Minggu, 30 Januari 2022

Perbedaan Adalah Rahmat?


 Ada sebuah ungkapan yang biasa kita dengar di tengah-tengah masyarakat awam bahkan sering diucapkan juga dikalangan para kyai seperti:


"Tidak perlu membesar-besarkan mas'alah khilafiyah diantara sesama umat Islam, karena perbeda'an diantara umat Islam adalah rahmat".


Itulah diantara ucapan sebagian orang awam atau orang yang merasa amalannya terusik oleh dakwah para penyeru umat yang mengajak umat untuk menjauhi berbagai macam takhayul, khurofat, bid'ah dan kesyirikan.


Perkata'an diatas juga kadang mereka kuatkan dengan menunjukkan sebuah HADITS PALSU YANG CUKUP POPULER,


اِخْتِلَافُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ


"Perbeda'an pendapat diantara umatku adalah rahmat".


Ini adalah bukan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dijelaskan Ibnu Hazm rahimahullah, “Ini merupakan perkataan yang paling rusak. Karena jika perbedaan adalah rahmat tentunya persatuan merupakan hal yang dibenci. Ini jelas bukan perkataan seorang muslim. Karena kemungkinan hanya dua, bersatu maka dirahmati Allah atau berselisih sehingga Allah murka.” (Al Ihkam fi Ushulil Ahkam).


Syaikh Al Albani rahimahullah berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya (anonim).” (Silsilah Hadits-hadits Lemah dan Palsu). 


Imam Al-Munawi (952 H) menukilkan dari Imam As-Subuki bahwa dia berkata : "(Hadits ini) tidak dikenal oleh para ahli hadits, dan aku tidak mendapatkan baginya sanad yang shahih, lemah, ataupun palsu". Hal ini juga diakui oleh Syaikh Zakariya Al-Anshari di dalam catatannya terhadap kitab Tafsir Al-Baidhawi (ق92/2)".


Bahkan hadits shahih menyatakan sebaliknya, perselisihan itu malapetaka (keburukan).


Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya perselisihan itu jelek.” (Shohih, HR. Abu Dawud)


Dalam khazanah Islam, perbeda'an pendapat bukanlah hal yang baru. Tidak terhitung jumlah kitab-kitab yang ditulis para Ulama yang disusun khusus untuk merangkum, mengkaji, membandingkan, kemudian mendiskusikan berbagai pandangan yang berbeda-beda dengan argumentasinya masing-masing.


Perbeda'an pendapat (ikhtilaf) tidak dilarang dan bukan sesuatu yang tercela dalam Islam, karena fakta menunjukkan perbeda'an pendapat banyak terjadi di kalangan para Sahabat juga terjadi diantara para Imam madzhab. Dan perbeda'an pendapat diantara mereka tidak menjadikan mereka saling bermusuhan. Karena memang berbeda pendapat tidak seharusnya saling memusuhi.


Apakah benar perbeda'an pendapat adalah rahmat....???


Perbeda'an pendapat dikalangan para Sahabat, dan para Imam madzhab tidak menimbulkan perpecahan diantara kaum muslimin sa'at itu. Karena pendapat-pendapat para Sahabat dan juga para Imam madzhab walaupun pendapat mereka kadang berbeda tidak di bangun di atas hawa nafsu, kebid'ahan dan penyimpangan terhadap syari'at atau aneka macam syubhat, juga bukan akibat dari fanatik golongan (ta'ashub).


Berbeda dengan perbeda'an pendapat diantara umat Islam setelah berlalunya masa para Sahabat dan para Imam madzhab. Perbeda'an pendapat sa'at ini akibat dari hawa nafsu, kebid'ahan, aneka macam syubhat, penyimpangan terhadap ajaran agama juga akibat dari fanatik golongan, jama'ah atau madzhabnya masing-masing. Juga akibat kebencian dan permusuhan kepada kelompok lain, yang kerap melahirkan sikap yang berlebihan, yang berujung pada sikap ujub dan akhirnya penolakan terhadap kebenaran yang datang dari kelompok lain. Sikap ini lahir akibat sudah tertanam dalam pikirannya bahwa golongannya adalah pihak yang paling benar.


Maka pantaslah apabila perbeda'an pendapat diantara umat Islam sa'at ini, sulit untuk di persatukan.


Itulah diantara penyebab umat Islam sa'at ini berpecah belah dan saling bermusuhan. Jika demikian, apakah benar perbeda'an pendapat diantara umat Islam adalah rahmat....? Kalau begitu berarti persatuan adalah azab ?



___________


Dinukil dari: muslim.or.id



Minggu, 23 Januari 2022

Larangan Shalat Memakai Pakaian Bergambar Makhluk Bernyawa


 Pada asalnya, hukum memakai pakaian adalah mubah, terserah pada setiap orang mau memakai pakaian berwarna ataupun corak apa saja. Namun, ada beberapa kondisi tertentu atau jenis gambar yang menjadikannya haram dipakai. Gambar di pakaian dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu ada gambar makhluk bernyawa seperti manusia dan hewan, dan ada pula gambar lainnya, seperti pohon, pemandangan, ukiran, kendaraan dan lain-lain.


Untuk jenis gambar pertama, yaitu bergambar makhluk bermyawa, pakaian seperti ini dilarang memakainya, baik dalam shalat ataupun di luar shalat. Karena, makhluk bernyawa dilarang untuk digambar atau dilukis. Hal tersebut telah diancam oleh Rasulullah dalam haditsnya: 


"Sungguh orang yang melukis gambar ini akan diazab pada hari kiamat kelak. Mereka akan diminta untuk menghidupkan makhluk yang mereka lukis tersebut." (HR. Bukhari 1999)


Demikian ganjaran bagi pelukisnya. Adapun memakai pakaian tersebut juga merupakan perbuatan dosa karena memajang sesuatu yang haram untuk dibuat. Bahkan Rasulullah bersabda, bahwa rumah yang di dalamnya terdapat lukisan makhluk hidup, tidak akan dimasuki oleh malaikat rahmat. (HR. Bukhari 1999)


Adapun untuk jenis gambar kedua, yaitu bukan gambar makhluk bernyawa, maka hukum memakai pakaian tersebut adalah tetap pada hukum asalnya yaitu boleh-boleh saja. Namun, jika dipakai dalam shalat bisa mempengaruhi konsentrasi karena dilalaikan oleh corak dan gambar di pakaian tersebut. Oleh karena itu, hukum memakainya dalam shalat menjadi makruh.


Oleh: Ustadz Muhammad Yassir, Lc. حفظه الله

___


Telegram: @Manhaj_salaf1


Senin, 17 Januari 2022

Hukum Menguburkan Lebih Dari 1 Jenazah Dalam 1 Makam

 Pertanyaan:


Apakah satu makam bisa diisi oleh beberapa orang ?


Jawaban:


Pertanyaan yang bagus. Saya rangkum dalam beberapa poin berikut: 


1. Allah menciptakan bumi sebagai tempat berkumpul manusia, baik yang hidup maupun meninggal.


Allah ta'ala berfirman:


 ( أَلَمْ نَجْعَلِ الأَرْضَ كِفَاتًا أَحْيَاءً ‎وَأَمْوَاتًا )


"Bukankah Kami jadikan bumi itu untuk tempat berkumpul, untuk yang hidup manupun yg telah meninggal." (QS. al-Mursalat: 25-26)


Al-Imam al-Qurthubi mengatakan:


  " ليسكن فيها حيا، ويدفن فيها ميتا "


"Agar mereka yang hidup tinggal di atas bumi, dan yang mati dimakamkan di dalamnya."


2. Wajibnya memuliakan orang mati sebagaimana orang yg hidup. Nabi ﷺ bersabda:


« كسر عظم المؤمن ميتا ككسره حيا »


"Memecahkan tulang seorang mukmin yang telah meninggal seperti memecahkan tulang yg masih hidup." [HR. Ahmad dan Abu Dawud]


Mengomentari hadits di atas, Ibnu Hajar mengatakan :


يستفاد منه أن حرمة المؤمن بعد موته باقية كما كانت في حياته.


"Dapat dipetik faidah dari hadits ini bahwa kehormatan seorang mukmin yang telah meninggal tetap berlaku sebagaimana hidupnya."


3. Di antara bentuk memuliakan mukmin yang meninggal, adalah dengan cara menguburkannya pada kuburan masing-masing. 


Para ulama menjelaskan:


وأما عن أمر الدفن في الشريعة الإسلامية،فالأصل أنه لا يدفن أكثر من ميت في القبر الواحد 


"Adapun perintah menguburkan di dalam syariat Islam, maka secara asal adalah tidak boleh menguburkan lebih dari satu Mayit dalam satu kuburan."


لأن {النبي صلى الله عليه وسلم كان يدفن كل ميت في قبر} وعلى هذا استمر فعل الصحابة ومن بعدهم إلا للضرورة .


"Karena Nabi ﷺ dahulu hanya menguburkan setiap mayat pada kuburannya masing-masing. Demikian pula yg diamalkan Sahabat dan ulama setelah mereka, kecuali dalam keadaan terpaksa/darurat." 


4. Menguburkan lebih dari 1 mayat dalam 1 kuburan, adalah terlarang. Sebagaimana yang dijelaskan Imam Nawawi dalam al-Majmu'.


" لا يجوز أن يدفن رجلان ولا امرأتان في قبر واحد من غير ضرورة ، وهكذا صرح السرخسي بأنه لا يجوز " 


"Tidak boleh menguburkan 2 pria, atau 2 wanita dalam 1 kuburan jika tidak terpaksa. Inilah yang ditegaskan oleh as-Sarkhasi akan ketidakbolehannya.


... " أما إذا حصلت ضرورة بأن كثر القتلى أو الموتى في وباء أو هدم وغرق أو غير ذلك ، وعسر دفن كل واحد في قبر فيجوز دفن الاثنين والثلاثة ، وأكثر ، في قبر ، بحسب الضرورة ".  


Adapun jika terjadi kondisi darurat, misalnya banyak korban meninggal atau terbunuh akibat bencana, gempa, tenggelam, dan lain-lain, dan kesulitan untuk menguburkan satu-satu, maka dibolehkan menguburkan 2 - 3 atau lebih mayat dalam 2 kubur karena kondisi darurat.


Kesimpulan:


Hukumnya tidak boleh mengumpulkan 2 atau lebih mayat dalam 1 kuburan, kecuali terpaksa.


Allahu a'lam bish showwab


______________


✒️ Dijawab Oleh:

ℳـ₰✍

​✿❁࿐❁✿​

@abinyasalma 


Dinukil dari: https://alwasathiyah.com



Minggu, 16 Januari 2022

MEMAHAMI HUKUM SEPUTAR ISBAL


 Banyak diantara saudara kita kaum Muslimin, yang meminta dan mendorong kami untuk membahas masalah Isbal ini.


Sebenarnya masalah ini butuh penjelasan yang panjang. Tetapi insya Alloh akan kita coba membahasnya secara ringkas dan sederhana, sesuai yang dimudahkan oleh Alloh ta'ala untuk kita.


1. Apa ISBAL itu ?


Yang dimaksud dengan Isbal itu adalah : "Perbuatan menurunkan kain celana atau sarung dan sejenisnya, sampai di bawah mata kaki atau menutupi mata kaki."


2. Apa sebenarnya hukum masalah ISBAL itu ?


Yang jelas, berdasarkan dalil-dalil yang ada menunjukkan, bahwa Isbal adalah perkara yang dilarang (yakni diharomkan) dalam agama kita, khususnya bagi kaum laki-laki, bukan bagi kaum wanita. 


Hal itu berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, yang mana  Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam telah banyak mengingatkan hal ini dalam sabda-sabda beliau, diantaranya sebagai berikut :


Pertama: Dalam hadits Ibnu 'Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ


“Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaiannya karena sombong.

(HR. Muslim no. 5574).


Kedua: Dalam hadits Ibnu 'Umar radhiyallahu ‘anhuma juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


إِنَّ الَّذِى يَجُرُّ ثِيَابَهُ مِنَ الْخُيَلاَءِ لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


“Sesungguhnya orang yang menyeret pakaiannya karena sombong, Alloh tidak akan melihatnya pada hari kiamat.”

(HR. Muslim no. 5576)


Ketiga: Dalam hadits Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ


”Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara oleh Alloh pada hari kiamat nanti, tidak dipandang oleh Alloh, dan tidak disucikan, serta bagi mereka adzab/siksaan yang sangat pedih.”


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan hal itu tiga kali. Lalu Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata :


خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ


“Mereka sangat celaka dan merugi. Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah?”


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :


الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ


“Mereka adalah *orang yang berbuat isbal,* orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian, dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.”

(HR. Muslim no. 306). 


Dalil-dalil tersebut di atas menunjukkan : Bahwa orang yang berbuat Isbal, yakni menurunkan kain celana, sarung atau apapun yang dipakainya hingga menutup mata kakinya, bahkan terkadang hingga menyeret tanah, maka pelakunya akan mendapat ancaman dari Allah berupa hukuman di akhirat :


“Tidak akan dilihat oleh Allah, tidak akan diajak bicara oleh Alloh, tidak disucikan oleh Alloh dan akan mendapatkan adzab yang sangat pedih.”


3. Ada yang mengatakan (berpendapat) : “Larangan isbal seperti itu adalah kalau diiringi dengan kesombongan, sebagaimana dhohirnya hadits tersebut di atas.”


Lalu bagaimana jika tidak disertai dengan adanya kesombongan, apakah Isbal itu menjadi boleh ?


Jawabannya adalah, tetap saja dilarang !


Hal itu karena, dalam sebagian hadits-hadits lainnya menunjukkan, Isbal itu dilarang secara MUTLAK, baik dengan kesombongan ataupun tanpa disertai kesombongan !


Perhatikanlah hadits Abu Hurirh radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِى النَّارِ


“Apa saja dari kain yang berada di bawah mata kaki (yang memanjang hingga menutupi mata kaki), maka dia berada di neraka.”

(HR. Al-Bukhari no. 5787)


Hadits ini menjelaskan larangan Isbal secara mutlak, karena semua kain yang dijulurkan/dipanjangkan hingga di bawah mata kaki, itu adalah bagian dari api neraka !


Bahkan, Isbal itu sendiri termasuk perbuatan yang dikategorikan sebagai “kesombongan”.


Sebagaimana hal itu ditunjukkan dalam hadits Abu Juray Jabir bin Salim radhiallahu'anhu, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam suatu hadits yang panjang, diantaranya beliau bersabda  :


وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ الْمَخِيلَةِ وَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ


“Angkatlah kain sarungmu hingga setengah betis. Jika engkau enggan, maka julurkan persis di atas mata kaki (jangan sampai menutupinya). Janganlah kamu melakukan isbal, sebab isbal itu termasuk perbuatan sombong dan Alloh tidak menyukai  kesombongan….”

(HR Abu Dawud (no. 4084), At-Tirmidzi* (no. 2722), dan Ahmad (7/63 dan 64) )


Perhatikanlah wahai saudaraku kaum Muslimin 


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang menyatakan, Isbal itu sendiri adalah termasuk kesombongan.


4. Bahkan dalam hadits di atas pun dijelaskan secara tegas, bahwa kain sarung atau celana atau apapun, batasnya hanya sampai pertengahan betis, atau paling tidak terletak sedikit di atas mata kaki, tidak boleh sampai menutupi mata kaki. 


Hal itu juga sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits lainnya.


Contohnya, hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu'anhu, ia berkata : “Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


(( إِزْرَةُ الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ وَلاَ حَرَجَ أَوْ لاَ جُنَاحَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ.))


“Sesungguhnya batas sarung seorang muslim adalah sampai pertengahan betis, dan tidak mengapa jika posisinya berada di antara setengah betis dan mata kaki. Apabila di bawah mata kaki, maka tempatnya di neraka. Dan barang siapa menjulurkan sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihat kepadanya.”

(HR Abu Dawud (no. 4093), dan Ibnu Majah (no. 3573), sanadnya shahih) 


Dan sahabat Nabi yang mulia, Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhuma bercerita : 


“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah *memegang otot betisku* dan bersabda :


هَذَا مَوْضِعُ الْإِزَارِ، فَإِنْ أَبَيْتَ فَأَسْفَلُ، فَإِنْ أَبَيْتَ، فَلاَ حَقَّ لِلْإِزَارِ فِيْ الْكَعْبَيْنِ


"Di sinilah letak (batasan kain) sarung. Jika engkau tidak ingin, bisa di bawahnya sedikit. Jika engkau masih juga tidak ingin, tidak ada hak untuk sarung berada tepat pada mata kaki.”

(HR. At-Tirmidzi dalam kitab Syamail Muhammadiyah, dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam kitab tersebut no. 99, dengan tahqiq dari beliau rahimahullah)


Dan ketahuilah wahai saudaraku kaum Muslimin rahimakumullah..


5. Ternyata Nabi kitapun juga melakukan seperti itu, yakni kain sarung beliau, adalah hingga pertengahan betisnya !


Diriwayatkan oleh Ubaid bin Khalid Al-Muharibi, dia bercerita : 


“Saat aku berjalan di kota Madinah, tiba-tiba seseorang berkata dari belakangku : “Angkatlah pakaianmu! Sungguh, itu bisa menambah ketakwaanmu !”


Ternyata, orang tersebut adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku menjawab : “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ini hanya sekadar kain burdah putih.”


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :


أَمَا لَكَ فِيَّ أُسْوَةٌ؟


“Apakah engkau tidak ingin meneladani diriku?”


Aku pun memperhatikan sarung beliau, ternyata sampai di pertengahan betis."

(HR. At-Tirmidzi dalam *Syamail Muhammadiyah* dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah, no. 97)


*Demikianlah. Jadi, kesimpulannya adalah :* 


a. Bahwa Isbal itu hukumnya adalah haram, dan termasuk salah satu dari dosa-dosa besar, baik Isbal yang dilakukan dengan kesombongan ataupun tanpa diiringi dengan kesombongan. 


b. Tetapi bila perbuatan Isbal itu diiringi dengan kesombongan, tentu lebih besar lagi dosanya !


c. Maka yang wajib bagi setiap laki-laki muslim adalah menjauhi Isbal itu, dan benar-benar menjaga kain celana atau sarungnya agar jangan sampai menutupi mata kaki.


d. Tidak berbuat isbal inilah yang dicontohkan oleh Nabi kita, Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam !


Karena itu, jika kita ingin benar-benar menjadi pengikut beliau yang sejati, hendaknya kita benar-benar meneladani atau mencontoh cara beliau memakai sarungnya, yakni dengan tidak berbuat isbal ! 


Catatan :


6. Sebagian orang ada yang masih tetap menyatakan, bahwa : "Isbal itu tidak mengapa, yang penting tidak disertai kesombongan !"


Mereka berdalil dengan hadits Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, yang mana beliau pernah berbuat Isbal.


Kami katakan : Ya memang benar seperti itu. Tetapi, apakah benar ini adalah dalil dibolehkannya Isbal secara mutlak ?


Mari kita perhatikan hadits tersebut. Sahabat Nabi yang mulia, Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan :


ِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ إِنَّكَ لَسْتَ : ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ


“Sungguh, salah satu bagian pakaianku (kain sarung/celanaku) selalu turun (melorot), namun aku selalu menjaganya agar tidak turun.”


Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : 


“Sesungguhnya engkau tidak termasuk yang melakukannya karena sikap sombong.”

(HR. Al-Bukhori no. 5447)


Nah, berdalih dengan adanya hadits ini, mereka masih tetap “ngotot” mengatakan bolehnya Isbal, jika tidak disertai dengan kesombongan.


Padahal, kalau kita cermati hadits tersebut di atas, hal itu bukan dalil yang menunjukkan pembolehan Isbal, tetapi justru sebagai larangan Isbal. Berikut penjelasannya :


a. Turunnya kain sarung atau celana beliau, bukan karena kesengajaan, tetapi karena sebab lain, seperti : mungkin putus tali pengikatnya, atau sebab yang lainnya. 


Bandingkan dengan orang-orang yang sengaja berbuat Isbal, yang memang sengaja memanjangkan kain celana atau sarungnya hingga menutupi mata kaki ! 


Lalu apakah sama hukumnya dengan keadaan Sahabat Rosululloh yang mulia tersebut di atas (Abu Bakar As-Shiddiq) ?


b. Meskipun kain sarung/celana beliau turun terus hingga menutup mata kaki, beliau tetap terus berusaha mengangkat atau menaikkannya kembali, agar tidak turun lagi dan tidak sampai  menutupi mata kaki !


Bedakan dengan orang-orang yang sengaja Isbal, mereka tidak pernah berusaha mengangkat atau menaikkan kain sarungnya/celananya yang menutup mata kaki, bahkan sengaja membiarkannya panjang dan menutupi mata kaki secara terus menerus.


Sungguh, alangkah berbedanya, antara yang ini dan yang itu !


c. Bahwa kain yang terkadang turun menutupi mata kaki Abu Bakar rodhiyallohu anhu ini adalah salah satu bagian pakaiannya saja, tidak semuanya.


Sedangkan bagian kain yang lainnya, tetap di atas mata kaki. 


Adapun orang yang sengaja berbuat Isbal, *semua bagian kainnya menutupi mata kaki !* 


Lalu bagaimana bisa dia ingin menyamakan dirinya dengan sahabat Rosul yang mulia ini (yakni Abu Bakar As-Shiddiq) ? 


d. Dalam hadits inipun, Nabi sendiri yang memberikan Tazkiyyah (rekomendasi) kepada sahabatnya tersebut, bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq rodhiyalohu ‘anhu, bukanlah orang yang sombong !


Adapun orang-orang yang sengaja Isbal, siapa yang memberikan kepada mereka tazkiyyah (rekomendasi), yang menyatakan “terbebasnya” mereka dari sifat kesombongan ?


*Jadi kesimpulannya :* tidak ada alasan bagi mereka berdalil dengan hadits ini, untuk membolehkan berbuat Isbal, lalu dengan “pede-nya” dia menyatakan dengan entengnya : "yang penting tidak sombong !"


Tentu, hal ini tidak bisa dibenarkan !


Padahal hadits-hadits yang mengancam pelaku Isbal, adalah sangat banyak.


Semoga penjelasan ringkas di atas, cukup untuk menambah bekal ilmu bagi kita semua, terutama permasalahan yang ditanyakan tersebut di atas. 


Wallohu a’lamu bis showab.


Surabaya, Senin pagi yg sejuk, 14 Jumadits Tsani 1443 H / 17 Januari 2022 M


Akhukum fillah, Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby


TG: @fawaidabuabdirrahman


Sabtu, 08 Januari 2022

Bolehkah Orang Tua Mengambil Sebagian Mahar Putrinya ?

 Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah 


"Dan adapun yang berkaitan dengan orang tua yang ikut makan dari mahar anaknya, maka pendapat yang benar : Bahwasanya hal itu tidak mengapa. Karena anak-anak itu adalah mengikut pada ayah mereka.


Nabi ﷺ berkata kepada seseorang laki-laki yang mengatakan :


 يا رسول الله! إن أبي اجتاح مالي؟ 


“Wahai Rasulullah, sesungguhnya bapakku membutuhkan hartaku.”

Maka beliau ﷺ menjawab :`


أنت ومالك لأبيك


“Kamu dan hartamu adalah milik bapakmu.”


Yaitu hadits yang tidak mengapa sanadnya. 


Beliau ﷺ juga bersabda dalam hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha :


إن أطيبَ ما أَكَلْتُم مِن كسبِكم . وإن أولادَكم مِن كَسْبِكم.


“Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kalian makan adalah dari usaha kalian. Dan sesungguhnya anak-anak kalian termasuk usaha kalian.” [HR. Tirmidzi]


Keduanya merupakan hadits yang bagus tidak mengapa.


Kesimpulannya : Bahwasanya orang tua yang memanfaatkan sebagian mahar putrinya itu *hukumnya tidak mengapa.* Akan tetapi dia wajib untuk memperhatikan keadaan putrinya dan tidak memudharatkannya, bahkan hendaknya dia menyisakan bagi putrinya, yang bermanfaat baginya di sisi suaminya yang bisa menutupi kebutuhannya. 


Berdasarkan sabda Nabi ﷺ :


 لا ضرر ولا ضرار، 


“Tidak boleh ada kemudharatan dan tidak boleh menimpakan kemudharatan orang lain.” [HR. Baihaqi]


Maka sekalipun anak-anak adalah hasil usaha orang tua, bukan berarti orang tua boleh memudharatkan putranya atau putrinya, bahkan dia wajib memperhatikan kondisi keduanya.


Apabila dia mengambil dari anak laki-lakinya bisa memudaratkannya, dan memudharatkan anak-anak putranya dan keluarganya, maka orang tua tidak diperbolehkan mengambilnya.  Dia hanya boleh mengambil yang tidak memudharatkan.


Demikian juga anak perempuan, jika orang tua mengambil sebagian maharnya bisa memudharatkan putrinya, atau membuat suaminya tidak menyukai putrinya, atau memnyebabkan suaminya menceraikannya, maka ia jangan melakukan itu.


Maka hendaknya dia bertakwa kepada Allah, akan tetapi dia boleh mengambil harta putrinya dan sebagian maharnya, yang tidak mengakibatkan madharat pada putrinya.

Allahul mustaan.

Naam.


https://binbaz.org.sa


____________


Bolehkah Pindah Rumah Karena Rumahnya itu Membawa Sial?


 Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah



Pertanyaan :

Seorang yang tinggal di sebuah rumah, lalu dia tertimpa.berbagai penyakit dan banyak musibah, hal itu menjadikan dia dan keluarganya menganggap kesialan pada rumah tersebut. Apakah boleh bagi dia meninggalkan rumah tersebut karena alasan itu?


Jawaban :

Terkadang sebagian rumah, kendaraan atau sebagian isteri itu menjadi sebab kesialan. Allah jadikan dengan hikmah Nya tatkala hal itu menyertai orang tersebut, tertimpa kejelekkan atau terluput dari kebaikan atau semisalnya. Oleh karena itu tidak mengapa menjual rumah, dan pindah ke rumah lainnya. Semoga Allah menjadikan kebaikan di rumah barunya.


Dan ada riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda :


ﺍﻟﺸﺆﻡ ﻓﻲ ﺛﻼﺙ : ﺍﻟﺪﺍﺭ ﻭﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻭﺍﻟﻔﺮﺱ ‏» - ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ‏( ٥٠٩٣ ‏) ﻭﻣﺴﻠﻢ ‏( ٢٢٢٥ ) - ،


"Kesialan itu ada pada tiga perkara : Rumah, isteri dan kuda (kendaraan)". [HR. Bukhari 5092 dan Muslim 2225]


Maka pada sebagian kendaraan terkadang ada kesialan, demikian juga sebagian isteri-isteri, ada pada mereka kesialan, dan sebagian rumah ada (kesialan).


Jika seorang insan melihat hal itu, hendaknya dia mengetahui, kalau hal itu terjadi dengan takdir Allah. Dan sesungguhnya Allah Taala dengan hikmah Nya menakdirkan hal itu, agar seorang insan pindah ke rumah lainnya. Wallahu alam. [Fatawa Ulama Balad Al-Haram hal 1212]


Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah


Pertanyaan :

Ada orang yang memiliki rumah, dulunya mereka dalam kondisi baik, lalu terjadi silih berganti peristiwa atas mereka dalam rumah tersebut hingga mereka pun merasa sial karenanya dan menjualnya, diantara peristiwa tersebut adalah cobaan yang mereka peroleh dan terjadinya permusuhan diantara sebagian anggota keluarga, Apakah ini termasuk menganggap sial ? Mohon berilah pengarahan manusia, jazakumullohu khairan


Jawaban :

Perbuatan ini bukan termasuk menganggap sial, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits yang shahih :


"Kesialan itu ada pada tiga hal: rumah, hewan tunggangan, dan wanita."


Seringnya kesialan terjadi pada tiga hal ini. Dalam lafadh yang lain berbunyi:


"Sesungguhnya kesialan itu ada pada tiga hal, lalu Beliau menyebutkannya."


Maka hal ini menunjukkan atas seringnya terjadi pada sebagian istri kesialan yang menimpa suaminya, sehingga jika telah tampak dari istrinya perkara yang menunjukkan atas kesialannya karena buruknya akhlak atau pergaulan terhadap suaminya, atau pun silih bergantinya kejadian atas suaminya ketika menikahinya berupa kerugian dan kebangkrutan dalam perdagangan, kerusakan dan kemusnahan pada pertaniannya serta lainnya, maka boleh untuk menceraikan istrinya.


Demikian pula rumah, apabila terjadi silih berganti peristiwa di dalamnya, buruknya kondisi di dalamnya, dan berbagai penyakit yang menimpa dirinya dan anaknya, maka tidak masalah pindah dari rumah itu dan menyewakannya kepada orang lain atau menjualnya, berdasarkan hadits shahih ini.


Demikian pula hewan tunggangan berupa onta, kuda, atau lainnya, jika dia tidak melihat manfaat pada hewan tunggangannya dan dia melihat kejelekan yang silih berganti menimpanya disebabkan hewan tunggannya, maka tidak masalah dia menjualnya dan menggantinya berdasarkan pernyataan hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.


[http://www.binbaz.org.sa/node/17686]


​​•┅┅━━━━━━━┅┅•​​​​​​


Sumber: http://mahad-arridhwan.com


Daftar Nama - Nama Anak Islami

 Jangan Memberi Nama Anak Yang Aneh-Aneh


Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin rahimahullah berkata:


"Bila kamu memberi nama dengan nama yang terdengar aneh oleh masyarakat; maka yang seperti ini bisa jadi sebab tertekannya perasaan putra-putrimu di masa yang akan datang.


Dan boleh jadi semua bentuk kesedihan bakal dirasakan oleh mereka disebabkan nama yang dimilikinya; maka engkau menanggung dosa dan akibat jeleknya.


Karena kamu lah yang jadi sebab mereka tertekan oleh sebab nama aneh tersebut, yang mereka kemudian disoraki, 'Lihat namanya! Lihat namanya!." [Syarah Riyadhus Shalihin, I/265]


A. Nama-Nama Pilihan Untuk Putra


Diambil dari Nama-Nama Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam


Berikut ini adalah daftar nama-nama pilihan dari nama-nama Sahabat.


• Abaan

• Ibrahim

• Ubay

• Abyadh

• Ahmad

• Ahmar

• Artha-ah

• Azhar

• Usaamah

• Ishaaq

• Asad

• Aslam

• Isma'il

• Asmar

• Al-Aswad

• Asyraf

• Anas

• Aus

• Aiman

• Ayyub

• Badr

• Al-Bara-a

• Busr

• Bisyr

• Basyiir

• Bakr

• Bilal

• Bahz

• Tamiim

• Tsaabit

• Tsa'labah

• Tsumaamah

• Tsaubaan

• Tsaur

• Jaabir

• Jubair

• Jutsaamah

• Juraij

• Jariir

• Ja'far

• Jamiil

• Junaadah

• Jundub

• Junaid

• Jahm

• Al-Haarits

• Haatim

•vHaazim

• Hibbaan

• Habiib

• Al-Hajjaaj

• Hajr

• Hudzaifah

• Harb

• Hizaam

• Hassaan

• Husain

• Hakiim

• Hammaad

• Hamzah

• Humaid

• Hanbal

• Haniif

• Khalid

• Khabbaab

• Khubaib

• Khadiij

• Khuzaimah

• Khalaf

• Dawud

• Diinaar

• Dzarr

• Dzakwaan

• Dzu-aib

• Raasyid

• Raafi'

• Rabaah

• Ar-Rabii'

• Rabii'ah

• Rasyiid

• Az-Zubair

• Zirr

• Zaraarah

• Zuhair

• Ziyaad

• Zaid

• Saariyah

• Saalim

• Suraaqah

• Sa'd

• Sa'iid

• Sufyaan

• Salman

• Salamah

• Saliim

• Sulaimaan

• Samurah

• Samiir

• Sinaan

• Sahl

• Suhail

• Suwaid

• Syibl

• Syaddaad

• Syarahiil

• Syarahbiil

• Syuraih

• Syaibaan

• Shaalih

• Shakhr

• Shafwaan

• Shuhaib

• Adh-Dhahhaak

• Thaariq

• Thalhah

• Talq

• 'Aashim

• 'Aamir

• 'Aabid

• 'Abbaas

• 'Abdullah

• 'Abdurrahman

• 'Ubaidullah

• 'Ubaid

• 'Utsman

• 'Adi

• 'Urwah

• 'Athiyyah

• 'Ikrimah

• 'Uqbah

• 'Aqiil

• 'Alqamah

• 'Ali

• 'Ammaar

• 'Umar

• 'Amr

• 'Umair

• 'Anbasah

• 'Auf

• 'Iyaadh

• Ghaalib

• Al-Qaasim

• Qatadah

• Qudaamah

• Qais

• Katsiir

• Ka'b

• Kaisaan

• Labiid

• Laits

• Maalik

• Muhammad

• Martsad

• Mas'uud

• Muslim

• Miswar

• Mush'ab

• Mu'adz

• Mu'awiyah

• Naafi'

• Nu'maan

•Haasyim

• Haani

• Hubairah

• Hisyaam

• Hilaal

• Al-Haitsam

• Waaqid

• Waqqas

• Wahb

• Yahya

• Yasir

• Yaziid

• Yasaar

• Ya'quub

• Yusuf

• Yunus


Catatan:

Nama-nama di atas adalah nama-nama pilihan yang diambil dari kitab الإصابة saja, kitab karya Ibnu Hajr.


B. Nama-Nama Pilihan untuk Putri.


Diambil dari Nama-Nama Shahabiyyah


Berikut ini adalah daftar nama-nama pilihan dari nama-nama Shahabat.


•Aasiyah

•Aaminah

•Atsilah

•Utsaima

•Arwa

•Asmaa

•Umaamah

•Umaimah

•Umayyah

•Unaisah

•Amatullah

•Buraidah

•Busrah

•Basyiirah

•Tamiimah

•Tuwaila

•Tsubaitah

•Judaamah

•Ja'dah

•Jamilah

•Jumaimah

•Juwairiyyah

•Hibbaanah

•Habibah

•Harmalah

•Hafsah

•Halimah

•Hamnah

•Hawwaa 

•Khaalidah

•Khadijah

•Khulaidah

•Khansa

•Khaulah

•Raabi'ah

•Rubaihah

•Razhinah

•Rufaidah

•Ruqayyah

•Ramlah

•Rumaitsah

•Zainab

•Saarrah

•Subai'ah

•Sidrah

•Su'aad

•Sa'idah

•Sukainah

•Salmaa

•Sumairah

•Sumayyah

•Sahlah

•Suhaimah

•Saudah

•Sirin

•Syumailah

•Shafiyyah

•Thaahirah

•'Aatikah

•'Aisyah

•'Ashmaa

•'Afraa `

•'Ulayyah

•'Umaarah

•'Amrah

•'Umairah

•Faathimah

•Faadhilah

•Farwah

•Furai'ah

•Qutailah

•Qailah

•Lubaabah

•Lubnaa

•Lailaa

•Maariyah

•Maryam

•Mulaikah

•Maimunah

•Nusaibah

•Nafiisah

•Hind

•Humainah


*Catatan:*

Ini hanya sebagian dari الإصابة oleh Ibn Hajr (sebuah kitab besar dalam 16 jilid tentang shahabat Nabi), 


_________


Dinukil dari: http://atsar.id



Sabtu, 01 Januari 2022

USTADZ FAVORITKU


 Memfavoritkan seorang ustadz itu wajar dan lumrah. Apalagi bila ilmu dan akhlaknya luar biasa. 


Namun terkadang seorang yang memfavoritkan ustadz jatuh kepada sikap berlebihan. 

Marah karena ustadznya, benci karena ustadznya, cinta juga karena ustadznya.


Ketika ustadznya menghukumi untuk meng-hajr (memboikot) seseorang, maka ia hajr orang tersebut tanpa melihat sebab musababnya dan tanpa tabayyun terlebih dahulu.


Syaikhul Islam ibnu Taimiyah memberi kita nasehat. Beliau berkata:


فإذا كان المعلم أو الأستاذ قد أمر بهجر شخص، أو بإهداره وإسقاطه وإبعاده ونحو ذلك، نظر فيه، فإن كان قد فعل ذنبًا شرعيا، عوقب بقدر ذنبه بلا زيادة. وإن لم يكن أذنب ذنبًا شرعيا، لم يجز أن يعاقب بشيء لأجل غرض المعلم أو غيره


"Apabila seorang guru atau ustadz menyuruh untuk menjauhi seseorang atau menghajrnya atau semisalnya, hendaknya dilihat, bila orang tersebut telah melakukan dosa secara syariat maka ia diberi sanksi sebatas dosanya saja dan tidak boleh lebih. Dan bila ia tidak melakukan dosa secara syariat, maka tidak boleh memberinya sanksi hanya karena mengikuti keinginan guru” (Majmu Fatawa, jilid 28)


● Perhatikanlah perkataan beliau yang indah ini :


Terkadang ustadz kita mencela atau mengkritik seseorang, lalu kita ikut mencelanya dan terkadang menyikapinya bagaikan musuh. 


Padahal kalaupun misalnya ia salah, hendaknya diberi udzur terlebih dahulu, mungkin ia jatuh kepada kesalahan karena kelalaian atau yang lainnya.


Seorang ustadzpun seharusnya jangan malah membuat semakin besar api permusuhan sehingga akibatnya ikhwah pun terkotak kotak bahkan tidak saling menegur.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu Fatawa jilid 28 berkata menasehati kita:


وليس للمعلمين أن يحزبوا الناس ويفعلوا ما يلقي بينهم العداوة والبغضاء، بل يكونون مثل الأخوة المتعاونين على البر والتقوي كما قال تعالى: { وَتَعَاوَنُواْ على الْبرِّ وَالتَّقْوَي وَلاَ تَعَاوَنُواْ على الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ }8


“Para guru tidak boleh mengotak-ngotak manusia dan melakukan sikap yang menimbulkan permusuhan dan kebencian. Tetapi hendaknya mereka bagaikan saudara yang saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.


Sebagaimana firman Allah Ta’ala:


وَتَعَاوَنُواْ على الْبرِّ وَالتَّقْوَي وَلاَ تَعَاوَنُواْ على الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ


"Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan takwa dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan." (QS Al Maidah: 2)


Terkadang ketika ustadz tidak menyukai seseorang, ia ungkapkan kepada murid-muridnya sehingga timbul permusuhan dan kebencian.


Padahal tak layak ia lakukan demikian. Tapi hendaknya ia memberi contoh yang baik kepada murid-muridnya untuk memberi seribu udzur kepada sesama kaum mukminin dan tidak mudah mencela atau berburuk sangka.


Inilah nasehat untuk diriku dan ikhwah sekalian.


Semoga bermanfaat.


____________


Dinukil dari: muslim.or.id

Oleh: Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc hafizhahullah




Bahaya Meninggalkan Shalat Ashar

 Dari Buraidah bin Al Hashib Al Aslami radhiallahu'anhu, ia berkata:


بَكِّرُوا بالصَّلَاةِ، فإنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ قَالَ: مَن تَرَكَ صَلَاةَ العَصْرِ حَبِطَ عَمَلُهُ


"Bersegeralah untuk melakukan shalat. Karena Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda: siapa yang meninggalkan shalat Ashar, akan terhapus semua amalannya" (HR. Al Bukhari no. 553 dan 594).


Dalam riwayat lain, dari Abud Darda' radhiallahu'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda:


مَنْ تَرَكَ صَلَاةَ الْعَصْرِ مُتَعَمِّدًا ، حَتَّى تَفُوتَهُ ، فَقَدْ أُحْبِطَ عَمَلُهُ


"Siapa yang meninggalkan shalat Ashar dengan sengaja sampai keluar waktunya, akan terhapus semua amalannya" (HR. Ahmad no.27492, dishahihkan Syu'aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).


Penjelasan Hadits


Meninggalkan shalat secara umum adalah dosa besar dan bisa menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Dari Abdullah bin Buraidah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:


إنَّ العَهدَ الذي بيننا وبينهم الصَّلاةُ، فمَن تَرَكها فقدْ كَفَرَ


“Sesungguhnya perjanjian antara kita dan mereka (kaum musyrikin) adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya maka ia telah kafir” (HR. At Tirmidzi no. 2621, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).


Dan khusus shalat Ashar, meninggalkannya lebih ditekankan lagi larangannya dalam hadits di atas.


Yang dimaksud meninggalkan shalat Ashar adalah dengan sengaja tidak shalat Ashar. Sehingga hadits ini tidak membahas orang yang shalat Ashar namun tidak di awal waktu atau lelaki yang shalat Ashar di rumah tanpa udzur. Karena dua model orang ini masih termasuk orang yang mengerjakan shalat Ashar.


Adapun lafadz “Akan terhapus semua amalannya” ini diperselisihkan para ulama tentang maknanya. Secara garis besar ulama berbeda menjadi tiga pendapat:


Pertama, sebagian ulama menafsirkan bahwa maknanya adalah terhapus pahala amalannya pada hari itu saja. Ini pendapat dari Ibnul Qayyim rahimahullah.


Kedua, sebagian ulama menafsirkan bahwa maknanya adalah terhapus seluruh pahalanya, sebagaimana zahir hadits. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Rajab rahimahullah.


Ketiga, pendapat sebagian ulama yang mentakwil makna hadits ini. Seperti Ibnu Bathal, beliau menjelaskan bahwa maknanya adalah terhapus pahala dan keutamaan shalat Ashar baginya, bukan pahala amalan lainnya. Dan banyak sekali takwilan yang lainnya. Ibnu Hajar mengatakan:


وَتَمَسَّكَ بِظَاهِرِ الْحَدِيثِ أَيْضًا الْحَنَابِلَةُ ، وَمَنْ قَالَ بِقَوْلِهِمْ مِنْ أَنَّ تَارِكَ الصَّلَاةِ يَكْفُرُ ، وَأَمَّا الْجُمْهُورُ فَتَأَوَّلُوا الْحَدِيثَ , فَافْتَرَقُوا فِي تَأْوِيلِهِ فِرَقًا


“Ulama Hanabilah dan ulama yang berpendapat bahwa meninggalkan shalat itu kufur, mereka berpegang pada zahir hadits. Adapun jumhur ulama, mereka mentakwil hadits ini. Namun mereka berbeda-beda dalam mentakwilkannya dengan perbedaan yang banyak” (Fathul Bari, 2/31).


Makna yang dikuatkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan juga Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin adalah pendapat yang kedua, sesuai zahir dari hadits. Bahwa orang yang meninggalkan shalat Ashar dengan sengaja maka terhapus semua amalannya. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:


هذا يدل على أن ترك الصلاة كفر إذا تركها عمدًا، عزم على تركها بالكلية، فهذا يحبط عمله لأن تركها كفر،


“Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat ashar ia kufur jika meninggalkannya dengan sengaja, dan memang berniat untuk meninggalkannya secara keseluruhan. Orang seperti ini terhapus amalannya karena meninggalkan shalat itu kekufuran” (Fatawa Al Lajnah, jilid 28, no. 89).


Oleh karena itu sudah selayaknya kita menjaga shalat Ashar, jangan sampai meninggalkannya. Karena meninggalkan shalat Ashar sangat keras ancamannya.


Semoga Allah ta'ala memberi taufik.


________________


Dinukil dari Telegram: @fawaid_kangaswad