Bahasa Arab dasar dan Kaidah Penulisan Transliterasi Arab dan beberapa tuntunan lafazd/ucapan kalimat thoyyiba sehari-hari
Terima kasih = syukran (شكرًا )
Sama sama atau maaf sekali (Tergantung kondisi) = afwan ( عفواً )
Jika ingin meminta maaf cukup katakan Afwan tidak perlu ditambahkan Jiddan, Karena arti afwan itu sendiri Maaf sekali, sehingga menjadi tidak efektif jika ditambah Jiddan
Saya minta maaf = aseef, asiif ( آسف )
Baiklah = khair, hasanan ( حسناً )*
Mungkin = rubbama (ربما )/yumkin
Awas ! = intabih ( انتبِه )*
Berhati hatilah = ihzar ( احذر )
Jangan lupa = la tansa' ( لا تنسىٰ )
Samiinatun = gemuk ( سمين )
Tawiilun = panjang ( طويل )
Qasirun = pendek ( قصير )
Khofiidhun = rendah ( خفيض )
Nahiifun = kurus ( نحيف)
Yaum = hari ( يوم)
Usbu' = minggu ( أسبوع)
Syahr = bulan ( شهر)
Sanah = tahun ( سنة)
Ucapan dalam bahasa Arab
Selamat malam = laila sa'idah ( ليلة سعيدة)
Sobahul khair = selamat pagi ( صباح الخير)
Ucapan balas sobahul khair = sobahannur ( صباح النور)
Semoga berjaya = bitaufiq wannajah ( بالتوفيق والنجاح)
Salam ukhuwah = salam perkenalan ( سلام اخوة)
Jazaakallahu khairan = semoga Allah membalas jasa kebaikanmu ( جزاك الله خيرا)
Naharun sa'idah = selamat siang
Azhoma allahu ajrak = semoga Allah memuliakan amalan kamu ( عظّم الله أجرك)
Uhibbuki - saya sayang kamu (perempuan) ( أحبكِ)
Uhibbuka- saya sayang kamu (lelaki) ( أحبكَ)
Ganti nama/personal pronouns
Aku/saya = ana ( أنا)
Kamu (lelaki) = anta ( أنتَ)
Kamu (perempuan) = anti ( أنتِ)
Dia (lelaki -seorang ) = huwa ( هُوَ)
Dia (perempuan-seorang) = hiya ( هِيَ)
Dia (lelaki/perempuan = dua orang) = huma ( هماَ)
Dia (lelaki -3 dan keatas) = hum ( هُمْ)
Dia (perempuan-3 dan keatas) = hunna ( هنَّ)
Kami = nahnu ( نحنُ )
Kalian (ramai) = antum ( أنتم)
Mereka = hum ( هُمْ)
Cantik = jamiilah ( جميلة)
Jelek = qabih ( قبيح )
Bersih = nadziifun ( نظيف)
Malas = kaslaan ( كسلان)
Ata'allamu = saya belajar ( أتعلم)
a'kulu = saya makan ( أاكل )
Asyrobu = saya minum ( أشرب)
Aqrou = saya membaca ( أقرا)
Aktubu = saya menulis ( أكتب)
Atakallamu = saya berbicara ( أتكلم)
Amsiku = saya memegang ( أمسك)
A'malu = saya mengerjakan ( أعمل)
Albasu = saya memakai ( ألبس)
Toriiqon = jalan ( طريق)
Baytun = rumah ( بيت)
Mirsamun = pensil ( مِرسم )
Qolamun = pulpen ( قلم )
Mimsahatun = penghapus ( ممسحة)
Mishbaahun = lampu ( مصباح)
Sabbuurotun = papan tulis ( سبورة)
Kaifahaluka = apa khabar (lelaki) ( كيف حالكَ)
Kaifahaluki = apa khabar (girl) ( كيف حالكِ)
Askunufi = saya tinggal di ( أسكن في)
Umri = umur saya ( عمري )
Masmuki ? = Siapa namamu (untuk perempuan) ( ما اسمكِ)
Masmuka ? = Siapa namamu (untuk laki2) ( ما اسمكَ)
Ana tilmiidzatun = saya seorang murid (untuk perempuan) ( انا تلميذة)
Ana tilmiidzun = saya seorang murid (untuk laki-laki) ( انا تلميذ)
Ahlam Saiidah = semoga mimpi indah ( احلام سعيدة)
Syafaakallaahu = semoga Allah menyembuhkan kamu ( شفاك الله)
Ukhwahfillah = Persahabatan Karena Allah ( اخوة في الله)
Ukhtin, ukh = Kakak @ Saudara Perempuan ( اخت)
Akhun, Akhuna, akh = Abang @ Saudara Lelaki ( أخ)
Zauj = Suami @ Pasangan (L) ( زوج)
Zaujah = Isteri @ Pasangan (P) ( زوجة)
Asiif Jiddan = Saya minta maaf sangat2, maaf banget ( آسف جداً)
Ukhwahfillah Abadan Abada = Persudaraan karena Allah Selama2nya (اخوة في الله أبداً ابدا)
Fa'idza Adzamta fatawakkal'alallah = Setelah kamu berazam maka bertawakallah pada Allah (فإذا عزمت فتوكل على الله)
Inni Akhafullah = Sesungguhnya aku takut kepada Allah (إني أخاف الله)
Maafi Qalbi Ghairullah = Tiada di hatiku selain Allah ( مافي قلبي غير الله)
Lau Samatha = Maafkan saya ( لَو سمحتَ)
Naltaqi Ghadan = Kita jumpa besok ( نلتقي غداً)
Illalliqa' = selamat berjumpa kembali (الى اللقاء)
Syafakallahu = Semoga Allah menyembuhkan kamu (L)(شفاكَ الله)
Syafaakillaahu = Semoga Allah myembuhkan kamu (P) (شفاكِ الله)
Tafaddhol = Silakan (تفضل)
La Aadri/ la 'a'rif = Saya Tak Tahu (لا أدري)
Maa fii Musykilah = tiada masalah (مافي مشكلة)
Jazaakallahu khairan = Semoga Allah membalasmu dengan kbaikan (L) ( جزاكَ الله خيراً كثيراً)*
Jazaakillahu khairan = Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan (P) ( جزاكِ الله خيراً كثيراً)
Jazaakumullahu khairan = Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan (L&P) جزاكمُ الله خيراً كثيراً)
Wa iyyaka (L) = Dan untukmu jua balasan untuk ucapan (وإياك)
Wa iyyaki (P) = dan untukmu jua balasan untuk ucapan (وإ)
KAIDAH PENULISAN TRANSLITERASI ARAB
Berikut ini beberapa kaidah penulisan bahasa Arab dalam tulisan latin Indonesia, Namun, bagaimana pun kembali kepada tulisan Arab aslinya
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Lihat QS Al Kahfi Ayat 39 dan 69,QS Al-Fath ayat 27 dan QS Al-A'la ayat
✅ In Syaa allah
✅ Insyaa Allah
❌ In Shaa Allah
❌ Inshaallah
❌ Insyaallah
In Shaa Allah* untuk pengucapan literasi org barat.
✅ Maa Syaa allah
✅ Maasyaaallah
✅ Masyaaallah
❌ Mashaallah
❌ Masyaallah
Catatan, Maa syaa allah diucapkan manakala kita melihat suatu keindahan atau ketakjuban akan sesuatu
Sedangkan Subhanallah diucapkan manakala kita melihat suatu keburukan atau kejelekan atau kedzaliman dapat juga untuk hal positif
Sedangkan Baarakaallahu fiikum, Atau baarakaallahu Fiihaa diucapkan manakala kita melihat saudara kita memiliki barang bagus atau indah
✅ Jazaakallahu
✅ Jazaakumullahu
✅ Jazaakillahu
❌ Jazakallahu
❌ Jazakillahu
❌ Jazakumullahu
Jazaakallahu + khairan, khoiran, khoyr, khoyr, khoyran.
Catatan : tidak perlu ditambahkan Katsiron karena Khairan sudah memiliki arti kebaikan yang luas, jika ditambahkan akan membuatnya menjadi tidak efektif dan efisien.
✅ Afwan = Artinya Bisa maaf, tergantung kondisi, bisa sama-sama
❌ Afwan Jiddan
✅ Asiif = Maaf
❌ Asiif Jiddan
Tafaddhol = Silahkan
✅ Silahturrahim
❌ Silahturahmi
✅ Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh
✅ Assalamu'alaikum warahmatullah
✅ Assalamu'alaikum
❌ Assl
❌ Ass
❌ Aslml
❌ Samlekum
❌ Assall
✅ Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh
✅ Wa'alaikumussalam warahmatullah
✅ Wa'alaikumussalam
❌ Wa'alakumsalam
❌ Waalakumsalam
❌ Kumsalam
Catatan jika alif lam dihilangkan maka kalimat tersebut akan menjadi UNDEFINITIF, TIDAK BISA DIARTIKAN
Jika alif lamnya tdk dihilangkan maka kalimat tersebut DEFINITIF, BISA DIARTIKAN
✅ Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh
✅ Wassalamu'alaikum warahmatullah
✅ Wassalamu'alaikum
❌ Wassalmlkm
❌ Wassalam
❌ Kumsam
Jika saudaramu mengucapkan, Jazaakallahu khairan
Jawablah
Wa jazaakallahu khairan atau boleh juga
Wa Anta Fa Jazaakallahu khairan akh
Jika saudaramu mengucapkan,
Jazaakillahu khairan
Jawablah
Wa Jazaakillahu khairan atau boleh juga Wa anti fa jazaakillahu khairan ukht
Jika saudaramu mengucapkan,
Syukron
Jawablah
Wa Iyyak, wa iyyakum, wa iyyaka
✅ Aamiin
❌ Amin
❌ Amiin
Aamiin + (Nama Asmaul Husna), Ya Mujibas Saa-ilin, Aamiin allahumma aamiin, Aamiin Ya Rabb, Aamiin Ya Allah.
✅ Baarakaallahu fiikum
✅ Baarakaallahu Fiihaa
✅ Baarakaallahu fiik
Maka balaslah dengan mengucapkan Wa baarakaallahu Fiikum atau boleh juga wa fiikaa baarakaallah
✅ Rahimahullah
❌ Almarhum/Almarhumah
Catatan, karena belum tentu ketika kita wafat kelak kita akan diberi azab atau rahmat oleh Allah Azza wa Jalla, jadi panggillah dengan sebutan Rahimahullah
✅ Husnul Khatimah
❌ Chusnul Khatimah
Wallahu a'lam bish-shawaab,_
والله أعلم بالصواب
Baarakallahu fiik
بَارَكَ اللَّهُ فِيْك
Sekian
Minggu, 29 April 2018
Sabtu, 28 April 2018
ISTILAH ARAB YANG SERING DI PAKAI
الله مستعان
Allahul musta’an = hanya ALLAH-lah tempat kita minta tolong
بارك الله فيك / الله يبارك فيك
Barakallah fikum / Allahu yubarikfik = semoga ALLAH memberi kalian berkah
وأنت كذلك
Wa anta kadzalik = begitu jg antum
Hafizhanallah = semoga ALLAH menjaga kita
هدانا الله
Hadaanallah = semoga ALLAH memberikan kita petunjuk/hidayah.
الله يهديك
Allahu yahdik = semoga Allah memberimu petunjuk/hidayah
'ala rohatik = 'ala kaifik = terserah anda...
- antunna = kunn = kalian prempuan
- huwa = hu = dia laki2
- hiya = ha = dia perempuan
- Akhi fillah = saudaraku seiman (kepada Allah)
- Allahu yahdik = Semoga Allah memberimu petunjuk
- Hadaanallah = semoga ALLAH memberikan kita petunjuk
- Allahul musta'an = hanya ALLAH lah tempat kita minta tolong
- Wa iyyak/kum = sama2
- Wa anta kadzaalik = begitu juga antum
Kata “أَمَّا بَعْدُ” sering kita dengarkan setiap kali seseorang menyampaikan pengantar khotbah. Bisa juga diungkapkan dengan: “وَبَعْدُ” . Keduanya bermakna sama, yaitu: “adapun selanjutnya”.
Muqoddimah 1:
الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ لله وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ، أَمَّا بَعْدُ
Artinya:
Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam tercurah untuk Rasulullah, para keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang tunduk lagi taat kepada beliau. Amma ba’du ….
Mukadimah 2:
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ أَشْرَفِ الـمُرْسَلِينَ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْـمَـعِينَ، أَمَّا بَعْدُ
Artinya:
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Salawat dan salam tercurah untuk seorang utusan yang paling mulia, keluarganya, dan semua sahabatnya …. Amma ba’du ….
Mukadimah 3:
الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ أَشْرَفِ الأَنْبِيَاءِ وَالـمُرْسَلِينَ وَعَلىَ آلِهِ وَأَصَحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ اِلَى يَومِ الدِّينِ، أَمَّا بَعْدُ
Artinya:
Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga tercurah untuk seorang nabi dan rasul yang paling mulia, keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat. Amma ba’du ….
HUKUM TAMBAHAN KATA “HABIBUNAA” DALAM SHOLAWAT ?
HUKUM TAMBAHAN KATA “HABIBUNAA” DALAM SHOLAWAT ?
By : Ustadz Ammi Nur Baits -
Tambahan Kata Habibunaa dalam Shalawat
PERTANYAAN
Bolehkah menambahkan habibinaa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalawat…?
JAWAB :
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Sebelumnya kita akan mengenal istilah khalil [الخليل]. Ada beberapa tingkatan kedekatan antara seseorang dengan yang lainnya. Diantaranya adalah derajat al-Mahabbah [المحبة] dan al-Khullah [الخلة]. Orang yang berada di derajat al-Mahabbah disebut Habib, sementara orang yang berada di derajat al-Khullah disebut al-Khalil. Mungkin jika kita terjemahkan ke bahasa kita, al-Habib bisa diartikan kekasih, sementara al-Khalil diartikan kesayangan.
Antara Habib dan Khalil, Mana yang Lebih Dekat ?
Terdapat beberapa dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dilarang memiliki Khalil selain Allah, sementara beliau boleh memiliki Habib di kalangan manusia. Berikut diantara dalilnya,
[1] Dari Jundab radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
“Aku mendengar, lima hari sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau pernah berpesan,
إِنِّى أَبْرَأُ إِلَى اللَّهِ أَنْ يَكُونَ لِى مِنْكُمْ خَلِيلٌ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِى خَلِيلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِى خَلِيلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلاً
“Sungguh aku menyatakan kesetiaanku kepada Allah dengan menolak bahwa aku mempunyai seorang khalil di antara kalian, karena sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil sebagaimana Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil. Seandainya aku boleh menjadikan seorang khalil dari umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil.”
(HR. Muslim 1216 & Ibnu Majah 146).
Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh menjadikan manusia siapapun sebagai khalilnya, sampaipun orang yang terdekat, yaitu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu.
[2] Dari Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيْكَ
“Ya Rasulullah, siapakah manusia yang paling anda cintai ?”
“Aisyah.” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Dari kalangan lelaki ?” Tanya Amr.
“Ayahnya.” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(HR. Turmudzi 4260, Ibnu Hibban 7107 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Hadits ini menegaskan bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam boleh memiliki habib (kekasih) dari kalangan shahabatnya.
Hadits-hadits ini menjadi dalil pendapat sebagian ulama bahwa khalil lebih istimewa dibandingkan habib. Karena itulah, hanya ada 2 manusia yang diangkat oleh Allah sebagai khalilnya, Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad ‘alaihis shalatu was sallam.
Allah ta'ala berfirman,
وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
“Dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil.”
(QS. An-Nisa: 125).
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِى خَلِيلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil sebagaimana Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil.”
(HR. Muslim 1216 & Ibnu Majah 146)
Keterangan ini menguatkan kesimpulan bahwa khalil lebih istimewa dibandingkan habib. (Raudhatul Muhibbin, hlm. 49)
Karena itulah, dulu para shahabat menyebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan khalil, dan bukan habib. Diantaranya,
[1] Pernyataan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu,
أَوْصَانِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم-: لاَ تَشْرَبِ الْخَمْرَ فَإِنَّهَا مِفْتَاحُ كُلِّ شَرٍّ
Khalilku (Nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepadaku, “Jangan minum khamr, karena ini kunci semua kejahatan.”
(HR. Ibnu Majah 3496 dan dishahihkan al-Albani)
[2] Pernyataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
“Khalilku berwasiat kepadaku dengan 3 hal, agar jangan sampai aku tinggalkan sampai mati, ‘Puasa 3 hari tiap bulan…’
(HR. Bukhari 1178)
[3] Pernyataan Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu,
أَوْصَانِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَسْمَعَ وَأُطِيعَ
“Khalilku berpesan kepadaku, agar aku mendengar dan mentaati pemerintah…”
(HR. Ibnu Majah 2972 dan dishahihkan al-Albani).
Menyebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai habib kita, dibolehkan. Hanya saja, jika anda ingin memposisikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang lebih istimewa lagi, sebutlah beliau dengan khalil.
Beberapa redaksi bacaan shalawat, seperti berikut ini,
اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا وَحَبِيبِنَا مُـحَمَّدٍ
Ya Allah, berikanlah shalawat dan salam untuk Nabi kita dan Habib kita Muhammad
Bisa kita ganti dengan yang lebih sempurna,
اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا وَخَلِيلِنَا مُحَمَّدٍ
Ya Allah, berikanlah shalawat dan salam untuk Nabi kita dan Kholil kita Muhammad
Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
By : Ustadz Ammi Nur Baits -
Tambahan Kata Habibunaa dalam Shalawat
PERTANYAAN
Bolehkah menambahkan habibinaa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalawat…?
JAWAB :
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Sebelumnya kita akan mengenal istilah khalil [الخليل]. Ada beberapa tingkatan kedekatan antara seseorang dengan yang lainnya. Diantaranya adalah derajat al-Mahabbah [المحبة] dan al-Khullah [الخلة]. Orang yang berada di derajat al-Mahabbah disebut Habib, sementara orang yang berada di derajat al-Khullah disebut al-Khalil. Mungkin jika kita terjemahkan ke bahasa kita, al-Habib bisa diartikan kekasih, sementara al-Khalil diartikan kesayangan.
Antara Habib dan Khalil, Mana yang Lebih Dekat ?
Terdapat beberapa dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dilarang memiliki Khalil selain Allah, sementara beliau boleh memiliki Habib di kalangan manusia. Berikut diantara dalilnya,
[1] Dari Jundab radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
“Aku mendengar, lima hari sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau pernah berpesan,
إِنِّى أَبْرَأُ إِلَى اللَّهِ أَنْ يَكُونَ لِى مِنْكُمْ خَلِيلٌ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِى خَلِيلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِى خَلِيلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلاً
“Sungguh aku menyatakan kesetiaanku kepada Allah dengan menolak bahwa aku mempunyai seorang khalil di antara kalian, karena sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil sebagaimana Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil. Seandainya aku boleh menjadikan seorang khalil dari umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil.”
(HR. Muslim 1216 & Ibnu Majah 146).
Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh menjadikan manusia siapapun sebagai khalilnya, sampaipun orang yang terdekat, yaitu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu.
[2] Dari Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيْكَ
“Ya Rasulullah, siapakah manusia yang paling anda cintai ?”
“Aisyah.” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Dari kalangan lelaki ?” Tanya Amr.
“Ayahnya.” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(HR. Turmudzi 4260, Ibnu Hibban 7107 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Hadits ini menegaskan bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam boleh memiliki habib (kekasih) dari kalangan shahabatnya.
Hadits-hadits ini menjadi dalil pendapat sebagian ulama bahwa khalil lebih istimewa dibandingkan habib. Karena itulah, hanya ada 2 manusia yang diangkat oleh Allah sebagai khalilnya, Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad ‘alaihis shalatu was sallam.
Allah ta'ala berfirman,
وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
“Dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil.”
(QS. An-Nisa: 125).
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِى خَلِيلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil sebagaimana Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil.”
(HR. Muslim 1216 & Ibnu Majah 146)
Keterangan ini menguatkan kesimpulan bahwa khalil lebih istimewa dibandingkan habib. (Raudhatul Muhibbin, hlm. 49)
Karena itulah, dulu para shahabat menyebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan khalil, dan bukan habib. Diantaranya,
[1] Pernyataan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu,
أَوْصَانِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم-: لاَ تَشْرَبِ الْخَمْرَ فَإِنَّهَا مِفْتَاحُ كُلِّ شَرٍّ
Khalilku (Nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepadaku, “Jangan minum khamr, karena ini kunci semua kejahatan.”
(HR. Ibnu Majah 3496 dan dishahihkan al-Albani)
[2] Pernyataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
“Khalilku berwasiat kepadaku dengan 3 hal, agar jangan sampai aku tinggalkan sampai mati, ‘Puasa 3 hari tiap bulan…’
(HR. Bukhari 1178)
[3] Pernyataan Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu,
أَوْصَانِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَسْمَعَ وَأُطِيعَ
“Khalilku berpesan kepadaku, agar aku mendengar dan mentaati pemerintah…”
(HR. Ibnu Majah 2972 dan dishahihkan al-Albani).
Menyebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai habib kita, dibolehkan. Hanya saja, jika anda ingin memposisikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang lebih istimewa lagi, sebutlah beliau dengan khalil.
Beberapa redaksi bacaan shalawat, seperti berikut ini,
اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا وَحَبِيبِنَا مُـحَمَّدٍ
Ya Allah, berikanlah shalawat dan salam untuk Nabi kita dan Habib kita Muhammad
Bisa kita ganti dengan yang lebih sempurna,
اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا وَخَلِيلِنَا مُحَمَّدٍ
Ya Allah, berikanlah shalawat dan salam untuk Nabi kita dan Kholil kita Muhammad
Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
CARA MEMBANGUNKAN SAHUR YANG BENAR
CARA MEMBANGUNKAN SAHUR YANG BENAR
By : Ustadz Ammi Nur Baits -
Aneka Acara Sahur
PERTANYAAN :
Assalaamu’alaikum, Ustadz, bagaimana hukum memutar kaset muratal Al-Qur'an atau lagu-lagu religi di pengeras suara masjid sekitar pukul 02.00 sampai masuk waktu Shubuh, dengan tujuan membangunkan orang-orang untuk sahur ?
Mohon disertakan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan hadits yang shahih, serta perkataan para ulama.
Terima kasih
Jazakumullah khairan
JAWAB ::
Wa’alaikumussalam, Bismillah was shalatu was salam ‘ala rasulillah.
Cara membangunkan orang untuk sahur atau shalat Tahajud yang dilakukan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan demikian. Bukan dengan teriak-teriak ngundang orang: Sahuuuurr!!!, sahuuuurrr!!, atau menabuh kentongan, atau menyalakan murattal di masjid, atau bahkan lagu ‘religi’ nan penuh musik, yang justru mengotori masjid. Bukan demikian cara yang tepat. Justru ini semua akan sangat mengganggu orang yang shalat malam atau orang yang sedang istirahat.
Bagaimana dengan bacaan Alquran ? Bukankah ini satu hal yang baik ?
Benar, bacaan Al-Qur'an adalah satu hal yang baik, namun bukankah ketika Al-Qur'an diperdengarkan kita disyari'atkan untuk mendengarkannya ? Allah ta'ala berfirman:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Apabila dibacakan Al-Qur'an, perhatikanlah dan diamlah, agar kalian diberi rahmat.”
(QS. Al-A’raf: 204).
Apa yang bisa anda bayangkan ketika diperdengarkan Al-Qur'an kemudian malah ditinggal tidur ? Bukankah hal yang bijak, ketika kita tidak memaksa masyarakat untuk bangun demi mendengarkan Al-Qur'an ?
Hal ini pernah terjadi dizaman shahabat, mereka Tahajud dengan mengeraskan bacaan Al-Qur'an. Kemudian dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ini mengganggu.
BAGAIMANA CARA YANG BENAR ?
Cara yang benar adalah dengan adzan awal.
Adzan dimasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diwaktu pagi ada :
1. Adzan awal. Dilakukan sebelum terbit Fajar shodiq oleh Bilal bin Rabah.
2. Adzan Shubuh. Dilakukan setelah terbit Fajar Shubuh oleh shahabat Abdullah bin Ummi Maktum.
Jarak antara adzan Bilal dan Ibnu Ummi Maktum tidak terlalu jauh. Karena itu, para shahabat yang mengakhirkan makan sahur masih bisa menjumpai adzannya Bilal.
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ لِيُنَبِّهَ نَائِمَكُمْ وَيُرْجِعَ قَائِمَكُمْ
“Sesungguhnya Bilal melakukan adzan di malam hari (sebelum Shubuh), untuk membangunkan orang yang tidur diantara kalian dan orang yang Tahajud bisa kembali istirahat (untuk persiapan Shubuh).”
(HR. Nasai, 2170)
Dalam riwayat yang lain:
لاَ يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ مِنْ سَحُورِهِ
“Jangan sampai adzan Bilal membuat kalian untuk menghentikan makan sahurnya…”
(HR. Bukhari 7247).
Dalam riwayat yang lain :
“إن بلالا يؤذن بليل، فكلوا واشربوا حتى يؤذن ابن أم مكتوم”
“Sesungguhnya Bilal melakukan adzan di malam hari (sebelum Shubuh). Makan dan minumlah kalian, sampai Ibnu Ummi Maktum Adzan.”
(HR. Muslim 1092).
Itulah yang sesuai sunnah. Adzan dua kali menjelang Shubuh dan ketika Shubuh dengan dua orang yang berbeda. Agar orang bisa perhatian dengan sahur atau shalat malam.
Allahu a’lam bish showab
Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
Read more https://konsultasisyariah.com/12903-cara-membangunkan-sahur-yang-benar.html
By : Ustadz Ammi Nur Baits -
Aneka Acara Sahur
PERTANYAAN :
Assalaamu’alaikum, Ustadz, bagaimana hukum memutar kaset muratal Al-Qur'an atau lagu-lagu religi di pengeras suara masjid sekitar pukul 02.00 sampai masuk waktu Shubuh, dengan tujuan membangunkan orang-orang untuk sahur ?
Mohon disertakan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan hadits yang shahih, serta perkataan para ulama.
Terima kasih
Jazakumullah khairan
JAWAB ::
Wa’alaikumussalam, Bismillah was shalatu was salam ‘ala rasulillah.
Cara membangunkan orang untuk sahur atau shalat Tahajud yang dilakukan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan demikian. Bukan dengan teriak-teriak ngundang orang: Sahuuuurr!!!, sahuuuurrr!!, atau menabuh kentongan, atau menyalakan murattal di masjid, atau bahkan lagu ‘religi’ nan penuh musik, yang justru mengotori masjid. Bukan demikian cara yang tepat. Justru ini semua akan sangat mengganggu orang yang shalat malam atau orang yang sedang istirahat.
Bagaimana dengan bacaan Alquran ? Bukankah ini satu hal yang baik ?
Benar, bacaan Al-Qur'an adalah satu hal yang baik, namun bukankah ketika Al-Qur'an diperdengarkan kita disyari'atkan untuk mendengarkannya ? Allah ta'ala berfirman:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Apabila dibacakan Al-Qur'an, perhatikanlah dan diamlah, agar kalian diberi rahmat.”
(QS. Al-A’raf: 204).
Apa yang bisa anda bayangkan ketika diperdengarkan Al-Qur'an kemudian malah ditinggal tidur ? Bukankah hal yang bijak, ketika kita tidak memaksa masyarakat untuk bangun demi mendengarkan Al-Qur'an ?
Hal ini pernah terjadi dizaman shahabat, mereka Tahajud dengan mengeraskan bacaan Al-Qur'an. Kemudian dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ini mengganggu.
BAGAIMANA CARA YANG BENAR ?
Cara yang benar adalah dengan adzan awal.
Adzan dimasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diwaktu pagi ada :
1. Adzan awal. Dilakukan sebelum terbit Fajar shodiq oleh Bilal bin Rabah.
2. Adzan Shubuh. Dilakukan setelah terbit Fajar Shubuh oleh shahabat Abdullah bin Ummi Maktum.
Jarak antara adzan Bilal dan Ibnu Ummi Maktum tidak terlalu jauh. Karena itu, para shahabat yang mengakhirkan makan sahur masih bisa menjumpai adzannya Bilal.
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ لِيُنَبِّهَ نَائِمَكُمْ وَيُرْجِعَ قَائِمَكُمْ
“Sesungguhnya Bilal melakukan adzan di malam hari (sebelum Shubuh), untuk membangunkan orang yang tidur diantara kalian dan orang yang Tahajud bisa kembali istirahat (untuk persiapan Shubuh).”
(HR. Nasai, 2170)
Dalam riwayat yang lain:
لاَ يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ مِنْ سَحُورِهِ
“Jangan sampai adzan Bilal membuat kalian untuk menghentikan makan sahurnya…”
(HR. Bukhari 7247).
Dalam riwayat yang lain :
“إن بلالا يؤذن بليل، فكلوا واشربوا حتى يؤذن ابن أم مكتوم”
“Sesungguhnya Bilal melakukan adzan di malam hari (sebelum Shubuh). Makan dan minumlah kalian, sampai Ibnu Ummi Maktum Adzan.”
(HR. Muslim 1092).
Itulah yang sesuai sunnah. Adzan dua kali menjelang Shubuh dan ketika Shubuh dengan dua orang yang berbeda. Agar orang bisa perhatian dengan sahur atau shalat malam.
Allahu a’lam bish showab
Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
Read more https://konsultasisyariah.com/12903-cara-membangunkan-sahur-yang-benar.html
TERNYATA ISRAEL NAMA NABI YA'QUB ALAIHISSALAM
TERNYATA ISRAEL NAMA NABI YA'QUB ALAIHISSALAM
PERTANYAAN:
Ustadz apa benar Israel nama nabi Yakub Alaihissalam?
JAWAB :
Bismillah, walhamdulillah was sholaatu wassalaam ‘ala Rasuulillah, waba’du.
Nama Israel, beberapa kali disebut dalam Al-Qur'an. Diantaranya adalah pada ayat-ayat berikut,
وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا ﴿٥٧﴾أُولَـٰئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّـهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ مِن ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِن ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا ِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَـٰنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا ۩
"Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi. Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis."
(QS. Maryam : 56-57).
Juga firman Allah ta’ala,
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِّبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَىٰ نَفْسِهِ مِن قَبْلِ أَن تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ ۗ قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
"Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah: “(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar.”
(QS. Ali Imran : 93).
Dan masih banyak lagi ayat dalam Al-Qur'an yang menyebutkan nama Israel.
Lantas siapa Israel yang dimaksud pada ayat-ayat tersebut ?
Mari kita simak penjelasan berikut…
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu pernah berkisah, “Saya pernah hadir di kumpulan orang-orang Yahudi. Lalu Nabi bertanya kepada mereka,
هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّ إِسَرَائِيلَ يَعْقُوب ؟
“Tahukah kalian bahwa Israel adalah nama Ya’qub.?”
Mereka menjawan, “Iya benar..”
Kata Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
اللَّهُمَّ اشْهَدْ
“Ya Allah saksikanlah..”
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ahmad. Imam Tirmidzi menilai hadis ini hasan)
Imam Syaukani rahimahullah menegaskan,
اتفق المفسرون على أنإسرائيل هو يعقوب بن إسحاق بن إبراهيم عليهم السلام، ومعناه عبد الله، لأن “إسر” في لغتهم هو العبد، و”إيل” هو الله، قيل: إن له اسمين، وقيل: إسرائيل لقب له
"Seluruh ahli tafsir sepakat, bahwa Israel adalah Ya’qub bin Ishak bin Ibrahim ‘alaihissalam. Maknanya adalah hamba Allah, karena isra dalam bahasa mereka artinya adalah hamba, dan el artinya Allah.
Ada ulama yang menerangkan, bahwa Nabi Ya’qub memiliki dua nama (yakni : Yaqub dan Israel).
Ada pula yang menjelaskan, Israel adalah julukan untuk beliau.
(Fathul Qadir 1/77, tafsir surat Al-Baqarah ayat 40-42).
Dari sini jelaslah, bahwa ternyata Israel adalah nama Nabi Ya’qub ‘alaihissalam, yang maknanya adalah hamba Allah. Dalam bahasa ummat Islam disebut Abdullah.
Barangkali kemudian muncul pertanyaan, bolehkah menamai anak dengan nama Israel ? Karena kita tahu, ternyata maknanya sangat indah, nama salah seorang Nabi, dan bahkan semakna dengan nama yang paling dicintai Allah, yaitu Abdullah (hamba Allah). Nabi shallallahua’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحَبَّ أَسمَائِكُمْ إِلَى اللَّهِ عَبدُاللَّهِ وَ عَبدُ الرَّحْمَنِ
“Sesungguhnya nama yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.”
(HR. Muslim no. 2132)
Jawabannya, untuk zaman ini, sebaiknya tidak menamai anak dengan Israel. Pertimbangannya adalah, nama ini dikhawatirkan menjadi sebab anak tersebut mendapatkan intimidasi atau aniaya. Mengingat Israel pada saat ini terkenal untuk sebutan negara zionis, yang telah merampas bumi pertiwi saudara kita di Palestina.
Ketika mendengar nama Israel, orang banyak yang tidak memahaminya sebagai nama Nabi Ya'qub alaihissalam, atau bahkan banyak yang tidak tahu. Yang pertama terbetik dalam pikiran kebanyakan orang, ketika mendengar nama Israel adalah negeri zionis, penjajah saudara seiman kita di negeri Palestina.
Seyogyanya para orangtua, memberikan nama-nama yang indah maknanya untuk buah hatinya, dan orang-orang menyukainya.
Penjelasan selengkapnya di: https://islamqa.info/ar/114466
Wallahu a’lam bish showab.
Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori, Lc
Sumber: http://konsultasisyariah.com
PERTANYAAN:
Ustadz apa benar Israel nama nabi Yakub Alaihissalam?
JAWAB :
Bismillah, walhamdulillah was sholaatu wassalaam ‘ala Rasuulillah, waba’du.
Nama Israel, beberapa kali disebut dalam Al-Qur'an. Diantaranya adalah pada ayat-ayat berikut,
وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا ﴿٥٧﴾أُولَـٰئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّـهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ مِن ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِن ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا ِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَـٰنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا ۩
"Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi. Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis."
(QS. Maryam : 56-57).
Juga firman Allah ta’ala,
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِّبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَىٰ نَفْسِهِ مِن قَبْلِ أَن تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ ۗ قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
"Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah: “(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar.”
(QS. Ali Imran : 93).
Dan masih banyak lagi ayat dalam Al-Qur'an yang menyebutkan nama Israel.
Lantas siapa Israel yang dimaksud pada ayat-ayat tersebut ?
Mari kita simak penjelasan berikut…
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu pernah berkisah, “Saya pernah hadir di kumpulan orang-orang Yahudi. Lalu Nabi bertanya kepada mereka,
هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّ إِسَرَائِيلَ يَعْقُوب ؟
“Tahukah kalian bahwa Israel adalah nama Ya’qub.?”
Mereka menjawan, “Iya benar..”
Kata Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
اللَّهُمَّ اشْهَدْ
“Ya Allah saksikanlah..”
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ahmad. Imam Tirmidzi menilai hadis ini hasan)
Imam Syaukani rahimahullah menegaskan,
اتفق المفسرون على أنإسرائيل هو يعقوب بن إسحاق بن إبراهيم عليهم السلام، ومعناه عبد الله، لأن “إسر” في لغتهم هو العبد، و”إيل” هو الله، قيل: إن له اسمين، وقيل: إسرائيل لقب له
"Seluruh ahli tafsir sepakat, bahwa Israel adalah Ya’qub bin Ishak bin Ibrahim ‘alaihissalam. Maknanya adalah hamba Allah, karena isra dalam bahasa mereka artinya adalah hamba, dan el artinya Allah.
Ada ulama yang menerangkan, bahwa Nabi Ya’qub memiliki dua nama (yakni : Yaqub dan Israel).
Ada pula yang menjelaskan, Israel adalah julukan untuk beliau.
(Fathul Qadir 1/77, tafsir surat Al-Baqarah ayat 40-42).
Dari sini jelaslah, bahwa ternyata Israel adalah nama Nabi Ya’qub ‘alaihissalam, yang maknanya adalah hamba Allah. Dalam bahasa ummat Islam disebut Abdullah.
Barangkali kemudian muncul pertanyaan, bolehkah menamai anak dengan nama Israel ? Karena kita tahu, ternyata maknanya sangat indah, nama salah seorang Nabi, dan bahkan semakna dengan nama yang paling dicintai Allah, yaitu Abdullah (hamba Allah). Nabi shallallahua’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحَبَّ أَسمَائِكُمْ إِلَى اللَّهِ عَبدُاللَّهِ وَ عَبدُ الرَّحْمَنِ
“Sesungguhnya nama yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.”
(HR. Muslim no. 2132)
Jawabannya, untuk zaman ini, sebaiknya tidak menamai anak dengan Israel. Pertimbangannya adalah, nama ini dikhawatirkan menjadi sebab anak tersebut mendapatkan intimidasi atau aniaya. Mengingat Israel pada saat ini terkenal untuk sebutan negara zionis, yang telah merampas bumi pertiwi saudara kita di Palestina.
Ketika mendengar nama Israel, orang banyak yang tidak memahaminya sebagai nama Nabi Ya'qub alaihissalam, atau bahkan banyak yang tidak tahu. Yang pertama terbetik dalam pikiran kebanyakan orang, ketika mendengar nama Israel adalah negeri zionis, penjajah saudara seiman kita di negeri Palestina.
Seyogyanya para orangtua, memberikan nama-nama yang indah maknanya untuk buah hatinya, dan orang-orang menyukainya.
Penjelasan selengkapnya di: https://islamqa.info/ar/114466
Wallahu a’lam bish showab.
Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori, Lc
Sumber: http://konsultasisyariah.com
Jumat, 27 April 2018
BANGUN KESIANGAN, BOLEHKAH SHOLAT SUNNAH QOBLIYAH DI QODHO ?
BANGUN KESIANGAN, BOLEHKAH SHOLAT SUNNAH FAJAR DI QODHO ?
PERTANYAAN :
Bolehkan kita melakukan shalat qoblia Shubuh setelah shalat Shubuh ?
Jawab :
Bismillah. Washolaatu was Salam ‘ala Rasulillah, wa ba’d.
Sholat sunnah Fajar memiliki keutamaan yang besar. Dalam hadits diterangkan bahwa pahala sholat ini lebih baik daripada dunia seisinya. Wajar bila seorang muslim merasa rugi bila terluputkan dari dua rakaat ini.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Dua raka’at Fajar (sholat qobliyah Shubuh) itu lebih baik dari dunia dan seisinya.”
(HR. Muslim, dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha).
Namun tidak perlu berkecil hati saat terlewat melakukannya sebelum sholat Shubuh. Karena masih ada kesempatan untuk melakukan shalat sunnah Fajar meskipun telah lewat dari waktu asalnya (yakni, sebelum shalat Shubuh setelah terbit Fajar shodiq).
Bagi yang tidak bisa melakukan sholat sunnah Fajar sebelum Shubuh, maka bisa meng-qodho’nya pada dua waktu berikut :
[1] Setelah melakukan sholat Shubuh.
[2] Setelah terbit matahari.
Sebagaimana keterangan dalam hadits berikut :
Dari Muhammad bin Ibrahim, dari kekeknya yang bernama Qois beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar (dari rumah beliau) lalu iqamah dikumandangkan. Akupun melakukan shalat Shubuh bersama beliau. Setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlalu dan mendapatiku sedang shalat. Beliau lantas bersabda,
َ مَهْلًا يَا قَيْسُ أَصَلَاتَانِ مَعًا ؟
“Tunggu ya Qois ! Apakah kamu mengerjakan dua shalat bersama kami ?”
Aku lalu menjawab, “Aku belum mengerjakan dua rakaat sebelum Fajar ya Rasulullah.”
Lalu beliau bersabda,
فَلَا إِذَنْ
“Kalau begitu silahkan.”
(HR. Tirmidzi ).
Hadits ini menerangkan bolehnya meng-qodho’ sholat sunnah Fajar setelah melakukan sholat Shubuh. Seperti yang dilakukan oleh shahabat Qois, dan Nabi mempersilakan beliau.
Kemudian hadits lain yang menerangkan boleh meng-qodho’nya setelah terbit Fajar adalah berikut.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
نام عن ركعتي الفجر فقضاهما بعد ما طلعت الشمس
“Siapa yg tertidur dari melakukan dua raka’at Fajar, maka hendaklah ia meng-qodo’ nya setelah terbit matahari.” (HR. Ibnu Majah, dinilai shahih oleh Syaikh Albani).
Namun yang lebih afdol ditunda sampai terbit matahari. Karena meng-qodho’nya setelah terbit matahari berdasarkan pada perintah langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Adapun melakukannya setelah sholat Shubuh, hanya berdasar pada persetujuan (taqrir) beliau (sebagaimana keterangan dalam dua hadits di atas). Sementara dalil yang bersumber dari perintah langsung dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lebih kuat daripada yang hanya berisi persetujuan beliau.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menfatwakan,
إذا لم يتيسر للمسلم أداء سنة الفجر قبل الصلاة ، فإنه يخير بين أدائها بعد الصلاة أو تأجيلها إلى ما بعد ارتفاع الشمس ، لأن السنة قد ثبتت عن النبي صلى الله عليه وسلم بالأمرين جميعا، لكن تأجيلها أفضل إلى ما بعد ارتفاع الشمس لأمر النبي صلى الله عليه وسلم بذلك ، أما فعلها بعد الصلاة فقد ثبت من تقريره عليه الصلاة والسلام ما يدل على ذلك.
“Bila seorang muslim terluputkan dari melakukan sunnah Fajar sebelum sholat Shubuh, maka dia boleh melakukannya setelah setelah sholat atau menundanya sampai terbit matahari. Dua pilihan ini ada dalilnya dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Akan tetapi menundanya sampai terbit matahari itu lebih afdol. Berdasarkan pada perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk melakukannya pada waktu tersebut. Adapun melakukannya setelah sholat Shubuh, itu berdasarkan persetujuan beliau ‘alaisshalatu wa sallam.”
(Majmu’ Fatawa, Ibnu Baz 11/373).
Wallahu a'lam bish showab.
Madinah An Nabawiyah, 12 Rajab 1437 H
Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshari, Lc
https://konsultasisyariah.com/27692-qadha-shalat-sunah-fajar-setelah-sholat-subuh.html
PERTANYAAN :
Bolehkan kita melakukan shalat qoblia Shubuh setelah shalat Shubuh ?
Jawab :
Bismillah. Washolaatu was Salam ‘ala Rasulillah, wa ba’d.
Sholat sunnah Fajar memiliki keutamaan yang besar. Dalam hadits diterangkan bahwa pahala sholat ini lebih baik daripada dunia seisinya. Wajar bila seorang muslim merasa rugi bila terluputkan dari dua rakaat ini.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Dua raka’at Fajar (sholat qobliyah Shubuh) itu lebih baik dari dunia dan seisinya.”
(HR. Muslim, dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha).
Namun tidak perlu berkecil hati saat terlewat melakukannya sebelum sholat Shubuh. Karena masih ada kesempatan untuk melakukan shalat sunnah Fajar meskipun telah lewat dari waktu asalnya (yakni, sebelum shalat Shubuh setelah terbit Fajar shodiq).
Bagi yang tidak bisa melakukan sholat sunnah Fajar sebelum Shubuh, maka bisa meng-qodho’nya pada dua waktu berikut :
[1] Setelah melakukan sholat Shubuh.
[2] Setelah terbit matahari.
Sebagaimana keterangan dalam hadits berikut :
Dari Muhammad bin Ibrahim, dari kekeknya yang bernama Qois beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar (dari rumah beliau) lalu iqamah dikumandangkan. Akupun melakukan shalat Shubuh bersama beliau. Setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlalu dan mendapatiku sedang shalat. Beliau lantas bersabda,
َ مَهْلًا يَا قَيْسُ أَصَلَاتَانِ مَعًا ؟
“Tunggu ya Qois ! Apakah kamu mengerjakan dua shalat bersama kami ?”
Aku lalu menjawab, “Aku belum mengerjakan dua rakaat sebelum Fajar ya Rasulullah.”
Lalu beliau bersabda,
فَلَا إِذَنْ
“Kalau begitu silahkan.”
(HR. Tirmidzi ).
Hadits ini menerangkan bolehnya meng-qodho’ sholat sunnah Fajar setelah melakukan sholat Shubuh. Seperti yang dilakukan oleh shahabat Qois, dan Nabi mempersilakan beliau.
Kemudian hadits lain yang menerangkan boleh meng-qodho’nya setelah terbit Fajar adalah berikut.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
نام عن ركعتي الفجر فقضاهما بعد ما طلعت الشمس
“Siapa yg tertidur dari melakukan dua raka’at Fajar, maka hendaklah ia meng-qodo’ nya setelah terbit matahari.” (HR. Ibnu Majah, dinilai shahih oleh Syaikh Albani).
Namun yang lebih afdol ditunda sampai terbit matahari. Karena meng-qodho’nya setelah terbit matahari berdasarkan pada perintah langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Adapun melakukannya setelah sholat Shubuh, hanya berdasar pada persetujuan (taqrir) beliau (sebagaimana keterangan dalam dua hadits di atas). Sementara dalil yang bersumber dari perintah langsung dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lebih kuat daripada yang hanya berisi persetujuan beliau.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menfatwakan,
إذا لم يتيسر للمسلم أداء سنة الفجر قبل الصلاة ، فإنه يخير بين أدائها بعد الصلاة أو تأجيلها إلى ما بعد ارتفاع الشمس ، لأن السنة قد ثبتت عن النبي صلى الله عليه وسلم بالأمرين جميعا، لكن تأجيلها أفضل إلى ما بعد ارتفاع الشمس لأمر النبي صلى الله عليه وسلم بذلك ، أما فعلها بعد الصلاة فقد ثبت من تقريره عليه الصلاة والسلام ما يدل على ذلك.
“Bila seorang muslim terluputkan dari melakukan sunnah Fajar sebelum sholat Shubuh, maka dia boleh melakukannya setelah setelah sholat atau menundanya sampai terbit matahari. Dua pilihan ini ada dalilnya dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Akan tetapi menundanya sampai terbit matahari itu lebih afdol. Berdasarkan pada perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk melakukannya pada waktu tersebut. Adapun melakukannya setelah sholat Shubuh, itu berdasarkan persetujuan beliau ‘alaisshalatu wa sallam.”
(Majmu’ Fatawa, Ibnu Baz 11/373).
Wallahu a'lam bish showab.
Madinah An Nabawiyah, 12 Rajab 1437 H
Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshari, Lc
https://konsultasisyariah.com/27692-qadha-shalat-sunah-fajar-setelah-sholat-subuh.html
Rabu, 25 April 2018
BIOGRAFI SINGKAT IMAM AHMAD BIN HAMBAL RAHIMAHULLAH
BIOGRAFI SINGKAT IMAM AHMAD BIN HAMBAL RAHIMAHULLAH
Namanya : Ahmad bin Hanbal.
Arab: أحمد بن حنبل
Nama kunyah : Abu Abdillah
Lengkapnya: Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi bin Idris/Ahmad bin Muhammad bin Hanbal.
Dikenal juga sebagai Imam Hambali (madzhab Imam Ahmad bin Hambal).
Lahir : di Marw (saat ini bernama Mary di Turkmenistan, utara Afganistan dan utara Iran) di kota Baghdad, Irak. pada tanggal 20 Rabi'ul awwal tahun164 Hijriah (27 November 780 Masehi)
Wafat : di Baghdad (Irak) pada hari Jum'at tanggal 12 Rabi'ul Awwal 241 Hijriyah (4 Agustus 855 Masehi) usia 77 tahun. dimakamkan di pemakaman al-Harb
Aliran : Sunni Hambali
Minat utama : Fiqh
Gagasan penting : Evolusi Fiqh
AWAL MULA NENUNTUT ILMU
Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah adalah seorang ahli hadits dan teologi Islam.
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur'an hingga ia hafal pada usia 15 tahun, ia juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu, ia mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula. Ia telah mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk mempelajari Hadits ini, ia pernah pindah atau merantau ke Syam (Syiria), Hijaz, Yaman dan negara-negara lainnya sehingga ia akhirnya menjadi tokoh ulama yang bertakwa, shaleh, dan zuhud. Abu Zur'ah mengatakan bahwa kitabnya yang sebanyak 12 buah sudah dihafalnya di luar kepala. Ia menghafal sampai sejuta hadits.
Imam Asy-Syafi'i rahimahullah mengatakan tentang diri Imam Ahmad bin Hambal :
"Setelah saya keluar dari Baghdad, tidak ada orang yang saya tinggalkan disana yang lebih terpuji, lebih shaleh dan yang lebih berilmu daripada Ahmad bin Hambal".
Abdur Rozzaq Bin Hammam rahimahullah yang juga salah seorang guru Imam Ahmad bin Hambal pernah berkata :
"Saya tidak pernah melihat orang se-faqih dan se-wara' Ahmad Bin Hanbal".
KEADAAN FISIK
Muhammad bin ‘Abbas An-Nahwi rahimahullah bercerita :
"Saya pernah melihat Imam Ahmad bin Hambal, ternyata Badan dia tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek, wajahnya tampan, di jenggotnya masih ada yang hitam. Ia senang berpakaian tebal, berwarna putih dan bersorban serta memakai kain. Yang lain mengatakan, “Kulitnya berwarna coklat (sawo matang)”
KELUARGA
Dia menikah pada umur 40 tahun dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Ia memiliki anak-anak yang shalih dari istri-istinya, yang mewarisi ilmunya, seperti Abdullah dan Shalih. Bahkan keduanya sangat banyak meriwayatkan ilmu dari bapaknya.
KECERDASAN
Putranya yang bernama Shalih mengatakan, ayahku pernah bercerita :
“Husyaim meninggal dunia saat saya berusia dua puluh tahun, kala itu saya telah hafal apa yang kudengar darinya”.
Abdullah, putranya yang lain mengatakan, Ayahku pernah menyuruhku :
“Ambillah kitab mushannaf Waki’ mana saja yang kamu kehendaki, lalu tanyakanlah yang kamu mau tentang matan nanti ku beritahu sanadnya, atau sebaliknya, kamu tanya tentang sanadnya nanti kuberitahu matannya”.
Abu Zur’ah rahimahullah pernah ditanya :
“Wahai Abu Zur’ah, siapakah yang lebih kuat hafalannya ? Anda atau Imam Ahmad bin Hambal ?” Dia menjawab, “Ahmad”. Ia masih ditanya, “Bagaimana Anda tahu ?” dia menjawab, “Saya mendapati di bagian depan kitabnya tidak tercantum nama-nama perawi, karena dia hafal nama-nama perawi tersebut, sedangkan saya tidak mampu melakukannya”. Abu Zur’ah mengatakan, “Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits”.
PUJIAN ULAMA
Abu Ja’far rahimahullah berkata:
“Ahmad bin Hambal manusia yang sangat pemalu, sangat mulia dan sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak berfikir, tidak terdengar darinya kecuali mudzakarah hadits dan menyebut orang-orang shalih dengan penuh hormat dan tenang serta dengan ungkapan yang indah. Bila berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan menghadapkan wajahnya kepadanya. Ia sangat rendah hati terhadap guru-gurunya serta menghormatinya.”
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata :
“Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqh, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam dalam Sunnah”.
Ibrahim Al Harbi rahimahullah berkata :
“Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin Hambal seolah Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan dari berbagai disiplin ilmu”.
Abdullah bin al-Maimuni rahimahullah berkata :
"Tidak ada yang lebih mulia yang pernah dilihat oleh mataku, selain Imam Ahmad bin Hambal. Tidak ada seorangpun dari ahli hadits yang paling mengagungkan larangan-larangan Allah dan Sunnah Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam jika benar menurutnya, dan tidak ada seseorangpun yang lebih kuat dalam mengikutinya selain dari Ahmad."
Abu Bakar as-Sijistani rahimahullah berkata :
"Aku pernah bertemu dengan 200 guru-guru ilmu, tidak ada satupun yang menyerupai Imam Ahmad bin Hambal. Dia betul-betul menyelami ilmu, dan jika disebutkan suatu ilmu, dia ahlinya."
Abdul Wahhab Al-Warraq rahimahullah berkata :
"Abu Abdullah adalah pemimpin kami, dia adalah orang yang matang dalam ilmu. Jika aku berada dihadapan Allah kelak, dan aku ditanya, "Siapa orang yang kamu ikuti ?" aku akan katakan, "Aku mengikuti Ahmad bin Hambal." Sungguh Imam Ahmad bin Hambal telah teruji keilmuannya selama 10 tahun tentang Islam."
KEZUHUDANNYA
Dia memakai peci yang dijahit sendiri. Dan kadang dia keluar ke tempat kerja membawa kampak untuk bekerja dengan tangannya. Kadang juga dia pergi ke warung membeli seikat kayu bakar dan barang lainnya lalu membawa dengan tangannya sendiri. Al Maimuni pernah berujar, “Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil”.
WARA' DAN MENJAGA HARGA DIRI
Abu Isma’il At-Tirmidzi rahimahullah mengatakan,
“Datang seorang lelaki membawa uang sebanyak sepuluh ribu (dirham) untuk dia, namun dia menolaknya”. Ada juga yang mengatakan, “Ada seseorang memberikan lima ratus dinar kepada Imam Ahmad namun dia tidak mau menerimanya”. Juga pernah ada yang memberi tiga ribu dinar, namun dia juga tidak mau menerimanya."
TAWADHU' DENGAN KEBAIKANNYA
Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata :
“Saya tidak pernah melihat orang yang seperti Imam Ahmad bin Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh tahun dan tidak pernah menjumpai dia membanggakan sedikitpun kebaikan yang ada padanya kepada kami”.
Dia (Imam Ahmad bin Hambal) mengatakan :
“Saya ingin bersembunyi di lembah Mekkah hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas”.
Al Marrudzi rahimahullah berkata :
“Saya belum pernah melihat orang fakir disuatu majlis yang lebih mulia kecuali di majlis Imam Ahmad bin Hambal, dia perhatian terhadap orang fakir dan agak kurang perhatiannya terhadap ahli dunia (orang kaya), dia bijak dan tidak tergesa-gesa terhadap orang fakir. Ia sangat rendah hati, begitu tinggi ketenangannya dan sangat memukau kharismanya”.
Dia pernah bermuka masam karena ada seseorang yang memujinya dengan mengatakan, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas jasamu kepada Islam ?” dia (Imam Ahmad bin Hambal) mengatakan, “Jangan begitu tetapi katakanlah, semoga Allah membalas kebaikan terhadap Islam atas jasanya kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!”
SABAR DALAM MENUNTUT ILMU
Tatkala dia pulang dari tempat Abdurrazzaq yang berada di Yaman, ada seseorang yang melihatnya di Mekkah dalam keadaan sangat letih dan capai. Lalu ia mengajak bicara, maka Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Ini lebih ringan dibandingkan faidah yang saya dapatkan dari Abdurrazzaq”.
HATI-HATI DALAM BERFATWA
Zakariya bin Yahya rahimahullah pernah bertanya kepada dia, “Berapa hadits yang harus dikuasai oleh seseorang hingga bisa menjadi mufti ? Apakah cukup seratus ribu hadits ? Dia menjawab, “Tidak cukup”. Hingga akhirnya ia berkata, “Apakah cukup lima ratus ribu hadits ?” dia menjawab. “Saya harap demikian”.
KELURUSAN AQIDAHNYA SEBAGAI STANDAR KEBENARAN
Ahmad bin Ibrahim Ad-Dauruqi rahimahullah mengatakan :
“Siapa saja yang kamu ketahui mencela Imam Ahmad maka ragukanlah agamanya”.
Sufyan bin Waki’ rahimahullah juga berkata :
“Ahmad disisi kami adalah cobaan, barangsiapa mencela dia maka dia adalah orang fasik”.
MASA FITNAH
Pemahaman Jahmiyyah belum berani terang-terangan pada masa khilafah Al Mahdi, Ar-Rasyid dan Al Amin, bahkan Ar-Rasyid pernah mengancam akan membunuh Bisyr bin Ghiyats Al Marisi yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq. Namun dia terus bersembunyi pada masa khilafah Ar-Rasyid, baru setelah dia wafat, dia menampakkan kebid’ahannya dan menyeru manusia kepada kesesatan ini.
Pada masa Khalifah Al Ma’mun, orang-orang Jahmiyyah berhasil menjadikan paham Jahmiyyah sebagai ajaran resmi negara, di antara ajarannya adalah menyatakan bahwa Al Qur’an makhluk. Lalu penguasa pun memaksa seluruh rakyatnya untuk mengatakan bahwa Al Qur’an makhluk, terutama para ulamanya.
Barangsiapa mau menuruti dan tunduk kepada ajaran ini, maka dia selamat dari siksaan dan penderitaan. Bagi yang menolak dan bersikukuh dengan mengatakan bahwa Al Qur’an Kalamullah bukan makhluk maka dia akan mencicipi cambukan dan pukulan serta kurungan penjara.
Karena beratnya siksaan dan parahnya penderitaan banyak ulama yang tidak kuat menahannya yang akhirnya mengucapkan apa yang dituntut oleh penguasa zhalim meski cuma dalam lisan saja. Banyak yang membisiki Imam Ahmad bin Hambal untuk menyembunyikan keyakinannya agar selamat dari segala siksaan dan penderitaan, namun Imam Ahmad bin Hambal menjawab :
“Bagaimana kalian menyikapi hadits “Sesungguhnya orang-orang sebelum Khabbab, yaitu sabda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ada yang digergaji kepalanya namun tidak membuatnya berpaling dari agamanya”.
(HR. Bukhari 12/281).
Lalu dia (Imam Ahmad bin Hambal) menegaskan :
“Saya tidak peduli dengan kurungan penjara, penjara dan rumahku sama saja”.
Ketegaran dan ketabahan Imam Ahmad bun Hambal dalam menghadapi cobaan yang menderanya di gambarkan oleh Ishaq bin Ibrahim :
"Saya belum pernah melihat seorang yang masuk ke penguasa lebih tegar dari Imam Ahmad bin Hambal, kami saat itu di mata penguasa hanya seperti lalat”.
Di saat menghadapi terpaan fitnah yang sangat dahsyat dan deraan siksaan yang luar biasa, Imam Ahmad bin Hambal masih berpikir jernih dan tidak emosi, tetap mengambil pelajaran meski datang dari orang yang lebih rendah ilmunya. Ia mengatakan, “Semenjak terjadinya fitnah saya belum pernah mendengar suatu kalimat yang lebih mengesankan dari kalimat yang diucapkan oleh seorang Arab Badui kepadaku, “Wahai Ahmad, jika anda terbunuh karena kebenaran maka anda mati syahid, dan jika anda selamat maka anda hidup mulia”. Maka hatiku bertambah kuat”.
AHLI HADITS SEKALIGUS JUGA AHLI FIQH
Ibnu ‘Aqil rahimahullah berkata, “Saya pernah mendengar hal yang sangat aneh dari orang-orang bodoh yang mengatakan, “Ahmad bukan ahli fiqih, tetapi hanya ahli hadits saja. Ini adalah puncaknya kebodohan, karena Imam Ahmad memiliki pendapat-pendapat yang didasarkan pada hadits yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, bahkan dia lebih unggul dari seniornya”.
Bahkan Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Demi Allah, dia dalam fiqih sampai derajat Laits, Malik dan Asy-Syafi’i serta Abu Yusuf. Dalam zuhud dan wara’ dia menyamai Fudhail dan Ibrahim bin Adham, dalam hafalan dia setara dengan Syu’bah, Yahya Al Qaththan dan Ibnul Madini. Tetapi orang bodoh tidak mengetahui kadar dirinya, bagaimana mungkin dia mengetahui kadar orang lain !!"
GURU-GURU IMAM AHMAD BIN HAMBAL
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Mekkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya.
Di antara guru-gurunya adalah:
1. Ismail bin Ja’far.
2. Abbad bin Abbad Al-Ataky.
3. Umari bin Abdillah bin Khalid.
4. Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami.
5. Imam Syafi'i.
6. Waki’ bin Jarrah.
7. Ismail bin Ulayyah.
8. Sufyan bin ‘Uyainah.
9. Abdurrazaq.
10. Ibrahim bin Ma’qil.
MURID-MURID IMAM AHMAD BIN HAMBAL
1. Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal
2. Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal
3. Keponakannya, Hambal bin Ishaq
AKHIR HAYAT
Imam Ahmad bin Hambal mulai sakit pada malam Rabu, dua hari dari bulan Rabi'ul Awwal tahun 241 Hijriyyah, ia sakit selama sembilan hari. Tatkala penyakitnya mulai parah dan warga sekitar mulai mengetahuinya, maka mereka menjenguknya siang dan malam.
Penyakitnya kian hari kian parah, pada hari Kamis dan sebelum wafat ia memberikan isyarat pada keluarganya agar ia diwudhu'kan, kemudian mereka pun mewudhu'kannya. Ketika berwudhu', Imam Ahmad sambil berdzikir dan memberikan isyarat kepada mereka agar menyela-nyela jarinya. Dia menghembuskan napas terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan dengan tanggal 12 Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun di kota Baghdad. Ia dimakamkan di pemakaman al-Harb, jenazah dia dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.
KARYA TULIS
Imam Ahmad bin Hanbal menulis kitab al-Musnad al-Kabir yang termasuk sebesar-besarnya kitab "Musnad" dan sebaik baik karangan dia dan sebaik baik penelitian Hadits. Ia tidak memasukkan dalam kitabnya selain yang dibutuhkan sebagai hujjah. Kitab Musnad ini berisi lebih dari 25.000 hadits.
Di antara karya Imam Ahmad adalah ensiklopedia hadits atau Musnad, disusun oleh anaknya dari ceramah (kajian-kajian) - kumpulan lebih dari 40 ribu hadits juga Kitab ash-Salat dan Kitab as-Sunnah.
KARYA-KARYA IMAM AHMAD BIN HAMBAL RAHIMAHULLAH.
1. Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits.
2. Kitab at-Tafsir, namun Adz-Dzahabi mengatakan, “Kitab ini telah hilang”.
3. Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh.
4. Kitab at-Tarikh.
5. Kitab Hadits Syu'bah.
6. Kitab al-Muqaddam wa al-Mu'akkhar fi al-Qur`an.
7. Kitab Jawabah al-Qur`an.
8. Kitab al-Manasik al-Kabir.
9. Kitab al-Manasik as-Saghir.
Menurut Imam Nadim, kitab berikut ini juga merupakan tulisan Imam Ahmad bin Hanbal
1. Kitab al-'Ilal
2. Kitab al-Manasik.
3. Kitab az-Zuhd
4. Kitab al-Iman.
5. Kitab al-Masa'il
6. Kitab al-Asyribah.
7. Kitab al-Fadha'il
8. Kitab Tha'ah ar-Rasul.
9. Kitab al-Fara'idh.
10. Kitab ar-Radd ala al-Jahmiyyah
Referensi
1. Disadur dari Biografi singkat para 'Ulama ahli hadist Abu Rayyan"
2. Tarikhi Dawat-o-Azimat." Karya Maulana Sayyid Abul Hasan Ali Nadwi"
3. Hayatul Aamam." Karya Syaikh Muhammad Hasan Al-Jamal
1. ^ http://muslim-canada.org/hanbalschool.html^
2. Manaqib Imam Ahmad bin Hanbal, oleh Ibnul Jawzy, diteliti oleh Dr.'Abdullah Bin 'Abdul Muhsin At Turky, Rektor Universitas Muhammad Bin Su'ud Al Islamiyyah di Arab Saudi
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sumber : https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ahmad_bin_Hanbal
Ket : Telah melalui suntingan dengan sedikit penambahan untuk penyempurnaan namun tidak mengurangi isi dari sumber aslinya.
Di arsipkan oleh :
http://arie49.wordpress.com
Namanya : Ahmad bin Hanbal.
Arab: أحمد بن حنبل
Nama kunyah : Abu Abdillah
Lengkapnya: Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi bin Idris/Ahmad bin Muhammad bin Hanbal.
Dikenal juga sebagai Imam Hambali (madzhab Imam Ahmad bin Hambal).
Lahir : di Marw (saat ini bernama Mary di Turkmenistan, utara Afganistan dan utara Iran) di kota Baghdad, Irak. pada tanggal 20 Rabi'ul awwal tahun164 Hijriah (27 November 780 Masehi)
Wafat : di Baghdad (Irak) pada hari Jum'at tanggal 12 Rabi'ul Awwal 241 Hijriyah (4 Agustus 855 Masehi) usia 77 tahun. dimakamkan di pemakaman al-Harb
Aliran : Sunni Hambali
Minat utama : Fiqh
Gagasan penting : Evolusi Fiqh
AWAL MULA NENUNTUT ILMU
Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah adalah seorang ahli hadits dan teologi Islam.
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur'an hingga ia hafal pada usia 15 tahun, ia juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu, ia mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula. Ia telah mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk mempelajari Hadits ini, ia pernah pindah atau merantau ke Syam (Syiria), Hijaz, Yaman dan negara-negara lainnya sehingga ia akhirnya menjadi tokoh ulama yang bertakwa, shaleh, dan zuhud. Abu Zur'ah mengatakan bahwa kitabnya yang sebanyak 12 buah sudah dihafalnya di luar kepala. Ia menghafal sampai sejuta hadits.
Imam Asy-Syafi'i rahimahullah mengatakan tentang diri Imam Ahmad bin Hambal :
"Setelah saya keluar dari Baghdad, tidak ada orang yang saya tinggalkan disana yang lebih terpuji, lebih shaleh dan yang lebih berilmu daripada Ahmad bin Hambal".
Abdur Rozzaq Bin Hammam rahimahullah yang juga salah seorang guru Imam Ahmad bin Hambal pernah berkata :
"Saya tidak pernah melihat orang se-faqih dan se-wara' Ahmad Bin Hanbal".
KEADAAN FISIK
Muhammad bin ‘Abbas An-Nahwi rahimahullah bercerita :
"Saya pernah melihat Imam Ahmad bin Hambal, ternyata Badan dia tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek, wajahnya tampan, di jenggotnya masih ada yang hitam. Ia senang berpakaian tebal, berwarna putih dan bersorban serta memakai kain. Yang lain mengatakan, “Kulitnya berwarna coklat (sawo matang)”
KELUARGA
Dia menikah pada umur 40 tahun dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Ia memiliki anak-anak yang shalih dari istri-istinya, yang mewarisi ilmunya, seperti Abdullah dan Shalih. Bahkan keduanya sangat banyak meriwayatkan ilmu dari bapaknya.
KECERDASAN
Putranya yang bernama Shalih mengatakan, ayahku pernah bercerita :
“Husyaim meninggal dunia saat saya berusia dua puluh tahun, kala itu saya telah hafal apa yang kudengar darinya”.
Abdullah, putranya yang lain mengatakan, Ayahku pernah menyuruhku :
“Ambillah kitab mushannaf Waki’ mana saja yang kamu kehendaki, lalu tanyakanlah yang kamu mau tentang matan nanti ku beritahu sanadnya, atau sebaliknya, kamu tanya tentang sanadnya nanti kuberitahu matannya”.
Abu Zur’ah rahimahullah pernah ditanya :
“Wahai Abu Zur’ah, siapakah yang lebih kuat hafalannya ? Anda atau Imam Ahmad bin Hambal ?” Dia menjawab, “Ahmad”. Ia masih ditanya, “Bagaimana Anda tahu ?” dia menjawab, “Saya mendapati di bagian depan kitabnya tidak tercantum nama-nama perawi, karena dia hafal nama-nama perawi tersebut, sedangkan saya tidak mampu melakukannya”. Abu Zur’ah mengatakan, “Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits”.
PUJIAN ULAMA
Abu Ja’far rahimahullah berkata:
“Ahmad bin Hambal manusia yang sangat pemalu, sangat mulia dan sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak berfikir, tidak terdengar darinya kecuali mudzakarah hadits dan menyebut orang-orang shalih dengan penuh hormat dan tenang serta dengan ungkapan yang indah. Bila berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan menghadapkan wajahnya kepadanya. Ia sangat rendah hati terhadap guru-gurunya serta menghormatinya.”
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata :
“Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqh, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam dalam Sunnah”.
Ibrahim Al Harbi rahimahullah berkata :
“Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin Hambal seolah Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan dari berbagai disiplin ilmu”.
Abdullah bin al-Maimuni rahimahullah berkata :
"Tidak ada yang lebih mulia yang pernah dilihat oleh mataku, selain Imam Ahmad bin Hambal. Tidak ada seorangpun dari ahli hadits yang paling mengagungkan larangan-larangan Allah dan Sunnah Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam jika benar menurutnya, dan tidak ada seseorangpun yang lebih kuat dalam mengikutinya selain dari Ahmad."
Abu Bakar as-Sijistani rahimahullah berkata :
"Aku pernah bertemu dengan 200 guru-guru ilmu, tidak ada satupun yang menyerupai Imam Ahmad bin Hambal. Dia betul-betul menyelami ilmu, dan jika disebutkan suatu ilmu, dia ahlinya."
Abdul Wahhab Al-Warraq rahimahullah berkata :
"Abu Abdullah adalah pemimpin kami, dia adalah orang yang matang dalam ilmu. Jika aku berada dihadapan Allah kelak, dan aku ditanya, "Siapa orang yang kamu ikuti ?" aku akan katakan, "Aku mengikuti Ahmad bin Hambal." Sungguh Imam Ahmad bin Hambal telah teruji keilmuannya selama 10 tahun tentang Islam."
KEZUHUDANNYA
Dia memakai peci yang dijahit sendiri. Dan kadang dia keluar ke tempat kerja membawa kampak untuk bekerja dengan tangannya. Kadang juga dia pergi ke warung membeli seikat kayu bakar dan barang lainnya lalu membawa dengan tangannya sendiri. Al Maimuni pernah berujar, “Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil”.
WARA' DAN MENJAGA HARGA DIRI
Abu Isma’il At-Tirmidzi rahimahullah mengatakan,
“Datang seorang lelaki membawa uang sebanyak sepuluh ribu (dirham) untuk dia, namun dia menolaknya”. Ada juga yang mengatakan, “Ada seseorang memberikan lima ratus dinar kepada Imam Ahmad namun dia tidak mau menerimanya”. Juga pernah ada yang memberi tiga ribu dinar, namun dia juga tidak mau menerimanya."
TAWADHU' DENGAN KEBAIKANNYA
Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata :
“Saya tidak pernah melihat orang yang seperti Imam Ahmad bin Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh tahun dan tidak pernah menjumpai dia membanggakan sedikitpun kebaikan yang ada padanya kepada kami”.
Dia (Imam Ahmad bin Hambal) mengatakan :
“Saya ingin bersembunyi di lembah Mekkah hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas”.
Al Marrudzi rahimahullah berkata :
“Saya belum pernah melihat orang fakir disuatu majlis yang lebih mulia kecuali di majlis Imam Ahmad bin Hambal, dia perhatian terhadap orang fakir dan agak kurang perhatiannya terhadap ahli dunia (orang kaya), dia bijak dan tidak tergesa-gesa terhadap orang fakir. Ia sangat rendah hati, begitu tinggi ketenangannya dan sangat memukau kharismanya”.
Dia pernah bermuka masam karena ada seseorang yang memujinya dengan mengatakan, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas jasamu kepada Islam ?” dia (Imam Ahmad bin Hambal) mengatakan, “Jangan begitu tetapi katakanlah, semoga Allah membalas kebaikan terhadap Islam atas jasanya kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!”
SABAR DALAM MENUNTUT ILMU
Tatkala dia pulang dari tempat Abdurrazzaq yang berada di Yaman, ada seseorang yang melihatnya di Mekkah dalam keadaan sangat letih dan capai. Lalu ia mengajak bicara, maka Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Ini lebih ringan dibandingkan faidah yang saya dapatkan dari Abdurrazzaq”.
HATI-HATI DALAM BERFATWA
Zakariya bin Yahya rahimahullah pernah bertanya kepada dia, “Berapa hadits yang harus dikuasai oleh seseorang hingga bisa menjadi mufti ? Apakah cukup seratus ribu hadits ? Dia menjawab, “Tidak cukup”. Hingga akhirnya ia berkata, “Apakah cukup lima ratus ribu hadits ?” dia menjawab. “Saya harap demikian”.
KELURUSAN AQIDAHNYA SEBAGAI STANDAR KEBENARAN
Ahmad bin Ibrahim Ad-Dauruqi rahimahullah mengatakan :
“Siapa saja yang kamu ketahui mencela Imam Ahmad maka ragukanlah agamanya”.
Sufyan bin Waki’ rahimahullah juga berkata :
“Ahmad disisi kami adalah cobaan, barangsiapa mencela dia maka dia adalah orang fasik”.
MASA FITNAH
Pemahaman Jahmiyyah belum berani terang-terangan pada masa khilafah Al Mahdi, Ar-Rasyid dan Al Amin, bahkan Ar-Rasyid pernah mengancam akan membunuh Bisyr bin Ghiyats Al Marisi yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq. Namun dia terus bersembunyi pada masa khilafah Ar-Rasyid, baru setelah dia wafat, dia menampakkan kebid’ahannya dan menyeru manusia kepada kesesatan ini.
Pada masa Khalifah Al Ma’mun, orang-orang Jahmiyyah berhasil menjadikan paham Jahmiyyah sebagai ajaran resmi negara, di antara ajarannya adalah menyatakan bahwa Al Qur’an makhluk. Lalu penguasa pun memaksa seluruh rakyatnya untuk mengatakan bahwa Al Qur’an makhluk, terutama para ulamanya.
Barangsiapa mau menuruti dan tunduk kepada ajaran ini, maka dia selamat dari siksaan dan penderitaan. Bagi yang menolak dan bersikukuh dengan mengatakan bahwa Al Qur’an Kalamullah bukan makhluk maka dia akan mencicipi cambukan dan pukulan serta kurungan penjara.
Karena beratnya siksaan dan parahnya penderitaan banyak ulama yang tidak kuat menahannya yang akhirnya mengucapkan apa yang dituntut oleh penguasa zhalim meski cuma dalam lisan saja. Banyak yang membisiki Imam Ahmad bin Hambal untuk menyembunyikan keyakinannya agar selamat dari segala siksaan dan penderitaan, namun Imam Ahmad bin Hambal menjawab :
“Bagaimana kalian menyikapi hadits “Sesungguhnya orang-orang sebelum Khabbab, yaitu sabda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ada yang digergaji kepalanya namun tidak membuatnya berpaling dari agamanya”.
(HR. Bukhari 12/281).
Lalu dia (Imam Ahmad bin Hambal) menegaskan :
“Saya tidak peduli dengan kurungan penjara, penjara dan rumahku sama saja”.
Ketegaran dan ketabahan Imam Ahmad bun Hambal dalam menghadapi cobaan yang menderanya di gambarkan oleh Ishaq bin Ibrahim :
"Saya belum pernah melihat seorang yang masuk ke penguasa lebih tegar dari Imam Ahmad bin Hambal, kami saat itu di mata penguasa hanya seperti lalat”.
Di saat menghadapi terpaan fitnah yang sangat dahsyat dan deraan siksaan yang luar biasa, Imam Ahmad bin Hambal masih berpikir jernih dan tidak emosi, tetap mengambil pelajaran meski datang dari orang yang lebih rendah ilmunya. Ia mengatakan, “Semenjak terjadinya fitnah saya belum pernah mendengar suatu kalimat yang lebih mengesankan dari kalimat yang diucapkan oleh seorang Arab Badui kepadaku, “Wahai Ahmad, jika anda terbunuh karena kebenaran maka anda mati syahid, dan jika anda selamat maka anda hidup mulia”. Maka hatiku bertambah kuat”.
AHLI HADITS SEKALIGUS JUGA AHLI FIQH
Ibnu ‘Aqil rahimahullah berkata, “Saya pernah mendengar hal yang sangat aneh dari orang-orang bodoh yang mengatakan, “Ahmad bukan ahli fiqih, tetapi hanya ahli hadits saja. Ini adalah puncaknya kebodohan, karena Imam Ahmad memiliki pendapat-pendapat yang didasarkan pada hadits yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, bahkan dia lebih unggul dari seniornya”.
Bahkan Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Demi Allah, dia dalam fiqih sampai derajat Laits, Malik dan Asy-Syafi’i serta Abu Yusuf. Dalam zuhud dan wara’ dia menyamai Fudhail dan Ibrahim bin Adham, dalam hafalan dia setara dengan Syu’bah, Yahya Al Qaththan dan Ibnul Madini. Tetapi orang bodoh tidak mengetahui kadar dirinya, bagaimana mungkin dia mengetahui kadar orang lain !!"
GURU-GURU IMAM AHMAD BIN HAMBAL
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Mekkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya.
Di antara guru-gurunya adalah:
1. Ismail bin Ja’far.
2. Abbad bin Abbad Al-Ataky.
3. Umari bin Abdillah bin Khalid.
4. Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami.
5. Imam Syafi'i.
6. Waki’ bin Jarrah.
7. Ismail bin Ulayyah.
8. Sufyan bin ‘Uyainah.
9. Abdurrazaq.
10. Ibrahim bin Ma’qil.
MURID-MURID IMAM AHMAD BIN HAMBAL
1. Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal
2. Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal
3. Keponakannya, Hambal bin Ishaq
AKHIR HAYAT
Imam Ahmad bin Hambal mulai sakit pada malam Rabu, dua hari dari bulan Rabi'ul Awwal tahun 241 Hijriyyah, ia sakit selama sembilan hari. Tatkala penyakitnya mulai parah dan warga sekitar mulai mengetahuinya, maka mereka menjenguknya siang dan malam.
Penyakitnya kian hari kian parah, pada hari Kamis dan sebelum wafat ia memberikan isyarat pada keluarganya agar ia diwudhu'kan, kemudian mereka pun mewudhu'kannya. Ketika berwudhu', Imam Ahmad sambil berdzikir dan memberikan isyarat kepada mereka agar menyela-nyela jarinya. Dia menghembuskan napas terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan dengan tanggal 12 Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun di kota Baghdad. Ia dimakamkan di pemakaman al-Harb, jenazah dia dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.
KARYA TULIS
Imam Ahmad bin Hanbal menulis kitab al-Musnad al-Kabir yang termasuk sebesar-besarnya kitab "Musnad" dan sebaik baik karangan dia dan sebaik baik penelitian Hadits. Ia tidak memasukkan dalam kitabnya selain yang dibutuhkan sebagai hujjah. Kitab Musnad ini berisi lebih dari 25.000 hadits.
Di antara karya Imam Ahmad adalah ensiklopedia hadits atau Musnad, disusun oleh anaknya dari ceramah (kajian-kajian) - kumpulan lebih dari 40 ribu hadits juga Kitab ash-Salat dan Kitab as-Sunnah.
KARYA-KARYA IMAM AHMAD BIN HAMBAL RAHIMAHULLAH.
1. Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits.
2. Kitab at-Tafsir, namun Adz-Dzahabi mengatakan, “Kitab ini telah hilang”.
3. Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh.
4. Kitab at-Tarikh.
5. Kitab Hadits Syu'bah.
6. Kitab al-Muqaddam wa al-Mu'akkhar fi al-Qur`an.
7. Kitab Jawabah al-Qur`an.
8. Kitab al-Manasik al-Kabir.
9. Kitab al-Manasik as-Saghir.
Menurut Imam Nadim, kitab berikut ini juga merupakan tulisan Imam Ahmad bin Hanbal
1. Kitab al-'Ilal
2. Kitab al-Manasik.
3. Kitab az-Zuhd
4. Kitab al-Iman.
5. Kitab al-Masa'il
6. Kitab al-Asyribah.
7. Kitab al-Fadha'il
8. Kitab Tha'ah ar-Rasul.
9. Kitab al-Fara'idh.
10. Kitab ar-Radd ala al-Jahmiyyah
Referensi
1. Disadur dari Biografi singkat para 'Ulama ahli hadist Abu Rayyan"
2. Tarikhi Dawat-o-Azimat." Karya Maulana Sayyid Abul Hasan Ali Nadwi"
3. Hayatul Aamam." Karya Syaikh Muhammad Hasan Al-Jamal
1. ^ http://muslim-canada.org/hanbalschool.html^
2. Manaqib Imam Ahmad bin Hanbal, oleh Ibnul Jawzy, diteliti oleh Dr.'Abdullah Bin 'Abdul Muhsin At Turky, Rektor Universitas Muhammad Bin Su'ud Al Islamiyyah di Arab Saudi
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sumber : https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ahmad_bin_Hanbal
Ket : Telah melalui suntingan dengan sedikit penambahan untuk penyempurnaan namun tidak mengurangi isi dari sumber aslinya.
Di arsipkan oleh :
http://arie49.wordpress.com
BIOGRAFI 'UMAR BIN KHATTHAAB RADHIYALLAHU 'ANHUMA
BIOGRAFI SINGKAT SHAHABAT 'UMAR BIN AL-KHATTHAAB RADHIYALLAHU 'ANHUMA.
'Umar bin Al-Khatthaab Pemimpin Orang-Orang Beriman (Amir al-Mu'minin)
Masa kekuasaan : 23 Agustus 634 M – 7 November 644 M.
Nama lengkap : 'Umar bin Al-Khatthaab
Gelar : Al-Faruq ("Pemisah antara yang benar dan batil")
Amir al-Mu`miniin ("Pemimpin Orang-Orang Beriman")
Lahir : Mekkah, Jazirah Arab
Meninggal : di Madinah, Jazirah Arab pada tanggal 3 November 644 M.
Dimakamkan :Sebelah kiri makam Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, Al-Masjid al-Nabawi, Madinah.
Pendahulu : Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahi 'anhuma
Pengganti :.'Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhuma.
Kekuasaan khalifah Umar pada masa puncaknya, tahun 644 M.
Umar bin Khattab berasal dari Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisy, suku terbesar di kota Mekkah saat itu. Ayahnya bernama Khattab bin Nufail Al Shimh Al Quraisyi dan ibunya Hantamah binti Hasyim, dari Bani Makhzum. 'Umar memiliki julukan yang diberikan oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu Al-Faruq yang berarti orang yang bisa memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. Pada zaman jahiliyah keluarga 'Umar tergolong dalam keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis, yang pada masa itu merupakan sesuatu yang langka.
BIOGRAFI
Sebelum memeluk Islam, 'Umar adalah orang yang sangat disegani dan dihormati oleh penduduk Mekkah. 'Umar juga dikenal sebagai seorang peminum berat, beberapa catatan mengatakan bahwa pada masa pra-Islam (Jahiliyyah), 'Umar suka meminum anggur. Setelah menjadi seorang Muslim, ia tidak menyentuh alkohol sama sekali, meskipun belum diturunkan larangan meminum khamar (yang memabukkan) secara tegas.
MEMELUK ISLAM
Ketika Nabi Muhammad shallallahu 'alahi wa sallam menyebarkan Islam secara terbuka di Mekkah, 'Umar bin Khatthaab bereaksi sangat antipati terhadapnya, beberapa catatan mengatakan bahwa kaum Muslim saat itu mengakui bahwa 'Umar adalah lawan yang paling mereka perhitungkan, hal ini dikarenakan 'Umar yang memang sudah mempunyai reputasi yang sangat baik sebagai ahli strategi perang dan seorang prajurit yang sangat tangguh pada setiap peperangan yang ia lalui. 'Umar juga dicatat sebagai orang yang paling banyak dan paling sering menggunakan kekuatannya untuk menyiksa pengikut Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
Pada puncak kebenciannya terhadap ajaran Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Umar memutuskan untuk mencoba membunuh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, namun saat dalam perjalanannya ia bertemu dengan salah seorang pengikut Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bernama Nu'aim bin Abdullah yang kemudian memberinya kabar bahwa saudara perempuan 'Umar telah memeluk Islam, ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang ingin dibunuhnya saat itu. Karena berita itu, 'Umar terkejut dan pulang ke rumahnya dengan maksud untuk menghukum adiknya, diriwayatkan bahwa 'Umar menjumpai saudarinya itu sedang membaca Al Qur'an surat Thoha ayat 1-8, ia semakin marah akan hal tersebut dan memukul saudarinya. Ketika melihat saudarinya berdarah oleh pukulannya ia menjadi iba, dan kemudian meminta agar bacaan tersebut dapat ia lihat, diriwayatkan 'Umar menjadi terguncang oleh apa yang ia baca tersebut, beberapa waktu setelah kejadian itu 'Umar menyatakan memeluk Islam, tentu saja hal yang selama ini selalu membelanya ini membuat hampir seisi Mekkah terkejut karena seseorang yang terkenal paling keras menentang dan paling kejam dalam menyiksa para pengikut Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian memeluk ajaran yang sangat dibencinya tersebut, akibatnya 'Umar dikucilkan dari pergaulan Mekkah dan ia menjadi kurang atau tidak dihormati lagi oleh para petinggi Quraisy yang selama ini diketahui selalu membelanya.
KEHIDUPAN DI MADINAH.
Pada tahun 622 M, 'Umar ikut bersama Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi ea sallam dan pemeluk Islam lain berhijrah (migrasi) ke Yatsrib (sekarang Madinah) . Ia juga terlibat pada perang Badar, Uhud, Khaybar serta penyerangan ke Syria. Ia dianggap sebagai seorang yang paling disegani oleh kaum Muslim pada masa itu karena selain reputasinya yang memang terkenal sejak masa pra-Islam, juga karena ia dikenal sebagai orang terdepan yang selalu membela Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan ajaran Islam pada setiap kesempatan yang ada bahkan ia tanpa ragu menentang kawan-kawan lamanya yang dulu bersama dia ikut menyiksa para pengikut Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
WAFATNYA NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM.
Pada saat kabar wafatnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pada tanggal 8 Juni 632 Masehi (12 Rabi'ul Awwal, 10 Hijriah) suasana sedih dan haru menyelimuti kota Madinah, sambil berdiri termenung 'Umar bin Al-Khatthaab dikabarkan sebagai salah seorang yang paling terguncang atas wafatnya nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, ia menghambat siapapun memandikan atau menyiapkan jasadnya untuk pemakaman. Akibat syok yang ia terima, 'Umar berkata : "Sesungguhnya beberapa orang munafik menganggap bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat. Sesungguhnya dia tidak wafat, tetapi pergi ke hadapan Tuhannya, seperti dilakukan Musa bin Imran yang pergi dari kaumnya. Demi Allah dia benar-benar akan kembali. Barang siapa yang beranggapan bahwa dia wafat, kaki dan tangannya akan kupotong."
Shahabat Abu Bakar ash Siddiq Radhiyallahu 'anhuma yang mendengar kabar bergegas kembali dari Madinah, ia menjumpai 'Umar sedang menahan Muslim yang lain dan lantas mengatakan :
"Saudara-saudara! Barangsiapa mau menyembah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sudah meninggal dunia. Tetapi barangsiapa mau menyembah Allah, Allah hidup selalu tak pernah mati !." (~ Abu Bakar ash-Shiddiq~)
Abu Bakar ash Siddiq Radhiyallahu 'anhuma mengingatkan kepada para pemeluk Islam yang sedang terguncang, termasuk shahabatnya 'Umar saat itu, bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti halnya mereka, adalah seorang manusia biasa, Abu Bakar kemudian membacakan ayat dari Al Qur'an dan mencoba untuk mengingatkan mereka kembali kepada ajaran yang diajarkan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu kefanaan makhluk yang diciptakan. Setelah peristiwa itu, 'Umar sadar kesalahannya dan membiarkan persiapan penguburan dilaksanakan.
MASA KEKHALIFAHAN ABU BAKAR ASH SIDDIQ RADHIYALLAHU 'ANHUMA
Pada masa Abu Bakar menjabat sebagai khalifah, 'Umar merupakan salah satu penasihat kepalanya. Setelah meninggalnya Abu Bakar pada tahun 634 M, 'Umar ditunjuk untuk menggantikan Abu Bakar sebagai khalifah kedua dalam sejarah Islam.
MENJADI KHALIFAH
Selama pemerintahan 'Umar, kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium). Saat itu ada dua negara adi daya yaitu Persia dan Romawi. Namun keduanya telah ditaklukkan oleh kekhalifahan Islam dibawah pimpinan Umar bin Khatthaab Radhiyallahu 'anhuma.
Sejarah mencatat banyak pertempuran besar yang menjadi awal penaklukan ini. Pada pertempuran Yarmuk, yang terjadi di dekat Damaskus pada tahun 636 M, 20 ribu pasukan Islam mengalahkan pasukan Romawi yang mencapai 70 ribu dan mengakhiri kekuasaan Romawi di Asia Kecil bagian selatan. Pasukan Islam lainnya dalam jumlah kecil mendapatkan kemenangan atas pasukan Persia dalam jumlah yang lebih besar pada pertempuran Qadisiyyah (th 636 M), di dekat sungai Eufrat. Pada pertempuran itu, jenderal pasukan Islam yakni Sa`ad bin Abi Waqqas mengalahkan pasukan Sassanid dan berhasil membunuh jenderal Persia yang terkenal, Rustam Farrukhzad.
Pada tahun 637 M, setelah pengepungan yang lama terhadap Yerusalem, pasukan Islam akhirnya mengambil alih kota tersebut. 'Umar diberikan kunci untuk memasuki kota oleh pendeta Sophronius dan diundang untuk shalat di dalam gereja (Church of the Holy Sepulchre). 'Umar memilih untuk shalat di tempat lain agar tidak membahayakan gereja tersebut. 55 tahun kemudian, Masjid 'Umar didirikan di tempat ia shalat.
'Umar bin Khatthaab Radhiyallahu 'anhuma melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk membangun sistem administrasi untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan diselenggarakannya sensus di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Tahun 638 M, ia memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Medinah. Ia juga memulai proses kodifikasi hukum Islam.
'Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di zaman itu, ia tetap hidup sangat sederhana.
Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun ke-empat kekhalifahannya, 'Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah.
WAFATNYA 'UMAR BIN KHATTHAAB RADHIALLAHU 'ANHUMA
Umar bin Khatthaab dibunuh oleh Abu Lukluk (Fairuz), seorang budak yang fanatik pada saat ia akan memimpin shalat Shubuh. Fairuz adalah orang Persia yang masuk Islam setelah Persia ditaklukkan 'Umar. Pembunuhan ini konon di latar belakangi dendam pribadi Abu Lu'lu'ah (Fairuz) terhadap 'Umar. Fairuz merasa sakit hati atas kekalahan Persia, yang saat itu merupakan negara adi daya, oleh 'Umar. Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 25 Dzulhijjah 23 Hijriyah/644 Masehi. Setelah wafat, jabatan khalifah dipegang oleh 'Usman bin Affan.
Semasa 'Umar masih hidup 'Umar meninggalkan wasiat yaitu:
1. Bila engkau menemukan cela pada seseorang dan engkau hendak mencacinya, maka cacilah dirimu. Karena celamu lebih banyak darinya.
2. Bila engkau hendak memusuhi seseorang, maka musuhilah perutmu dahulu. Karena tidak ada musuh yang lebih berbahaya terhadapmu selain perut.
3. Bila engkau hendak memuji seseorang, pujilah Allah. Karena tiada seorang manusia pun lebih banyak dalam memberi kepadamu dan lebih santun lembut kepadamu selain Allah.
4. Jika engkau ingin meninggalkan sesuatu, maka tinggalkanlah kesenangan dunia. Sebab apabila engkau meninggalkannya, berarti engkau terpuji.
5. Bila engkau bersiap-siap untuk sesuatu, maka bersiaplah untuk mati. Karena jika engkau tidak bersiap untuk mati, engkau akan menderita, rugi, dan penuh penyesalan.
6. Bila engkau ingin menuntut sesuatu, maka tuntutlah akhirat. Karena engkau tidak akan memperolehnya kecuali dengan mencarinya.
Referensi
1. ^ Abdul Ghani, M. Ilyas. 2005. op cit. Hal. 39-41.
2. ^ Ja'farian, Rasul (2003). Sejarah Islam: sejak wafat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hingga runtuhnya Dinasti Bani Umayah (11 - 132 H). Lentera. ISBN 979-3018-77-1.Periksa nilai tanggal di: |date=(bantuan)
3. ^ "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad) ? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." (Al 'Imranayat 144)
Sumber : wikipedia
Telah melalui suntingan dengan sedikit penambahan untuk penyempurnaan namun tidak mengurangi isi dari sumber aslinya.
Di arsipkan oleh :
http://arie49.wordpress.com
'Umar bin Al-Khatthaab Pemimpin Orang-Orang Beriman (Amir al-Mu'minin)
Masa kekuasaan : 23 Agustus 634 M – 7 November 644 M.
Nama lengkap : 'Umar bin Al-Khatthaab
Gelar : Al-Faruq ("Pemisah antara yang benar dan batil")
Amir al-Mu`miniin ("Pemimpin Orang-Orang Beriman")
Lahir : Mekkah, Jazirah Arab
Meninggal : di Madinah, Jazirah Arab pada tanggal 3 November 644 M.
Dimakamkan :Sebelah kiri makam Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, Al-Masjid al-Nabawi, Madinah.
Pendahulu : Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahi 'anhuma
Pengganti :.'Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhuma.
Kekuasaan khalifah Umar pada masa puncaknya, tahun 644 M.
Umar bin Khattab berasal dari Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisy, suku terbesar di kota Mekkah saat itu. Ayahnya bernama Khattab bin Nufail Al Shimh Al Quraisyi dan ibunya Hantamah binti Hasyim, dari Bani Makhzum. 'Umar memiliki julukan yang diberikan oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu Al-Faruq yang berarti orang yang bisa memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. Pada zaman jahiliyah keluarga 'Umar tergolong dalam keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis, yang pada masa itu merupakan sesuatu yang langka.
BIOGRAFI
Sebelum memeluk Islam, 'Umar adalah orang yang sangat disegani dan dihormati oleh penduduk Mekkah. 'Umar juga dikenal sebagai seorang peminum berat, beberapa catatan mengatakan bahwa pada masa pra-Islam (Jahiliyyah), 'Umar suka meminum anggur. Setelah menjadi seorang Muslim, ia tidak menyentuh alkohol sama sekali, meskipun belum diturunkan larangan meminum khamar (yang memabukkan) secara tegas.
MEMELUK ISLAM
Ketika Nabi Muhammad shallallahu 'alahi wa sallam menyebarkan Islam secara terbuka di Mekkah, 'Umar bin Khatthaab bereaksi sangat antipati terhadapnya, beberapa catatan mengatakan bahwa kaum Muslim saat itu mengakui bahwa 'Umar adalah lawan yang paling mereka perhitungkan, hal ini dikarenakan 'Umar yang memang sudah mempunyai reputasi yang sangat baik sebagai ahli strategi perang dan seorang prajurit yang sangat tangguh pada setiap peperangan yang ia lalui. 'Umar juga dicatat sebagai orang yang paling banyak dan paling sering menggunakan kekuatannya untuk menyiksa pengikut Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
Pada puncak kebenciannya terhadap ajaran Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Umar memutuskan untuk mencoba membunuh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, namun saat dalam perjalanannya ia bertemu dengan salah seorang pengikut Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bernama Nu'aim bin Abdullah yang kemudian memberinya kabar bahwa saudara perempuan 'Umar telah memeluk Islam, ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang ingin dibunuhnya saat itu. Karena berita itu, 'Umar terkejut dan pulang ke rumahnya dengan maksud untuk menghukum adiknya, diriwayatkan bahwa 'Umar menjumpai saudarinya itu sedang membaca Al Qur'an surat Thoha ayat 1-8, ia semakin marah akan hal tersebut dan memukul saudarinya. Ketika melihat saudarinya berdarah oleh pukulannya ia menjadi iba, dan kemudian meminta agar bacaan tersebut dapat ia lihat, diriwayatkan 'Umar menjadi terguncang oleh apa yang ia baca tersebut, beberapa waktu setelah kejadian itu 'Umar menyatakan memeluk Islam, tentu saja hal yang selama ini selalu membelanya ini membuat hampir seisi Mekkah terkejut karena seseorang yang terkenal paling keras menentang dan paling kejam dalam menyiksa para pengikut Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian memeluk ajaran yang sangat dibencinya tersebut, akibatnya 'Umar dikucilkan dari pergaulan Mekkah dan ia menjadi kurang atau tidak dihormati lagi oleh para petinggi Quraisy yang selama ini diketahui selalu membelanya.
KEHIDUPAN DI MADINAH.
Pada tahun 622 M, 'Umar ikut bersama Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi ea sallam dan pemeluk Islam lain berhijrah (migrasi) ke Yatsrib (sekarang Madinah) . Ia juga terlibat pada perang Badar, Uhud, Khaybar serta penyerangan ke Syria. Ia dianggap sebagai seorang yang paling disegani oleh kaum Muslim pada masa itu karena selain reputasinya yang memang terkenal sejak masa pra-Islam, juga karena ia dikenal sebagai orang terdepan yang selalu membela Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan ajaran Islam pada setiap kesempatan yang ada bahkan ia tanpa ragu menentang kawan-kawan lamanya yang dulu bersama dia ikut menyiksa para pengikut Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
WAFATNYA NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM.
Pada saat kabar wafatnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pada tanggal 8 Juni 632 Masehi (12 Rabi'ul Awwal, 10 Hijriah) suasana sedih dan haru menyelimuti kota Madinah, sambil berdiri termenung 'Umar bin Al-Khatthaab dikabarkan sebagai salah seorang yang paling terguncang atas wafatnya nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, ia menghambat siapapun memandikan atau menyiapkan jasadnya untuk pemakaman. Akibat syok yang ia terima, 'Umar berkata : "Sesungguhnya beberapa orang munafik menganggap bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat. Sesungguhnya dia tidak wafat, tetapi pergi ke hadapan Tuhannya, seperti dilakukan Musa bin Imran yang pergi dari kaumnya. Demi Allah dia benar-benar akan kembali. Barang siapa yang beranggapan bahwa dia wafat, kaki dan tangannya akan kupotong."
Shahabat Abu Bakar ash Siddiq Radhiyallahu 'anhuma yang mendengar kabar bergegas kembali dari Madinah, ia menjumpai 'Umar sedang menahan Muslim yang lain dan lantas mengatakan :
"Saudara-saudara! Barangsiapa mau menyembah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sudah meninggal dunia. Tetapi barangsiapa mau menyembah Allah, Allah hidup selalu tak pernah mati !." (~ Abu Bakar ash-Shiddiq~)
Abu Bakar ash Siddiq Radhiyallahu 'anhuma mengingatkan kepada para pemeluk Islam yang sedang terguncang, termasuk shahabatnya 'Umar saat itu, bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti halnya mereka, adalah seorang manusia biasa, Abu Bakar kemudian membacakan ayat dari Al Qur'an dan mencoba untuk mengingatkan mereka kembali kepada ajaran yang diajarkan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu kefanaan makhluk yang diciptakan. Setelah peristiwa itu, 'Umar sadar kesalahannya dan membiarkan persiapan penguburan dilaksanakan.
MASA KEKHALIFAHAN ABU BAKAR ASH SIDDIQ RADHIYALLAHU 'ANHUMA
Pada masa Abu Bakar menjabat sebagai khalifah, 'Umar merupakan salah satu penasihat kepalanya. Setelah meninggalnya Abu Bakar pada tahun 634 M, 'Umar ditunjuk untuk menggantikan Abu Bakar sebagai khalifah kedua dalam sejarah Islam.
MENJADI KHALIFAH
Selama pemerintahan 'Umar, kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium). Saat itu ada dua negara adi daya yaitu Persia dan Romawi. Namun keduanya telah ditaklukkan oleh kekhalifahan Islam dibawah pimpinan Umar bin Khatthaab Radhiyallahu 'anhuma.
Sejarah mencatat banyak pertempuran besar yang menjadi awal penaklukan ini. Pada pertempuran Yarmuk, yang terjadi di dekat Damaskus pada tahun 636 M, 20 ribu pasukan Islam mengalahkan pasukan Romawi yang mencapai 70 ribu dan mengakhiri kekuasaan Romawi di Asia Kecil bagian selatan. Pasukan Islam lainnya dalam jumlah kecil mendapatkan kemenangan atas pasukan Persia dalam jumlah yang lebih besar pada pertempuran Qadisiyyah (th 636 M), di dekat sungai Eufrat. Pada pertempuran itu, jenderal pasukan Islam yakni Sa`ad bin Abi Waqqas mengalahkan pasukan Sassanid dan berhasil membunuh jenderal Persia yang terkenal, Rustam Farrukhzad.
Pada tahun 637 M, setelah pengepungan yang lama terhadap Yerusalem, pasukan Islam akhirnya mengambil alih kota tersebut. 'Umar diberikan kunci untuk memasuki kota oleh pendeta Sophronius dan diundang untuk shalat di dalam gereja (Church of the Holy Sepulchre). 'Umar memilih untuk shalat di tempat lain agar tidak membahayakan gereja tersebut. 55 tahun kemudian, Masjid 'Umar didirikan di tempat ia shalat.
'Umar bin Khatthaab Radhiyallahu 'anhuma melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk membangun sistem administrasi untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan diselenggarakannya sensus di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Tahun 638 M, ia memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Medinah. Ia juga memulai proses kodifikasi hukum Islam.
'Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di zaman itu, ia tetap hidup sangat sederhana.
Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun ke-empat kekhalifahannya, 'Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah.
WAFATNYA 'UMAR BIN KHATTHAAB RADHIALLAHU 'ANHUMA
Umar bin Khatthaab dibunuh oleh Abu Lukluk (Fairuz), seorang budak yang fanatik pada saat ia akan memimpin shalat Shubuh. Fairuz adalah orang Persia yang masuk Islam setelah Persia ditaklukkan 'Umar. Pembunuhan ini konon di latar belakangi dendam pribadi Abu Lu'lu'ah (Fairuz) terhadap 'Umar. Fairuz merasa sakit hati atas kekalahan Persia, yang saat itu merupakan negara adi daya, oleh 'Umar. Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 25 Dzulhijjah 23 Hijriyah/644 Masehi. Setelah wafat, jabatan khalifah dipegang oleh 'Usman bin Affan.
Semasa 'Umar masih hidup 'Umar meninggalkan wasiat yaitu:
1. Bila engkau menemukan cela pada seseorang dan engkau hendak mencacinya, maka cacilah dirimu. Karena celamu lebih banyak darinya.
2. Bila engkau hendak memusuhi seseorang, maka musuhilah perutmu dahulu. Karena tidak ada musuh yang lebih berbahaya terhadapmu selain perut.
3. Bila engkau hendak memuji seseorang, pujilah Allah. Karena tiada seorang manusia pun lebih banyak dalam memberi kepadamu dan lebih santun lembut kepadamu selain Allah.
4. Jika engkau ingin meninggalkan sesuatu, maka tinggalkanlah kesenangan dunia. Sebab apabila engkau meninggalkannya, berarti engkau terpuji.
5. Bila engkau bersiap-siap untuk sesuatu, maka bersiaplah untuk mati. Karena jika engkau tidak bersiap untuk mati, engkau akan menderita, rugi, dan penuh penyesalan.
6. Bila engkau ingin menuntut sesuatu, maka tuntutlah akhirat. Karena engkau tidak akan memperolehnya kecuali dengan mencarinya.
Referensi
1. ^ Abdul Ghani, M. Ilyas. 2005. op cit. Hal. 39-41.
2. ^ Ja'farian, Rasul (2003). Sejarah Islam: sejak wafat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hingga runtuhnya Dinasti Bani Umayah (11 - 132 H). Lentera. ISBN 979-3018-77-1.Periksa nilai tanggal di: |date=(bantuan)
3. ^ "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad) ? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." (Al 'Imranayat 144)
Sumber : wikipedia
Telah melalui suntingan dengan sedikit penambahan untuk penyempurnaan namun tidak mengurangi isi dari sumber aslinya.
Di arsipkan oleh :
http://arie49.wordpress.com
BID'AH HASANAH
Ada yang mengatakan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, ada pula bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Untuk menjawab sedikit kerancuan ini, marilah kita menyimak berbagai dalil yang menjelaskan hal ini.
Dalil dari As Sunnah :
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma , beliau berkata :
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah matanya memerah, suaranya begitu keras, dan kelihatan begitu marah, seolah-olah beliau adalah seorang panglima yang meneriaki pasukan" Hati-hati dengan serangan musuh diwaktu pagi dan waktu sore". Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini. (Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya). Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ﺃَﻣَّﺎ ﺑَﻌْﺪُ ﻓَﺈِﻥَّ ﺧَﻴْﺮَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚِ ﻛِﺘَﺎﺏُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺧَﻴْﺮُ ﺍﻟْﻬُﺪَﻯ ﻫُﺪَﻯ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَﺷَﺮُّ ﺍﻷُﻣُﻮﺭِ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺗُﻬَﺎ ﻭَﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.”
(HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan :
ﻭَﻛُﻞَّ ﺿَﻼَﻟَﺔٍ ﻓِﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.”
(HR. An Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani di Shahih wa Dha’if Sunan An Nasa’i )
Diriwayatkan dari Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu , beliau berkata :
“Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini bergemetar (takut).” Lalu ada yang mengatakan :
ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻛَﺄَﻥَّ ﻫَﺬِﻩِ ﻣَﻮْﻋِﻈَﺔُ ﻣُﻮَﺩِّﻉٍ ﻓَﻤَﺎﺫَﺍ ﺗَﻌْﻬَﺪُ ﺇِﻟَﻴْﻨَﺎ
“Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami ?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ﺃُﻭﺻِﻴﻜُﻢْ ﺑِﺘَﻘْﻮَﻯ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟﺴَّﻤْﻊِ ﻭَﺍﻟﻄَّﺎﻋَﺔِ ﻭَﺇِﻥْ ﻋَﺒْﺪًﺍ ﺣَﺒَﺸِﻴًّﺎ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻣَﻦْ ﻳَﻌِﺶْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺑَﻌْﺪِﻯ ﻓَﺴَﻴَﺮَﻯ ﺍﺧْﺘِﻼَﻓًﺎ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﺴُﻨَّﺘِﻰ ﻭَﺳُﻨَّﺔِ ﺍﻟْﺨُﻠَﻔَﺎﺀِ ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻳِّﻴﻦَ ﺍﻟﺮَّﺍﺷِﺪِﻳﻦَ ﺗَﻤَﺴَّﻜُﻮﺍ ﺑِﻬَﺎ ﻭَﻋَﻀُّﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺑِﺎﻟﻨَّﻮَﺍﺟِﺬِ ﻭَﺇِﻳَّﺎﻛُﻢْ ﻭَﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺕِ ﺍﻷُﻣُﻮﺭِ ﻓَﺈِﻥَّ ﻛُﻞَّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup diantara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”
(HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shahih oleh Syaikh Al
Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Daud dan Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi)
Dalil dari Perkataan shahabat :
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata :
ﻣَﺎ ﺃَﺗَﻰ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻋَﺎﻡٌ ﺇِﻻ ﺃَﺣْﺪَﺛُﻮﺍ ﻓِﻴﻪِ ﺑِﺪْﻋَﺔً، ﻭَﺃَﻣَﺎﺗُﻮﺍ ﻓِﻴﻪِ ﺳُﻨَّﺔً، ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺤْﻴَﻰ ﺍﻟْﺒِﺪَﻉُ، ﻭَﺗَﻤُﻮﺕَ ﺍﻟﺴُّﻨَﻦُ
“Setiap tahun ada saja orang yang membuat bid’ah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah bid’ah dan sunnah pun mati.”
(Diriwayatkan oleh Ath Thobraniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 10610. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya tsiqoh/terpercaya)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata :
ﺍﺗَّﺒِﻌُﻮﺍ، ﻭَﻻ ﺗَﺒْﺘَﺪِﻋُﻮﺍ ﻓَﻘَﺪْ ﻛُﻔِﻴﺘُﻢْ، ﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼﻟَﺔٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ), janganlah membuat bid’ah. Karena (Sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.”
(Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perawinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shahih)
Itulah berbagai dalil yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat.
KERANCUAN :
ADA BID’AH HASANAH YANG TERPUJI
Inilah kerancuan yang sering didengung-dengungkan oleh sebagian orang bahwa tidak semua bid’ah itu sesat namun ada sebagian yang terpuji yaitu bid’ah hasanah.
Memang kita akui bahwa sebagian ulama ada yang mendefinisikan bid’ah (secara istilah) dengan mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang tercela dan ada yang terpuji karena bid’ah menurut beliau-beliau adalah segala sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah dari Harmalah bin Yahya. Beliau rahimahullah berkata :
ﺍﻟْﺒِﺪْﻋَﺔ ﺑِﺪْﻋَﺘَﺎﻥِ : ﻣَﺤْﻤُﻮﺩَﺓ ﻭَﻣَﺬْﻣُﻮﻣَﺔ
“Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela.”
(Lihat Hilyatul Awliya’ , 9/113, Darul Kitab Al ‘Arobiy Beirut-Asy Syamilah dan lihat Fathul Bari, 20/330, Asy Syamilah)
Beliau rahimahullah berdalil dengan perkataan 'Umar bin Al Khathab tatkala mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan shalat Tarawih. Umar berkata :
ﻧِﻌْﻢَ ﺍﻟْﺒِﺪْﻋَﺔُ ﻫَﺬِﻩِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”
(HR. Bukhari no. 2010)
Pembagian bid’ah semacam ini membuat sebagian orang rancu dan salah paham. Akhirnya sebagian orang mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang baik (bid’ah hasanah) dan ada yang tercela (bid’ah sayyi’ah). Sehingga untuk sebagian perkara bid’ah seperti merayakan maulid Nabi atau shalat nisfu Sya’ban yang tidak ada dalilnya atau pendalilannya kurang tepat, mereka membela bid’ah mereka ini dengan mengatakan ‘ Ini kan bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) ’.
Padahal kalau kita melihat kembali dalil-dalil yang telah disebutkan diatas baik dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun perkataan shahabat, semua riwayat yang ada menunjukkan bahwa bid’ah itu tercela dan sesat. Oleh karena itu, perlu sekali pembaca sekalian mengetahui
sedikit kerancuan ini dan jawabannya agar dapat mengetahui hakikat bid’ah yang sebenarnya.
SANGGAHAN TERHADAP KERANCUAN :
PENJELASAN SEMUA BID’AH ITU SESAT
Perlu diketahui bersama bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. "Sesungguhnya sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama, ), setiap bid’ah adalah sesat’, dan ‘ setiap kesesatan adalah dineraka" serta peringatan beliau terhadap perkara yang diada-adakan dalam agama, semua ini adalah dalil tegas dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka tidak boleh seorang pun menolak kandungan makna berbagai hadits yang mencela setiap bid’ah. Barangsiapa menentang kandungan makna hadits tersebut maka dia adalah orang yang hina.
(Iqtidho’ Shiratil Mustaqim, 2/88, Ta’liq Dr. Nashir Abdul Karim Al ‘Aql)
Tidak boleh bagi seorang pun menolak sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, lalu mengatakan ‘ tidak semua bid’ah itu sesat’.
(Iqtidho’ Shiratil Mustaqim , 2/93)
Perlu dipahami bahwa lafazh ‘ kullu ’ (artinya: semua) pada hadits :
ﻭَﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ
“Setiap bid’ah adalah sesat”,
Dan hadits semacamnya dalam bahasa Arab dikenal dengan lafazh umum. Asy Syatibhi mengatakan: “Para ulama memaknai hadits diatas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu,
tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah yang baik.”
(Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’ , hal. 91, Darul Ar Royah)
Inilah pula yang dipahami oleh para shahabat generasi terbaik ummat ini. Mereka menganggap bahwa setiap bid’ah itu sesat walaupun sebagian orang menganggapnya baik.
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:
ﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ ، ﻭَﺇِﻥْ ﺭَﺁﻫَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺣَﺴَﻨَﺔً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik. ”
(Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh , 1/219, Asy Syamilah)
Juga terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan:
ﻓَﻌُﺪُّﻭﺍ ﺳَﻴِّﺌَﺎﺗِﻜُﻢْ ﻓَﺄَﻧَﺎ ﺿَﺎﻣِﻦٌ ﺃَﻥْ ﻻَ ﻳَﻀِﻴﻊَ ﻣِﻦْ ﺣَﺴَﻨَﺎﺗِﻜُﻢْ ﺷَﻰْﺀٌ ، ﻭَﻳْﺤَﻜُﻢْ ﻳَﺎ ﺃُﻣَّﺔَ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻣَﺎ ﺃَﺳْﺮَﻉَ ﻫَﻠَﻜَﺘَﻜُﻢْ ، ﻫَﺆُﻻَﺀِ ﺻَﺤَﺎﺑَﺔُ ﻧَﺒِﻴِّﻜُﻢْ -ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻣُﺘَﻮَﺍﻓِﺮُﻭﻥَ ﻭَﻫَﺬِﻩِ ﺛِﻴَﺎﺑُﻪُ ﻟَﻢْ ﺗَﺒْﻞَ ﻭَﺁﻧِﻴَﺘُﻪُ ﻟَﻢْ ﺗُﻜْﺴَﺮْ ، ﻭَﺍﻟَّﺬِﻯ ﻧَﻔْﺴِﻰ ﻓِﻰ ﻳَﺪِﻩِ ﺇِﻧَّﻜُﻢْ ﻟَﻌَﻠَﻰ ﻣِﻠَّﺔٍ ﻫِﻰَ ﺃَﻫْﺪَﻯ ﻣِﻦْ ﻣِﻠَّﺔِ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ، ﺃَﻭْ ﻣُﻔْﺘَﺘِﺤِﻰ ﺑَﺎﺏِ ﺿَﻼَﻟَﺔٍ.
“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai ummat Muhammad..! Begitu cepat kebinasaan kalian...! Mereka shahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad ? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah) ? ”
ﻗَﺎﻟُﻮﺍ : ﻭَﺍﻟﻠَّﻪِ ﻳَﺎ ﺃَﺑَﺎ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﻣَﺎ ﺃَﺭَﺩْﻧَﺎ ﺇِﻻَّ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮَ. ﻗَﺎﻝَ : ﻭَﻛَﻢْ ﻣِﻦْ ﻣُﺮِﻳﺪٍ ﻟِﻠْﺨَﻴْﺮِ ﻟَﻦْ ﻳُﺼِﻴﺒَﻪُ
Mereka menjawab: ”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.” Ibnu Mas’ud berkata: “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.”
(HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid (bagus) )
Lihatlah kedua shahabat ini yaitu Ibnu 'Umar dan Ibnu Mas’ud- memaknai bid’ah dengan keumumannya tanpa membedakan adanya bid’ah yang baik (Hasanah) dan bid’ah yang jelek (Sayyi’ah).
BERALASAN DENGAN SHALAT TARAWIH YANG DILAKUKAN OLEH 'UMAR
Sanggahan pertama :
Adapun shalat Tarawih (yang dihidupkan kembali oleh Umar) maka dia bukanlah bid’ah secara syar’i (agama) Bahkan shalat Tarawih adalah Sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dilihat dari perkataan dan perbuatan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat Tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat Tarawih bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan 'Umar bahwa ‘ sebaik-baik bid’ah adalah ini ’ yaitu bid’ah secara lughowiyah (bahasa) dan bukan bid’ah secara syar’i (agama). Bid’ah secara bahasa itu lebih umum (termasuk kebaikan dan kejelekan) karena mencakup segala yang ada contoh sebelumnya.
Perlu diperhatikan, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan dianjurkan atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat, atau menunjukkannya secara mutlak, namun hal ini tidak dilakukan kecuali setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat (maksudnya dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ), maka boleh kita menyebut hal-hal semacam ini sebagai bid’ah secara bahasa . Begitu pula agama Islam ini disebut dengan muhdats /bid’ah (sesuatu yang baru yang diada-adakan) sebagaimana perkataan utusan Quraisy kepada raja An Najasiy mengenai orang-orang Muhajirin. Namun yang dimaksudkan dengan muhdats/bid’ah di sini adalah muhdats secara bahasa karena setiap
agama yang dibawa oleh para Rasul adalah agama baru.
(Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim , 2/93-96)
Sanggahan Kedua :
Kalau kita mau menerima perkataan 'Umar bahwa ada bid’ah yang baik. Maka dapat disanggah bahwa perkataan shahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujjah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan 'Umar menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan shahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya.
(Faedah dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim )
Sanggahan Ketiga :
Anggap saja kita katakan bahwa perbuatan 'Umar adalah pengkhususan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat. Jadi perbuatan 'Umar dengan mengerjakan shalat Tarawih terus menerus adalah bid’ah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa suatu amalan adalah bid’ah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’ kaum muslimin. Karena berdasarkan kaedah ushul fiqih, bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali pada dalil yang bersifat umum. Misalnya mengenai acara selamatan kematian. Jika kita ingin memasukkan amalan ini dalam bid’ah hasanah maka harus ada dalil dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman dalil bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap bid’ah) adalah sesat dan tertolak.
Namun yang lebih tepat, lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits ‘ setiap bid’ah adalah sesat’ adalah termasuk lafazh umum yang tetap dalam keumumannya ( ‘aam baqiya ‘ala umumiyatihi ) dan tidak memerlukan takhsis (pengkhususan). Inilah yang tepat berdasarkan berbagai hadits dan pemahaman shahabat mengenai bid’ah.
Lalu pantaskah kita orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai oleh shahabat 'Umar ?
Ingatlah bahwa ummat Islam saat ini tidaklah seperti ummat Islam di zaman 'Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ummat Islam saat ini tidak seperti ummat Islam digenerasi awal dahulu yang memahami maksud perkataan 'Umar. Maka tidak sepantasnya kita saat ini menggunakan istilah bid’ah (tanpa memahamkan apa bid’ah yang dimaksudkan) sehingga menimbulkan kerancuan ditengah-tengah umat. Jika memang kita mau menggunakan istilah bid’ah namun yang dimaksudkan adalah definisi secara bahasa, maka selayaknya kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut. Misalnya HP ini termasuk bid’ah secara bahasa. Tidaklah boleh kita hanya menyebut bahwa HP ini termasuk bid’ah karena hal ini bisa menimbulkan kerancuan ditengah-tengah ummat.
Kesimpulan :
Berdasarkan berbagai dalil dari As Sunnah maupun perkataan shahabat, setiap bid’ah itu sesat. Tidak ada bid’ah yang baik (hasanah). Tidak tepat pula membagi bid’ah menjadi lima : wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram karena pembagian semacam ini dapat menimbulkan kerancuan ditengah-tengah masyarakat.
Artikel : www.muslim.or.id
Dipublish ulang oleh : http://rumaysho.com
Dalil dari As Sunnah :
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma , beliau berkata :
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah matanya memerah, suaranya begitu keras, dan kelihatan begitu marah, seolah-olah beliau adalah seorang panglima yang meneriaki pasukan" Hati-hati dengan serangan musuh diwaktu pagi dan waktu sore". Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini. (Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya). Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ﺃَﻣَّﺎ ﺑَﻌْﺪُ ﻓَﺈِﻥَّ ﺧَﻴْﺮَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚِ ﻛِﺘَﺎﺏُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺧَﻴْﺮُ ﺍﻟْﻬُﺪَﻯ ﻫُﺪَﻯ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَﺷَﺮُّ ﺍﻷُﻣُﻮﺭِ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺗُﻬَﺎ ﻭَﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.”
(HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan :
ﻭَﻛُﻞَّ ﺿَﻼَﻟَﺔٍ ﻓِﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.”
(HR. An Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani di Shahih wa Dha’if Sunan An Nasa’i )
Diriwayatkan dari Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu , beliau berkata :
“Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini bergemetar (takut).” Lalu ada yang mengatakan :
ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻛَﺄَﻥَّ ﻫَﺬِﻩِ ﻣَﻮْﻋِﻈَﺔُ ﻣُﻮَﺩِّﻉٍ ﻓَﻤَﺎﺫَﺍ ﺗَﻌْﻬَﺪُ ﺇِﻟَﻴْﻨَﺎ
“Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami ?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ﺃُﻭﺻِﻴﻜُﻢْ ﺑِﺘَﻘْﻮَﻯ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟﺴَّﻤْﻊِ ﻭَﺍﻟﻄَّﺎﻋَﺔِ ﻭَﺇِﻥْ ﻋَﺒْﺪًﺍ ﺣَﺒَﺸِﻴًّﺎ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻣَﻦْ ﻳَﻌِﺶْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺑَﻌْﺪِﻯ ﻓَﺴَﻴَﺮَﻯ ﺍﺧْﺘِﻼَﻓًﺎ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﺴُﻨَّﺘِﻰ ﻭَﺳُﻨَّﺔِ ﺍﻟْﺨُﻠَﻔَﺎﺀِ ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻳِّﻴﻦَ ﺍﻟﺮَّﺍﺷِﺪِﻳﻦَ ﺗَﻤَﺴَّﻜُﻮﺍ ﺑِﻬَﺎ ﻭَﻋَﻀُّﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺑِﺎﻟﻨَّﻮَﺍﺟِﺬِ ﻭَﺇِﻳَّﺎﻛُﻢْ ﻭَﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺕِ ﺍﻷُﻣُﻮﺭِ ﻓَﺈِﻥَّ ﻛُﻞَّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup diantara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”
(HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shahih oleh Syaikh Al
Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Daud dan Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi)
Dalil dari Perkataan shahabat :
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata :
ﻣَﺎ ﺃَﺗَﻰ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻋَﺎﻡٌ ﺇِﻻ ﺃَﺣْﺪَﺛُﻮﺍ ﻓِﻴﻪِ ﺑِﺪْﻋَﺔً، ﻭَﺃَﻣَﺎﺗُﻮﺍ ﻓِﻴﻪِ ﺳُﻨَّﺔً، ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺤْﻴَﻰ ﺍﻟْﺒِﺪَﻉُ، ﻭَﺗَﻤُﻮﺕَ ﺍﻟﺴُّﻨَﻦُ
“Setiap tahun ada saja orang yang membuat bid’ah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah bid’ah dan sunnah pun mati.”
(Diriwayatkan oleh Ath Thobraniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 10610. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya tsiqoh/terpercaya)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata :
ﺍﺗَّﺒِﻌُﻮﺍ، ﻭَﻻ ﺗَﺒْﺘَﺪِﻋُﻮﺍ ﻓَﻘَﺪْ ﻛُﻔِﻴﺘُﻢْ، ﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼﻟَﺔٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ), janganlah membuat bid’ah. Karena (Sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.”
(Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perawinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shahih)
Itulah berbagai dalil yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat.
KERANCUAN :
ADA BID’AH HASANAH YANG TERPUJI
Inilah kerancuan yang sering didengung-dengungkan oleh sebagian orang bahwa tidak semua bid’ah itu sesat namun ada sebagian yang terpuji yaitu bid’ah hasanah.
Memang kita akui bahwa sebagian ulama ada yang mendefinisikan bid’ah (secara istilah) dengan mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang tercela dan ada yang terpuji karena bid’ah menurut beliau-beliau adalah segala sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah dari Harmalah bin Yahya. Beliau rahimahullah berkata :
ﺍﻟْﺒِﺪْﻋَﺔ ﺑِﺪْﻋَﺘَﺎﻥِ : ﻣَﺤْﻤُﻮﺩَﺓ ﻭَﻣَﺬْﻣُﻮﻣَﺔ
“Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela.”
(Lihat Hilyatul Awliya’ , 9/113, Darul Kitab Al ‘Arobiy Beirut-Asy Syamilah dan lihat Fathul Bari, 20/330, Asy Syamilah)
Beliau rahimahullah berdalil dengan perkataan 'Umar bin Al Khathab tatkala mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan shalat Tarawih. Umar berkata :
ﻧِﻌْﻢَ ﺍﻟْﺒِﺪْﻋَﺔُ ﻫَﺬِﻩِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”
(HR. Bukhari no. 2010)
Pembagian bid’ah semacam ini membuat sebagian orang rancu dan salah paham. Akhirnya sebagian orang mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang baik (bid’ah hasanah) dan ada yang tercela (bid’ah sayyi’ah). Sehingga untuk sebagian perkara bid’ah seperti merayakan maulid Nabi atau shalat nisfu Sya’ban yang tidak ada dalilnya atau pendalilannya kurang tepat, mereka membela bid’ah mereka ini dengan mengatakan ‘ Ini kan bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) ’.
Padahal kalau kita melihat kembali dalil-dalil yang telah disebutkan diatas baik dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun perkataan shahabat, semua riwayat yang ada menunjukkan bahwa bid’ah itu tercela dan sesat. Oleh karena itu, perlu sekali pembaca sekalian mengetahui
sedikit kerancuan ini dan jawabannya agar dapat mengetahui hakikat bid’ah yang sebenarnya.
SANGGAHAN TERHADAP KERANCUAN :
PENJELASAN SEMUA BID’AH ITU SESAT
Perlu diketahui bersama bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. "Sesungguhnya sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama, ), setiap bid’ah adalah sesat’, dan ‘ setiap kesesatan adalah dineraka" serta peringatan beliau terhadap perkara yang diada-adakan dalam agama, semua ini adalah dalil tegas dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka tidak boleh seorang pun menolak kandungan makna berbagai hadits yang mencela setiap bid’ah. Barangsiapa menentang kandungan makna hadits tersebut maka dia adalah orang yang hina.
(Iqtidho’ Shiratil Mustaqim, 2/88, Ta’liq Dr. Nashir Abdul Karim Al ‘Aql)
Tidak boleh bagi seorang pun menolak sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, lalu mengatakan ‘ tidak semua bid’ah itu sesat’.
(Iqtidho’ Shiratil Mustaqim , 2/93)
Perlu dipahami bahwa lafazh ‘ kullu ’ (artinya: semua) pada hadits :
ﻭَﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ
“Setiap bid’ah adalah sesat”,
Dan hadits semacamnya dalam bahasa Arab dikenal dengan lafazh umum. Asy Syatibhi mengatakan: “Para ulama memaknai hadits diatas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu,
tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah yang baik.”
(Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’ , hal. 91, Darul Ar Royah)
Inilah pula yang dipahami oleh para shahabat generasi terbaik ummat ini. Mereka menganggap bahwa setiap bid’ah itu sesat walaupun sebagian orang menganggapnya baik.
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:
ﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ ، ﻭَﺇِﻥْ ﺭَﺁﻫَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺣَﺴَﻨَﺔً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik. ”
(Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh , 1/219, Asy Syamilah)
Juga terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan:
ﻓَﻌُﺪُّﻭﺍ ﺳَﻴِّﺌَﺎﺗِﻜُﻢْ ﻓَﺄَﻧَﺎ ﺿَﺎﻣِﻦٌ ﺃَﻥْ ﻻَ ﻳَﻀِﻴﻊَ ﻣِﻦْ ﺣَﺴَﻨَﺎﺗِﻜُﻢْ ﺷَﻰْﺀٌ ، ﻭَﻳْﺤَﻜُﻢْ ﻳَﺎ ﺃُﻣَّﺔَ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻣَﺎ ﺃَﺳْﺮَﻉَ ﻫَﻠَﻜَﺘَﻜُﻢْ ، ﻫَﺆُﻻَﺀِ ﺻَﺤَﺎﺑَﺔُ ﻧَﺒِﻴِّﻜُﻢْ -ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻣُﺘَﻮَﺍﻓِﺮُﻭﻥَ ﻭَﻫَﺬِﻩِ ﺛِﻴَﺎﺑُﻪُ ﻟَﻢْ ﺗَﺒْﻞَ ﻭَﺁﻧِﻴَﺘُﻪُ ﻟَﻢْ ﺗُﻜْﺴَﺮْ ، ﻭَﺍﻟَّﺬِﻯ ﻧَﻔْﺴِﻰ ﻓِﻰ ﻳَﺪِﻩِ ﺇِﻧَّﻜُﻢْ ﻟَﻌَﻠَﻰ ﻣِﻠَّﺔٍ ﻫِﻰَ ﺃَﻫْﺪَﻯ ﻣِﻦْ ﻣِﻠَّﺔِ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ، ﺃَﻭْ ﻣُﻔْﺘَﺘِﺤِﻰ ﺑَﺎﺏِ ﺿَﻼَﻟَﺔٍ.
“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai ummat Muhammad..! Begitu cepat kebinasaan kalian...! Mereka shahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad ? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah) ? ”
ﻗَﺎﻟُﻮﺍ : ﻭَﺍﻟﻠَّﻪِ ﻳَﺎ ﺃَﺑَﺎ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﻣَﺎ ﺃَﺭَﺩْﻧَﺎ ﺇِﻻَّ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮَ. ﻗَﺎﻝَ : ﻭَﻛَﻢْ ﻣِﻦْ ﻣُﺮِﻳﺪٍ ﻟِﻠْﺨَﻴْﺮِ ﻟَﻦْ ﻳُﺼِﻴﺒَﻪُ
Mereka menjawab: ”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.” Ibnu Mas’ud berkata: “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.”
(HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid (bagus) )
Lihatlah kedua shahabat ini yaitu Ibnu 'Umar dan Ibnu Mas’ud- memaknai bid’ah dengan keumumannya tanpa membedakan adanya bid’ah yang baik (Hasanah) dan bid’ah yang jelek (Sayyi’ah).
BERALASAN DENGAN SHALAT TARAWIH YANG DILAKUKAN OLEH 'UMAR
Sanggahan pertama :
Adapun shalat Tarawih (yang dihidupkan kembali oleh Umar) maka dia bukanlah bid’ah secara syar’i (agama) Bahkan shalat Tarawih adalah Sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dilihat dari perkataan dan perbuatan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat Tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat Tarawih bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan 'Umar bahwa ‘ sebaik-baik bid’ah adalah ini ’ yaitu bid’ah secara lughowiyah (bahasa) dan bukan bid’ah secara syar’i (agama). Bid’ah secara bahasa itu lebih umum (termasuk kebaikan dan kejelekan) karena mencakup segala yang ada contoh sebelumnya.
Perlu diperhatikan, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan dianjurkan atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat, atau menunjukkannya secara mutlak, namun hal ini tidak dilakukan kecuali setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat (maksudnya dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ), maka boleh kita menyebut hal-hal semacam ini sebagai bid’ah secara bahasa . Begitu pula agama Islam ini disebut dengan muhdats /bid’ah (sesuatu yang baru yang diada-adakan) sebagaimana perkataan utusan Quraisy kepada raja An Najasiy mengenai orang-orang Muhajirin. Namun yang dimaksudkan dengan muhdats/bid’ah di sini adalah muhdats secara bahasa karena setiap
agama yang dibawa oleh para Rasul adalah agama baru.
(Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim , 2/93-96)
Sanggahan Kedua :
Kalau kita mau menerima perkataan 'Umar bahwa ada bid’ah yang baik. Maka dapat disanggah bahwa perkataan shahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujjah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan 'Umar menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan shahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya.
(Faedah dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim )
Sanggahan Ketiga :
Anggap saja kita katakan bahwa perbuatan 'Umar adalah pengkhususan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat. Jadi perbuatan 'Umar dengan mengerjakan shalat Tarawih terus menerus adalah bid’ah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa suatu amalan adalah bid’ah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’ kaum muslimin. Karena berdasarkan kaedah ushul fiqih, bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali pada dalil yang bersifat umum. Misalnya mengenai acara selamatan kematian. Jika kita ingin memasukkan amalan ini dalam bid’ah hasanah maka harus ada dalil dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman dalil bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap bid’ah) adalah sesat dan tertolak.
Namun yang lebih tepat, lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits ‘ setiap bid’ah adalah sesat’ adalah termasuk lafazh umum yang tetap dalam keumumannya ( ‘aam baqiya ‘ala umumiyatihi ) dan tidak memerlukan takhsis (pengkhususan). Inilah yang tepat berdasarkan berbagai hadits dan pemahaman shahabat mengenai bid’ah.
Lalu pantaskah kita orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai oleh shahabat 'Umar ?
Ingatlah bahwa ummat Islam saat ini tidaklah seperti ummat Islam di zaman 'Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ummat Islam saat ini tidak seperti ummat Islam digenerasi awal dahulu yang memahami maksud perkataan 'Umar. Maka tidak sepantasnya kita saat ini menggunakan istilah bid’ah (tanpa memahamkan apa bid’ah yang dimaksudkan) sehingga menimbulkan kerancuan ditengah-tengah umat. Jika memang kita mau menggunakan istilah bid’ah namun yang dimaksudkan adalah definisi secara bahasa, maka selayaknya kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut. Misalnya HP ini termasuk bid’ah secara bahasa. Tidaklah boleh kita hanya menyebut bahwa HP ini termasuk bid’ah karena hal ini bisa menimbulkan kerancuan ditengah-tengah ummat.
Kesimpulan :
Berdasarkan berbagai dalil dari As Sunnah maupun perkataan shahabat, setiap bid’ah itu sesat. Tidak ada bid’ah yang baik (hasanah). Tidak tepat pula membagi bid’ah menjadi lima : wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram karena pembagian semacam ini dapat menimbulkan kerancuan ditengah-tengah masyarakat.
Artikel : www.muslim.or.id
Dipublish ulang oleh : http://rumaysho.com
BANTAHAN DALIL BOLEHNYA TAHLILAN DALAM TRADISI NU/ASWAJA
BANTAHAN
Dalil Bolehnya Tahlilan dalam tradisi ASWAJA / NU.
Oleh: Al Ustadz Firanda, MA
(Catatan Terhadap Tulisan Ustadz Muhammad Idrus Ramli dan Kyai Tobari Syadzili)
Telah lalu tulisan saya tentang pengingkaran para ulama Syafi'iyah terhadap acara ritual tahlilan (silahkan dibaca kembali di Tahlilan adalah Bid'ah Menurut Madzhab Syafi'i: www.firanda.com/index.php/artikel/fiqh/408-tahlilan-adalah-bid-ah-menurut-madzhab-syafi-i ).
Dan hingga saat ini saya masih berharap masukan dari para ustadz-ustadz ASWAJA yang mengaku bermadzhab Syafi'iyah untuk mendatangkan nukilan dari ulama Syafi'iyah yang mu'tabar dalam madzhab mereka yang membolehkan acara ritual tahlilan...!
Jika ada nukilannya, maka harus dilihat manakah yang menjadi madzhab yang mu'tamad (patokan) dalam madzhab Syafi'iyah ? Terlebih-lebih lagi jika tidak didapat nukilan sama sekali...!
Imam Malik Membolehkan Tahlilan.
Dalam tulisannya distatus facebook yang berjudul TRADISI KENDURI KEMATIAN, Ustadz Idrus Ramli tidak menyebutkan ulama madzhab fiqih Syafi'i yang mendukungnya dalam membolehkan kenduri tahlilan. Akan tetapi Idrus Ramli berpindah ke madzhab Maliki dan menyebutkan bahwa madzhab Maliki bahkan Imam Malik bin Anas Rahimahullah membolehkan kenduri kematian.
Ustadz Idrus Ramli berkata: (Pendapat Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Hal ini seperti dipaparkan oleh Syaikh Abdullah Al-Jurdani, dalam Fath Al-‘Allam Syarh Mursyid Al-Anam, juz 3 hal. 218.
Berdasarkan paparan diatas, dapat kita simpulkan bahwa hukum memberi makan orang-orang yang berta'ziyah masih diperselisihkan dikalangan ulama salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan Sunnah. Di kalangan ulama salaf tidak ada yang berpendapat haram, demikian perkataan Ustadz Idrus Ramli.
Berikut saya nukilkan scan dari kitab Fath Al-'Allaam Syarh Mursyid Al-Anaam [3/217-218]. Penulis kitab Fath Al-'Allaam Sayyid Muhammad Abdullah Al-Jardaaniy berkata.:
"Dan diantara bid'ah yang makruhah adalah apa yang dilakukan oleh masyarakat yang disebut dengan "kaffaaroh", yaitu membuat makanan untuk berkumpul sebelum menguburkan mayat atau setelahnya, juga menyembelih diatas kuburan, dan Jum'at-Jum'at, emput puluhan hari, BAHKAN SEMUA INI HUKUMNYA HARAM jika menggunakan harta mayat sementara sang mayat memiliki hutang, atau diantara ahli warisnya ada yang terhalangi dari harta tersebut atau sedang tidak hadir. Memang, boleh dilakukan apa yang sudah merupakan tradisi menurut Imam Malik, seperti juma' dan yang semisalnya".
Yang sangat disayangkan adalah Ustadz Idrus Ramli menukil tentang madzhab Maliki dari literatur madzhab Syafi'iyah. Karena kitab Fathul 'Allam adalah kitab fiqih Syafi'i, judul lengkapnya adalah:
فَتْحُ العَلاَّمِ بِشَرْحِ مُرْشِدِ الْأنَامِ فِي الْفِقْهِ عَلَى مَذْهَبِ السَّادَةِ الشَّافِعِيَّةِ
Tentunya akan lebih tepat jika seseorang mengutip pendapat madzhab Malikiyah maka ia mengambil dari literatur kitab-kitab madzhab Malikiyah.
Ternyata yang saya dapati dalam kitab-kitab madzhab Maliki, adalah malah sebaliknya, yaitu pelarangan penyediaan makanan dirumah keluarga mayat dalam rangka mengumpulkan orang-orang. Berikut perkataan-perkataan para ulama madzhab Malikiyah :
Pertama: Abu Abdillah Al-Maghriby (wafat 954 H), beliau berkata :
"Adapun kegiatan menghidangkan makanan yang dilakukan oleh keluarga mayit dan mengumpulkan orang-orang untuk makanan tersebut, maka hal ini dibenci oleh sekelompok ulama, dan mereka menganggap perbuatan tersebut termasuk bid'ah, karena tidak ada satupun nukilan dalil dalam masalah ini, dan momen tersebut bukanlah tempat melaksanakan walimah/kenduri...
Adapun apabila seseorang menyembelih binatang dirumahnya kemudian dibagikan kepada orang-orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit, maka tidak mengapa selama hal tersebut tidak dimaksudkan untuk riya', sum'ah, dan saling unjuk gengsi, serta tidak mengumpulkan masyarakat untuk memakan sembelihan tersebut".
(Mawahibul jalil li Syarhi Mukhtasharil Khalil, karya Abu Abdullah Al-Maghriby, cetakan Dar 'Aalam Al-Kutub, juz 3 hal 37).
Kedua : Muhammad 'Arofah Ad-Dusuuqi rahimahullah (wafat 1230 H), beliau berkata :
"Dan perkataannya ((Dianjurkan menyiapkan makanan untuk keluarga mayat)): hal itu dikarenakan mereka ditimpa musibah yang menyibukan mereka. (Hal ini dianjurkan) selama mereka tidak berkumpul untuk niyahah, yaitu tangisan dengan mengangkat suara. Namun jika tidak (terpenuhi syarat ini), maka tidak boleh mengirim makanan untuk keluarga mayit karena mereka adalah pelaku maksiat. Adapun mengumpulkan orang-orang untuk makanan di keluarga mayat maka itu merupakan bid'ah yang makruh".
(Hasyiyah Ad-Dusuuqy 'ala Al-Syarh Al-Kabir [Beirut: Darul Fikr], karya Muhammad 'Arofah Ad-Dusuuqy, juz I, hal 419).
Ketiga : Muhammad 'Ulayyisy Al-Maaliki (wafat 1299 H), dalam kitabnya Minah Al-Jaliil ia berkata :
"Dianjurkan menyiapkan dan menghadiahkan makanan kepada keluarga mayit, karena mereka ditimpa musibah yang menyibukan mereka, sehingga tidak sempat membuat makanan untuk mereka sendiri. (Hal ini dianjurkan) selama mereka tidak berkumpul untuk menangis dengan mengangkat suara atau perkataan yang buruk, maka jika demikian, jadilah haram menghadiahkan makanan kepada mereka, karena berarti membantu mereka melakukan perbuatan haram".
Adapun berkumpul untuk memakan makanan dirumah mayat maka ini merupakan bid'ah yang makruh (dibenci), jika diantara ahli warisnya tidak ada yang masih kecil. Jika (ahli warisnya) ada yang masih kecil, maka perbuatan ini haram.
Dan termasuk kesesatan yang buruk dan kemungkaran yang keji, serta kebodohan yang tidak ringan adalah menggantungkan tanah dan selalu menyediakan kopi dirumah mayit serta berkumpul dirumah tersebut untuk bercerita-cerita, dan membuang-buang waktu pada perkara-perkara yang dilarang, disertai pamer dan bangga-banggaan. Mereka tidak memikirkan orang yang mereka kuburkan ditanah dibawah kaki mereka, yang telah mereka letakan ditempat yang gelap…. Jika mereka ditanya tentang perbuatan itu, mereka menjawab: Karena mengikuti tradisi, untuk menjaga gengsi, dan mendapatkan pujian masyarakat... Maka apakah ada kebaikan pada hal ini ? Sekali-kali tidak, bahkan itu adalah keburukan dan kerugian..."
(Syarh Minahul Jalil 'alaa Mukhtashor 'Allaamah Al-Kholiil, cetakan Maktabah An-Najaah, Trooblus, Libiya, juz 1 hal 300).
DALIL BOLEHNYA TAHLILAN
Berikut ini beberapa dalil yang dijadikan hujjah oleh ustadz Idrus Ramli dan juga kiyai Tobari Syadzili akan bolehnya tahlilan. Akan tetapi berikut catatan ringan yang berkaitan dengan pendalilan tersebut.
Pendalilan Pertama.
Ustadz Idrus Ramli berkata:
"Riwayat dari Khalifah 'Umar bin Al-Khathtab yang berwasiat agar disediakan makanan bagi orang-orang yang datang melayat. Al-Imam Ahmad bin Mani' meriwayatkan: Dari Ahnaf bin Qais, berkata: "Setelah Khalifah 'Umar ditikam oleh Abu Lu’luah Al-Majusi, maka ia memerintahkan Shuhaib agar menjadi imam sholat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah 'Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang menyelimuti. Lalu Abbas bin Abdul Mutthalib datang dan berkata: 'Wahai manusia, dulu Rasulullah meninggal, lalu kita makan dan minum sesudah itu. Lalu Abu Bakar meninggal, kita makan dan minum sesudahnya. Wahai manusia, makanlah dari makanan ini.' Lalu Abbas menjamah makanan itu, dan orang-orang pun menjamahnya.
(HR. Ibnu Mani').
Al-Ustadz setelah itu berkata "...kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta'ziyah telah berlangsung sejak generasi shahabat atas perintah Khalifah 'Umar sebelum wafat".
Dalil ini juga yang telah dijadikan pegangan oleh Kiyai Thobari Syadzili sebagaimana bisa dilihat di :
(http://jundumuhammad.net/2011/06/07/hukum-selamatan-hari-ke-3-7-40-100-setahun-1000/)
SANGGAHAN
Kritikan terhadap pendalilan Al-Ustadz Idrus Ramli diatas dari dua sisi :
PERTAMA: Tentang Keabsahan Dalil.
Al-Ustadz Idrus Ramli tidak menyebutkan dalam kitab apa riwayat 'Umar bin Al-Khothtab ini diriwayatkan oleh Ibnu Mani', dan juga tidak menyebutkan takhriij riwayat ini secara lengkap, terlebih lagi derajat keabsahan riwayat ini.
'Alaa ad-Diin dalam kitabnya Kanzul 'Ummaal [13/509 no 37304] –setelah menyebutkan atsar diatas, ia berkata :
(Ibnu Sa'ad, Ibnu Manii', Abu Bakr fi Al-Ghoilaaniyaat, Ibnu 'Asaakir)
Berikut ini saya cantumkan riwayat atsar ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar dalam Al-Ghilaaniyaat (1/302-303 no 315. Dan lihat juga 1/296 no 296)
Ternyata dalam isnadnya ada seorang perawi yang bernama Ali bin Zaid bin Jud'aan.
Adapun Ibnu 'Asaakir maka beliau meriwayatkan atsar ini di kitabnya Taarikh Dimasyq [26/373], sebagaimana berikut :
Dan sangat jelas pula bahwa dalam isnadnya terdapat perawi yang bernama Abdullah bin Zaid bin Jud'aan.
Adapun Ibnu Sa'ad maka beliau meriwayatkan atsar ini dalam kitabnya At-Tobaqoot Al-Kubroo (4/26-27) sebagaimana berikut ini :
Adapun Ahmad bin Manii' maka beliau membawakan riwayat ini dalam Musnadnya, sebagaimana dinukil oleh Al-Haafiz Ibnu Hajar Al-'Asqolaani dalam kitabnya Al-Mathoolib Al-'Aaliyah Bizawaaid Al-Masaaniid Ats-Tsamaaniyah 5/328 no 1785 atau pada cetakan lama 1/198)
Beliau berkata:
Pandangan ulama terhadap keabsahan atsar ini :
Atsar ini dibawakan oleh Ahmad bin Abi Bakr Al-Buushiri dalam kitabnya Ithaaf Al-Khiyaroh Al-Maharoh bi Zawaaid Al-Masaaniid Al-'Asyaroh 2/509 no 2000, sbb:
Sangat jelas bahwa Al-Bushiri berkata, "Diriwayatkan oleh Ahmad bin Manii', dan pada sanadnya ada perawi Ali bin Zaid bin Jud'aan".
Ali bin Zaid bin Jud'aan adalah perawi yang dha'iif (lemah) bahkan tertuduh terpengaruh faham tasyayyu' (Syi'ah), silahkan merujuk ke kitab-kitab berikut [Taqriib At-Tahdziib karya Ibnu Hajar hal 401 no 4734, Tahdziibut Tahdziib karya Ibnu Hajar 7/283-284 no 545, Al-Mughniy fi Ad-Du'afaa karya Adz-Dzahabi 2/447, dan Al-Majruuhiin karya Ibnu Hibbaan 2/103-104].
KEDUA : Tentang Sisi Pendalilan
Al-Ustadz Idrus Ramli ingin berdalil dengan atsar (riwayat) diatas akan bolehnya acara ritual tahlilan.
Mari kita baca kembali terjemahan riwayat diatas dengan seksama:
"...Tatkala 'Umar ditikam, maka 'Umarpun memerintahkan Shuhaib untuk mengimami orang-orang dan memberi makanan kepada mereka selama tiga hari, hingga mereka bersepakat pada seseorang (untuk menjadi khalfiah baru pengganti 'Umar-pen). Tatkala mereka meletakan makanan maka orang-orangpun menahan diri tidak makan, maka Al-'Abbaas Radhiyallahu 'anhu berkata: "Wahai manusia, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat, maka kamipun makan dan minum setelah wafatnya, dan (juga) setelah (wafatnya) Abu Bakar, dan sungguh makan itu adalah keharusan". Maka Al-'Abbaas pun makan lalu orang-orangpun ikut makan".
Jika kita perhatikan isi dari kandungan atsar diatas maka bisa kita ambil kesimpulan:
PERTAMA: Penyediaan makanan tersebut telah diperintahkan oleh 'Umar sebelum beliau meninggal. Berbeda dengan ritual tahlilan yang penyediaan makanan adalah untuk orang-orang yang melakukan ta'ziyah.
KEDUA: Sangat jelas bahwa tujuan penyediaan makanan tersebut adalah agar para sahabat rapat dan menentukan pengganti Khalifah 'Umar dengan Khalifah yang baru. Sehingga makanan tersebut tidaklah disediakan dalam rangka acara ritual tahlilan untuk mendoakan 'Umar bin Al-Khathtaab.
KETIGA: Adapun penyebutan jumlah tiga hari tersebut sama sekali bukan karena sebagaimana ritual Tahlilan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari dan seterusnya. Akan tetapi hingga para shahabat menentukan khalifah yang baru, dan karena 'Umar meninggal tiga hari setelah beliau ditikam.
KE EMPAT: Sama sekali tidak disebutkan tatkala itu adanya acara mendo'akan, dan kumpul-kumpul dalam rangka berdo'a, karena tatkala mereka berkumpul dan makan, 'Umar masih dalam keadaan hidup.
KE LIMA: Kapan mereka menahan diri ragu untuk menyentuh makanan..?, yaitu tatkala mereka pulang dari menguburkan 'Umar. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang lain :
Tatkala mereka kembali pulang dari menguburkan 'Umar mereka datang, dan makanan telah dihidangkan. Orang-orangpun menahan diri karena kesedihan yang mereka rasakan. Maka Abbaspun datang…."
Jadi proses menyediakan makanan sudah disediakan semenjak 'Umar masih hidup dan setelah 'Umar dikubur masih juga disediakan makanan. Akan tetapi para shahabat enggan untuk memakan karena kesedihan yang mereka rasakan.
Dan dalam riwayat tersebut sangat jelas bahwa tujuan memakan makanan itu adalah karena urusan pemerintahan, dan mereka harus makan untuk terus menyelenggarakan pemilihan khalifah.
Al-'Abbas berkata :
"Wahai manusia, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat, maka kamipun makan dan minum setelah beliau (wafat), dan (juga) setelah (wafatnya) Abu Bakar, dan sungguh makan itu adalah keharusan". Maka Al-'Abbaas pun makan, lalu orang-orangpun ikut makan."
Karenanya acara memakan makanan tersebut hanya disebutkan oleh Abbas berkaitan dengan setelah wafatnya para pemimpin yaitu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Abu Bakar, dan bukan berkaitan dengan acara makan-makan pada setiap ada yang meninggal. Padahal diketahui bersama bahwasanya terlalu banyak para shahabat yang meninggal sebelum meninggalnya 'Umar, baik yang meninggal dalam perang Badr, Uhud, Khondaq, Khoibar, Mu'tah, dan lain-lain, demikian pula yang meninggal dizaman Abu Bakar tatkala berperang melawan pasukan nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzaab. Akan tetapi tidak ada sama sekali perlaksanaan ritual tahlilan yang mereka lakukan...!
KE ENAM: Yang jelas penyediaan makanan tersebut bukan dari harta orang yang kematian, akan tetapi dzohirnya adalah atas perintah 'Umar sang Khalifah. Jadi dari harta negara, karena untuk urusan negara, yaitu pemilihan khalifah yang baru.
Akan tetapi bagaimanapun telah jelas bahwa atsar riwayat diatas adalah ATSAR YANG LEMAH yang tidak bisa dijadikan hujjah dan dalil. Kalaupun shahih maka pendalilalnnya tidaklah nyambung.
Wallahu a'lam bis Shawaaab.
PENDALILAN KE DUA'
Ustadz Muhammad Idrus Ramli berkata :
"Riwayat dari Sayyidah 'Aisyah, istri Nabi ketika ada keluarganya meninggal dunia, beliau menghidangkan makanan. Imam Muslim meriwayatkan dalam shahih-nya :
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ. رواه مسلم
"Dari Urwah, dari 'Aisyah, istri Nabi, bahwa apabila seseorang dari keluarga 'Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka 'Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian 'Aisyah berkata: 'Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah bersabda: Talbinah dapat menenangkan hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan".
(HR. Muslim [2216).
Dua hadits diatas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta'ziyah telah berlangsung sejak generasi shahabat atas perintah Khalifah 'Umar sebelum wafat, dan dilakukan oleh Sayyidah 'Aisyah. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi kenduri kematian bukanlah perbuatan yang dilarang dalam agama.
SANGGAHAN
Dalil dari hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anha diatas sangat tidak diragukan akan keabsahan dan keshahihannya. Karenanya pembicaraan hanya akan tertuju pada sisi pendalilan dari hadits tersebut untuk melegalkan acara ritual tahlilan.
Jika kita membaca kembali teks hadits diatas maka bisa kita simpulkan:
PERTAMA :
Sangat jelas tidak ada penyebutan acara ritual tahlilan, hanya penyebutan mengenai makanan.
KEDUA :
Dalam hadits diatas disebutkan bahwa yang menyediakan makanan adalah 'Aisyah, dan yang meninggal adalah keluarga 'Aisyah, serta yang diberi makan adalah keluarga 'Aisyah dan orang-orang khususnya.
Sangat jelas dalam riwayat diatas :
أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ
"Jika ada yang meninggal dari keluarga 'Aisyah, maka para wanita pun berkumpul untuk itu, kemudian mereka bubar kecuali keluarga 'Aisyah dan orang-orang khususnya, maka 'Aisyahpun memerintahkan untuk membuat makanan talbinah seperiuk kecil".
Bahwa pembicaraan dalam hadits ini, bukanlah membuat makanan untuk seluruh orang-orang yang hadir, akan tetapi untuk orang-orang khusus beliau dari kalangan wanita saja.
Selain itu pemberian makanan talbinah ini adalah setelah para wanita bubaran, sehingga yang tersisa hanyalah keluarga 'Aisyah yang bersedih dan orang-orang khusus yang dekat dengan 'Aisyah.
KE TIGA :
Dalam hadits diatas juga, tujuan pembuatan makanan talbinah tersebut bukanlah dalam rangka bersedekah kepada para penta'ziyah, (karena jelas para penta'ziyah wanita telah bubaran), akan tetapi dalam rangka menghilangkan kesedihan.
Karenanya seluruh para ulama yang menjelaskan hadits diatas, menyebutkan tentang keutamaan talbinah yang disebutkan oleh Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam untuk menghilangkan kesedihan dan kesusahan. Karenanya talbinah ini tidak hanya diberikan kepada keluarga yang sedang duka, akan tetapi diberikan juga kepada orang yang sakit.
KE EMPAT :
Yang dihidangkan oleh 'Aisyah adalah hanya talbinah saja bukan sembarang makanan, karena ada keutamaan talbinah yang bisa menghilangkan kesedihan. Hal ini semakin mendukung bahwa tujuan 'Aisyah bukanlah untuk murni memberi makanan, atau untuk mengenyangkan perut, atau untuk bersedekah dengan makanan, akan tetapi tujuannya adalah untuk menghilangkan kesedihan. Karena kalau dalam rangka mengenyangkan para penta'ziah dan bersedakah, maka lebih utama untuk menghidangkan makanan yang berbobot seperti kambing guling dan yang lainnya, bukan hanya sekedar semangkuk sop saja yang tidak mengenyangkan.
PENDALILAN KE TIGA.
Ustadz Muhammad Idrus Ramli berkata: (Tradisi kaum salaf sejak generasi shahabat yang bersedekah makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati. Dalam hal ini, Al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab Al-Zuhd: "Dari Sufyan berkata : "Thawus berkata : "Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut".
Hadits diatas diriwayatkan Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam Al-Zuhd, Al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah Al-Auliya' [juz 4 hal. 11], Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal Al-Qubur [32], Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Mathalib Al-'Aliyah [juz 5 hal. 330] dan Al-Hafizh Al-Suyuthi dalam Al-Hawi lil-Fatawi [juz 2 hal. 178].
Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi shahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafizh Al-Suyuthi.
Demikianlah perkataan Ustadz Muhamad Idrus Ramli
Pendalilan ini pulalah yang dipaparkan oleh Kiyai Tobari Syadzili
(http://jundumuhammad.net/2011/06/07/hukum-selamatan-hari-ke-3-7-40-100-setahun-1000/)
SANGGAHAN
Ustadz Muhamad Idrus Ramli telah menyebutkan takhrij atsar ini dengan baik. Akan tetapi perlu pembahasan dari dua sisi, sisi keabsahan atsar ini, dan sisi kandungan atsar ini.
PERTAMA : Keabsahan Atsar Ini
Atsar ini sebagaimana disebutkan oleh Al-Haafiz Ibnu Hajar dalam Al-Matholib Al-'Aaliyah [5/330 no 834], sebagaimana berikut :
Imam Ahmad berkata : Telah menyampaikan kepada kami Hasyim bin Al-Qosim, telah menyampaikan kepada kami Al-Asyja'iy, dari Sufyan berkata, Thowus telah berkata : " Sesungguhnya mayat-mayat diuji dalam kuburan mereka tujuh hari, maka mereka (para salaf-pen) suka untuk bersedekah makanan atas nama mayat-mayat tersebut pada hari-hari tersebut ".
Dan dari jalan Al-Imam Ahmad bin Hanbal juga diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam kitabnya Hilyatul Auliyaa' [4/11] sebagaimana berikut ini :
Seluruh perawi atsar diatas adalah tsiqoh, hanya saja sanadnya terputus antara Sufyan dan Thowus.
Thowus bin Kaisaan Al-Yamani wafat 106 H (Taqribut Tahdzib hal 281 no 3309) adapun Sufyan bin Sa'id bin Masruq Ats-Tsauri lahir pada tahun 97 H (lihat Siyar A'lam An-Nubala 7/230). Meskipun Sufyan Ats-Tsaury mendapati zaman Thowus, hanya saja tidak ada dalil yang menunjukan bahwa Sufyan pernah mendengar dari Thowus.
Justru yang ada adalah sebaliknya :
Pertama: Tatkala Thowus wafat [tahun 106 H} umur Sufyan At-Tsauri [yang lahir tahun 97 H] masih sangat kecil yaitu beliau berumur 9 tahun. Karenanya Sufyan tidak mendapati periwayatan dari Thowus bin Kaisan.
Ke dua : Dalam buku-buku Tarojum Ar-Ruwat (seperti Tahdziib Al-Kamal, Tahdzib At-Tahdzib, Siyar A'lam An-Nubala, dll) tidak menyebutkan bahwa Thowus bin Kaisan termasuk syuyukh (guru-guru) yang Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari mereka.
Ke tiga: Sufyan Ats-Tsauri selalu meriwayatkan dari Thowus dengan perantara perawi yang lain. Diantara perawi-perawi perantara tersebut adalah (1) Habib bin Abi Tsabit, (2) 'Amr bin Dinar, (3) Abdullah bin Thowus, (4) Handzolah bin Abi Sufyan, dan (5) Ibrahim bin Maysaroh.
Ke empat : Tidak ditemukan satu riwayatpun yang dimana Sufyan meriwayatkan langsung dari Thowus.
Ke lima : Adapun riwayat diatas maka Sufyan tidak menggunakan shigoh (عَنْ طاووس) "Dari Thowus", akan tetapi beliau mengatakan (قَالَ طاووس) "Telah berkata Thowus". Yang shiqoh periwayatan seperti ini tidak menunjukan dengan jelas bahwa beliau meriwayatkan dari Thowus, akan tetapi beliau hanya mengabarkan perkataan Thowus. Karenanya sangatlah jelas jika sanad atsar ini terputus antara Sufyan dan Thowus.
KEDUA : Sisi Pendalilan
Kalaupun seandainya atsar ini shahih, maka ada beberapa perkara yang menjadi permasalahan:
Pertama : Atsar ini dihukumi marfu' mursal, karena Thowus adalah seorang tabi'in dan dalam atsar ini ia sedang berbicara tentang hal yang ghaib, yaitu bahwasanya mayat diuji (ditanya oleh malaikat munkar dan nakiir) selama tujuh hari. Dan hadits mursal adalah hadits yang lemah.
Ustadz Muhmad Idrus Ramli berkata, (Akan tetapi sebagaimana yang diketahui bahwasanya Thowus bukanlah seorang shahabat, akan tetapi ia hanyalah seorang tabi'in. Sehingga pernyataan beliau tentang bahwa mayat diuji selama tujuh hari adalah termasuk perkara yang ghaib yang perlu dibahas lebih lanjut. Memang para ulama hadits menyebutkan bahwa jika seorang shahabat yang berbicara tentang ilmu ghaib maka diberi hukum marfu' dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, karena tidak mungkin seorang shahabat berbicara tentang ilmu ghaib kecuali berasal dari Nabi shalallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi jika seorang tabi'in yang berbicara ?, Para ulama menyebutkan hukumnya adalah hukum mursal. Demikian perkataan Al-Ustadz.
Tentunya para ulama mengecualikan shahabat yang dikenal mengambil riwayat Israiliyat seperti Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash, dan juga shahabat Ibnu Abbas sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama. Jika para shahabat yang dikenal mengambil dari isroiliyat berbicara tentang hal yang ghaib, maka riwayatnya itu tidak bias dihukumi mar'fuu' karena ada kemungkinan mereka mengambil dari Isroiliyat.
Thowus termasuk yang sering meriwayatkan dari Ibnu Abbas.
Ke dua : Semakin memperkuat akan hal ini, adalah bahwasanya seluruh hadits-hadits yang shahih dan marfu' menunjukan bahwa mayat akan ditanya hanya sekali, yakni tatkala baru dikuburkan.
Ke tiga : Kalaupun atsar ini shahih, maka sama sekali tidak menunjukan adanya acara tahlilan sebagaimana yang dipersangkakan. Karena atsar ini tidak menunjukan bahwa para salaf mengadakan acara berkumpul-kumpul selama tujuh hari berturut-turut dirumah keluarga mayat.
Akan tetapi hanya menunjukan akan dianjurkannya memberi makanan sebagai sedekah atas nama mayat selama tujuh hari. Dan termasuk perkara yang disepakati bolehnya adalah bersedekah atas nama mayit, karena pahalanya akan sampai kepada mayit.
Sementara pelaku acara tahlilan, banyak dari mereka seringnya hanya melakukan tahlilan pada hari ke 3 dan ke 7 lalu 40, 100, dan 1000, serta tidak melakukan tahlilan 7 hari berturut-turut.
Ke empat : Hal ini didukung dengan perkataan Jariir bin 'Abdillah:
كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ
"Kami menganggap perkumpulan dikeluarga mayat dan pembuatan makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyahah".
(Atsar riwayat Ahmad dalam Musnadnya no 6905 dan Ibnu Maajah dalam sunannya no 1308, dan dishahihkan oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/320 dan Al-Bushiri dalam Az-Zawaid).
Ke enam : Jika memang para salaf selalu melakukan tahlilan selama tujuh hari berturut-turut, dan juga hari ke 40, 100, dan 1000 hari sebagaimana yang dipahami oleh ustadz Muhammad Idrus Ramli dan juga Kiyai Syadzily Tobari, maka kenapa kita tidak menemukan sunnah ini disebutkan dalam kitab-kitab fiqih madzhab ? apakah para ahli fiqih empat madzhab sama sekali tidak mengetahui sunnah ini ?
Ke tujuh : Justru kita dapati madzhab Syaifi'iyah lah yang keras menentang acara tahlilan (Silahkan baca kembali Tahlilan Adalah Bid'ah Menurut Ulama Syafi'i www.firanda.com/index.php/artikel/fiqh/408-tahlilan-adalah-bid-ah-menurut-madzhab-syafi-i ).
***
Sumber :
www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/423-dalil-bolehnya-tahlilan
Ustadz Firanda Andirja, M.A.
Artikel www.firanda.com
Dalil Bolehnya Tahlilan dalam tradisi ASWAJA / NU.
Oleh: Al Ustadz Firanda, MA
(Catatan Terhadap Tulisan Ustadz Muhammad Idrus Ramli dan Kyai Tobari Syadzili)
Telah lalu tulisan saya tentang pengingkaran para ulama Syafi'iyah terhadap acara ritual tahlilan (silahkan dibaca kembali di Tahlilan adalah Bid'ah Menurut Madzhab Syafi'i: www.firanda.com/index.php/artikel/fiqh/408-tahlilan-adalah-bid-ah-menurut-madzhab-syafi-i ).
Dan hingga saat ini saya masih berharap masukan dari para ustadz-ustadz ASWAJA yang mengaku bermadzhab Syafi'iyah untuk mendatangkan nukilan dari ulama Syafi'iyah yang mu'tabar dalam madzhab mereka yang membolehkan acara ritual tahlilan...!
Jika ada nukilannya, maka harus dilihat manakah yang menjadi madzhab yang mu'tamad (patokan) dalam madzhab Syafi'iyah ? Terlebih-lebih lagi jika tidak didapat nukilan sama sekali...!
Imam Malik Membolehkan Tahlilan.
Dalam tulisannya distatus facebook yang berjudul TRADISI KENDURI KEMATIAN, Ustadz Idrus Ramli tidak menyebutkan ulama madzhab fiqih Syafi'i yang mendukungnya dalam membolehkan kenduri tahlilan. Akan tetapi Idrus Ramli berpindah ke madzhab Maliki dan menyebutkan bahwa madzhab Maliki bahkan Imam Malik bin Anas Rahimahullah membolehkan kenduri kematian.
Ustadz Idrus Ramli berkata: (Pendapat Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Hal ini seperti dipaparkan oleh Syaikh Abdullah Al-Jurdani, dalam Fath Al-‘Allam Syarh Mursyid Al-Anam, juz 3 hal. 218.
Berdasarkan paparan diatas, dapat kita simpulkan bahwa hukum memberi makan orang-orang yang berta'ziyah masih diperselisihkan dikalangan ulama salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan Sunnah. Di kalangan ulama salaf tidak ada yang berpendapat haram, demikian perkataan Ustadz Idrus Ramli.
Berikut saya nukilkan scan dari kitab Fath Al-'Allaam Syarh Mursyid Al-Anaam [3/217-218]. Penulis kitab Fath Al-'Allaam Sayyid Muhammad Abdullah Al-Jardaaniy berkata.:
"Dan diantara bid'ah yang makruhah adalah apa yang dilakukan oleh masyarakat yang disebut dengan "kaffaaroh", yaitu membuat makanan untuk berkumpul sebelum menguburkan mayat atau setelahnya, juga menyembelih diatas kuburan, dan Jum'at-Jum'at, emput puluhan hari, BAHKAN SEMUA INI HUKUMNYA HARAM jika menggunakan harta mayat sementara sang mayat memiliki hutang, atau diantara ahli warisnya ada yang terhalangi dari harta tersebut atau sedang tidak hadir. Memang, boleh dilakukan apa yang sudah merupakan tradisi menurut Imam Malik, seperti juma' dan yang semisalnya".
Yang sangat disayangkan adalah Ustadz Idrus Ramli menukil tentang madzhab Maliki dari literatur madzhab Syafi'iyah. Karena kitab Fathul 'Allam adalah kitab fiqih Syafi'i, judul lengkapnya adalah:
فَتْحُ العَلاَّمِ بِشَرْحِ مُرْشِدِ الْأنَامِ فِي الْفِقْهِ عَلَى مَذْهَبِ السَّادَةِ الشَّافِعِيَّةِ
Tentunya akan lebih tepat jika seseorang mengutip pendapat madzhab Malikiyah maka ia mengambil dari literatur kitab-kitab madzhab Malikiyah.
Ternyata yang saya dapati dalam kitab-kitab madzhab Maliki, adalah malah sebaliknya, yaitu pelarangan penyediaan makanan dirumah keluarga mayat dalam rangka mengumpulkan orang-orang. Berikut perkataan-perkataan para ulama madzhab Malikiyah :
Pertama: Abu Abdillah Al-Maghriby (wafat 954 H), beliau berkata :
"Adapun kegiatan menghidangkan makanan yang dilakukan oleh keluarga mayit dan mengumpulkan orang-orang untuk makanan tersebut, maka hal ini dibenci oleh sekelompok ulama, dan mereka menganggap perbuatan tersebut termasuk bid'ah, karena tidak ada satupun nukilan dalil dalam masalah ini, dan momen tersebut bukanlah tempat melaksanakan walimah/kenduri...
Adapun apabila seseorang menyembelih binatang dirumahnya kemudian dibagikan kepada orang-orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit, maka tidak mengapa selama hal tersebut tidak dimaksudkan untuk riya', sum'ah, dan saling unjuk gengsi, serta tidak mengumpulkan masyarakat untuk memakan sembelihan tersebut".
(Mawahibul jalil li Syarhi Mukhtasharil Khalil, karya Abu Abdullah Al-Maghriby, cetakan Dar 'Aalam Al-Kutub, juz 3 hal 37).
Kedua : Muhammad 'Arofah Ad-Dusuuqi rahimahullah (wafat 1230 H), beliau berkata :
"Dan perkataannya ((Dianjurkan menyiapkan makanan untuk keluarga mayat)): hal itu dikarenakan mereka ditimpa musibah yang menyibukan mereka. (Hal ini dianjurkan) selama mereka tidak berkumpul untuk niyahah, yaitu tangisan dengan mengangkat suara. Namun jika tidak (terpenuhi syarat ini), maka tidak boleh mengirim makanan untuk keluarga mayit karena mereka adalah pelaku maksiat. Adapun mengumpulkan orang-orang untuk makanan di keluarga mayat maka itu merupakan bid'ah yang makruh".
(Hasyiyah Ad-Dusuuqy 'ala Al-Syarh Al-Kabir [Beirut: Darul Fikr], karya Muhammad 'Arofah Ad-Dusuuqy, juz I, hal 419).
Ketiga : Muhammad 'Ulayyisy Al-Maaliki (wafat 1299 H), dalam kitabnya Minah Al-Jaliil ia berkata :
"Dianjurkan menyiapkan dan menghadiahkan makanan kepada keluarga mayit, karena mereka ditimpa musibah yang menyibukan mereka, sehingga tidak sempat membuat makanan untuk mereka sendiri. (Hal ini dianjurkan) selama mereka tidak berkumpul untuk menangis dengan mengangkat suara atau perkataan yang buruk, maka jika demikian, jadilah haram menghadiahkan makanan kepada mereka, karena berarti membantu mereka melakukan perbuatan haram".
Adapun berkumpul untuk memakan makanan dirumah mayat maka ini merupakan bid'ah yang makruh (dibenci), jika diantara ahli warisnya tidak ada yang masih kecil. Jika (ahli warisnya) ada yang masih kecil, maka perbuatan ini haram.
Dan termasuk kesesatan yang buruk dan kemungkaran yang keji, serta kebodohan yang tidak ringan adalah menggantungkan tanah dan selalu menyediakan kopi dirumah mayit serta berkumpul dirumah tersebut untuk bercerita-cerita, dan membuang-buang waktu pada perkara-perkara yang dilarang, disertai pamer dan bangga-banggaan. Mereka tidak memikirkan orang yang mereka kuburkan ditanah dibawah kaki mereka, yang telah mereka letakan ditempat yang gelap…. Jika mereka ditanya tentang perbuatan itu, mereka menjawab: Karena mengikuti tradisi, untuk menjaga gengsi, dan mendapatkan pujian masyarakat... Maka apakah ada kebaikan pada hal ini ? Sekali-kali tidak, bahkan itu adalah keburukan dan kerugian..."
(Syarh Minahul Jalil 'alaa Mukhtashor 'Allaamah Al-Kholiil, cetakan Maktabah An-Najaah, Trooblus, Libiya, juz 1 hal 300).
DALIL BOLEHNYA TAHLILAN
Berikut ini beberapa dalil yang dijadikan hujjah oleh ustadz Idrus Ramli dan juga kiyai Tobari Syadzili akan bolehnya tahlilan. Akan tetapi berikut catatan ringan yang berkaitan dengan pendalilan tersebut.
Pendalilan Pertama.
Ustadz Idrus Ramli berkata:
"Riwayat dari Khalifah 'Umar bin Al-Khathtab yang berwasiat agar disediakan makanan bagi orang-orang yang datang melayat. Al-Imam Ahmad bin Mani' meriwayatkan: Dari Ahnaf bin Qais, berkata: "Setelah Khalifah 'Umar ditikam oleh Abu Lu’luah Al-Majusi, maka ia memerintahkan Shuhaib agar menjadi imam sholat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah 'Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang menyelimuti. Lalu Abbas bin Abdul Mutthalib datang dan berkata: 'Wahai manusia, dulu Rasulullah meninggal, lalu kita makan dan minum sesudah itu. Lalu Abu Bakar meninggal, kita makan dan minum sesudahnya. Wahai manusia, makanlah dari makanan ini.' Lalu Abbas menjamah makanan itu, dan orang-orang pun menjamahnya.
(HR. Ibnu Mani').
Al-Ustadz setelah itu berkata "...kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta'ziyah telah berlangsung sejak generasi shahabat atas perintah Khalifah 'Umar sebelum wafat".
Dalil ini juga yang telah dijadikan pegangan oleh Kiyai Thobari Syadzili sebagaimana bisa dilihat di :
(http://jundumuhammad.net/2011/06/07/hukum-selamatan-hari-ke-3-7-40-100-setahun-1000/)
SANGGAHAN
Kritikan terhadap pendalilan Al-Ustadz Idrus Ramli diatas dari dua sisi :
PERTAMA: Tentang Keabsahan Dalil.
Al-Ustadz Idrus Ramli tidak menyebutkan dalam kitab apa riwayat 'Umar bin Al-Khothtab ini diriwayatkan oleh Ibnu Mani', dan juga tidak menyebutkan takhriij riwayat ini secara lengkap, terlebih lagi derajat keabsahan riwayat ini.
'Alaa ad-Diin dalam kitabnya Kanzul 'Ummaal [13/509 no 37304] –setelah menyebutkan atsar diatas, ia berkata :
(Ibnu Sa'ad, Ibnu Manii', Abu Bakr fi Al-Ghoilaaniyaat, Ibnu 'Asaakir)
Berikut ini saya cantumkan riwayat atsar ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar dalam Al-Ghilaaniyaat (1/302-303 no 315. Dan lihat juga 1/296 no 296)
Ternyata dalam isnadnya ada seorang perawi yang bernama Ali bin Zaid bin Jud'aan.
Adapun Ibnu 'Asaakir maka beliau meriwayatkan atsar ini di kitabnya Taarikh Dimasyq [26/373], sebagaimana berikut :
Dan sangat jelas pula bahwa dalam isnadnya terdapat perawi yang bernama Abdullah bin Zaid bin Jud'aan.
Adapun Ibnu Sa'ad maka beliau meriwayatkan atsar ini dalam kitabnya At-Tobaqoot Al-Kubroo (4/26-27) sebagaimana berikut ini :
Adapun Ahmad bin Manii' maka beliau membawakan riwayat ini dalam Musnadnya, sebagaimana dinukil oleh Al-Haafiz Ibnu Hajar Al-'Asqolaani dalam kitabnya Al-Mathoolib Al-'Aaliyah Bizawaaid Al-Masaaniid Ats-Tsamaaniyah 5/328 no 1785 atau pada cetakan lama 1/198)
Beliau berkata:
Pandangan ulama terhadap keabsahan atsar ini :
Atsar ini dibawakan oleh Ahmad bin Abi Bakr Al-Buushiri dalam kitabnya Ithaaf Al-Khiyaroh Al-Maharoh bi Zawaaid Al-Masaaniid Al-'Asyaroh 2/509 no 2000, sbb:
Sangat jelas bahwa Al-Bushiri berkata, "Diriwayatkan oleh Ahmad bin Manii', dan pada sanadnya ada perawi Ali bin Zaid bin Jud'aan".
Ali bin Zaid bin Jud'aan adalah perawi yang dha'iif (lemah) bahkan tertuduh terpengaruh faham tasyayyu' (Syi'ah), silahkan merujuk ke kitab-kitab berikut [Taqriib At-Tahdziib karya Ibnu Hajar hal 401 no 4734, Tahdziibut Tahdziib karya Ibnu Hajar 7/283-284 no 545, Al-Mughniy fi Ad-Du'afaa karya Adz-Dzahabi 2/447, dan Al-Majruuhiin karya Ibnu Hibbaan 2/103-104].
KEDUA : Tentang Sisi Pendalilan
Al-Ustadz Idrus Ramli ingin berdalil dengan atsar (riwayat) diatas akan bolehnya acara ritual tahlilan.
Mari kita baca kembali terjemahan riwayat diatas dengan seksama:
"...Tatkala 'Umar ditikam, maka 'Umarpun memerintahkan Shuhaib untuk mengimami orang-orang dan memberi makanan kepada mereka selama tiga hari, hingga mereka bersepakat pada seseorang (untuk menjadi khalfiah baru pengganti 'Umar-pen). Tatkala mereka meletakan makanan maka orang-orangpun menahan diri tidak makan, maka Al-'Abbaas Radhiyallahu 'anhu berkata: "Wahai manusia, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat, maka kamipun makan dan minum setelah wafatnya, dan (juga) setelah (wafatnya) Abu Bakar, dan sungguh makan itu adalah keharusan". Maka Al-'Abbaas pun makan lalu orang-orangpun ikut makan".
Jika kita perhatikan isi dari kandungan atsar diatas maka bisa kita ambil kesimpulan:
PERTAMA: Penyediaan makanan tersebut telah diperintahkan oleh 'Umar sebelum beliau meninggal. Berbeda dengan ritual tahlilan yang penyediaan makanan adalah untuk orang-orang yang melakukan ta'ziyah.
KEDUA: Sangat jelas bahwa tujuan penyediaan makanan tersebut adalah agar para sahabat rapat dan menentukan pengganti Khalifah 'Umar dengan Khalifah yang baru. Sehingga makanan tersebut tidaklah disediakan dalam rangka acara ritual tahlilan untuk mendoakan 'Umar bin Al-Khathtaab.
KETIGA: Adapun penyebutan jumlah tiga hari tersebut sama sekali bukan karena sebagaimana ritual Tahlilan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari dan seterusnya. Akan tetapi hingga para shahabat menentukan khalifah yang baru, dan karena 'Umar meninggal tiga hari setelah beliau ditikam.
KE EMPAT: Sama sekali tidak disebutkan tatkala itu adanya acara mendo'akan, dan kumpul-kumpul dalam rangka berdo'a, karena tatkala mereka berkumpul dan makan, 'Umar masih dalam keadaan hidup.
KE LIMA: Kapan mereka menahan diri ragu untuk menyentuh makanan..?, yaitu tatkala mereka pulang dari menguburkan 'Umar. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang lain :
Tatkala mereka kembali pulang dari menguburkan 'Umar mereka datang, dan makanan telah dihidangkan. Orang-orangpun menahan diri karena kesedihan yang mereka rasakan. Maka Abbaspun datang…."
Jadi proses menyediakan makanan sudah disediakan semenjak 'Umar masih hidup dan setelah 'Umar dikubur masih juga disediakan makanan. Akan tetapi para shahabat enggan untuk memakan karena kesedihan yang mereka rasakan.
Dan dalam riwayat tersebut sangat jelas bahwa tujuan memakan makanan itu adalah karena urusan pemerintahan, dan mereka harus makan untuk terus menyelenggarakan pemilihan khalifah.
Al-'Abbas berkata :
"Wahai manusia, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat, maka kamipun makan dan minum setelah beliau (wafat), dan (juga) setelah (wafatnya) Abu Bakar, dan sungguh makan itu adalah keharusan". Maka Al-'Abbaas pun makan, lalu orang-orangpun ikut makan."
Karenanya acara memakan makanan tersebut hanya disebutkan oleh Abbas berkaitan dengan setelah wafatnya para pemimpin yaitu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Abu Bakar, dan bukan berkaitan dengan acara makan-makan pada setiap ada yang meninggal. Padahal diketahui bersama bahwasanya terlalu banyak para shahabat yang meninggal sebelum meninggalnya 'Umar, baik yang meninggal dalam perang Badr, Uhud, Khondaq, Khoibar, Mu'tah, dan lain-lain, demikian pula yang meninggal dizaman Abu Bakar tatkala berperang melawan pasukan nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzaab. Akan tetapi tidak ada sama sekali perlaksanaan ritual tahlilan yang mereka lakukan...!
KE ENAM: Yang jelas penyediaan makanan tersebut bukan dari harta orang yang kematian, akan tetapi dzohirnya adalah atas perintah 'Umar sang Khalifah. Jadi dari harta negara, karena untuk urusan negara, yaitu pemilihan khalifah yang baru.
Akan tetapi bagaimanapun telah jelas bahwa atsar riwayat diatas adalah ATSAR YANG LEMAH yang tidak bisa dijadikan hujjah dan dalil. Kalaupun shahih maka pendalilalnnya tidaklah nyambung.
Wallahu a'lam bis Shawaaab.
PENDALILAN KE DUA'
Ustadz Muhammad Idrus Ramli berkata :
"Riwayat dari Sayyidah 'Aisyah, istri Nabi ketika ada keluarganya meninggal dunia, beliau menghidangkan makanan. Imam Muslim meriwayatkan dalam shahih-nya :
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ. رواه مسلم
"Dari Urwah, dari 'Aisyah, istri Nabi, bahwa apabila seseorang dari keluarga 'Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka 'Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian 'Aisyah berkata: 'Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah bersabda: Talbinah dapat menenangkan hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan".
(HR. Muslim [2216).
Dua hadits diatas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta'ziyah telah berlangsung sejak generasi shahabat atas perintah Khalifah 'Umar sebelum wafat, dan dilakukan oleh Sayyidah 'Aisyah. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi kenduri kematian bukanlah perbuatan yang dilarang dalam agama.
SANGGAHAN
Dalil dari hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anha diatas sangat tidak diragukan akan keabsahan dan keshahihannya. Karenanya pembicaraan hanya akan tertuju pada sisi pendalilan dari hadits tersebut untuk melegalkan acara ritual tahlilan.
Jika kita membaca kembali teks hadits diatas maka bisa kita simpulkan:
PERTAMA :
Sangat jelas tidak ada penyebutan acara ritual tahlilan, hanya penyebutan mengenai makanan.
KEDUA :
Dalam hadits diatas disebutkan bahwa yang menyediakan makanan adalah 'Aisyah, dan yang meninggal adalah keluarga 'Aisyah, serta yang diberi makan adalah keluarga 'Aisyah dan orang-orang khususnya.
Sangat jelas dalam riwayat diatas :
أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ
"Jika ada yang meninggal dari keluarga 'Aisyah, maka para wanita pun berkumpul untuk itu, kemudian mereka bubar kecuali keluarga 'Aisyah dan orang-orang khususnya, maka 'Aisyahpun memerintahkan untuk membuat makanan talbinah seperiuk kecil".
Bahwa pembicaraan dalam hadits ini, bukanlah membuat makanan untuk seluruh orang-orang yang hadir, akan tetapi untuk orang-orang khusus beliau dari kalangan wanita saja.
Selain itu pemberian makanan talbinah ini adalah setelah para wanita bubaran, sehingga yang tersisa hanyalah keluarga 'Aisyah yang bersedih dan orang-orang khusus yang dekat dengan 'Aisyah.
KE TIGA :
Dalam hadits diatas juga, tujuan pembuatan makanan talbinah tersebut bukanlah dalam rangka bersedekah kepada para penta'ziyah, (karena jelas para penta'ziyah wanita telah bubaran), akan tetapi dalam rangka menghilangkan kesedihan.
Karenanya seluruh para ulama yang menjelaskan hadits diatas, menyebutkan tentang keutamaan talbinah yang disebutkan oleh Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam untuk menghilangkan kesedihan dan kesusahan. Karenanya talbinah ini tidak hanya diberikan kepada keluarga yang sedang duka, akan tetapi diberikan juga kepada orang yang sakit.
KE EMPAT :
Yang dihidangkan oleh 'Aisyah adalah hanya talbinah saja bukan sembarang makanan, karena ada keutamaan talbinah yang bisa menghilangkan kesedihan. Hal ini semakin mendukung bahwa tujuan 'Aisyah bukanlah untuk murni memberi makanan, atau untuk mengenyangkan perut, atau untuk bersedekah dengan makanan, akan tetapi tujuannya adalah untuk menghilangkan kesedihan. Karena kalau dalam rangka mengenyangkan para penta'ziah dan bersedakah, maka lebih utama untuk menghidangkan makanan yang berbobot seperti kambing guling dan yang lainnya, bukan hanya sekedar semangkuk sop saja yang tidak mengenyangkan.
PENDALILAN KE TIGA.
Ustadz Muhammad Idrus Ramli berkata: (Tradisi kaum salaf sejak generasi shahabat yang bersedekah makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati. Dalam hal ini, Al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab Al-Zuhd: "Dari Sufyan berkata : "Thawus berkata : "Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut".
Hadits diatas diriwayatkan Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam Al-Zuhd, Al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah Al-Auliya' [juz 4 hal. 11], Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal Al-Qubur [32], Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Mathalib Al-'Aliyah [juz 5 hal. 330] dan Al-Hafizh Al-Suyuthi dalam Al-Hawi lil-Fatawi [juz 2 hal. 178].
Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi shahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafizh Al-Suyuthi.
Demikianlah perkataan Ustadz Muhamad Idrus Ramli
Pendalilan ini pulalah yang dipaparkan oleh Kiyai Tobari Syadzili
(http://jundumuhammad.net/2011/06/07/hukum-selamatan-hari-ke-3-7-40-100-setahun-1000/)
SANGGAHAN
Ustadz Muhamad Idrus Ramli telah menyebutkan takhrij atsar ini dengan baik. Akan tetapi perlu pembahasan dari dua sisi, sisi keabsahan atsar ini, dan sisi kandungan atsar ini.
PERTAMA : Keabsahan Atsar Ini
Atsar ini sebagaimana disebutkan oleh Al-Haafiz Ibnu Hajar dalam Al-Matholib Al-'Aaliyah [5/330 no 834], sebagaimana berikut :
Imam Ahmad berkata : Telah menyampaikan kepada kami Hasyim bin Al-Qosim, telah menyampaikan kepada kami Al-Asyja'iy, dari Sufyan berkata, Thowus telah berkata : " Sesungguhnya mayat-mayat diuji dalam kuburan mereka tujuh hari, maka mereka (para salaf-pen) suka untuk bersedekah makanan atas nama mayat-mayat tersebut pada hari-hari tersebut ".
Dan dari jalan Al-Imam Ahmad bin Hanbal juga diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam kitabnya Hilyatul Auliyaa' [4/11] sebagaimana berikut ini :
Seluruh perawi atsar diatas adalah tsiqoh, hanya saja sanadnya terputus antara Sufyan dan Thowus.
Thowus bin Kaisaan Al-Yamani wafat 106 H (Taqribut Tahdzib hal 281 no 3309) adapun Sufyan bin Sa'id bin Masruq Ats-Tsauri lahir pada tahun 97 H (lihat Siyar A'lam An-Nubala 7/230). Meskipun Sufyan Ats-Tsaury mendapati zaman Thowus, hanya saja tidak ada dalil yang menunjukan bahwa Sufyan pernah mendengar dari Thowus.
Justru yang ada adalah sebaliknya :
Pertama: Tatkala Thowus wafat [tahun 106 H} umur Sufyan At-Tsauri [yang lahir tahun 97 H] masih sangat kecil yaitu beliau berumur 9 tahun. Karenanya Sufyan tidak mendapati periwayatan dari Thowus bin Kaisan.
Ke dua : Dalam buku-buku Tarojum Ar-Ruwat (seperti Tahdziib Al-Kamal, Tahdzib At-Tahdzib, Siyar A'lam An-Nubala, dll) tidak menyebutkan bahwa Thowus bin Kaisan termasuk syuyukh (guru-guru) yang Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari mereka.
Ke tiga: Sufyan Ats-Tsauri selalu meriwayatkan dari Thowus dengan perantara perawi yang lain. Diantara perawi-perawi perantara tersebut adalah (1) Habib bin Abi Tsabit, (2) 'Amr bin Dinar, (3) Abdullah bin Thowus, (4) Handzolah bin Abi Sufyan, dan (5) Ibrahim bin Maysaroh.
Ke empat : Tidak ditemukan satu riwayatpun yang dimana Sufyan meriwayatkan langsung dari Thowus.
Ke lima : Adapun riwayat diatas maka Sufyan tidak menggunakan shigoh (عَنْ طاووس) "Dari Thowus", akan tetapi beliau mengatakan (قَالَ طاووس) "Telah berkata Thowus". Yang shiqoh periwayatan seperti ini tidak menunjukan dengan jelas bahwa beliau meriwayatkan dari Thowus, akan tetapi beliau hanya mengabarkan perkataan Thowus. Karenanya sangatlah jelas jika sanad atsar ini terputus antara Sufyan dan Thowus.
KEDUA : Sisi Pendalilan
Kalaupun seandainya atsar ini shahih, maka ada beberapa perkara yang menjadi permasalahan:
Pertama : Atsar ini dihukumi marfu' mursal, karena Thowus adalah seorang tabi'in dan dalam atsar ini ia sedang berbicara tentang hal yang ghaib, yaitu bahwasanya mayat diuji (ditanya oleh malaikat munkar dan nakiir) selama tujuh hari. Dan hadits mursal adalah hadits yang lemah.
Ustadz Muhmad Idrus Ramli berkata, (Akan tetapi sebagaimana yang diketahui bahwasanya Thowus bukanlah seorang shahabat, akan tetapi ia hanyalah seorang tabi'in. Sehingga pernyataan beliau tentang bahwa mayat diuji selama tujuh hari adalah termasuk perkara yang ghaib yang perlu dibahas lebih lanjut. Memang para ulama hadits menyebutkan bahwa jika seorang shahabat yang berbicara tentang ilmu ghaib maka diberi hukum marfu' dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, karena tidak mungkin seorang shahabat berbicara tentang ilmu ghaib kecuali berasal dari Nabi shalallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi jika seorang tabi'in yang berbicara ?, Para ulama menyebutkan hukumnya adalah hukum mursal. Demikian perkataan Al-Ustadz.
Tentunya para ulama mengecualikan shahabat yang dikenal mengambil riwayat Israiliyat seperti Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash, dan juga shahabat Ibnu Abbas sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama. Jika para shahabat yang dikenal mengambil dari isroiliyat berbicara tentang hal yang ghaib, maka riwayatnya itu tidak bias dihukumi mar'fuu' karena ada kemungkinan mereka mengambil dari Isroiliyat.
Thowus termasuk yang sering meriwayatkan dari Ibnu Abbas.
Ke dua : Semakin memperkuat akan hal ini, adalah bahwasanya seluruh hadits-hadits yang shahih dan marfu' menunjukan bahwa mayat akan ditanya hanya sekali, yakni tatkala baru dikuburkan.
Ke tiga : Kalaupun atsar ini shahih, maka sama sekali tidak menunjukan adanya acara tahlilan sebagaimana yang dipersangkakan. Karena atsar ini tidak menunjukan bahwa para salaf mengadakan acara berkumpul-kumpul selama tujuh hari berturut-turut dirumah keluarga mayat.
Akan tetapi hanya menunjukan akan dianjurkannya memberi makanan sebagai sedekah atas nama mayat selama tujuh hari. Dan termasuk perkara yang disepakati bolehnya adalah bersedekah atas nama mayit, karena pahalanya akan sampai kepada mayit.
Sementara pelaku acara tahlilan, banyak dari mereka seringnya hanya melakukan tahlilan pada hari ke 3 dan ke 7 lalu 40, 100, dan 1000, serta tidak melakukan tahlilan 7 hari berturut-turut.
Ke empat : Hal ini didukung dengan perkataan Jariir bin 'Abdillah:
كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ
"Kami menganggap perkumpulan dikeluarga mayat dan pembuatan makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyahah".
(Atsar riwayat Ahmad dalam Musnadnya no 6905 dan Ibnu Maajah dalam sunannya no 1308, dan dishahihkan oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/320 dan Al-Bushiri dalam Az-Zawaid).
Ke enam : Jika memang para salaf selalu melakukan tahlilan selama tujuh hari berturut-turut, dan juga hari ke 40, 100, dan 1000 hari sebagaimana yang dipahami oleh ustadz Muhammad Idrus Ramli dan juga Kiyai Syadzily Tobari, maka kenapa kita tidak menemukan sunnah ini disebutkan dalam kitab-kitab fiqih madzhab ? apakah para ahli fiqih empat madzhab sama sekali tidak mengetahui sunnah ini ?
Ke tujuh : Justru kita dapati madzhab Syaifi'iyah lah yang keras menentang acara tahlilan (Silahkan baca kembali Tahlilan Adalah Bid'ah Menurut Ulama Syafi'i www.firanda.com/index.php/artikel/fiqh/408-tahlilan-adalah-bid-ah-menurut-madzhab-syafi-i ).
***
Sumber :
www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/423-dalil-bolehnya-tahlilan
Ustadz Firanda Andirja, M.A.
Artikel www.firanda.com
Langganan:
Postingan (Atom)