku".

Keterangan: Hadits ini (مَوْضُوْعٌ) Maudhu’ (palsu).

Kata Syaikh ash-Shaghani [wafat th. 650 H]: “Hadits ini maudhu’.”
(Lihat Maudhu’atush Shaghani [I/61, no. 129]).

Hadits tersebut mempunyai matan yang panjang, lanjutan hadits itu ada lafazdh:

لاَ تَغْفُلُوْا عَنْ أَوَّلِ جُمُعَةٍ مِنْ رَجَبٍ فَإِنَّهَا لَيْلَةٌ تُسَمِّيْهَا الْمَلاَئِكَةُ الرَّغَائِبَ...

“Janganlah kalian lalai dari (beribadah) pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab, karena malam itu Malaikat menamakannya Raghaa-ib...”

Keterangan: Hadits ini (مَوْضُوْعٌ) Maudhu’ (palsu).

Kata Ibnul Qayyim [wafat th. 751 H]: “Hadits ini di riwayatkan oleh ‘Abdur Rahman bin Mandah dari Ibnu Jahdham, telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Muhammad bin Sa’id al-Bashry, telah menceritakan kepada kami Khalaf bin ‘Abdullah as-Shan’any, dari Humaid ath-Thawil dari Anas, secara marfu’.
(Al-Manaarul Muniif fish Shahih wadh Dha’if [no. 168-169]).

Kata Ibnul Jauzi [wafat th. 597 H]: “Hadits ini palsu dan yang tertuduh memalsukannya adalah Ibnu Jahdham, mereka menuduh sebagai pendusta. Aku telah mendengar Syaikhku Abdul Wahhab al-Hafizh berkata: “Rawi-rawi hadits tersebut adalah rawi-rawi yang majhul (tidak dikenal), aku sudah periksa semua kitab, tetapi aku tidak dapati biografi hidup mereka”.
(Al-Maudhu’at [II/125], oleh Ibnul Jauzy)

Imam adz-Dzahaby berkata: “ ’Ali bin ‘Abdullah bin Jahdham az-Zahudi, Abul Hasan Syaikhush Shuufiyyah pengarang kitab Bahjatul Asraar di tuduh memalsukan hadits”.

Kata para ulama lainnya: “Dia di tuduh membuat hadits palsu tentang shalat ar-Raghaa-ib”.
(Periksa: Mizaanul I’tidal [III/142-143, no. 5879]).

HADITS KEDUA

فَضْلُ شَهْرِ رَجَبٍ عَلَى الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ الْقُرْآنِ عَلَى سَائِرِ الْكَلاَمِ وَفَضْلُ شَهْرِ شَعْبَانَ كَفَضْلِي عَلىَ سَائِرِ الأَنْبِيَاءِ، وَفَضْلُ شَهْرِ رَمَضَانَ عَلَى الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ اللهِ عَلَى سَائِرِ العِبَادِ.

“Keutamaan bulan Rajab atas bulan-bulan lainnya seperti keutamaan Al-Qur-an atas semua perkataan, keutamaan bulan Sya’ban seperti keutamaanku atas para Nabi, dan keutamaan bulan Ramadhan seperti keutamaan Allah atas semua hamba”.

Keterangan: Hadits ini (مَوْضُوْعٌ) Maudhu’ (palsu).

Kata al Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany: “Hadits ini palsu”.
(Lihat al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Haditsil Maudhu’ [no. 206, hal. 128], oleh Syaikh Ali al-Qary al-Makky [wafat th. 1014 H] ).

HADITS KETIGA:

مَنْ صَلَّى الْمَغْرِبَ أَوَّلَ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبٍ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا عِشْرِيْنَ رَكْعَةٍ يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدُ مَرَّةً، وَيُسَلِّمُ فِيْهِنَّ عَشْرَ تَسْلِيْمَاتٍ، أَتَدْرُوْنَ مَا ثَوَابُهُ ؟ فَإِنَّ الرُّوْحَ اْلأَمِيْنَ جِبْرِيْلُ عَلَّمَنِيْ ذَلِكَ. قُلْنَا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ: حَفِظَهُ اللَّهُ فِيْ نَفْسِهِ وَمَالِهِ وَأَهْلِهِ وَوَلَدِهِ وَأُجِيْرَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَجَازَ عَلَى الصِّرَاطِ كَالْبَرْقِ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ.

“Barang siapa shalat Maghrib di malam pertama bulan Rajab, kemudian shalat sesudahnya dua puluh raka’at, setiap raka’at membaca al-Fatihah dan al-Ikhlash serta salam sepuluh kali. Kalian tahu ganjarannya ? Sesungguhnya Jibril mengajarkan kepadaku demikian.” Kami berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui, dan berkata: ‘Allah akan pelihara dirinya, hartanya, keluarga dan anaknya serta di selamatkan dari adzab Qubur dan ia akan melewati as-Shirath seperti kilat tanpa di hisab, dan tidak disiksa".

Keterangan: Hadits ini (مَوْضُوْعٌ) Maudhu’ (palsu).

Kata Ibnul Jauzi: “Hadits ini palsu dan kebanyakan rawi-rawinya adalah majhul (tidak dikenal biografinya)”.
(Lihat al-Maudhu’at Ibnul Jauzy [II/123], al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaadits Maudhu’at oleh as-Syaukany [no. 144] dan Tanziihus Syari’ah al-Marfu’ah ‘anil Akhbaaris Syanii’ah al-Maudhu’at [II/89], oleh Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Araaq al-Kinani [wafat th. 963 H] ).

HADITS KE EMPAT

مَنْ صَامَ يَوْماً مِنْ رَجَبٍٍ وَصَلَّى فِيْهِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ يَقْرَأُ فِيْ أَوَّلِ رَكْعَةٍ مِائَةَ مَرَّةٍِ آيَةَ الْكُرْسِيِّ وَ فِي الرَّكَعَةِ الثَّانِيَةِ مِائَةَ مَرَّةٍِ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد, لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَرَى مَقْعَدَهُ مِنَ الْجَنَّةِ أَوْ يُرَى لَهُ.

“Barang siapa puasa satu hari di bulan Rajab dan shalat empat raka’at, di raka’at pertama baca ‘ayat Kursiy’ seratus kali dan di raka’at kedua baca ‘surat al-Ikhlas’ seratus kali, maka dia tidak mati hingga melihat tempatnya di Surga atau di perlihatkan kepadanya (sebelum ia mati)".

Keterangan: Hadits ini (مَوْضُوْعٌ) Maudhu’ (palsu).

Kata Ibnul Jauzy: “Hadits ini palsu, dan rawi-rawinya majhul serta seorang perawi yang bernama ‘Utsman bin ‘Atha’ adalah perawi matruk menurut para Ahli Hadits.”
(Al-Maudhu’at [II/123-124] ).

Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany, ‘Utsman bin ‘Atha’ adalah rawi yang lemah.
(Lihat Taqriibut Tahdziib [I/663 no. 4518] ).

HADITS KE LIMA

مَنْ صَامَ يَوْماً مِنْ رَجَبٍ عَدَلَ صِيَامَ شَهْرٍ.

“Barang siapa puasa satu hari di bulan Rajab (ganjarannya) sama dengan berpuasa satu bulan”.

Keterangan: Hadits ini (ضَعِيْفٌ جِدًّا) Dha'iffun jiddan (sangat lemah).

Hadits ini di riwayatkan oleh al-Hafizh dari Abu Dzarr secara marfu’. Dalam sanad hadits ini ada perawi yang bernama al-Furaat bin as-Saa-ib, dia adalah seorang rawi yang matruk.
(Lihat al-Fawaa-id al-Majmu’ah [no. 290] ).

Kata Imam an-Nasa-i: “Furaat bin as-Saa-ib Matrukul hadits.” Dan kata Imam al-Bukhari dalam Tarikhul Kabir: “Para Ahli Hadits meninggalkannya, karena dia seorang rawi munkarul hadits, serta dia termasuk rawi yang matruk kata Imam ad-Daraquthni”.
(Lihat adh-Dhu’afa wa Matrukin oleh Imam an-Nasa-i [no. 512], al-Jarh wat Ta’dil [VII/80], Mizaanul I’tidal [III/341] dan Lisaanul Mizaan [IV/430] ).

HADITS KE ENAM

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ نَهْراً يُقَالُ لَهُ رَجَبٌ مَاؤُهُ أَشَدُّ بَيَاضاً مِنَ اللَّبَنِ، وَأَحْلَى مِنَ العَسَلِ، مَنْ صَامَ مِنْ رَجَبٍ يَوْماً وَاحِداً سَقَاهُ اللهُ مِنْ ذَلِكَ النَّهْرِ.

“Sesungguhnya di Surga ada sungai yang di namakan ‘Rajab’ airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu, barang siapa yang puasa satu hari pada bulan Rajab maka Allah akan memberikan minum kepadanya dari air sungai itu”.

Keterangan: Hadits ini (بَاطِلٌ) Bathil.

Hadits ini di riwayatkan oleh ad-Dailamy [I/2/281] dan al-Ashbahany di dalam kitab at-Targhib [I-II/224] dari jalan Mansyur bin Yazid al-Asadiy telah menceritakan kepada kami Musa bin ‘Imran, ia berkata: “Aku mendengar Anas bin Malik berkata, ...”

Imam adz-Dzahaby berkata:
“Mansyur bin Yazid al-Asadiy meriwayatkan darinya, Muhammad al-Mughirah tentang keutamaan bulan Rajab. Mansyur bin Yazid adalah rawi yang tidak di kenal dan khabar (hadits) ini adalah bathil.”
(Lihat Mizaanul I’tidal [IV/ 189] ).

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata: “Musa bin ‘Imraan adalah majhul dan aku tidak mengenalnya”.
(Lihat Silsilah Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah [no. 1898] ).

HADITS KE TUJUH

مَنْ صَامَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ رَجَبَ كُتِبَ لَهُ صِيَامُ شَهْرٍ وَمَنْ صَامَ سَبْعَةَ أَيَّامٍ مِنْ رَجَبَ أَغْلَقَ اللهُ عَنْهُ سَبْعَةَ أَبْوَابٍ مِنَ النَّارِ وَمَنْ صَامَ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ مِنْ رَجَبٍ فَتَحَ اللهُ ثَمَانِيَةَ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ، وَمَنْ صَامَ نِصْفَ رَجَبَ حَاسَبَهُ اللهُ حِسَاباً يَسِيْراً.

“Barang siapa berpuasa tiga hari pada bulan Rajab, di tuliskan baginya (ganjaran) puasa satu bulan, barang siapa berpuasa tujuh hari pada bulan Rajab, maka Allah tutupkan baginya tujuh buah pintu api Neraka, barang siapa yang berpuasa delapan hari pada bulan Rajab, maka Allah membukakan baginya delapan buah pintu dari pintu-pintu Surga. Dan barangsiapa puasa nishfu (setengah bulan) Rajab, maka Allah akan menghisabnya dengan hisab yang mudah”.

Keterangan: Hadits ini (مَوْضُوْعٌ) Maudhu' (palsu).

Hadits ini termaktub dalam kitab al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaadits al-Maudhu’ah [no. 288]. Setelah membawakan hadits ini asy-Syaukani berkata: “Suyuthi membawakan hadits ini dalam kitabnya, al-Laaliy al-Mashnu’ah, ia berkata: ‘Hadits ini di riwayatkan dari jalan Amr bin al-Azhar dari Abaan dari Anas secara marfu' ’'.

Dalam sanad hadits tersebut ada dua perawi yang sangat lemah:

1. ‘Amr bin al-Azhar al-‘Ataky.

Imam an-Nasa-i berkata:
“Dia Matrukul Hadits”.

Sedangkan kata Imam al-Bukhari:
“Dia dituduh sebagai pendusta”.

Kata Imam Ahmad:
“Dia sering memalsukan hadits”.

(Periksa, adh-Dhu’afa wal Matrukin [no. 478] oleh Imam an-Nasa-i, Mizaanul I’tidal [III/245-246], al-Jarh wat Ta’dil [VI/221] dan Lisaanul Mizaan [IV/353] ).

2. Abaan bin Abi ‘Ayyasy, seorang Tabi’in shaghiir.

Imam Ahmad dan an-Nasa-i berkata:
“Dia Matrukul Hadits [di tinggalkan haditsnya]”.

Kata Yahya bin Ma’in:
“Dia matruk”. Dan beliau pernah berkata: “Dia rawi yang lemah”.

(Periksa: Adh Dhu’afa wal Matrukin [no. 21], Mizaanul I’tidal [I/10], al-Jarh wat Ta’dil [II/295], Taqriibut Tahdzib [I/51, no. 142] ).

Hadits ini di riwayatkan juga oleh Abu Syaikh dari jalan Ibnu ‘Ulwan dari  Abaan. Kata Imam as-Suyuthi: “Ibnu ‘Ulwan adalah pemalsu hadits”.
(Lihat al-Fawaaidul Majmu’ah [hal. 102, no. 288] )

Sebenarnya masih banyak lagi hadits-hadits tentang keutamaan Rajab, shalat Raghaa-ib dan puasa Rajab, akan tetapi karena semuanya sangat lemah dan palsu, penulis mencukupkan tujuh hadits saja.

Penjelasan Para Ulama Tentang Masalah Rajab :

1. Imam Ibnul Jauzy menerangkan bahwa hadits-hadits tentang Rajab, Raghaa-ib adalah palsu dan rawi-rawi majhul.
(Lihat al-Maudhu’at [II/123-126] ).

2. Kata Imam an-Nawawy:
“Shalat Raghaa-ib ini adalah satu bid’ah yang tercela, munkar dan jelek”.
(Lihat as-Sunan wal Mubtada’at [hal. 140] ).

Kemudian Syaikh Muhammad Abdus Salam Khiidhir, penulis kitab as-Sunan wal Mubtada’at berkata: “Ketahuilah setiap hadits yang menerangkan shalat di awal Rajab, pertengahan atau di akhir Rajab, semuanya tidak bisa di terima dan tidak boleh diamalkan”.
(Lihat as-Sunan wal Mubtada’at [hal. 141] ).

3. Kata Syaikh Muhammad Darwiisy al-Huut:
“Tidak satupun hadits yang sah tentang bulan Rajab sebagai-mana kata Imam Ibnu Rajab”.
(Lihat Asnal Mathaalib [hal. 157] ).

4. Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah [wafat th. 728 H]: “Adapun shalat Raghaa-ib, tidak ada asalnya [dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam], bahkan termasuk bid’ah.... Atsar yang menyatakan [tentang shalat itu] dusta dan palsu menurut kesepakatan para ulama dan tidak pernah sama sekali di sebutkan [dikerjakan] oleh seorang ulama Salaf dan para Imam...”

Selanjutnya beliau berkata lagi: “Shalat Raghaa-ib adalah BID’AH menurut kesepakatan para Imam, tidak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh melaksanakan shalat itu, tidak pula di sunnahkan oleh para khalifah sesudah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula seorang Imam pun yang menyunnahkan shalat ini, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, Imam ats-Tsaury, Imam al-Auzaiy, Imam Laits dan selain mereka.

Hadits-hadits yang di riwayatkan tentang itu adalah dusta menurut Ijma’ para Ahli Hadits. Demikian juga shalat malam pertama bulan Rajab, malam Isra’, Alfiah nishfu Sya’ban, shalat Ahad, Senin dan shalat hari-hari tertentu dalam satu pekan, meskipun di sebutkan oleh sebagian penulis, tapi tidak di ragukan lagi oleh orang yang mengerti hadits - hadits tentang hal tersebut, semuanya adalah hadits palsu dan tidak ada seorang Imam pun (yang terkemuka) menyunnahkan shalat ini... Wallahu a’lam”.
(Lihat Majmu’ Fataawa [XXIII/132, 134] ).

5. Kata Ibnu Qayyim al-Jauziyyah:
“Semua hadits tentang shalat Raghaa-ib pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab adalah dusta yang di-ada - adakan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan semua hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada beberapa malamnya semuanya adalah dusta (palsu) yang diada-adakan”.
(Lihat al-Manaarul Muniif fish Shahiih wadh Dha’iif [hal. 95-97, no. 167-172] ) oleh Ibnul Qayyim, tahqiq: ‘Abdul Fattah Abu Ghaddah.

6. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan dalam kitabnya, Tabyiinul ‘Ajab bima Warada fii Fadhli Rajab: “Tidak ada riwayat yang sah yang menerangkan tentang ke utamaan bulan Rajab dan tidak pula tentang puasa khusus di bulan Rajab, serta tidak ada pula hadits yang shahih yang dapat di pegang sebagai hujjah tentang shalat malam khusus di bulan Rajab”.

7. Imam al-‘Iraqy yang mengoreksi hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Ihya’ ‘Uluumuddin, menerangkan bahwa hadits tentang puasa dan shalat Raghaa-ib adalah hadits maudhu’ (palsu). (Lihat Ihya’ ‘Uluumuddin [I/202] ).

8. Imam asy-Syaukani menukil perkataan ‘Ali bin Ibrahim al-‘Aththaar, ia berkata dalam risalahnya: “Sesungguhnya riwayat tentang keutamaan puasa Rajab, semuanya adalah palsu dan lemah, tidak ada asalnya (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)”. (Lihat al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaaditsil Maudhu’ah [hal. 381] ).

9. Syaikh Abdus Salam, penulis kitab as-Sunan wal Mubtada’at menyatakan: “Bahwa membaca kisah tentang Isra’ dan Mi’raj dan merayakannya pada malam tanggal dua puluh tujuh Rajab adalah BID’AH. Berdzikir dan mengadakan peribadahan tertentu untuk merayakan Isra’ dan Mi’raj adalah BID’AH, do’a-do’a yang khusus di baca pada bulan Rajab dan Sya’ban semuanya tidak ada sumber (asal pengambilannya) dan BID’AH, sekiranya yang demikian itu perbuatan baik, niscaya para Salafush Shalih sudah melaksanakannya”.
(Lihat as-Sunan wal Mubtada’at [hal. 143] ).

10. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz, ketua Dewan Buhuts ‘Ilmiyyah, Fatwa, Da’wah dan Irsyad, Saudi Arabia, beliau berkata dalam kitabnya, at-Tahdzir minal Bida’ [hal. 8]: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya tidak pernah mengadakan upacara Isra’ dan Mi’raj dan tidak pula mengkhususkan suatu ibadah apapun pada malam tersebut. Jika peringatan malam tersebut di syar’iatkan, pasti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada ummat, baik melalui ucapan maupun perbuatan. Jika pernah di lakukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti di ketahui dan masyhur, dan tentunya akan di sampaikan oleh para Shahabat kepada kita...

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling banyak memberi nasihat kepada manusia, beliau telah menyampaikan risalah ke Rasulannya sebaik-baik penyampaian dan telah menjalankan amanah Allah dengan sempurna.

Oleh karena itu, jika upacara peringatan malam Isra’ dan Mi’raj dan merayakan itu dari agama Allah, tentunya tidak akan di lupakan dan di sembunyikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi karena hal itu tidak ada, maka jelaslah bahwa upacara tersebut bukan dari ajaran Islam sama sekali. Allah telah menyempurnakan agama-Nya bagi ummat ini, mencukupkan nikmat-Nya dan Allah mengingkari siapa saja yang berani mengada - adakan sesuatu yang baru dalam agama, karena cara tersebut tidak di benarkan oleh Allah:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam jadi agama bagimu”.
(QS. Al-Maa-idah: 3).

KHATIMAH

Orang yang mempunyai bashirah dan mau mendengarkan nasehat yang baik, dia akan berusaha meninggalkan segala bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِيْ النَّارِ.

“Tiap - tiap bid’ah itu sesat dan tiap-tiap kesesatan di Neraka.".
(HR. An-Nasa-i [III/189] dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Sunan an-Nasa-i [I/346 no. 1487] dan Misykatul Mashaabih [I/51] ).

Para ulama, ustadz, kyai yang masih membawakan hadits - hadits yang lemah dan palsu, maka mereka di golongkan sebagai pendusta. Sebagaimana yang di sebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَنْ سَمْرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ حَدَّثَ عَنِّيْ حَدِيْثاً وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ.

"Dari Samurah bin Jundub dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menceritakan satu hadits dariku, padahal dia tahu bahwa hadits itu dusta, maka dia termasuk salah seorang dari dua pendusta”.
(HSR. Ahmad [V/20], Muslim [I/7] dan Ibnu Majah [no. 39] ).

Maraji’
1. Shahih al-Bukhari.
2. Shahih Muslim.
3. Sunan an-Nasaa-i.
4. Sunan Ibni Majah.
5. Musnad Imam Ahmad.
6. Shahih Ibni Hibban.
7. Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, cet. Mu-assasah ar-Risalah, th. 1412 H.
8. Maudhu’atush Shaghani.
9. Al-Manaarul Muniif fish Shahih wadh Dha’if, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
10. Al-Maudhu’at, oleh Imam Ibnul Jauzy, cet. Daarul Fikr, th. 1403 H.
11. Mizaanul I’tidal, oleh Imam adz-Dzahaby, tahqiq: ‘Ali Muhammad al-Bajaawy, cet. Daarul Fikr.
12. Al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Haditsil Maudhu’, oleh Syaikh Ali al-Qary al-Makky.
13. Al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaadits Maudhu’at oleh asy-Syaukany, tahqiq: Syaikh ‘Abdurrahman al-Mu’allimy, cet. Al-Maktab al-Islamy, th. 1407 H.
14. Tanziihus Syari’ah al-Marfu’ah ‘anil Akhbaaris Syanii’ah al-Maudhu’at, oleh Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Araaq al-Kinani.
15. Taqriibut Tahdziib, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqa-lany, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah.
16. Adh-Dhu’afa wa Matrukin, oleh Imam an-Nasa-i.
17. At-Taghib wat Tarhib, oleh Imam al-Mundziri.
18. Silsilah Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
19. Al-Laali al-Mashnu’ah, oleh al-Hafizh as-Suyuthy.
20. Adh-Dhu’afa wal Matrukin, oleh Imam an-Nasa-i.
21. Al-Jarhu wat Ta’dil, oleh Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razy.
22. As-Sunan wal Mubtada’at, oleh Muhammad Abdus Salam Khiidhir.
23. Asnal Mathaalib fii Ahaadits Mukhtalifatil Maraatib, oleh Muhammad Darwisy al-Huut.
24. Majmu’ Fataawa, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
25. Al-Manaarul Muniif fis Shahih wadh Dha’if, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
26. Tabyiinul ‘Ajab bimaa Warada fiii Fadhli Rajab, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany.
27. Ihya’ ‘Uluumuddin, oleh Imam al-Ghazzaly, tahqiq: Abdul Fattah Abu Ghuddah.
28. At-Tahdziir minal Bida’, oleh Imam ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz.
29. Misykaatul Mashaabih, oleh Imam at-Tibrizy, takhrij: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.

(Di salin dari kitab Ar-Rasaail [Kumpulan Risalah Fikih dan HukuM] Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Jl. Meranti No. 11A Senen Kemayoran - Jakarta Pusat. Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M).
_______
Footnote
[1]. Zaadul Ma’aad [I/375] cet. Muassasah ar-Risalah.

 

© COPYLEFT almanhaj.or.id ( http://almanhaj.or.id/content/1523/slash/0/hadits-hadits-palsu-tentang-keutamaan-shalat-dan-puasa-di-bulan-rajab/)
Seluruh artikel dan tulisan di situs almanhaj.or.id dapat di sebarluaskan, dengan mencantumkan sumbernya dan tetap menjaga ke ilmiahan

KHUTBAHTUL HAJAH LENGKAP

MANHAJ SALAF

kHUTBATUL HAJAH LENGKAP

KALIMAT PEMBUKA DALAM SETIAP MAJELIS, CERAMAH, DAKWAH, RAPAT, SEMINAR, NIKAHAN ATAU PERKUMPULAN LAINNYA YANG SESUAI SUNNAH RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM.

Di sunnahkan membuka majelis dengan khutbatul hajah dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam senantiasa membacanya setiap akan khuthbah, ceramah, baik pada pernikahan, muhadharah (ceramah) ataupun pertemuan, dan sunnah ini pun di lanjutkan oleh sahabat-sahabat lainnya.
(Lihat: Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah).

Berikut Muqadimah lengkap Khutbah Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪَ ﻟِﻠَّﻪِ ﻧَﺤْﻤَﺪُﻩُ ﻭَﻧَﺴْﺘَﻌِﻴْﻨُﻪُ ﻭَﻧَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُﻩْ ﻭَﻧَﻌُﻮﺫُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻣِﻦْ ﺷُﺮُﻭْﺭِ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻨَﺎ ﻭَﻣِﻦْ ﺳَﻴِّﺌَﺎﺕِ ﺃَﻋْﻤَﺎﻟِﻨَﺎ، ﻣَﻦْ ﻳَﻬْﺪِﻩِ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓَﻼَ ﻣُﻀِﻞَّ ﻟَﻪُ ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻀْﻠِﻞْ ﻓَﻼَ ﻫَﺎﺩِﻱَ ﻟَﻪُ. ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥَّ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻭَﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥَّ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ ﻋَﺒْﺪُﻩُ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟُﻪُ. ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬﺎَ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﺣَﻖَّ ﺗُﻘَﺎﺗِﻪِ ﻭَﻻَ ﺗَﻤُﻮْﺗُﻦَّ ﺇِﻻَّ ﻭَﺃَﻧﺘُﻢْ ﻣُّﺴْﻠِﻤُﻮْﻥَ. ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺍﺗَّﻘُﻮْﺍ ﺭَﺑَّﻜُﻢُ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺧَﻠَﻘَﻜُﻢْ ﻣِّﻦْ ﻧَﻔْﺲٍ ﻭَﺍﺣِﺪَﺓٍ ﻭَﺧَﻠَﻖَ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺯَﻭْﺟَﻬَﺎ ﻭَﺑَﺚَّ ﻣِﻨْﻬُﻤَﺎ ﺭِﺟَﺎﻻً ﻛَﺜِﻴْﺮًﺍ ﻭَﻧِﺴَﺂﺀً ﻭَﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺗَﺴَﺂﺀَﻟُﻮْﻥَ ﺑِﻪِ ﻭَﺍْﻷَﺭْﺣَﺎﻡَ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺭَﻗِﻴْﺒًﺎ. ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﻗُﻮْﻟُﻮْﺍ ﻗَﻮْﻻً ﺳَﺪِﻳْﺪًﺍ. ﻳُﺼْﻠِﺢْ ﻟَﻜُﻢْ ﺃَﻋْﻤَﺎﻟَﻜُﻢْ ﻭَﻳَﻐْﻔِﺮْ ﻟَﻜُﻢْ ﺫُﻧُﻮْﺑَﻜُﻢْ ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻄِﻊِ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟَﻪُ ﻓَﻘَﺪْ ﻓَﺎﺯَ ﻓَﻮْﺯًﺍ ﻋَﻈِﻴْﻤًﺎ.   ﺃَﻣَّﺎ ﺑَﻌْﺪُ؛ ﻓَﺈِﻥَّ ﺃَﺻْﺪَﻕَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳْﺚِ ﻛِﺘَﺎﺏُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺧَﻴْﺮَ ﺍﻟْﻬَﺪﻱِ ﻫَﺪْﻱُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺻَﻞَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ، ﻭَﺷَﺮَّ ﺍﻷُﻣُﻮْﺭِ ﻣُﺤَﺪَﺛَﺎﺗُﻬَﺎ، ﻭَﻛُﻞَّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟﺔٍ ﻭَﻛُﻞَّ ﺿَﻼَﻟَﺔٍ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ.

(Lihat: khutbatul haajah, shahih di riwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam oleh Nasa'i [III/104], Ibnu Majah [I/352/1110], Abu Dawud [III,460/1090]. Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah hal. 144-145).

Di riwayatkan pula oleh Tirmidzi, ketika Nabi di tanya tentang do’a tersebut, beliau menjawab, untuk melunturkan dosa selama di majelis.

Rincian lafadznya:

ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪَ ﻟِﻠَّﻪِ ﻧَﺤْﻤَﺪُﻩُ ﻭَﻧَﺴْﺘَﻌِﻴْﻨُﻪُ ﻭَﻧَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُﻩْ ﻭَﻧَﻌُﻮﺫُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻣِﻦْ ﺷُﺮُﻭْﺭِ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻨَﺎ ﻭَﻣِﻦْ ﺳَﻴِّﺌَﺎﺕِ ﺃَﻋْﻤَﺎﻟِﻨَﺎ، ﻣَﻦْ ﻳَﻬْﺪِﻩِ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓَﻼَ ﻣُﻀِﻞَّ ﻟَﻪُ ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻀْﻠِﻞْ ﻓَﻼَ ﻫَﺎﺩِﻱَ ﻟَﻪُ. ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥَّ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻭَﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥَّ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ ﻋَﺒْﺪُﻩُ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟُﻪُ.

Innalhamdalillahi nahmaduhu wanasta’iinuhu wanastaghfiruhu Wana’udzubiillah minsyurruri ‘anfusinaa waminsayyi’ati ‘amaalinnaa Manyahdihillah falah mudhillalah Wa man yudh lil falaa haadiyalah Wa asyhadu allaa ilaaha illallaah wahdahu laa syariikalah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh.

 ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬﺎَ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﺣَﻖَّ ﺗُﻘَﺎﺗِﻪِ ﻭَﻻَ ﺗَﻤُﻮْﺗُﻦَّ ﺇِﻻَّ ﻭَﺃَﻧﺘُﻢْ ﻣُّﺴْﻠِﻤُﻮْﻥَ.

Ya ayyuhal-ladzina 'amanuttaqullaha haqqa tuqatihi wala tamutunna illa wa antum muslimun.
(QS. Ali 'Imran : 102)

 ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺍﺗَّﻘُﻮْﺍ ﺭَﺑَّﻜُﻢُ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺧَﻠَﻘَﻜُﻢْ ﻣِّﻦْ ﻧَﻔْﺲٍ ﻭَﺍﺣِﺪَﺓٍ ﻭَﺧَﻠَﻖَ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺯَﻭْﺟَﻬَﺎ ﻭَﺑَﺚَّ ﻣِﻨْﻬُﻤَﺎ ﺭِﺟَﺎﻻً ﻛَﺜِﻴْﺮًﺍ ﻭَﻧِﺴَﺂﺀً ﻭَﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺗَﺴَﺂﺀَﻟُﻮْﻥَ ﺑِﻪِ ﻭَﺍْﻷَﺭْﺣَﺎﻡَ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺭَﻗِﻴْﺒً

Yaa ayyuhannaasut taquuw rabbakumullazhiy khalaqakum min nafsiwwaahidatiw wa khalaqa minhaa zawjahaa wa bastyam minhumaa rijaalan kasthiyraw wa nisaa-'aa wat-taqullaahal-la dzhiy tasaa-aluuna bihii wal arhaam innallaaha kaana ‘alaykum raqiybaa.
(QS. An-Nisaa’ : 1)

ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﻗُﻮْﻟُﻮْﺍ ﻗَﻮْﻻً ﺳَﺪِﻳْﺪًﺍ. ﻳُﺼْﻠِﺢْ ﻟَﻜُﻢْ ﺃَﻋْﻤَﺎﻟَﻜُﻢْ ﻭَﻳَﻐْﻔِﺮْ ﻟَﻜُﻢْ ﺫُﻧُﻮْﺑَﻜُﻢْ ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻄِﻊِ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟَﻪُ ﻓَﻘَﺪْ ﻓَﺎﺯَ ﻓَﻮْﺯًﺍ ﻋَﻈِﻴْﻤًﺎ.  

Ya ayyuhalladziina 'amanuu ittaquullaha waquuwluu qawlan sadiiydan. Yuslih lakum a'malukum wayaghfirlakum dzunuuwbakum waman yuti'i-llaha warosuulahu faqod faza fawzan 'adzhiiyma.
(QS. Al-Ahzaab : 70-71)

ﺃَﻣَّﺎ ﺑَﻌْﺪُ؛ ﻓَﺈِﻥَّ ﺃَﺻْﺪَﻕَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳْﺚِ ﻛِﺘَﺎﺏُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺧَﻴْﺮَ ﺍﻟْﻬَﺪﻱِ ﻫَﺪْﻱُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺻَﻞَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ، ﻭَﺷَﺮَّ ﺍﻷُﻣُﻮْﺭِ ﻣُﺤَﺪَﺛَﺎﺗُﻬَﺎ، ﻭَﻛُﻞَّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟﺔٍ ﻭَﻛُﻞَّ ﺿَﻼَﻟَﺔٍ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ.

Amma ba'du, Fa inna asdaqol hadiitsi kitaabulloohi wakhoirul hadyii hadyu muhammadin shallallahu 'alaihi wa sallam, wasyarrull umuuri muh da tsaa tuhaa wakulla muh da tsaatin bid'ah wakullah bid'tin dholaalalah, wakullah dhaalaatin fiyn naar.

Artinya:
"Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang kita memuji-Nya, kita memohon pertolongan dan pengampunan dari-Nya, yang kita memohon dari kejelekan jiwa-jiwa kami dan keburukan amal-amal kami. Saya bersaksi bahwasanya tiada Ilah yang Haq untuk di sembah melainkan Ia Subhanahu wa Ta’ala dan tiada sekutu bagi-Nya serta Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah utusan Allah Subhanahu wa ta’ala".

“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan islam”.
(QS. Ali 'Imran : 102).

“Wahai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang menciptakanmu dari satu jiwa dan menciptakan dari satu jiwa ini pasangannya dan memperkembangbiakkan dari keduanya kaum lelaki yang banyak dan kaum wanita. Maka bertaqwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah senantiasa menjaga dan mengawasimu”.
(QS. An-Nisaa’ : 1).

“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar niscaya Ia akan memperbaiki untuk kalian amal-amal kalian, dan akan mengampuni dosa-dosa kalian, dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya maka baginya kemenangan yang besar”.
(QS. Al-Ahzaab : 70-71).

"Adapun selanjutnya sebaik baik perkataan adalah kitabullah (Al Qur'an), sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam (as sunnah) hati-hatilah kalian dengan perkara baru, karena setiap perkara baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka".

DOA PENUTUP MAJELIS YAITU DO'A KAFARATUL MAJELIS.

Subhanakallahumma wabihamdika asyhadualla ilahailla anta astagfiruka wa’atubu ilaik
(HR. Tirmidzi, Shahih).

Artinya:
“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu”.

Keterangan:
Pengantar khutbah hajah di atas di riwayatkan pula dari enam sahabat. Mereka adalah: Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Nubaith bin Syarith, dan Aisyah radhiallahu ‘anhum .

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata:

ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻋﺒﻴﺪﺓ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ ﻗﺎﻝ : ﻋَﻠَّﻤَﻨَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺧُﻄْﺒَﺔَ ﺍﻟْﺤَﺎﺟَﺔِ ‏[ ﻓِﻲْ ﺍﻟﻨِّﻜَﺎﺡِ ﻭَﻏَﻴْﺮِﻩِ ‏] : ﺇﻥَّ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠّﻪِ .… ﺍﻟﺦ

"Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami khutbatul hajah … –sebagaimana lafal diatas– ….”
(HR. Abu Daud, An-Nasa’i, Al-Hakim, Daud Ath-Thayalisi, Imam Ahmad, dan Abu Ya ‘la; dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani).

Keterangan Umum

Pengantar khutbah di atas di sebut sebagai “khutbatul hajah“. Ada yang mengatakan bahwa yang di maksud dengan “hajah” pada hadits ini adalah ‘akad nikah’, karena pada acara inilah, umumnya seseorang membaca khutbatul hajah, yang umumnya tidak di baca pada kesempatan yang lain.

Hanya saja, yang zahir, hadits ini bersifat umum untuk semua hajat dan kepentingan, baik kepentingan akad nikah maupun lainnya. Karena itu, selayaknya seseorang menggunakan pengantar khutbah ini untuk menyampaikan kepentingannya dan semua rencana hidupnya. Demikian keterangan dari Imam Muhammad As-Sindi dalam Hasyiyah (catatan kaki) untuk Sunan Nasa’i, 3:105.

Setelah mengutip pendapat di atas, Syekh Al-Albani Rahimahullah memberi komentar:

“Pemaknaan ini (‘hajah’ di maknai dengan ‘nikah’) adalah pemaknaan yang lemah, bahkan keliru, karena adanya riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikannya selain saat akad nikah”.
(Lihat: Khutbatul Hajah, hal. 31)

khotbahjumat.com/mukaddimah-khutbah-jumat/