Selasa, 16 Februari 2016

Imam Asy-Syafi’i Bertabarruk dengan Kubur Imam Abu Hanifah

Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahulah meriwayatkan :

أخبرنا القاضي أبو عبد الله الحسين بن علي بن محمد الصيمري قال أنبأنا عمر بن إبراهيم المقرئ قال نبأنا مكرم بن أحمد قال نبأنا عمر بن إسحاق بن إبراهيم قال نبأنا علي بن ميمون قال سمعت الشافعي يقول اني لأتبرك بأبي حنيفة وأجيء إلى قبره في كل يوم يعني زائرا فإذا عرضت لي حاجة صليت ركعتين وجئت إلى قبره وسألت الله تعالى الحاجة عنده فما تبعد عني حتى تقضى

Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Qadli Abu ‘Abdillah Al-Husain bin ‘Ali bin Muhammad Ash-Shimari, ia berkata : Telah memberitakan kepada kamu ‘Umar bin Ibrahim Al-Muqri’, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Mukarram bin Ahmad, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami ‘Umar bin Ishaq bin Ibrahim, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami ‘Ali bin Maimun, ia berkata : Aku mendengar Asy-Syafi’i berkata : “Sesungguhnya aku akan ber-tabarruk dengan Abu Hanifah. Aku akan datang ke kuburnya setiap hari – yaitu untuk berziarah - . Apabila aku mempunyai satu hajat, aku pun shalat dua raka’at lalu datang ke kuburnya untuk berdo'a kepada Allah ta’ala tentang hajat tersebut disisinya. Maka tidak lama setelah itu, hajatku pun terpenuhi”.
(Taariikh Baghdaad 1/123).

Kisah ini seringkali dibawakan untuk melegalkan amalan tabarruk kepada orang yang telah meninggal. Namun kisah ini tidak shahih. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata :

فهذه رواية ضعيفة بل باطلة فإن عمر بن إسحاق بن إبراهيم غير معروف وليس له ذكر في شيء من كتب الرجال , و يحتمل أن يكون هو عمرو - بفتح العين - بن إسحاق بن إبراهيم بن حميد بن السكن أبو محمد التونسى و قد ترجمه الخطيب ( 12 / 226 ) . و ذكر أنه بخاري قدم بغداد حاجا سنة ( 341 ) و لم يذكر فيه جرحا و لا تعديلا فهو مجهول الحال , و يبعد أن يكون هو هذا إذ أن وفاة شيخه علي بن ميمون سنة ( 247 ) على أكثر الأقوال , فبين وفاتيهما نحو مائة سنة فيبعد أن يكون قد أدركه .

“Ini adalah riwayat yang lemah, bahkan bathil. ‘Umar bin Ishaq bin Ibrahim tidak dikenal, dan tidak disebutkan satupun dalam kitab-kitab rijaal. Kemungkinan ia adalah ‘Amr – dengan fathah pada huruf ‘ain – bin Ishaq bin Ibrahim bin Humaid bin As-Sakan Abu Muhammad At-Tunisi. Al-Khathib telah menyebutkan biografinya (dalamAt-Tariikh 12/226). Disebutkan bahwa ia orang Bukhara yang tiba di Baghdad pada perjalanan hajinya tahun 341 H. Tidak disebutkan padanya jarh maupun ta’dil, sehingga ia seorang yang berstatus majhuul haal. Namun kemungkinan ini jauh saat diketahui gurunya yang bernama ‘Ali bin Maimun wafat pada tahun 247 H menurut mayoritas pendapat. Maka diperoleh penjelasan kematian keduanya berjarak sekitar 100 tahun sehingga jauh kemungkinan ia bertemu dengannya (‘Ali bin Maimun)”.
(Silsilah Ad-Dla’iifah, 1/78).

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

وهذا كذلك معلوم كذبه بالاضطرار عند من له معرفة بالنقل، فإن الشافعي لما قدم بغداد لم يكن ببغداد قبر ينتاب للدعاء عنده البتة، بل ولم يكن هذا على عهد الشافعي معروفا، وقد رأى الشافعي بالحجاز واليمن والشام والعراق ومصر من قبور الأنبياء والصحابة والتابعين، من كان أصحابها عنده وعند المسلمين، أفضل من أبي حنيفة، وأمثاله من العلماء. فما باله لم يتوخ الدعاء إلا عنده. ثم أصحاب أبي حنيفة الذين أدركوه، مثل أبي يوسف ومحمد وزفر والحسن بن زياد وطبقتهم، لم يكونوا يتحرون الدعاء، لا عند قبر أبي حنيفة ولا غيره.

“Dan hal ini demikian juga telah diketahui sebagai kebohongan secara pasti yang dilakukan oleh orang yang mengetahui seluk-beluk penukilan, karena Asy-Syafi’i saat tiba di Baghdad, tidak ada dikota tersebut kuburan yang dijadikan tempat khusus untuk berdo'a. Bahkan ini tidak terjadi dimasa Asy-Syafi’i. Asy-Syafi’i telah melihat kuburan para Nabi, para shahabat, dan tabi’in di Hijaaz, Yaman, Syam, dan ‘Iraq, yang mereka itu menurutnya (Asy-Syafi’i) dan kaum muslimin semuanya lebih utama dibandingkan Abu Hanifah dan yang semisalnya dari kalangan ulama. Lantas, bagaimana mungkin ia hanya menyengaja berdo'a disisi Abu Hanifah saja ? Kemudian para shahabat Abu Hanifah yang bertemu (semasa) dengannya seperti Abu Yusuf, Muhammad (bin Al-Hasan), Zufar, Al-Hasan bin Ziyad, dan yang setingkat dengan mereka tidaklah bermaksud berdo'a disisi kubur Abu Hanifah ataupun yang lainnya”.
(Iqtidlaa’ Ash-Shiraathil-Mustaqiim, 2/206).

Terkait dengan bahasan ini, Ibnul-Qayyim rahimahullah memberikan penjelasan yang cukup bagus :

فلو كان الدعاء عند القبور، والصلاة عندها، والتبرك بها فضيلة أو سنة أو مباحا، لفعل ذلك المهاجرين والأصار، وسنّوا ذلك لمن بعدهم، ولكن كانوا أعلم بالله ورسوله ودينه من الخلوف التي خلفت بعدهم، وكذلك التابعون لهم بإحسان راحوا على هذه السبيل، وقد كان عندهم من قبور أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم بالأمصار عدد كثير، وهم متوافرون، فما منهم من استغاث عند قبر صاحب، ولا دعاه، ولا دعا به، ولا دعا عنده، ولا استشقى به، ولا استسقى به، ولا استنصر به، ومن المعلوم أن مثل هذا مما تتوفّر الهمم على نقله، بل على نقل ما دونه.

“Seandainya berdo'a disisi kuburan, shalat disisinya, dan mencari berkah dengannya adalah suatu keutamaan atau sesuatu yang disunnahkan atau diperbolehkan; tentunya hal itu pernah dilakukan oleh kaum Muhajirin dan Anshar, dan mencontohkannya kepada generasi setelah mereka. Akan tetapi mereka adalah orang yang lebih mengetahui tentang Allah, Rasul-Nya, dan agama-Nya daripada orang - orang yang datang belakangan setelah mereka. Seperti itulah, orang - orang yang mengikuti mereka dengan baik (tabi’in) menempuh jalan ini, padahal disekitar mereka banyak terdapat makam para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berada diberbagai negeri dan jumlah mereka (tabi’in) pun cukup banyak. Namun, tidak ada seorang pun yang meminta pertolongan (istighatsah) disisi makam seorang shahabat, tidak juga berdo'a kepadanya, berdo'a dengan perantaraannya, berdo'a disisiya, meminta kesembuhan, meminta hujan, dan meminta pertolongan dengannya. Sebagaimana diketahui bahwa hal seperti ini termasuk sesuatu yang memiliki perhatian penuh untuk diriwayatkan, bahkan meriwayatkan hal yang lebih rendah daripada itu”.
(Ighaatsatul-Lahfaan, 1/204 dengan sedikit perubahan – dinukil melalui perantaraan At-Tabarruk, Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu oleh Dr. Naashir Al-Judai’, hal. 405).

Demikian risalah kecil ini dituliskan, semoga ada manfaatnya

Sources : Silsilah Adl-Dha’ifah oleh Al-Albani, Maktabah Al-Ma’arif, Cet. 1/1412, Riyadl; Tarikh Baghdad oleh Al-Khathib Al-Baghdadi, Darul-Kutub, Beirut;Iqtidha’ Ash-Shirathil-Mustaqim oleh Ibnu Taimiyyah, tahqiq : Dr. Nashir Al-‘Aql, Darul-‘Alamil-Kutub, Cet. 7/1419, Beirut; At-Tabarruk, Anwa’uhu wa Ahkamuhu oleh Dr. Nashir Al-Judai’, Maktabah Ar-Rusyd, Cet. Thn. 1411, Riyadh; dan Zahid Al-Kautsari wa Arauhul-I’tiqadiyyah, ‘Ardlun wa Naqdun oleh ‘Ali bin ‘Abdillah Al-Fahiid, hal. 242-244, Universitas Ummul-Qurra’ (Thesis Magister/S2), Makkah.

Sumber:
http://abuljauzaa.blogspot.com

Diarsipkan:
http://arie49.wordpress.com
http://ariedoank49.blogspot.com

Derajat Hadits Do'a Sebelum Makan: “Allahumma Bariklana…

Dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Ad Du’a [888],

حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْحَاقَ التُّسْتَرِيُّ، وَمُحَمَّدُ بْنُ أَبِي زُرْعَةَ الدِّمَشْقِيُّ، قَالَا: ثنا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى بْنِ سُمَيْعٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي الزُّعَيْزِعَةِ، حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فِي الطَّعَامِ إِذَا قُرِّبَ إِلَيْهِ: «اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، بِسْمِ اللَّهِ»

“Al Husain bin Ishaq At Tustari dan Muhammad bin Abi Zur’ah Ad Dimasyqi, mereka berdua berkata, Hisyam bin ‘Ammarmengatakan kepadaku, Muhammad bin Isa bin Sumay’imengatakan kepadaku, Muhammad bin Abi Az Zu’aizi’ahmengatakan, ‘Amr bin Syu’aib mengatakan kepadaku, dari ayahnya (Syu’aib bin Muhammad As Sahmi), dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam:

Bahwa beliau ketika hendak makan dan hidangan didekatkan kepada beliau, beliau berdo'a:

"Allaahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa waqinaa ‘adzaabannaar".

Artinya: "Ya Allah berkahilah makanan yang telah engkau karuniakan kepada kami, dan jauhkanlah kami dari api neraka".

Juga dikeluarkan oleh Ibnu Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah[457] dengan sanad yang sama.

Derajat hadits

Riwayat ini MUNKAR karena terdapat Muhammad bin Abi Az Zu’aizi’ah yang statusnya MUNKARUL HADITS.

Imam Al Bukhari mengatakan, “ia sangat munkarul hadits” (At Tarikh Al Kabir, 244). Abu Hatim mengatakan, “ia sangat munkarul hadits“. Beliau juga mengatakan: “jangan menyibukkan diri dengannya” (dinukil dari Lisanul Mizan, 7/137).Al Jurjani mengatakan, “ia sangat munkarul hadits, tidak ditulis haditsnya” (Al Kamil fid Dhu’afa, 7/426).Ibnu Hibban bahkan mengatakan: “ia termasuk diantara para Dajjal, ia meriwayatkan hadits - hadits palsu hingga akhir hayatnya” (dinukil dari Lisanul Mizan, 7/137).

Terdapat jalan lain untuk lafal do'a diatas. Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwatha [3447], Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf [24512], Al Baihaqi dalam Al Asma’ wash Shifat [370],

عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ؛ أَنَّهُ كَانَ لاَ يُؤْتَى أَبَداً بِطَعَامٍ أَوْ شَرَابٍ، حَتَّى الدَّوَاءُ، فَيَطْعَمَهُ أَوْ يَشْرَبَهُ حَتَّى يَقُولَ: الْحَمْدُ للهِ الَّذِي هَدَانَا. وَأَطْعَمَنَا وَسَقَانَا. وَنَعَّمَنَا. اللهُ أَكْبَرُ. اللَّهُمَّ أَلْفَتْنَا نِعْمَتُكَ بِكُلِّ شَرٍّ. فَأَصْبَحْنَا مِنْهَا وَأَمْسَيْنَا بِكُلِّ خَيْرٍ. نَسْأَلُكَ تَمَامَهَا وَشُكْرَهَا. لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ. وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ. إِلَهَ الصَّالِحِينَ. وَرَبَّ الْعَالَمِينَ. الْحَمْدُ للهِ. وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. مَا شَاءَ اللهُ، وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ. اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا. وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya (‘Urwah bin Zubair bin Al ‘Awwam) bahwasanya tidaklah ia dihidangkan makanan atau minuman kecuali pasti ia berdo'a dengan beberapa do'a. Ia makan dan minum sesudah berdo'a:

"Alhamdulillaahilladzii hadaanaa wa ath’amnaa wa saqoona wa na’amnaa, Allaahu akbar. Allaahumma alfatnaa ni’matuka bikulli syarrin. fa ash-bahnaa minhaa wa amsaynaa bikulli syarrin. nas-aluka tamaamaha wa syukrohaa. laa khoyro illaa khoyruka. walaa ilaaha ghoyruka. ilaahas shoolihiin. wa robbal ‘alamiin. alhamdulillaah wa laa ilaaha illallah. waa syaa-allahu walaa quwwata illaa billaah. Allaahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa waqinaa ‘adzaabannaar".

Artinya: "Segala puji bagi Allah yang telah memberi kita hidayah dan telah memberi kita makan dan telah memberi kita minum dan telah memberi kita nikmat. Allah Maha Besar. Ya Allah jauhkanlah nikmatMu ini dari segala keburukan. dan jadikanlah kami dipagi dan sore hari senantiasa dalam kebaikan. kami memohon nikmatMu yang sempurna dan kami memohon hidayah agar bisa bersyukur. tidak ada kebaikan kecuali dariMu. tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain diri-Mu, engkau Tuhannya orang - orang shalih, dan Tuhannya semesta alam. Segala puji bagi Allah dan tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah. Dan segala sesuatu atas kehendak Allah, dan tidak ada daya upaya melainkan atas izin Allah. Ya Allah berkahilah makanan yang telah engkau karuniakan kepada kami, dan jauhkanlah kami dari api neraka”.

Riwayat ini shahih namun do'a yang ada dalam riwayat ini tidak disandarkan kepada Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam, melainkan kepada ‘Urwah bin Az Zubair. Dan ‘Urwah bin Az Zubair bin Al ‘Awwam adalah seorang tabi’in thabaqah ke tiga. Sedangkan perbuatan tabi’in bukanlah dalil.

Pada jalan yang lain, dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya [1313], Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman [5640], Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf [24509], Abu Nu’aim dalamHilyatul Auliya [1/70] semuanya dari jalan Sa’id Al Jurairiy,

، حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْجُرَيْرِيُّ، عَنْ أَبِي الْوَرْدِ، عَنِ ابْنِ أَعْبُدَ، قَالَ: قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: «يَا ابْنَ أَعْبُدَ هَلْ تَدْرِي مَا حَقُّ الطَّعَامِ؟» قَالَ: قُلْتُ: وَمَا حَقُّهُ يَا ابْنَ أَبِي طَالِبٍ؟ قَالَ: «تَقُولُ بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا» ، قَالَ: وَتَدْرِي مَا شُكْرُهُ إِذَا فَرَغْتَ؟ قَالَ: قُلْتُ: وَمَا شُكْرُهُ؟ قَالَ: «تَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنَا وَسَقَانَا»

“.. Sa’id Al Jurairiy mengatakan kepadaku, dari Abul Warad, dari Ibnu A’bud, ia berkata: Ali bin Abi Thalib bertanya kepadaku: ‘wahai Ibnu A’bud, apakah engkau tahu apakah hak makanan ?’. Aku pun berkata: ‘apa itu wahai Ibnu Abi Thalib ?’. Ia menjawab: ‘hendaknya ia berdo'a: Allaahumma baariklanaa fiimaa rozaqtanaa‘. Dan apakah engkau tahu apa bentuk syukur ketika selesai makan ?”. Aku berkata: ‘apa itu ?’. Beliau menjawab: ‘engkau berdo'a:"Alhamdulillahilladzii ath’amnaa wa saqoonaa‘”.

Riwayat ini juga dha'if (lemah) karena Ibnu A’bud majhul.

Ibnu Hajar mengatakan: “Ali bin A’bud, terkadang ia tidak disebut namanya dalam sanad, ia majhul”. (Taqribut Tahdzib, 4689).Ali bin Al Madini mengatakan: “ia tidak dikenal” (dinukil dariTahdzibul Kamal, 4025).

Dan riwayat ini juga tidak disandarkan kepada NabiShallallahu’alaihi wa sallam melainkan sahabat Ali bin Abi Thalibradhiallahu’anhu. Selain itu, lafadz do'a yang ada disini hanya “Allaahumma baariklanaa fiimaa rozaqtanaa” tanpa tambahan “waqinaa ‘adzaabannaar“.

Kesimpulan

Hadits do’a sebelum makan “Allaahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa waqinaa ‘adzaabannaar” adalah hadits yang munkar. Ia bukanlah do'a yang dituntunkan dan diajarkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Yang tepat ia berasal dariatsar Urwah bin Zubair bin Al ‘Awwam rahimahullah.

Do’a sebelum makan yang shahih dituntunkan dan diajarkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam adalah ucapan “bismillah” saja. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dari sahabat ‘Amr bin Abi Salamah Radhiallahu ‘anhu:

كنتُ غلامًا في حجرِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فكانت يدي تطيشُ في الصَّحفةِ . فقال لي رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : يا غلامُ إذا أكلتَ فقلْ : بسمِ اللهِ وكُلْ بيمينِك وكُلْ ممَّا يليك

“Dahulu ketika aku masih kecil pernah berada dirumah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam. Ketika itu kedua tanganku menyambangi piring - piring yang ada. Maka RasulullahShallallahu’alaihi wa sallam bersabda kepadaku: ‘wahai bocah, jika engkau hendak makan, ucapkanlah: bismillah. Dan makanlah dengan tangan kanan serta makanlah makanan yang terdekat‘”.

Wallahu a’lam.

Sumber:
https://kangaswad.wordpress.com/2016

Diarsipkan:
http://arie49.wordpress.com
http://ariedoank49.blogspot.com

Sabtu, 13 Februari 2016

BEBERAPA CONTOH HADITS PALSU DAN LEMAH DALAM KITAB ILYA’ ULU'MIDDIN.

Catatan untuk Kitab Ihya’ Ulumiddin.

Ihya’ Ulûmiddîn, sebuah nama kitab yang sangat tenar ditengah kaum Muslimin, dan begitu terkenal dipesantren-pesantren tradisional, bahkan dikenal bukan hanya di Indonesia tapi diseluruh dunia.

Kalau ditilik dari makna harfiyah Ihya’ Ulûmiddîn, kita dapati sebuah makna yang sangat agung. Betapa tidak, Ihya’ Ulûmiddîn yang disematkan oleh penyusun kitab ini sebagai judul karya tulisnya itu bermakna menghidupkan ilmu-ilmu agama. Keagungan makna ini tidak diingkari oleh siapapun yang memiliki iman dalam hatinya. Karena, dengan ilmu-ilmu agama yang diaplikasikan dalam kehidupan nyata, seseorang akan bisa selamat dari siksa dan murka Allâh Azza wa Jalla serta bisa masuk ke surga-Nya yang penuh kenikmatan abadi.

Namun apakah semua kandungan kitab Ihya’ Ulumiddin itu benar ?

Dalam peribahasa kita, ada ungkapan “Tidak ada gading yang tak retak”. Para Ulama juga telah menegaskan bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak menetapkan keselamatan dari segala bentuk kesalahan kecuali untuk nabi-Nya dan tidak memberikan jaminan ‘bebas dari kesalahan’ untuk sebuah kitab kecuali untuk kitab-Nya, Al-Qur’ân. Kita juga tidak lupa dengan perkataan Imam Mâlik rahimahullah : “Semua perkataan orang bisa diterima atau ditolak kecuali perkataan penghuni kuburan ini (sambil memberi isyarat ke arah makam Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam )”.

Ini menuntut kita untuk memiliki sifat kritis dan lapang dada. Sifat kritis untuk menyaring semua info yang masuk ke kita dan sifat lapang dada untuk menerima segala bentuk kritikan ilmiah yang sampai ke kita.

Kitab yang sangat masyhur ini, ternyata tidak luput dari kesalahan, bahkan kesalahan fatal, karena terdapat kesalahan dalam masalah aqidah. Mungkin ada pertanyaan, siapakah kalian sehingga berani menyalahkan kitab tersohor ini beserta penulisnya yang sangat ternama itu ? Tentu, jawaban kami, bukan kami yang menyalahkan. Namun para Ulama Islam yang telah menjelaskan sisi-sisi kekeliruan dan kesalahannya, berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’ân dan Sunnah yang mereka kuasai. Itulah pesan yang ingin kami sampaikan agar umat mengetahui kesalahan-kesalahan tersebut lalu meninggalkannya, bukan untuk merendahkan apalagi mencela penulisnya. ‘Iyâdzan billâh.

Diantara kesalahan itu, ada yang berawal dari kesalahan dalil, karena ternyata yang menjadi dalilnya adalah hadits maudhû’ (hadits palsu), seperti hadits berikut :

الْحَدِيْثُ فِي الْمَسْجِدِ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ الْبَهَائِمُ الْحَشِيْشَ

"Percakapan dalam masjid akan memakan/menghapus (pahala) kebaikan seperti binatang ternak yang memakan rumput".
(Ihyâ’ Ulûmiddîn, 1/152, cet. Darul Ma’rifah, Beirut)

Keterangan : hadits ini dihukumi oleh Imam Al-‘Irâqi rahimahullah, As-Subki rahimahullah dan Syaikh Al-Albâni rahimahullah sebagai hadits palsu yang tidak ada asalnya dalam kitab-kitab hadits.
(Lihat Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah 1/60)

Juga hadits :

قَلِيْلُ التَّوْفِيْقِ خَيْرٌ مِنَ كَثِيْرِ الْعَقْلِ

"Taufik yang sedikit lebih baik dari ilmu yang banyak. (Ihyâ’ Ulûmiddîn, 1/31)

Hadits ini juga dihukumi oleh para ulama diatas sebagai sebagai hadits palsu yang tidak ada asalnya. (Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/287 dan Difâ’un ‘anil Hadîtsin Nabawi hlm. 46).

Ada sebagian orang mengatakan, “Meskipun maudhû’ (palsu) atau dha'îf, bukankah itu tetap merupakan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Ucapan seperti ini menunjukkan orang yang melontarkannya belum memahami ilmu mustholah hadits dan belum menyadari bahaya dan ancaman besar akibat membuat atau ikut menyebarkan hadits palsu. Selain itu, kalau para ulama ahli hadits sudah menghukumi sebuah hadits sebagai hadits yang maudhû’ itu artinya berdasarkan penelitian mereka “hadits” itu bukan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh dinisbatkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga tidak bisa dijadikan sebagai landasan dalam beramal. Barangsiapa berani menisbatkan hadits maudhû’ (palsu) kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah berdusta atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terkena ancaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Jalan mewujudkan penghambaan diri kepada Allâh Azza wa Jalla hendaknya dengan mencukupkan diri dengan hadits yang shahîh dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Itulah jalan terbaik, Sebagaimana perkataan Imam Nawawi rahimahullah dalam mukaddimah Riyâdhus Shâlihîn. Setelah memaparkan tujuan penciptaan manusia, beliau rahimahullah mengatakan :

وأَصْوَبُ طريقٍ لهُ في ذَلِكَ ، وَأَرشَدُ مَا يَسْلُكُهُ مِنَ المسَالِكِ ، التَّأَدُّبُ بمَا صَحَّ عَنْ نَبِيِّنَا سَيِّدِ الأَوَّلينَ والآخرينَ ، وَأَكْرَمِ السَّابقينَ والَّلاحِقينَ

“Jalan yang paling benar dan terbaik bagi seorang mukallaf dalam beribadah, suluk terbaik yang dia lakukan yaitu beradab atau bertingkah laku dengan kandungan (riwayat-riwayat) yang shahîh dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ), sayyid orang terdahulu dan yang terakhir, manusia termulia pada zaman dahulu dan yang akan datang”.

Akhirnya, kami berdo'a, semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa membimbing kita untuk menempuh jalan yang diridhai dan dicintai-Nya. Amin

BEBERAPA CONTOH HADITS PALSU DAN LEMAH DALAM KITAB IHYA ULUMIDDIN.

Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthoni, MA

1. Hadits :

الْحَدِيْثُ فِي الْمَسْجِدِ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ الْبَهَائِمُ الْحَشِيْشَ

"Percakapan dalam masjid akan memakan/menghapus (pahala) kebaikan seperti binatang ternak yang memakan rumput".

Keterangan : hadits ini dihukumi oleh Imam Al-‘Irâqi rahimahullah, As-Subki rahimahullah dan Syaikh Al-Albâni rahimaullah sebagai hadits palsu yang tidak ada asalnya dalam kitab-kitab hadits.

2. Hadits :

قَلِيْلُ التَّوْفِيْقِ خَيْرٌ مِنَ كَثِيْرِ الْعَقْلِ

"Taufik yang sedikit lebih baik dari ilmu yang banyak".

Hadits ini juga dihukumi oleh para ulama diatas sebagai sebagai hadits palsu yang tidak ada asalnya [4] .

3. Hadits :

بُنِىَ اْلدِّيْنُ عَلَى النَّظَافَةِ

"Agama Islam dibangun diatas kebersihan".

Hadits ini adalah hadits yang palsu, karena pada sanadnya ada perawi yang bernama ‘Umar bin Shubh al-Khurâsâni. Ibnu Hajar rahimahullah berkata tentangnya : “Dia adalah perawi yang matruk (ditinggalkan riwayatnya karena sangat lemah), bahkan (Imam Ishâq) bin Rahuyah mendustakannya”.

4. Hadits :

إِنَّ الْعَالِمَ يُعَذَّبُ عَذَابًا يَطِيْفُ بِهِ أَهْلُ النَّارِ

"Sesungguhnya orang yang berilmu akan disiksa (dalam neraka) dengan siksaan yang akan membuat sempit (susah) penduduk neraka".

Hadits ini dihukumi oleh Imam As-Subki rahimahullah sebagai hadits yang tidak ada asalnya.

5. Hadits :

شِرَارُ الْعُلَمَاءِ الَّذِيْنَ يَأْتُوْنَ الْأُمَرَاءَ وَخِيَارُ الْأُمَرَاءِ الَّذِيْنَ يَأْتُوْنَ الْعُلَمَاءَ

"Seburuk-buruk ulama adalah yang selalu mendatangi para penguasa (pemerintah) dan sebaik-sebaik penguasa adalah yang selalu mendatangi para ulama".

Hadits ini juga dihukumi oleh Imam As-Subki rahimahullah sebagai hadits yang tidak ada asalnya.

6. Hadits :

مَنْ قَالَ أَنَا مُؤْمِنٌ فَهُوَ كَافِرٌ وَمَنْ قَالَ أَنَا عَالِمٌ فَهُوَ جَاهِلٌ

"Barangsiapa berkata : ‘Aku adalah seorang mukmin’ maka dia kafir, dan barang siapa berkata: ‘Aku adalah orang yang berilmu’ maka dia adalah orang yang jahil (bodoh)”.

Hadits ini juga dihukumi oleh Imam As-Subki rahimahullahsebagai hadits yang tidak ada asalnya dan dinyatakan dha'if  (lemah) oleh Imam As-Sakhâwi rahimahullah.

7. Hadits :

لَيْسَ لِلْعَبْدِ مِنْ صَلاَتِهِ إِلاَّ مَا عَقَلَ

"Seorang hamba tidak akan mendapatkan (keutamaan) dari shalatnya kecuali apa yang dipahaminya dari shalatnya".

Hadits ini juga dihukumi oleh Imam As-Subki rahimahullah sebagai hadits yang tidak ada asalnya".

8. Hadits :

أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللهُ الْعَقْلَ

"Sesuatu yang pertama kali Allâh Azza wa Jalla ciptakan adalah akal…”.

Hadits ini dihukumi oleh Imam Adz-Dzahabi rahimahullah dan Syaikh Al-Albâni rahimahullah sebagai hadits yang bathil dan palsu.

9. Hadits :

مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

"Barangsiapa yang mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya, maka Allâh Azza wa Jalla akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya”.

Hadits ini dihukumi oleh Syaikh Al-Albâni rahimahullah sebagai hadits yang palsu.

10. Hadits :

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْقُلُوْا عَنْ رَبِّكُمْ وَتَوَاصَوْا بِالْعَقْلِ

“Wahai manusia, pahamilah (dengan akal) dari Rabb-mu dan saling berwasiatlah dengan akal”.

Hadits ini adalah hadits maudhu' (palsu), diriwayatkan oleh Dâwûd bin Al-Muhabbar dalam kitab Al-‘Aql yang dikatakan oleh Ibnu Hajar: “Dia adalah perawi yang matruk (ditinggalkan riwayatnya karena sangat lemah) dan kitab Al-‘Aql yang ditulisnya mayoritas berisi hadits-hadits yang palsu”.

11. Hadits tentang shalat Ar-Raghâib dibulan Rajab.
Hadits ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh Imam Al-‘Iraqi.

(Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196)
_______
Footnote
[1]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/152, cet. Darul ma’rifah, Beirut).
[2]. Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah 1/60
[3]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/31).
[4]. Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/287 dan Difâ’un ‘anil Hadîtsin Nabawi hlm. 46
[5]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/49).
[6]. Dalam Taqrîbut Tahdzîb hlm. 414
[7]. Lihat Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah no. 3264
[8]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/60).
[9]. Lihat Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/287
[10]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/68).
[11]. Lihat Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/288
[12]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/125).
[13]. Lihat Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/289
[14]. Lihat al-Maqâshidul Hasanah hlm. 663
[15]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/159).
[16]. Lihat Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/289
[17]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/83) dan (3/4).
[18]. Lihat Lisânul Mîzân 4/314 dan Takhrîju Ahâdîtsil Misykâh no. 5064
[19]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/71), (3/13) dan (3/23)
[20]. Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah no. 422
[21]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/202)
[22]. Dalam Taqrîbut Tahdzîb hlm. 200
[23]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/83)
[24]. Lihat takhrij beliau pada catatan kaki kitab tersebut (2/366, cet. Dar asy-Syi’ab, Kairo)

http://almanhaj.or.id

http://nahimunkar.com

Diarsipkan :
http://arie49.wordpress.com
http://ariedoank49.blogspot.com

HUKUM MANDI JUNUB DENGAN MENGGUNAKAN AIR HANGAT

Oleh: Al Ustadz Ammi Nur Baits, Lc

Pertanyaan:
Apakah mandi junub memakai air hangat itu sah ?

Jawaban:
Bismmillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah.
Bagi orang Junub yang tidak memungkinkan untuk mandi dengan air dingin, dibolehkan menggunakan air hangat. Diantara dalil yang menunjukkan hal ini adalah Dari Aslam Al-Qurasyiy Al-‘Adawy, mantan budak 'Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu beliau bercerita:

ﺃَﻥَّ ﻋُﻤَﺮَ ﺑْﻦَ ﺍﻟْﺨَﻄَّﺎﺏِ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻐْﺘَﺴِﻞُ ﺑِﺎﻟْﻤَﺎﺀِ ﺍﻟْﺤَﻤِﻴﻢِ

“Sesungguhnya 'Umar dahulu mandi dari air yang hangat”.
(HR. Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya 675, dan Ibnu Hajar mengatakan sanadnya shahih Fathul Bari, 1:299)

Ibnu Hajar menjelaskan:

ﻭﺃﻣﺎ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﺍﻟﺘﻄﻬﺮ ﺑﺎﻟﻤﺎﺀ ﺍﻟﻤﺴﺨﻦ ﻓﺎﺗﻔﻘﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺟﻮﺍﺯﻩ ﺍﻻ ﻣﺎ ﻧﻘﻞ ﻋﻦ ﻣﺠﺎﻫﺪ

“Masalah bersuci dengan air hangat, para ulama sepakat bolehnya kecuali riwayat yang dinukil dari Mujahid”.
(Lihat: Fathul Bari, 1:299)

Kemudian diriwayatkan dari Atha’ bahwa beliau mendengar Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma mengatakan:

‏«ﻟَﺎ ﺑَﺄْﺱَ ﺃَﻥْ ﻳُﻐْﺘَﺴَﻞَ ﺑِﺎﻟْﺤَﻤِﻴﻢِ ﻭَﻳُﺘَﻮَﺿَّﺄُ ﻣِﻨْﻪُ‏»

“Boleh seseorang mandi atau wudhu' dengan air hangat”.
(HR. Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya, 677).

Adapun hadits dari 'Aisyah Radhiyallahu ‘anha , yang mengatakan:

ﺩَﺧَﻞَ ﻋَﻠَﻲَّ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﻗَﺪْ ﺳَﺨَّﻨْﺖُ ﻣَﺎﺀً ﻓِﻲ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲِ ، ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﻟَﺎ ﺗَﻔْﻌَﻠِﻲ ﻳَﺎ ﺣُﻤَﻴْﺮَﺍﺀُ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻳُﻮﺭِﺙُ ﺍﻟْﺒَﺮَﺹَ

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk menemuiku sementara saya telah menghangatkan air dengan sinar matahari. Maka beliau bersabda, “Jangan kamu lakukan itu wahai Humaira ('Aisyah) karena itu bisa menyebabkan penyakit sopak”.

Keterangan: hadits ini dhai'f (lemah) Disebutkan oleh Ad-Daraquthni [1:38], Ibnu Adi dalam Al-Kamil 3:912, dan Al-Baihaqi 1:6 dari jalan Khalid bin Ismail dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari 'Aisyah.

Tentang Khalid bin Ismail, Ibnu Adi berkomentar:

ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻀَﻊُ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚَ

“Dia telah memalsukan hadits”

Dalam sanad yang lain, hadits ini juga diriwayatkan dari jalur Wahb bin Wahb Abul Bukhtari dari Hisyam bin Urwah. Ibnu Adi mengatakan: “Wahb lebih buruk dari pada Khalid.”

Kesimpulannya: hadits ini tidak bisa jadi dalil karena statusnya hadits yang dha'if (lemah).

Demikian keterangan Ibnu Hajar di At-Talkhish Al-Habir , 1:21.

Dijawab oleh: Al Ustadz Ammi Nur Baits, Lc (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).

Al Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Alumni Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif sebagai Dewan Pembina website pengusahamuslim.com, konsultasisyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian dibeberapa masjid disekitar kampus UGM.

Sumber:
https://konsultasisyariah.com/12274-mandi-junub-dengan-air-hangat.html

Diarsipkan oleh Abu Fina:
http://arie49.wordpress.com
http://ariedoank49.blogspot.com

Jumat, 12 Februari 2016

SHOLAT SUNNAH RAWATIB

Shalat sunnah Rawatib (yang berada sebelum dan setelah shalat wajib). Ada tiga hadits yang menjelaskan jumlah shalat sunnah rawatib beserta letak-letaknya:

1. Dari Ummu Habibah isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلَّا بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

“Tidaklah seorang muslim mendirikan shalat sunnah ikhlas karena Allah sebanyak dua belas raka'at (12 raka'at) selain shalat fardhu, melainkan Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah disurga”.
(HR. Muslim no.728)

Dan dalam riwayat At-Tirmidzi dan An-Nasa'i, ditafsirkan ke-12 raka'at tersebut. Beliau bersabda:

مَنْ ثَابَرَ عَلَى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنْ السُّنَّةِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ

“Barangsiapa menjaga dalam mengerjakan shalat sunnah dua belas raka'at, maka Allah akan membangunkan rumah untuknya disurga, yaitu empat raka'at sebelum Dzhuhur, dua raka'at setelah Dzhuhur, dua raka'at setelah Maghrib, dua raka'at setelah Isya` dan dua raka'at sebelum Shubuh”.
(HR. At-Tirmidzi no.379 dan An-Nasai no.1772 dari 'Aisyah).

2. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radliyallahu ‘anhu dia berkata:

حَفِظْتُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ

“Aku menghafal sesuatu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa shalat sunnat sepuluh raka’at yaitu; dua raka’at sebelum shalat Dzhuhur, dua raka’at sesudahnya, dua raka’at sesudah shalat Maghrib dirumah beliau, dua raka’at sesudah shalat Isya’ dirumah beliau, dan dua raka’at sebelum shalat Shubuh”.
(HR. Al-Bukhari no.937, 1165, 1173, 1180 dan Muslim no.729)

Dalam sebuah riwayat keduanya, “Dua raka'at setelah Jum'at”.

Dalam riwayat Muslim, “Adapun pada shalat Maghrib, Isya', dan Jum’at, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat sunnah rawatibnya dirumah".

3. Dari Ibnu 'Umar dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا

“Semoga Allah merahmati seseorang yang mengerjakan shalat (sunnah) empat raka’at sebelum Ashar”.
(HR. Abu Daud no.1271 dan At-Tirmidzi no.430)

Sebagian ulama mengatakan yang dimaksud sholat sunnah empat raka'at sebelum Ashar dalam hadits ini adalah sholat sunnah mutlak

Maka dari sini kita bisa mengetahui bahwa shalat sunnah rawatib adalah:

A. Dua raka'at (2 raka'at) sebelum Shubuh, dan sunnahnya dikerjakan dirumah.
B. Empat raka'at (4 raka'at) sebelum Dzhuhur.
C. Dua raka'at (2 raka'at) setelah Dzhuhur
D. Dua raka'at (2 raka'at) setelah Jum'at.
E. Dua raka'at (2 raka'at) setelah Maghrib, dan sunnahnya dikerjakan dirumah.
F. Dua raka'at (2 raka'at) setelah Isya', dan sunnahnya dikerjakan dirumah.

Lalu apa hukum shalat sunnah setelah Shubuh, sebelum Jum'at, setelah Ashar, sebelum Maghrib, dan sebelum Isya' ?

Jawab:

Adapun dua rakaat sebelum Maghrib dan sebelum Isya', maka dia tetap disunnahkan dengan dalil umum:

Dari Abdullah bin Mughaffal Al Muzani dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ قَالَهَا ثَلَاثًا قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ

“Diantara setiap dua adzan (adzan dan iqamah) itu ada shalat (sunnah)”. Beliau mengulanginya hingga tiga kali. Dan pada kali yang ketiga beliau bersabda, “Bagi siapa saja yang mau mengerjakannya”.
(HR. Al-Bukhari no.588 dan Muslim no.1384)

Adapun setelah Shubuh dan Ashar, maka tidak ada shalat sunnah rawatib saat itu. Bahkan terlarang untuk shalat sunnah mutlak pada waktu itu, karena kedua waktu itu termasuk dari lima waktu terlarang.

Dari Ibnu ‘Abbas dia berkata:

شَهِدَ عِنْدِي رِجَالٌ مَرْضِيُّونَ وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِي عُمَرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَشْرُقَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ

“Orang-orang yang diridhai mempersaksikan kepadaku dan diantara mereka yang paling aku ridhai adalah ‘Umar, (mereka semua mengatakan) bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat setelah Shubuh hingga matahari terbit, dan setelah ‘Ashar sampai matahari terbenam”.
(HR. Al-Bukhari no.547 dan Muslim no.1367)

http://uowics.com/view-pembahasan-lengkap-shalat-sunnah-rawatib-al-atsariyyahcom_aHR0cDovL2FsLWF0c2FyaXl5YWguY29tL3BlbWJhaGFzYW4tbGVuZ2thcC1zaGFsYXQtc3VubmFoLXJhd2F0aWIuaHRtbA==.html

Diarsipkan:
http://arie49.wordpress.com
http://ariedoank49.blogspot.com

SUNNAH YANG BANYAK DITINGGALKAN…

Mungkin banyak diantara kaum muslimin yang tidak mengamalkan sunnah ini atau bahkan tidak kenal dengan sunnah ini sama sekali, padahal dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu membacanya dalam shalat sebelum salam.

Sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu mengatakan: “Bacaan paling akhir yang dibaca Beliau diantara tasyahud dan salam adalah:

اللهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، وَمَا أَسْرَفْتُ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

Allahummagh-firlii maa qod-damtu wa maa akh-khortu, ea maa asrortu wa maa a'lantu, wa maa asroqtu wa maa anta a'lamu bihi minnii, antal-moqoddimu wa antal-miakh-khiru, laa ilaaha illaa anta

(Ya Allah, ampunilah aku, karena dosa yang kulakukan dahulu dan yang kulakukan belakangan, dosa yang kusembunyikan dan yang kutampakkan, dosa dari perbuatanku yang melampui batas dan dosa yang Engkau lebih tahu daripada diriku. Engkaulah Dzat yang mendahulukan dan yang mengakhirkan, tiada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau)

[HR. Muslim: 771].

Kalau Anda sudah menghapalnya, maka mulailah untuk mempraktekkannya. Beliau yang ma'shum saja selalu membaca do’a ini, bagaimana dengan kita.

Musyaffa’ ad Dariny, حفظه الله تعالى

Sumber :
http://bbg-alilmu.com/archives/16759

Diarsipkan :
http://arie49.wordpress.com
http://ariedoank49.blogspot.com

Kamis, 11 Februari 2016

Mengeringkan Anggota Badan Setelah Berwudhu, Bolehkah ?

Sebagian orang menganggap bahwa kita tidak boleh mengeringkan anggota badan setelah berwudhu' dengan handuk, kain, dan sejenisnya karena akan terluput dari keutamaan wudhu' sebagaimana dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut ini:

ﺇِﺫَﺍ ﺗَﻮَﺿَّﺄَ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪُ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢُ – ﺃَﻭِ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻦُ – ﻓَﻐَﺴَﻞَ ﻭَﺟْﻬَﻪُ ﺧَﺮَﺝَ ﻣِﻦْ ﻭَﺟْﻬِﻪِ ﻛُﻞُّ ﺧَﻄِﻴﺌَﺔٍ ﻧَﻈَﺮَ ﺇِﻟَﻴْﻬَﺎ ﺑِﻌَﻴْﻨَﻴْﻪِ ﻣَﻊَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ – ﺃَﻭْ ﻣَﻊَ ﺁﺧِﺮِ ﻗَﻄْﺮِ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ - ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻏَﺴَﻞَ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﺧَﺮَﺝَ ﻣِﻦْ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻛُﻞُّ ﺧَﻄِﻴﺌَﺔٍ ﻛَﺎﻥَ ﺑَﻄَﺸَﺘْﻬَﺎ ﻳَﺪَﺍﻩُ ﻣَﻊَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﺃَﻭْ ﻣَﻊَ ﺁﺧِﺮِ ﻗَﻄْﺮِ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ - ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻏَﺴَﻞَ ﺭِﺟْﻠَﻴْﻪِ ﺧَﺮَﺟَﺖْ ﻛُﻞُّ ﺧَﻄِﻴﺌَﺔٍ ﻣَﺸَﺘْﻬَﺎ ﺭِﺟْﻠَﺎﻩُ ﻣَﻊَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ – ﺃَﻭْ ﻣَﻊَ ﺁﺧِﺮِ ﻗَﻄْﺮِ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ – ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺨْﺮُﺝَ ﻧَﻘِﻴًّﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺬُّﻧُﻮﺏِ

“Jika seorang hamba yang muslim atau mukmin berwudhu', ketika dia membasuh wajahnya, maka keluarlah dari wajahnya tersebut semua kesalahan yang dilakukan oleh pandangan matanya bersama dengan (tetesan) air atau tetesan air terakhir (yang mengalir darinya). Ketika dia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah dari kedua tangannya tersebut semua kesalahan yang dilakukan oleh kedua tangannya bersama dengan (tetesan) air atau tetesan air terakhir (yang mengalir darinya). Ketika dia membasuh kedua kakinya, maka keluarlah dari kedua kakinya tersebut semua kesalahan yang dilakukan (dilangkahkan) oleh kedua kakinya, bersama dengan (tetesan) air atau tetesan air terakhir (yang mengalir darinya), sehingga dia keluar dalam keadaan bersih dari dosa (yaitu dosa kecil, pen)”.
(HR. Muslim no. 244).

Mereka beranggapan, jika air bekas wudhu' yang masih menempel dianggota badan dikeringkan, maka mereka tidak bisa mendapatkan keutamaan dibersihkan dari dosa (kesalahan) bersamaan dengan tetesan air wudhu' yang terakhir.

Benarkah anggapan semacam ini ?

Berkenaan dengan masalah ini, terdapat perselisihan pendapat dikalangan para ulama tentang hukum mengeringkan anggota badan setelah berwudhu'.

Pendapat pertama menyatakan bahwa hukumnya makruh. Para ulama yang berpendapat seperti ini berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Maimunah Radhiyallahu ‘anha ketika menggambarkan tata cara mandi wajib (mandi janabah) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hadits tersebut Maimunah Radhiyallahu ‘anha mengatakan:

ﺛُﻢَّ ﺃَﺗَﻴْﺘُﻪُ ﺑِﺎﻟْﻤِﻨْﺪِﻳﻞِ ﻓَﺮَﺩَّﻩُ

“Kemudian aku ambilkan kain untuk beliau, namun beliau menolaknya ”.
(Muttafaq ‘alaihi. Lafadz hadits ini milik Muslim no. 317).

Namun hadits ini tidaklah menunjukkan hukum makruh mengeringkan anggota badan setelah wudhu'. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakan handuk setelah mandi, tidaklah menunjukkan bahwa itu dibenci.

Pendapat kedua menyatakan bahwa hukumnya mubah (boleh), baik setelah berwudhu' atau setelah mandi. Banyak ulama yang berpendapat bolehnya menyeka anggota wudhu' dengan handuk atau semisalnya. Diantaranya adalah 'Utsman bin Affan, Anas bin Malik, Hasan bin Ali, Hasan Al-Basri, Ibnu Sirin, Asy-Sya’bi, Ishaq bin Rahawaih, Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, dan salah satu pendapat Madzhab Imam Asy-Syafi'i. Ini juga berdasarkan riwayat dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhuma.

Dalil yang menguatkan pendapat kedua ini adalah:

Pertama, hadits dari 'Aisyah Radhiyallahu ‘anha , beliau mengatakan:

ﻛَﺎﻥَ ﻟِﺮَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺧِﺮْﻗَﺔٌ ﻳُﻨَﺸِّﻒُ ﺑِﻬَﺎ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﻮُﺿُﻮﺀِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kain yang beliau gunakan untuk mengeringkan anggota badan setelah berwudhu' ”.
(HR. At-Tirmidzi no. 53, An-Nasa'i dalam Al-Kuna dengan sanad shahih. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ , 4706).

Kedua: hadits yang diriwayatkan oleh Salman Al-Farisi Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺗَﻮَﺿَّﺄَ، ﻓَﻘَﻠَﺐَ ﺟُﺒَّﺔَ ﺻُﻮﻑٍ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﻓَﻤَﺴَﺢَ ﺑِﻬَﺎ ﻭَﺟْﻬَﻪُ

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu', kemudian membalik jubah wol beliau dan mengusap wajahnya dengannya (bagian dalam jubahnya, pen.)”.
(HR. Ibn Majah 468. Fuad Abdul Baqi mengatakan: dalam Zawaid sanadnya shahih dan perawinya tsiqat. Syaikh Al-Albani menilai hasan [baik]).

Para ulama yang membolehkan berargumentasi bahwa hadits Maimunah Radhiyallahu ‘anha diatas tidak bisa digunakan sebagai dasar makruhnya mengeringkan anggota badan setelah berwudhu' atau mandi. Hal ini karena penolakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut mengandung banyak kemungkinan, misalnya karena kainnya yang kotor (tidak bersih), atau beliau tidak ingin kain tersebut basah terkena air, atau alasan - alasan lainnya. Selain itu, hadits Maimunah Radhiyallahu ‘anha ini justru mengisyaratkan bahwa diantara kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau biasa mengeringkan anggota badan setelah berwudhu' sehingga Maimunah pun menyiapkan kain untuk beliau. Isyarat ini dikuatkan oleh hadits ‘Asiyah Radhiyallahu ‘anha yang menyatakan bahwa beliau memiliki kain khusus yang biasa beliau gunakan untuk menyeka air setelah berwudhu'.

Kesimpulan:

Pendapat yang lebih rajih (kuat) adalah bahwa mengeringkan atau menyeka anggota badan setelah berwudhu' hukumnya BOLEH (MUBAH) dan tidak makruh.

Syaikh Abu Malik mengatakan: ”Boleh mengeringkan anggota badan setelah berwudhu' karena tidak adanya dalil yang melarang hal tersebut, sehingga hukum asalnya adalah boleh (mubah)".

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang mengabarkan tentang keutamaan berwudhu' dalam hadits riwayat Muslim diatas sehingga beliau adalah orang yang paling paham dalam masalah ini dan paling paham bagaimanakah cara meraih keutamaannya. Oleh karena itu, antara terhapusnya dosa bersamaan dengan tetesan air wudhu' yang terahir dengan mengeringkan anggota badan setelah berwudhu', tidaklah saling bertentangan.
Wallahu a’lam.


Catatan kaki:
[1] Lihat Shifat Wudhu’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya Fahd bin Abdurrahman Ad-Dausri, hal. 42-43.
[2]. Lihat Shahih Fiqh Sunnah 1/127.
[3]. Shahih Fiqh Sunnah 1/126.


(Pertanyaan yang dijawab oleh Al-Ustadz Ammi Nur Baits, Lc dewan pembina konsultasisyariah.com/)

Al-Ustadz Ammi Nur Baits, Lc Beliau adalah Alumni Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif sebagai Dewan Pembina website pengusahamuslim.com, konsultasisyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian dibeberapa masjid disekitar kampus UGM.


Sumber:
http://www.konsultasisyariah.com/
http://muslim.or.id

Diarsipkan oleh Abu Fina:
http://arie49.wordpress.com
http://arie.doank49.blogspot.com


KUMPULAN KALIMAT TOYYIBAH, ISTILAH BAHASA ARAB DAN ISTILAH - ISTILAH LAINNYA

Salaf = ﺍﻟﺴﻠﻒ atau  Salaf aṣ-Ṣāli =  ﺍﻟﺴﻠﻒ  ﺍﻟﺼﻠﺢ = adalah tiga generasi awal yaitu, para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in, salafussalih artinya pendahulu yang shalih.

Manhaj salafi. =  ﻣﻨﻬﺞ ﺍﻟﺴﻠﻔﻴﺔ = jalan pendahulu.
Catatan = Minhaj atau Manhaj, menurut bahasa Arab artinya jalan yang jelas dan terang.Mengikuti salaf berarti mengikuti ajaran para pendahulu (para sahabat) karena merekalah orang yang paling berilmu dan paling semangat ibadahnya dan memiliki guru berdasarkan belajar langsung dari guru mereka yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Jalan salaf untuk memurnikan aqidah dari bercampurnya agama Islam dengan perbuatan syirik, bid'ah dan khurafat dan mengembalikan Islam ke ajaran yang asli yaitu kembali ke ajaran Al-Qur'an dan As Sunnah shahih.

Para ulama menyebutkan batasan salaf hingga abad ke 3 hijriyah, berarti kurang lebih dari itu disebut dengan kholaf, 3 hijriyah berarti setelah imam Ahmad bin Hanbal (w. 264 H) jadi imam yang empat itu termasuk generasi Salaf. Imam Asy Syafi'i w. 204 H-Imam Malik w 179 H (Ustadz Abu Yahya Badrusalam)

Takhshish = Mendengar pada saat-saat khusus saja.
Ini berlaku hanya untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Misalnya ketika Nabi lewat di 2 kuburan yang sedang disiksa, dikuburan lainnya tidak terjadi.

Shallallahu 'alaihi wa sallam =

ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ

= Semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat dan salam sejahtera kepada beliau.

Alaihissalam =
 ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻡ

= semoga keselamatan dilimpahkan kepadanya.

Allah 'Aza wa jalla =

ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞ = ﺍﻟﻠﻪ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞ

= maha perkasa dan maha mulia.

 ﻋَﺰَّ '

Aza = 'Aziz = perkasa.

Subhanahu wa ta'ala =

 ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭ ﺗﻌﺎﻟﻰ

= Allah yang maha suci dan maha tinggi.

Radiyallahu 'anhu =

 ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ

= Semoga Allah senantiasa melimpahkan keridhaan kepadanya (seorang laki-laki).

Radiyallahu 'anha =

  ﺭﺿﻲﺍﻟﻠﻪﻋﻨﻪ

= Semoga Allah senantiasa melimpahkan keridhaan kepadanya (seorang perempuan).

Radiyallahu 'anhum =

 ﺭﺿﻲﺍﻟﻠﻪﻋﻨﻬﻢ

= Semoga Allah senantiasa melimpahkan keridhaan kepada mereka (dua orang atau lebih).

Rahimahullah =

 ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ.

= Semoga Allah Mengasihinya.

Rahimakumullah =

 ﺭﺣﻤﻜﻢ ﺍﻟﻠﻪ.

= semoga Allah merahmati kalian.

Hafizhanallah =

 ﺣﻔﻄﻨﺎ ﺍﻟﻠﻪ

= Semoga Allah menjaga kita.

Hafizhahullah =

 ﺣَﻔِﻈَﻪُ ﺍﻟﻠﻪ

= semoga Allah menjaganya.

Ghafarahullah =

 ﻏَﻔَﺮَﻩُ ﺍﻟﻠﻪ

= Semoga Allah mengampuninya.

ﺁﻣﻴﻦ ﻳﺎ ﺭَﺏَّ ﺍﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴْﻦ

= Amin ya Robbal 'alamin.

La’anahullah =

 ﻟَﻌَﻨَﻪُ ﺍﻟﻠﻪ

= Semoga Allah melaknatnya.

Waffaqahullah =

 ﻭَﻓَّﻘَﻪٌ ﺍﻟﻠﻪ

= Semoga Allah memberinya petunjuk.

Hadahullah =

 ﻫَﺪَﺍﻩُ ﺍﻟﻠﻪ

= Semoga Allah memberinya hidayah taufik.

Almarhum =

 ﺍَﻟْﻤَﺮْﺣُﻮْﻡ

= Yang dirahmati.

Syekh =

 ﺷﻴﺦ

= Juga dapat ditulis Shaikh, Sheik, Shaykh atau Sheikh adalah kata dari Bahasa Arab yang berarti kepala suku, pemimpin, tetua, atau ahli agama Islam. Istri atau anak seorang Syekh sering disebut Syeikha (Bahasa Arab = ﺷﻴﺨﺔ )

Ahlus Sunnah Wal Jamaah =

 ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ =.....

Barakallahu fik/kum

 بَارَكَ اللَّهُ فِيْكُمْْ

= Semoga Allah memberi kalian berkah (laki-laki).

Barakallahu fiki atau Barakallahu fik =

 ﺑﺎﺭﻙ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻴﻚ

= Semoga Allah memberkahimu (perempuan).

Tafadhdhol = silahkan (untuk umum).

Tafadhdholiy = silahkan (untuk perempuan).

Al-Kadzdzaab = pendusta

Nisfu sya'ban = Nisfu artinya pertengahan.

Mumtaz = Hebat, (Nilai sempurna, bagus sekali).

Allahul musta’an = hanya Allah-lah tempat kita minta tolong

La adri = tidak tahu.

Baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur = Negeri yang aman, dan senantiasa mendapat ampunan Rabb-nya.

Qadarallah masyaa fa’ala = Demikianlah takdir Allah, apa yang Dia kehendaki pasti akan Dia lakukan.
(HR Muslim [2664]).

Khusnudzon = berprasangka baik.

Wara' = meninggalkan hal yang masih meragukan.

Ana aidon = aku juga.

Laa bahsa = ga papa.

Mafi musykila = ga masalah.

Wa anta kadzalik = begitu jg antum.

Syafakillah =

 ﺷﻔﺎﻙ ﺍﻟﻠﻪ

= Semoga Allah memberikan kesembuhan kepadamu (perempuan).

Syafakumullah =

 ﺷﻔﺎﻛﻢ ﺍﻟﻠﻪ

= Semoga Allah memberikan kesembuhan kepada kalian (laki-laki).

Sakinah = Tentram, dilindungi, kedamaian, ketenangan

Mawaddah =

 ﻣَﻮَﺩَّﺓ

= Dicinta/kasih sayang.

Warohmah =

 ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔً

= Dirahmati.

Jazzakumullah Khairan Katsiran =

 ﺟَﺰَﺍﻛُﻢُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻛَﺜِﻴْﺮًﺍ

= Semoga Allah memberikan balasan kepada Anda yang lebih baik dan lebih banyak = bisa juga untuk ucapan = terima kasih (syukran).

Wa iyyaakum =

  ﻭﺇﻳﺎﻛﻢ

= dan kepadamu juga.

Istihsan =


  ﺍﺳﺘﺤﺴﺎﻥ.

=  Anggapan baik.

Ikhwah fillah = Saudara sekalian.

In syaa Allaah =

 ﺇﻥ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ

= Jika Allah mengizinkan.

Ahlan wa sahlan =

  ﺍَﻫْﻼًﻭَﺳَﻬْﻼً

= Selamat datang.

Syukron =

 ﺷﻜﺮﺍ

= Terima kasih

'Afwan =

 ﻋﻔﻮﺍِ

= Maaf = Permisi.

Na’am =

 ﻧﻌﻢ

= Ya

Taqabalallahu minna wa minkum =

ﺗَﻘَﺒَّﻞَ ﺍﻟﻠّﻪُ ﻣِﻦَّ ﻭَ ﻣِﻨْﻜُﻢ

= Semoga Allah menerima amalan aku dan kamu.

Ta'wil =

 ﺍﻟﺘﺄﻭﻳﻞ

= Tafsir.

Secara laughwi (etimologis) Ta’wil berasal dari kata Al-awl ( ﺃﻭّﻝ - ﻳﺆﻭّﻝ ), artinya kembali; atau dari kata Al ma’al artinya tempat kembali; Al-iyalah yang berarti Al –siyasah yang berarti mengatur.Sedangkan pengertian Ta’wil, menurut sebagian ulama, sama dengan "Tafsir". Namun ulama yang lain membedakannya, bahwa ta’wil adalah mengalihkan makna sebuah lafazdh ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal (As-Suyuthi, 1979: I, 173).Sedangkan "tafsir" menurut bahasa adalah penjelasan atau keterangan, seperti yang bisa dipahami dari QS. Al-Furqan: 33. ucapan yang telah ditafsirkan berarti ucapan yang tegas dan jelas. Menurut istilah, pengertian tafsir adalah ilmu yang mempelajari kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada nabi, berikut penjelasan maknanya serta hikmah-hikmahnya.

Wallahu a’lam bish shawabi =  Hanya Allah Maha tahu yang benar/yang sebenarnya.
Shawabi = benar/kebenaran.

Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun =

 ﺍِﻧّﺎ ﻟِﻠّﻪِ ﻭَﺍِﻧّﺎ ﺍِﻟَﻴْﻪِ ﺭَﺍﺟِﻌُﻮْﻥ

= Sesungguhnya kita milik Allah , dan kepada Allah jualah kita kembali.

Astaghfirullah hal adzim =

 ﺍَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُ ﺍَﻟﻠّﻪَ ﺍﻟْﻌَﻈِﯿْﻢ

= Kami mohon ampun kepada Allah yang maha Agung.

Allahummaghfir lana wal muslimin =

 ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺍﻏﻔﺮ ﻟﻨﺎ ﻭﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ

= Ya Allah ampunilah kami dan kaum muslimin.

Zadanallah ilman wa hirsha =

 ﺯﺍﺩﻧﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻤﺎ ﻭﺣﺮﺻﺎ

= Semoga Allah manambah kita ilmu dan semangat.

Allahul musta’an =

 ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺴﺘﻌﺎﻥ

= Hanya Allah-lah tempat kita minta tolong.

Subhanallah =

 ﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺍﻟﻠّﻪُ

=  Maha suci Allah.

Ma syaa Allah  =

 ﻣَﺎﺷَﺂﺀَﺍﻟﻠّﻪُ

= Allah telah berkehendak akan hal itu.

Laa ilaaha illallah =

 ﻻَ ﺍِﻟَﻪَ ﺍِﻻَّ ﺍﻟﻠّﻪ

= Tiada tuhan selain Allah.

Assalamu 'alaikum warohmatullahi wabarakatuh =

ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺑَﺮَﻛَﺎﺗُﻪ

Wa 'alaikum salam warohmatullahi wabarakatuh =

ﻭَﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺑَﺮَﻛَﺎﺗُﻪ

Bismillahirrahmanirrahim =

  ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴْﻢ

Halal =

   ﺣَﻼَﻝ

ًHaram =

   ﺣَﺮَﻡً

Laa haula wa laa quwwata illa billah =

ﻫَﻮْﻝَ ﻭَﻻَ ﻗُﻮَّﺕَ ﺍِﻻَّﺑِﺎﻟﻠّﻪ

Al-Qur’ an =

 ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ

Ad-dīn =

 ﺍَﻟﺪِّﻳْﻦُ

= agama = Islam.

Al insan =

 ﺍَﻹِﻧْﺴَﺎﻥ

= Manusia.

Al ustad =

 ﺍَﻷُﺳْﺘَﺎﺫُ

= Guru.

Tholabul ilmi =

  ﺍﻃْﻠُﺒُﻮﺍ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢ

= Mencari ilmu.

Thooba nahaaruk =

 ﻃﺎﺏ ﻧﻬﺎﺭﻙ.

= Selamat siang.

Thooba yaumuk =

 ﻃﺎﺏ ﻳﻮﻣﻚ

= Selamat sore.

Masaa'ul khoir =

 ﻣﺴﺎﺀ ﺍﻟﺨﻴﺮ

= Selamat Malam.

Ilal liqoo. =

 ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻘﺎﺀ

= Sampai jumpa Lagi/sampai bertemu kembali.

Hanii'an marii'an =

 ﻫﻨﻴﺌﺎ ﻣﺮﻳﺌﺎ.

= Selamat makan.

Tashbakhu 'alal khoir =

 ﺗﺼﺒﺢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺨﻴﺮ

= Selamat tidur.

Ya akhi = wahai saudaraku (laki - laki).

Ya ukhti = wahai saudaraku (perempuan).

Akhi fillah = saudaraku seiman (kepada Allah).

Wa anta kadzalik =

 ﻭﺃﻧﺖ ﻛﺬﻟﻚ

= Begitu jg antum.

Taslim = Tunduk/patuh.

Madzhab =

  ﻣﺬﻫﺐ.

= Adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan di lewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak.

Ta’ashshub = Fanatik.

Tahiyyah = Penghormatan.

Ghazwul fikri = perang pemahaman.

Mutholaah = Menelaah kitab.

Shahafi = otodidak.

Khimar = Kerudung
http://abul-jauzaa.blogspot.in/2008/07/taqlid-dan-sedikit-penjelasan-tentang.html?m=1

Taqliid =

 ﺗَﻘْﻠِﻴْﺪٌُ

= adalah mashdar dari qallada - yuqallidu =

 ﻗَﻠَّﺪَ - ﻳُﻘَﻠِّﺪ

= Secara bahasa, ia adalah bermakna =

ﻭﺿﻊ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﻨﻖ ﻣﺤﻴﻄﺎً ﺑﻪ ﻛﺎﻟﻘﻼﺩﺓ”

Meletakkan sesuatu dileher dengan melilitkannya seperti kalung”. (Al-Ushul min ’Ilmil-Ushul oleh Ibnu ’Utsaimin hal.49 – Maktabah Al-Misykah.

Definisi yang serupa dikatakan pula oleh Asy-Syinqithi dalam Mudzakaratu Ushuulil-Fiqh hal. 305 – Cet.Multaqaa ahlii-Hadiits).

Adapun secara istilah (syari’at) taqlid bermakna:

ﻗﺒﻮﻝ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﻐﻴﺮ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺩﻟﻴﻠﻪ

”Menerima satu perkataan tanpa mengetahui dalilnya”.
(Mudzakaratu Ushuulil-Fiqh hal. 306–Cet. Multaqaa Ahlil-Hadiits).

ﺍﺗﺒﺎﻉ ﻣﻦ ﻟﻴﺲ ﻗﻮﻟﻪ ﺣﺠﺔ

”Mengikuti orang yang perkataannya bukan hujjah”.(Al-Ushul min ’Ilmil-Ushul oleh Ibnu ’Utsaimin hal. 49 – Maktabah al-Misykah)

.ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﻘﻮﻝ ﺍﻟﻐﻴﺮ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺣﺠﺔ

”Satu perbuatan yang didasarkan oleh satu perkataan tanpa hujjah”.
(Irsyaadul-Fuhuul oleh Asy-Syaukani juz 2 hal. 51–Maktabah Al-Misykah).

Taqlid =

 ﺗَﻘْﻠِﻴْﺪٌُ

= Hakekat taqlid menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata “Al-qiladatun” (kalung),

Taqlid secara bahasa adalah meletakkan “Al-qiladatun” (kalung) ke leher. Dipakai juga dalam hal menyerahkan perkara kepada seseorang seakan - akan perkara tersebut diletakkan dilehernya seperti kalung.(Lisanul Arab 3/367 dan Mudzakkirah Ushul Fiqh hal. 3 14).

Adapun taqlid menurut istilah adalah mengikuti perkataan yang tidak ada hujjahnya sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad.(Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/993 dan l’lamul Muwaqqi’in 2/178).

Ada juga yang mengatakan bahwa taqlid adalah mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya.
(Mudzakkirah Ushul Fiqh hal. 3 14).

Artinya = mengikuti/mengekor  tanpa alasan, meniru dan menurut tanpa dalil.

Al-Ittiba' =

ﺍَﻟْﺎِﺗِّﺒَﺎﻉ

= Adalah menempuh jalan orang yang (wajib) diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan.

Ittiba artinya menurut atau mengikut.
Menurut istilah agama yaitu menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu Al-Qur'an maupun hadits yang dapat dijadikan hujjah.

Atau ittiba' artinya mengikuti yang jelas ada dalilnya, dalam hal ini ittiba' kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam.

Ta’ashshub =

 ﺍﻟﺘَّﻌَﺼُّﺐ  

berasal dari kata =

 ﺍﻟﻌَﺼَﺒِﻴَّﺔُ

= ‘Ashabiyyah = Fanatik.

Tasyabbuh =

 ﺗُﺸﺒَﻬـ

= Menyerupai.

Marhaban ya Ramadhan =

 ﻣَﺮْﺣَﺒًﺎ ﻳَﺎ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥ

Tarawiyah =

 ﺗَﺮْﻭِﻳْﺤَﺔٌ

= Waktu sesaat untuk istirahat.
(Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari,4/294).

Tarawih =

 ﺗَﺮْﻭِﻳْﺤَﺔٌ

= Waktu sesaat untuk istirahat.

Ni'mati bid'atu hadzihi =

 ﻧِﻌْﻤَﺖِ ﺍﻟْﺒِﺪْﻋَﺔُ ﻫَﺬِﻩ

= Sebaik baik bid'ah (yang diada-adakan) adalah ini.

Idul Adha =

 ﻋﻴﺪ ﺍﻷﺿﺤﻰ

= Hari raya haji.

Jayyid =

 ﺤﻴﺢ

= Bagus (tentang hadits jayyid).

Shahih Al-Bukhari =

 ﺻﺤﻴﺢ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ

Shahih Muslim =

 ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ

Abi Dawood =

  ﺃﺑﻲ ﺩﺍﻭﺩ

Al-Tirmidhi =

  ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ

Hadits dha'if =

 ﺿَﻌِﻴْﻒٌ

= Hadits lemah.

BID'AH = Tata cara baru dalam syari'at yang menyerupai suatu ibadah dengan maksud untuk beribadah kepada Allah.

Izar

 ﺇِﺯَﺍﺭ

= Adalah sarung/kain bawahan ihram.

Hadits hasan =

  ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺤﺴﻦ

(Al-Hadîts Al-hasan) = Adalah tingkatan hadits yang ada dibawah hadits shahih.

Menurut Imam Tirmidzi, hadits hasan adalah hadits yang tidak berisi informasi yang bohong.

Hadts mursal =

 ﺍﻟﻤﺮﺳﻞ

= Adalah hadits yang dinisbatkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh sahabat atau tabi’in yang tidak mendengar langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Hadits Mu’alaq =

 ﺍﻟﻤﻌﻠﻖ

= Adalah hadits yang dihilangkan awal atau terkadang yang dimaksudkan adalah yang dibuang semua sanadnya,

Hadits Mu’dhol =

 ﺍﻟﻤﻌﻀﻞ

= Adalah hadits yang dibuang ditengah-tengah sanadnya, dua rawi secara berturut-turut.

Hadits. Mudhthorib =

  ﺍﻟﻤﻀﻄﺮﺏ

= Adalah hadits yang para rawinya berselisih dalam sanad atau matannya yang tidak mungkin dikompromikan.

Ket = Hukum hadits mudhtorib adalah dha’if (lemah) dan tidak dapat dijadikan hujjah.

’Ilal =

 ﺍﻳﻼﻝ.

= ’ilah = Al-ilah =

 ﺍﻹﻟﻪ.

= ( 'ilah hadits) = Berarti. “ penyakit.” ’Illah menurut istilah ahli hadits adalah suatu sebab yang tersembunyi yang dapat mengurangi status keshahihan hadits, padahal dhahirnya tidak nampak kecacatan.

Isra'iliyyat =

  ﺍﺳﺮﺍﺋﯿﻠﯿﺎﺕ

=  Kisah dan dongeng kuno yang menyusup ke dalam tafsir dan hadits, yang bersumber periwayatannya kembali kepada sumber Yahudi dan Nasrani.

Sami`naa wa atha`naa =

 ﺳَﻤِﻌْﻨَﺎ ﻭَﺍَﻃَﻌْﻨَﺎ

= kami mendengar dan kami taat.

Fakُir =

 ﺍَﻟْﻔَﻘِﻴْﺮُ

= kemiskinan (umum)

Menurut imam Asy  Syafi'i Fakir ialah orang yang tidak mempunyai harta dan usaha; atau mempunyai usaha atau harta yang kurang dari seperdua kecukupannya, dan tidak ada orang yang berkewajiban memberi belanjanya.

Ijtihad =

  ﺍﺟﺘﻬﺎﺩ

= Adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadits dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.

Syaithan =

 ﺷَﻴْﻄَﺎﻥٌ

= Diambil dari bahasa Arab yang berarti jauh, kata syaithan artinya yang jauh dari kebenaran atau dari rahmat Allah Subhanahu wa ta'ala.
(Lihat Al-Misbahul Munir, hal. 313).

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad = hanya Allah yang memberi pertolongan untuk menjauhi yang haram.

Wallahu waliyyut taufiq = hanya Allah yang dapat memberi pertolongan.

Takhsis = pengkhususan

Khawaarij =

 ﺍﻟْﺨَﻮَﺍﺭِﺝُ

= Adalah bentuk jamak (plural) dari kata "khaarijiy" =

 ﺍﻟْﺨَﺎﺭِﺟِﻲُّ

= Disebut khawaarij, karena mereka keluar dari jama’ah kaum muslimin.

Ikhtilaath =

 ﺍﻻﺧﺘﻼﻁ

= Secara istilah didefinisikan sebagai bercampur-baurnya laki - laki dan wanita yang bukan mahramnya secara fisik dalam satu tempat tanpa penghalang, yang dapat menimbulkan fitnah.

Jaahil/jahl =

 ﺟﻬﻞ.

= Dalam bahasa ‘Arab merupakan asal dari dua. hal, yaitu :1. Kosongnya jiwa dari ilmu. Dikatakan Fulaan jaahil , yaitu tidak ada ada ilmu pada dirinya.

2. Al-Khiffah =

 ﺍﻟﺨِﻔﺔ

= Yang merupakan lawan kata dari Ath-thuma’niinah =
 ﺍﻟﻄﻤﺄﻧﻴﻨﺔ

= Ketenangan.

Jaahiliyyah =

 ﺍﻟﺠﺎﻫﻠﻴﺔ

As-Suyuuthiy rahimahullah menjelaskan:
“Jaahiliyyah adalah keadaan dimana orang-orang ‘Arab berada dalam kondisi itu sebelum Islam (datang). Yaitu bodoh terhadap Allah, Rasul-Nya, dan syari’at - syari’at agama".

Al-barakah =

  ﺍْﻟﺒَﺮَﻛَﺔُ

Bentuk jamaknya Al-barakaat =

 ﺍْﻟﺒَﺮَﻛَﺎﺕُ

Artinya = adalah kebaikan yang melimpah

  ﻛََﺜْﺮَﺓُ ﺍْﻟﺨَﻴْﺮِ

Adapun tabarruk =

 ﺍﻟﺘَّﺒَﺮُّﻙُ

=.Merupakan mashdar dari =

 ﺗَﺒَﺮَّﻙَ - ﻳَﺘَﺒَﺮَّﻙ

Artinya adalah mengharapkan barakah

 ﻃَﻠَﺐُ ﺍْﻟﺒَﺮَﻛَﺔ

Dan tabarruk dengan sesuatu artinya adalah mengharapkan keberkahan dengan perantaraan sesuatu tersebut.

’Aqiqah berasal dari kata ’aqqu =

  ﻋَﻖُّ

Artinya = Potong.

Definisi ’aqiqah secara syar’i yang paling tepat adalah binatang yang disembelih karena kelahiran seorang bayi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Ta’ala dengan niat dan syarat - syarat tertentu.

Fiqhul Waqi = berasal dari kata Fiqh berarti “Ilmu”. Waqi’ berarti “Kenyataan atau kebenaran”. Apabila dua kalimah ini digabungkan ia berarti “Ilmu kenyataan atau ilmu kebenaran”.

Thoghut =

 ﻃَﻐَﻰ

 = Yaitu setiap apa-apa yang disembah selain Allah.

Secara syar'i adalah segala sesuatu yang menyebabkan seorang hamba melebihi batasannya (berlebih-lebihan), baik itu sesuatu yang diibadahi selain Allah.
(Lihat: http://abul-jauzaa.blogspot.in/2011/10/salah-paham-tentang-thaghut.html?m=1)

Ro"yu = akal/logika

Tholabul 'ilmi =

 ﻃَﻠَﺐُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢ

= Mencari ilmu

Dzikir jama'iy

 ﺍﻟﺬﻛﺮ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﻲ

= Dzikir berjamaah.

Majelis =

 ﻣَﺠْﻠِﺲ

ٌTafrîth = meremehkan.

Muraqabatullah (merasa diawasi Allah)

Tasahul (bermudah - mudahan)

Ma’asyiral Muslimin Kaidah = Aturan

Thayyib = baik.

Al Furqan = pembeda

Masyru’ = disyari’atkan.

Khutbatul hajah = Khutbah hajat.

Muhadharah = ceramah

ِLaw kaana khairan lasabaquunaa ilaihi =

ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣَﺎ ﺳَﺒَﻘُﻮﻧَﺎ ﺇِﻟَﻴْﻪ

ِ= Kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentulah para Shahabat telah mendahului kita mengamalkannya.

Istimrar = Melakukannya secara terus menerus (peladziman dalam amalan yang bukan ibadah ataupun perbuatan bid'ah).

Nama-nama hari dalam sepekan:
Ahad = Minggu artinya =1
atau hari Ahad,
Senin = Isnaini = 2 atau hari Senin),
Selasa = Tsulatsaa,
Rabu =Arbi'aa,
Kamis = Khamiis,
Jum'at = Jumu'ah dan
Sabtu = sabtun.

Al-Afrath = Anak (bayi keguguran/meninggal bayi) yang akan menolong orang tuanya. Apabila janin keguguran sebelum usia 4 bulan, tidak perlu diberi nama, tidak ada aqiqah. Karena aqiqah dan diberi nama hanya bagi keguguran diusia masuk 5 bulan atau setelah ditiupkan ruh ke janin.

Ikhtilath = bercampur/berbaur antara lelaki dan perempuan.

Dayus = Adalah laki-laki atau suami yang tidak punya rasa cemburu.

Atau Dayus adalah dimaksudkan kepada orang yang membiarkan atau merelakan keluarganya melakukan maksiat tanpa dicari jalan untuk mencegahnya.


Contohnya: Seorang suami membiarkan isterinya bergaul bebas dengan lelaki bukan mahram, sementara isteri pula merelakan dirinya begitu. Atau kedua ibu bapa membiarkan anak-anak mereka melakukan pergaulan bebas dan melakukan maksiat.

Contoh lagi jika istrinya berbuat maksiat atau menampilkan aurat dia dayyus tidak punya rasa cemburunya.

Salaful ummah = Para pendahulu umat ini.

Shalat ‘Atamah = Shalat Isya'

Berkhalwat = berdua - duaan

Ajnabiyyah = Wanita asing/bukan makhram.

Takfiriy = Gemar mengkafirkan orang.

Khawariqul ‘adah’ = Kemampuan luar biasa misalnya memiliki ilmu kebal. Ilmu ini ada dua katagori, bisa datangnya dari Allah bisa juga dari syaithan.Bacaan

Ta’awwudz = Bacaan minta perlindungan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala, misalnya membaca a'uzubillahiminasyaithonirrojim.

Ikhwan = Saudara laki: laki (jamak)

Akhwat = Saudara perempuan (jamak)

Ukhri = Panggilan untuk saudari perempuan.

Akhi = Panggilan untuk saudara laki-laki.

Duduk iftirosy = adalah duduk dengan menegakkan kaki kanan dan membentangkan kaki kiri kemudian menduduki kaki kiri tersebut.

Duduk Tawarruk = adalah duduk dengan menegakkan kaki kanan dan menghamparkan kaki kiri ke depan (dibawah kaki kanan), dan duduknya di atas tanah/lantai.

Shalat Sunnah Ghairu mu'akkad = adalah shalat Sunnah yang tidak dikuatkan (kadang dikerjakan Rasulullah dan kadang tidak dikerjakannya).

Qona'ah = adalah sikap rela menerima dan merasa cukup atas hasil yang diusahakannya serta menjauhkan diri dari dari rasa tidak puas dan perasaan kurang. Orang yang memiliki sifat qana’ah memiliki pendirian bahwa apa yang diperoleh atau yang ada didirinya adalah kehendak Allah .

Tasamuh = Toleransi

Defunisi zuhud = Secara harfiah, zuhud berarti tidak berminat kepada sesuatu yang bersifat keduniawian, atau meninggalkan gemerlap kehidupan yang bersifat material.

Zuhud secara bahasa = berarti berpaling dari sesuatu karena hinanya sesuatu tersebut dan karena (seseorang) tidak memerlukannya.

Dalam bahasa Arab terdapat ungkapan “syaiun zahidun” yang berarti “sesuatu yang rendah dan hina”.

Makna secara istilah: Ibnu Taimiyah mengatakan – sebagaimana dinukil oleh muridnya, Ibnu Al- Qayyim – bahwa zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat demi kehidupan akhirat.

Tabayyun = Secara bahasa memiliki arti mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya.

Sedangkan secara istilah adalah meneliti dan meyeleksi berita, tidak tergesa-gesa dalam memutuskan masalah baik dalam hal hukum, kebijakan dan sebagainya hingga jelas benar permasalahannya.

As-Sunnah = Maknanya menurut para ulama adalah jalan hidup Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (Ustadz Abdurrahman Thoyyib, Lc)

Thiyaroh atau Tathayyur =  Adalah beranggapan sial ketika tertimpanya suatu musibah pada sesuatu yang bukan merupakan sebab dilihat dari sisi syar’i atau inderawi, baik itu dengan orang, dengan benda tertentu, dengan tumbuhan, dengan waktu, dengan angka tertentu atau dengan tempat tertentu.

Kata Amma ba'du =

 ﺃَﻣَّﺎ ﺑَﻌْﺪ

Bisa juga diungkapkan dengan =

 ﻭَﺑَﻌْﺪُ

= wa ba'du

Keduanya bermakna sama, yaitu = adapun selanjutnya.

Kalimat ini disebut “ ﻓَﺼْﻞُ ﺍﻟﺨِﻄَﺎﺏِ ” (kalimat pemisah). Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau mengatakan, “Orang yang pertama kali mengucapkan ‘amma ba’du’ adalah Nabi Daud ‘Alaihis salam, dan itu adalah fashlal khitab .”
(Lihat: Al-Awail Ibni Abi Ashim, no. 188 : Al-Awail Ath-Thabrani, no. 40).

Syubhat = Adalah ke tidak jelasan atau kesamaran, sehingga tidak bisa diketahui halal haramnya sesuatu secara jelas. Syubhat terhadap sesuatu bisa muncul baik karena ke tidak jelasan status hukumnya, atau ke tidak jelasan sifat atau faktanya. Status hukumnya dapat diketahui baik berdasarkan nash ataupun berdasarkan ijtihad yang dilakukan ulama dengan metode qiyas, istishab, dan sebagainya.

FITNAH secara bahasa berarti ujian ( ikhtibaar), sedangkan secara istilah FITNAH KUBUR adalah pertanyaan yang ditujukan kepada mayit tentang Rabbnya, agamanya dan Nabinya.
Hal ini benarberdasarkan Al Qur’an dan Sunnah.
(Lihat Syarah Lum’atul I’tiqod hal 67, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin).
( muslimah.or.id/aqidah/setelah-kita-dimasukkan-ke-liang-kubur.html)

Pertanyaan pertama didalam kubur:
“Man Robbuka?” … "Siapakah Robbmu?"
Kedua, “Wa maa diinuka ?” dan "apakah agamamu ?"
Ketiga, “Wa maa hadzaar rujululladzii bu’itsa fiikum?” … dan "siapakah orang yang telah diutus diantara kalian ini ?"
(muslimah.or.id/aqidah/setelah-kita-dimasukkan-ke-liang-kubur.html)

Rabu, 10 Februari 2016

HUKUM WANITA MENAMBAHKAN NAMA SUAMI DI BELAKANG NAMANYA.

Setelah menikah, terkadang seorang wanita mengganti namanya belakangnya atau nama keluarganya dengan nama suaminya. Hal ini juga banyak dilakukan di negara-negara barat, seperti istrinya Bill Clinton: Hillary Clinton yang nama aslinya Hillary Diane Rodham; istrinya Barrack Obama: Michelle Obama yang nama aslinya Michelle LaVaughn Robinson, dan lain-lain.

Lalu bagaimanakah hukum penambahan nama suami dibelakang nama wanita dalam tinjauan syari'at ?

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’ juz 20 halaman 379.

Pertanyaan :

Telah umum disebagian negara, seorang wanita muslimah setelah menikah menisbatkan namanya dengan nama suaminya atau laqobnya. Misalnya: Zainab menikah dengan Zaid, Apakah boleh baginya menuliskan namanya : Zainab Zaid? Ataukah hal tersebut merupakan budaya barat yang harus dijauhi dan berhati - hati dengannya?

Jawab :

Tidak boleh seseorang menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ

“Panggillah mereka (anak - anak angkat itu) dengan memakai nama bapak - bapak mereka, itulah yang lebih adil disisi Allah".
(QS. Al-Ahzab: 5)

Sungguh telah datang ancaman yang keras bagi orang yang menisbatkan kepada selain ayahnya. Maka dari itu tidak boleh seorang wanita menisbatkan dirinya kepada suaminya sebagaimana adat yang berlaku pada kaum kuffar dan yang menyerupai mereka dari kaum muslimin.

Haram dalam Islam seorang muslim bernasab kepada selain ayahnya baik laki - laki atau wanita. Dan baginya ancaman yang keras dan laknat bagi yang melakukannya yaitu yang bernasab kepada selain ayahnya hal itu tidak boleh selamanya.

:الحمد لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على من أرسله الله رحمة للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمَّا بعد

"Tidak boleh dari segi nasab seseorang bernasab kepada selain nasabnya yang asli atau mengaku keturunan dari yang bukan ayahnya sendiri. Sungguh islam telah mengharamkan seorang ayah mengingkari nasab anaknya tanpa sebab yang benar secara ijma’".

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ أَوْ انْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَالِيهِ، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ يَوْمَ القِيَامَةِ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً

“Barang siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Allah, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari Kiamat nanti, Allah tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah”.
(HR. Muslim dalam Al-Hajj [3327] dan Tirmidzi dalam Al-Wala’ wal Habbah bab Ma ja’a fiman tawalla ghoiro mawalihi [2127], Ahmad [616] dari hadits Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu anhu).

Dan dalam riwayat yang lain :

مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ، فَالجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ

“Barang siapa bernasab kepada selain ayahnya dan ia mengetahui bahwa ia bukan ayahnya, maka surga HARAM baginya.”
(HR. Bukhari dalam Al-Maghozi bab : Ghozwatuth Tho`if [3982], Muslim dalam “Al-Iman” [220], Abu Dawud dalam “Al-Adab” (bab Bab Seseorang mengaku keturunan dari yang bukan bapaknya [5113] dan Ibnu Majah dalam (Al-Hudud) bab : Bab orang yang mengaku keturunan dari yang bukan bapaknya atau berwali kepada selain walinya [2610] dan Ibnu Hibban [415] dan Darimi [2453] dan Ahmad [1500] dan hadits Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abu Bakrah Radhiyallahu anhuma).

Hadist yang juga mendukung hal ini adalah :

لَيْسَ لَهُ فِيهِمْ – أي نسب – فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

"Tidaklah seseorang mendakwakan kepada selain ayahnya sedangkan dia mengetahuinya kecuali dia telah kafir, barangsiapa yang mendakwakan kepada suatu kaum sedangkan dia tidak memiliki nasab dari mereka, maka hendaklah dia memesan tempatnya dalam neraka",
(HR. Bukhari  3508)

اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ ) رواه ابن ماجة (2599) وصححه الألباني في صحيح الجامع (6104

"Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya, maka baginya laknat ALLAH, para malaikat dan manusia seluruhnya”.
(HR Ibnu Majah[2599] dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ [6104]).

Pemberlakuan yang dibolehkan ialah dengan memberikan suatu keterangan: misalkan Santi menikah dengan Andi, maka silahkan memperkenalkan diri dengan sebutan: Santi istrinya Andi atau hanya dengan Nyonya Andi atau Ibu Andi.

Hal tersebut diatas tidak berkaitan dengan permasalahan nasab atau garis keturunan. Karena didalam hukum Islam jika Santi menggabungkan namanya menjadi Santi Andi, hal itu berarti Santi anak dari laki-laki yang bernama Andi.

Tidak kita temukan dalam sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa istri dinisbatkan kepada suaminya, karena para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu para ibu kaum mukminin menikah dengan manusia yang paling mulia nasabnya namun tidak seorang dari mereka yang dinisbatkan kepada nama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan mereka semua masih dinisbatkan kepada ayah mereka meskipun ayah mereka kafir, demikian pula para istri shahabat Radhiyallahu 'anhum dan yang datang setelah mereka tidak pernah mengganti nasab mereka.

LALU NAMA BAGAIMANAKAH YANG DISUNNAHKAN DALAM ISLAM ?

Yang disunnahkan adalah menggunakan nama kunyah (baca: kun-yah), sebagaimana telah tsabit dalam banyak hadits, dan ini jelas lebih utama daripada menggunakan laqob atau julukan - julukan yang berasal dari adat barat ataupun ‘ajam. Sebagaimana yang dikatakan oleh syaikh Al-Albani Rahimahullah dalam Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shahihah no. 132 :

Rasululloh Shallallahu 'alahi wa sallam bersabda :

اكْتَنِي [بابنك عبدالله – يعني : ابن الزبير] أَنْتِ أُمَّ عَبْدِ اللَّهِ

“Berkun-yahlah [dengan anakmu –yakni: Ibnu Zubair] kamu adalah Ummu Abdillah”.
(Lihat ash-Shohihah no. 132)

(Dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad : haddatsana Abdurrazzaq (bin Hammam),haddatsana Ma’mar (bin Rasyid, pent) dari Hisyam (bin ‘Urwah), dari bapaknya (Urwah bin Zubair) : bahwa ‘Aisyah berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

يَا رَسُولَ اللَّهِ كُلُّ نِسَائِكَ لَهَا كُنْيَةٌ غَيْرِي فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فذكره بدون الزيادة

“Wahai Rasulullah, semua istrimu selain aku memiliki kun-yah”, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya : (lalu beliau menyebutkan hadits ini tanpa tambahan).

Berkata (Urwah) : Ketika itu ‘Aisyah disebut sebagai Ummu Abdillah sampai ia meninggal dan ia tidak pernah melahirkan sama sekali.

Berdasarkan hadits ini, disyar'iatkan berkun-yah walaupun seseorang tidak memiliki anak, ini merupakan adab Islami yang tidak ada bandingannya pada ummat lainnya. Maka sepatutnya bagi kaum muslimin untuk berpegang teguh padanya, baik laki - laki maupun wanita, dan meninggalkan apa yang masuk sedkit demi sedikit kepada mereka dari adat - adat kaum ‘Ajam seperti Al-Biik (البيك), Al-Afnadi (الأفندي), Al-Basya (الباشا), dan yang semisal itu seperti Al-Misyu (المسيو), As-Sayyid (السيد), As-Sayyidah (السيدة), dan Al-Anisah (الآنسة), ketika semua itu masuk ke dalam Islam. Dan para fuqaha’ Al-Hanafiyyah telah menegaskan tentang dibencinya Al-Afnadi (الأفندي) karena didalamnya terdapat tazkiyah, sebagaimana dalam kitab ‘Hasyiyah Ibnu Abidin’. Dan Sayyid hanya saja dimutlaqkan atas orang yang memiliki kepemimpinan atau jabatan, dan pada masalah ini terdapat hadits :

. قوموا إلى سيدكم

“Berdirilah kepada (tolonglah,) sayyid kalian”,

Dan telah berlalu pada nomor 66 (dalam Ash-Shahihah) dan tidak dimutlakkan atas semua orang karena ini juga masuk pada bentuk tazkiyah.

Faidah : adapun hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa bahwa ia mengalami keguguran dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu ia menamainya (janin yang gugur tersebut) Abdullah, dan ia berkun-yah dengannya, maka hadits tersebut bathil secara sanad dan matan. Dan keterangannya ada pada Adh-Dha’ifah jilid ke-9. –Selesai perkataan Syaikh Al-Albani Rahimahullah–

Maroji‘:

alifta.net – Fatwa Lajnah Da’imah
Sahab.net – Fatwa Syaikh Sholeh Fauzan
Ferkous.com – Fatwa Syaikh Farkus
Tholib.wordpress.com – Perkataan Syaikh Al-Albani

MAJELIS DZIKIR DAN DZIKIR JAMA'IY (DZIKIR BERJAMAAH)

MAJELIS DZIKIR DAN DZIKIR JAMA'IY
(DZIKIR BERJAMAAH)


1.    Hadits Abu Hurairah Radliyallahu ‘anhu :

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ للهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مَلَائِكَةً سَيَّارَةً فُضُلًا يَتَتَبَّعُونَ مَجَالِسَ الذِّكْرِ، فَإِذَا وَجَدُوا مَجْلِسًا فيْهِ ذِكْرٌ قَعَدُوا مَعَهُمْ، وَحَفَّ بَعْضُهُمْ بَعْضًا بِأَجْنِحَتِهِمْ، حَتَّى يَمْلَئُوا مَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَإِذَا تَفَرَّقُوا عَرَجُوا وَصَعِدُوا إِلَى السَّمَاءِ، قَالَ : فَسْأَلُهُمُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ : مِنْ أَيْنَ جِئْتُمْ ؟ فَيَقُولُونَ : جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عَبَادٍ لَكَ فِي الْأَرْضِ يُسَبِّحُونَكَ، وَيُكَبِّرُونَكَ، وَيُهَلِّلُونَكَ، وَيَحْمَدُونَكَ، وَيَسْأَلُونَكَ، قَالَ : وَمَاذَا يَسْأَلُونِيْ ؟ قَالُوا : يَسْأَلُونَكَ جَنَّتَكَ، قَالَ : وَهَلْ رَأَوْا جَنَّتِيْ ؟ قَالُوا : لَا أَيْ رَبَّ، قَالَ : فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا جَنَّتِيْ ؟ قَالُوا : وَيَسْتَجِيرُو نَكَ، قَالَ : وَمِمَّا يَسْتَجِيرُونَنِيْ، قَالُوا : مِنْ نَارِكَ يَا رَبِّ، قَالَ : هَلْ رَأَوْا نَارِي ؟ قَالُوا : لَا، قَالَ : فَكَيفَ لَوْ رَأَوْا نَارِيْ ؟ ......

"Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah tabaaraka wa ta’aalaa mempunyai beberapa malaikat yang terus berkeliling mencari majelis dzikir. Apabila mereka telah menemukan majelis yang disitu disebut nama Allah, maka mereka duduk bersama orang-orang tersebut, mereka mengelilingi jama’ah itu dengan sayap-sayap mereka, sehingga memenuhi ruang antara mereka dan langit dunia. Jika orang-orang tersebut telah selesai, maka mereka naik ke langit”.  Nabi berkata : “Kemudian Allah ‘Azza wa jalla bertanya kepada para malaikat tersebut – dan Allah lebih tahu tentang apa yang mereka lakukan - : “Dari mana kamu sekalian ?”. Mereka menjawab : “Kami datang dari hamba-hamba-Mu dibumi, mereka sedang mensucikan-Mu, bertakbir kepada-Mu, memuji-Mu, dan memohon kepada-Mu”. Allah bertanya : “Apa yang mereka minta ?”. Para malaikat menjawab : “Mereka memohon surga-Mu”. Allah bertanya : “Apakah mereka pernah melihat surga-Ku ?”. Para malaikat menjawab : “Tidak wahai Rabbku”. Kata Allah : “Betapa seandainya mereka pernah melihat surga-Ku”. Para malaikat berkata : “Mereka juga berlindung kepada-Mu”. Allah bertanya : “Dari apa mereka berlindung kepada-Ku?”. Para malaikat menjawab : “Dari neraka-Mu wahai Rabbku”. Allah bertanya : “Apakah mereka pernah melihat neraka-Ku?”. Para malaikat menjawab : “Tidak”. Kata Allah : “Betapa seandainya mereka pernah melihat neraka-Ku…”
(HR. Al-Bukhari no. 6408 dan Muslim no. 2689).

2.    Hadits Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِي إِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ مِنِّي شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً

"Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Allah ’Azza wa jalla berfirman : “Aku terserah pada sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersama hamba-Ku ketika dia mengingat-Ku. Jika dia mengingat-Ku didalam dirinya, maka Aku akan mengingatnya didalam diri-Ku. Jika dia mengingat-Ku ditengah orang banyak, maka Aku juga mengingatnya ditengah orang banyak yang lebih baik dari mereka. Jika dia mendekat sejengkal kepada-Ku, Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Jika dia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepada-Nya sedepa. Jika dia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku mendatanginya dengan berlari”.
(HR. Al-Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675).

3.    Hadits Mu’awiyyah Radliyallaahu ‘anhu :

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ خَرَجَ مُعَاوِيَةُ عَلَى حَلْقَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ مَا أَجْلَسَكُمْ قَالُوا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ قَالَ آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلَّا ذَاكَ قَالُوا وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلَّا ذَاكَ قَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَمَا كَانَ أَحَدٌ بِمَنْزِلَتِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقَلَّ عَنْهُ حَدِيثًا مِنِّي وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ مَا أَجْلَسَكُمْ قَالُوا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلْإِسْلَامِ وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَا قَالَ آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلَّا ذَاكَ قَالُوا وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلَّا ذَاكَ قَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَلَكِنَّهُ أَتَانِي جِبْرِيلُ فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِي بِكُمْ الْمَلَائِكَةَ.

"Dari Abu Sa’id Al-Khudriy Radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Mu’awiyyah Radliyallaahu ‘anhu pernah melewati suatu halaqah dimasjid. Lalu ia bertanya : “Majelis apakah ini ?”. Mereka menjawab : “Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala”.Mu’awiyyah bertanya lagi : “Demi Allah, benarkah kalian duduk hanya untuk itu ?”. Mereka menjawab : “Demi Allah, kami duduk hanya untuk itu”. Kata Mu’awiyyah selanjutnya : “Sungguh aku tidak menyuruh kalian bersumpah karena mencurigai kalian, sebab tidak ada orang yang menerima hadits dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih sedikit daripada aku. Sesungguhnya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati satu halaqah para shahabatnya, lalu beliau bertanya : “Majelis apakah ini ?”. Mereka menjawab : “Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah. Kami memuji-Nya atas hidayah-Nya berupa Islam dan atas anugerah-Nya kepada kami”. Beliau bertanya lagi : “Demi Allah, apakah kalian duduk untuk itu ?”. Mereka menjawab : “Demi Allah, kami duduk hanya untuk itu”. Beliau pun kemudian bersabda : “Sungguh, aku tidaklah menyuruh kalian bersumpah karena mencurigai kalian, tetapi karena aku didatangi Jibril ‘Alaihis-salaam yang memberitahukan bahwa Allah ‘Azza wa jalla membanggakan kalian didepan para malaikat”.
(HR. Muslim no. 2701).

Sebagian orang berdalil dengan hadits-hadits diatas untuk menjustifikasi disyari’atkannya Majelis Dzikir dalam arti khusus : Dzikir Berjama’ah atau Dzikir Jama’iy (الذكر الجماعي). Adapun yang dimaksud dengan Dzikir Jama’iy sebagaimana berlaku dimasyarakat kita adalah : segala bentuk dzikir, wirid, atau do'a yang dilakukan sebagian orang dengan cara berkelopok setelah mengerjakan shalat-shalat wajib atau pada waktu-waktu yang lainnya dengan cara bersama-sama dibelakang orang tertentu yang memimpinnya ataupun tanpa seorang pemimpin, namun mereka melakukannya secara berjama’ah dengan satu suara.

Majelis (مَجْلِسٌ) adalah bentuk kata tempat dari fi’il (kata kerja) : jalasa (جَلَسَ) yang berarti duduk. Sehingga makna majelis ialah tempat duduk. Makna lain dari kata ini adalah segolongan orang yang diberi kekhususan melakukan pertimbangan terhadap berbagai amal yang diserahkan kepada mereka, seperti istilah Majlis Asy-Sya’biy‘majelis rakyat’. Makna yang lebih sederhana lagi adalah tempat duduk, tempat berkumpul untuk orang-orang tertentu atau umum.

Adapun dzikir (ذِكْرٌ) - secara bahasa – maknanya adalah sesuatu yang sering diucapkan lisan, dan terkadang dimaksudkan untuk menghapal sesuatu. Ar-Raghiib Al-Asfahaaniy menjelaskan makna Adz-Dzikir dalam kitabnya Al-Mufradaat sebagai berikut:

الذكر : تارة يقال ويراد به : هيئة للنفس بها يمكن للإنسان أن يحفظ ما يقتنيه من المعرفة ، وهو كالحفظ إلا أن الحفظ يقال اعتباراً باحترازه ، والذكر يقال اعتباراً باستحضاره .  وتارة يقال لحضور الشيء القلب أو القول .  ولذلك قيل منهما ضربان : ذكر عن نسيان .  وذكر لا عن نسيان ، بل عن إدامة الحفظ

“Adz-Dzikr, kadangkala yang dimaksudkan adalah satu keadaan yang terjadi pada diri seseorang yang dengannya ia bisa tenang dan merasa puas untuk menghapal suatu pengetahuan. Istilah dzikir sama halnya dengan menghapal, hanya saja bedanya dalam menghapal mengandung makna menyimpan, sedangkan dzikir mengandung makna mengingat. Dan terkadang dzikir bermakna mendatangkan sesuatu, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh karenanya, dzikir bisa berarti mengingat dari kelupaan, dan dzikir (mengingat) itu tidak hanya disebabkan karena lupa, tapi justru karena ingat maka berdzikir”.

Secara istilah (terminologi), Dzikir maknanya adalah :

كل قول سيق للثناء والدعاء .  أي ما تعبدنا الشارع بلفظ منا يتعلق بتعظيم الله  والثناء عليه ، بأسمائه وصفاته ، وتمجيده وتوحيده ، وشكره وتعظيمه ، أو بتلاوة كتابه ، أو بمسألته ودعائه

“Setiap perkataan yang diungkapkan untuk menyanjung, berdo'a, artinya segala perkataan (wirid) yang kita ucapkan dalam rangka beribadah kepada Allah Ta’ala untuk mengagungkan-Nya, menyanjung-Nya dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifat-Nya, mengesakan-Nya, dan mensyukuri-Nya, atau dengan membaca Al-Qur’an, atau dalam rangka memohon dan meminta kepada-Nya”.

Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy Rahimahullah berkata :

والمراد بالذكر هنا الإتيان بالألفاظ التي ورد الترغيب في قولها والإكثار منها مثل الباقيات الصالحات وهي "سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر" وما يلتحق بها من الحوقلة والبسملة والحسبلة والاستغفار ونحو ذلك والدعاء بخيري الدنيا والآخرة، ويطلق ذكر الله أيضا ويراد به المواظبة على العمل بما أوجبه أو ندب إليه كتلاوة القرآن وقراءة الحديث ومدارسة العلم والتنفل بالصلاة،

“Dan yang dimaksud dengan dzikir adalah mengucapkan dan memperbanyak segala bentuk lafadzh yang didalamnya berisi tentang kabar gembira, seperti kalimat :subhaanallaahi, walhamdulillah, wa laa ilaaha illallaah, wallaahu akbar; dan yang semisalnya, do'a untuk kebaikan dunia dan akhirat. Dan termasuk juga dzikir kepada Allah adalah segala bentuk aktifitas amal shalih yang hukumnya wajib ataupun sunnah, seperti membaca Al-Qur’an, membaca hadiits, belajar ilmu agama, dan melakukan shalat-shalat sunnah”.

Al-Haafidh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy Rahimahullah berkata :

فمثل أنواع الذكر من التسبيح والتكبير والتحميد والتهليل والاستغفار والصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم وكذلك تلاوة القرآن والمشي إلى المساجد والجلوس فيها لانتظار الصلاة أو لاستماع

“Contohnya adalah berbagai macam jenis dzikir  seperti tasbiih, takbiir, tahmiid, tahliil, istighfaar, bershalawat kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam; begitu pula membaca Al-Qur’an, berjalan menuju masjid, duduk didalamnya untuk menunggu shalat ditegakkan, dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an”.

Dapat kita lihat bahwa makna dzikir sebagaimana penjelasan para ulama mu’tabaradalah luas, tidak sesempit yang dipahami sebagian orang. Oleh karena itu, ‘Atha’ bin Abi Rabbah Rahimahullah pernah menjelaskan cakupan makna Majelis Dzikir sebagaimana tercantum dalam riwayat berikut :

عن أبي هزان قال : سمعت عطاء بن أبي رباح يقول : من جلس مجلس ذكر كفر الله عنه بذلك المجلس عشرة مجالس من مجالس الباطل .  قال أبو هزان : قلت لعطاء : ما مجلس الذكر ؟ قال : مجلس الحلال والحرام ، وكيف تصلي ، وكيف تصوم ، وكيف تنكح ، وكيف تطلق وتبيع وتشتري

"Dari Abu Haazin ia berkata : Aku mendengar ‘Atha’ bin Abi Rabbah (salah seorang pembesar dikalangan tabi’in – murid Ibnu ‘Abbas Radliyallaahu ‘anhu – Abu ‘Aisyah ) ia berkata : “Barangsiapa yang duduk dimajelis dzikir, niscaya Allah akan menghapus dengannya sepuluh majelis dari majelis-majelis kebathilan yang pernah ia lakukan”. Abu Haazin berkata : Aku bertanya kepada ‘Atha’ : “Apakah itu majelis dzikir ?”. ‘Atha’ menjawab : “Majelis yang menjelaskan perkara halal dan haram, bagaimana shalat yang benar, bagaimana berpuasa yang benar, bagaimana pernikahan dilakukan, bagaimana syari’at tentang thalaq dan jual-beli”.

Yang kemudian dipertegas oleh Al-Imam Asy-Syathibi Rahimahullah :

معلم يقرئهم القرآن أو علما من العلوم الشرعية أو تجتمع إليه العامة فيعلمهم أمر دينهم ويذكرهم بالله ويبين لهم سنة نبيهم ليعملوا بها ويبين لهم المحدثات التي هي ضلالة ليحذروا منها ويتجنبوا مواطنها والعمل بها فهذه مجالس الذكر على الحقيقة

“Majelis Dzikir yang sebenarnya adalah yang mengajarkan Al-Qur’an, ilmu-ilmu syar’i (agama), dan perkara agama yang lain, menjelaskan ummat tentang sunnah-sunnah Nabi mereka agar mereka mengamalkannya, menjelaskan tentang bid’ah-bid’ah agar umat berhati-hati terhadap bid’ah dan menjauhkannya. Ini adalah majelis dzikir yang sebenarnya”.

“Apakah majelis dzikir sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits diatas maknanya mencakup amalan Dzikir Jama’iy ?”.

Ada baiknya kita perlu tengok kitab-kitab tarikh (sejarah) dan hadits yang telah ditulis para ulama kita untuk melihat kapan dzikir jama’iy ini sebenarnya mulai masyhur ditengah kaum muslimin. Al-Haafidh Ibnu Katsir – pengarang kitab tafsir yang terkenal – berkata dalam Al-Bidaayah wan-Nihaayah :

وفيها كتب المأمون إلى إسحاق بن إبراهيم نائب بغداد يأمره أن يأمر الناس بالتكبير عقيب لموات الخمس، فكان أول ما بدئ بذلك في جامع بغداد والرصافة يوم الجمعة لاربع عشر ليلة ت من رمضان، وذلك أنهم كانوا إذا قضوا الصلاة قام الناس قياما فكبروا ثلاث تكبيرات، ثم مروا على ذلك في بقية الصلوات. وهذه بدعة أحدثها المأمون أيضا بلا مستند ولا دليل ولا مد، فإن هذا لم يفعله قبله أحد، ولكن ثبت في الصحيح عن ابن عباس أن رفع الصوت بالذكر على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ليعلم حين ينصرف الناس من المكتوبة، وقد استحب هذا طائفة من ماء كابن حزم وغيره. وقال ابن بطال: المذاهب الاربعة على عدم استحبابه. قال النووي: وقد عن الشافعي أنه قال: إنما كان ذلك ليعلم الناس أن الذكر بعد الصلوات مشروع، فلما علم لم يبق للجهر معنى. وهذا كما روى عن ابن عباس أنه كان يجهر في الفاتحة في صلاة الجنازة ليعلم ؟ أنها سنة، ولهذا نظائر والله أعلم. وأما هذه البدعة التي أمر بها المأمون فإنها بدعة محدثة لم يعمل بها أحد من السلف. وفيها وقع شديد جدا.

“Pada waktu itu, Al-Ma’mun menulis surat yang ditujukan kepada Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Baghdad. Isinya perintah agar dia menyuruh orang-orang bertakbir (dengan suara nyaring) seusai shalat lima waktu. Yang pertama kali dilakukan adalah di Masjid Jaami’ Baghdad dan Ar-Rashafah pada hari Jum’at, empat hari sebelum Ramadlan. Jelasnya, setelah menyelesaikan shalat, orang-orang berdiri secara serentak lalu mereka bertakbir tiga kali. Kemudian mereka dapat melanjutkan shalat lain yang belum dilaksanakan. Ini merupakan bid’ah yang dilakukan oleh Al-Ma’mun. Yang demikian itu tidak pernah dilakukan seorang pun sebelumnya. Disebutkan dalam Ash-Shahiih, dari Ibnu ‘Abbas bahwa mengeraskan suara dzikir pernah terjadi pada masa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, untuk menandai selesainya orang-orang dari shalat fardhu. Memang ada sebagian ulama, seperti Ibnu Hazm dan yang lainnya menganjurkan hal itu. Ibnu Baththal menyatakan : ‘Empat madzhab tidak menganjurkannya’. An-Nawawi berkata : Dari Asy-Syaafi’iy bahwasannya ia berkata : ‘Yang demikian itu (dzikir dengan suara nyaring) untuk mengajari bahwa dzikir seusai shalat disyari’atkan. Setelah orang-orang mengetahuinya, maka tidak ada maknanya menyaringkan dzikir’.Yang demikian ini seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, bahwa ia pernah menyaringkan bacaan Al-Fatihah saat shalat jenazah karena hendak mengajarkan kepada orang-orang bahwa bacaan Al-Fatihah itu merupakan sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Contoh-contoh lain semacam ini banyak. Wallaahu a’lam. Adapun bid’ah yang diperintahkan Al-Ma’mun ini, maka itu jelas merupakan bid’ah yang diada-adakan, tidak pernah dilakukan seorang pun diantara orang-orang salaf. Karena itulah muncul penentangan yang keras”.

Dimasa inilah dzikir jama’iy dengan suara nyaring mulai ‘memasyarakat’ – apalagi mendapat dukungan pemerintah. Namun jauh sebelum itu, sebenarnya halaqah-halaqah dzikir jama’iy telah muncul dimasa Khulafaaur-Raasyidin. Dan yang perlu digaris bawahi, amal tersebut tidaklah dilakukan para shahabat. Bahkan telah shahih riwayat pengingkaran sejumlah shahabat besar (kibaarush-shahaabah) terhadaphalaqah dzikir jama’iy. Diantaranya adalah dua riwayat sebagai berikut :

حدثنا معاوية بن هشام قال : حدثنا سفيان عن سعيد الجُريريِّ عن أبي عثمان قال : كَتَبَ عَامِلٌ لِعُمَرِ بْنِ الْخَطَّابِ إِلَيْهِ : أَنَّ هَاهُنَا قَوْمًا يَجْتَمِعُوْنَ فَيَدْعُوْنَ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَلِلْأَمِيْرِ، فَكَتَبَ إِلَيْهِ عُمَرُ : أَقْبِلْ، وَأَقْبِلْ بِهِمْ مَعَكَ، فَأَقْبَلَ، وَقَالَ عُمَرُ لِلْبَوَّابِ : أَعِدَّ لِيْ سَوْطًا، فَلَمَّا دَخَلُوا عَلَى عُمَرِ أَقْبَلَ عَلَى أَمِيْرِهِمْ ضَرْبًا بِالسَّوْطِ. فَقَالَ : يَا عُمَرُ ! إِنَّا لَسْنَا أُولَئِكَ الَّذِيْ - يَعْنِي أُولَئِكَ قَوْمٌ يَأتُونَ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ.

“Telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah bin Hisyaam, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin Sa’id Al-Juriiriy, dari Abu ‘Utsmaan, ia berkata : “Seorang pembantu ‘Umar bin Al-Khaththaab melaporkan kepadanya (‘Umar) : Bahwasannya disana, disuatu tempat, ada sekelompok orang yang berkumpul untuk mendo'akan kebaikan kaum muslimin dan pemimpin mereka. Lalu ‘Umar menulis surat kepadanya yang isinya : “Temui mereka, bawalah mereka menghadap bersamamu kepadaku”. Maka ia pun menemui mereka. Lalu ‘Umar berkata kepada penjaga pintu : “Sediakan cambuk”. Ketika mereka masuk menemui ‘Umar, maka ‘Umar menyambut pemimpin mereka dengan cambukan. Orang tersebut berkata : “Wahai ‘Umar, sesungguhnya kami bukanlah mereka – yaitu kaum yang datang dari Timur”.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 8/531 no. 26594 dan IbnuWadldlah dalam Al-Bida’ wan-Nahyu ‘anhaa hal. 19; dengan sanad hasan).

أخبرنا الحكم بن المبارك، أنبأنا عمرو بن يحيى قال : سمعت أبي يحدث، عن أبيه قال : كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - قَبْلَ صَلَاةِ الغَدَاةِ، فَإِذَا خَرَجَ، مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَجَاءَنَا أَبُوْ مُوْسَى الْأَشْعَرِيُّ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - فَقَالَ : أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ قُلْنَا : لَا، بَعْدُ. فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ، فَلَمَّا خَرَجَ، قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيْعًا، فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، إِنَّي رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ - وَالْحَمْدُ للهِ - إِلَّا خَيْرًا. قَالَ : فَمَا هُوَ ؟ فَقَالَ : إِنْ عِشْتَ فَسَتَرَاهُ. قَالَ : رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوْسًا يَنْتَظِرُوْنَ الصَّلَاةَ فِي كُلِّ حَلَقَةٍ رَجُلٌ، وَفِيْ أَيْدِيْهِمْ حَصًا، فَيَقُوْلُ : كَبِّرُوا مِئَةً، فَيُكَبِّرُوْنَ مِئَةً، فَيَقُوْلُ : هَلِّلُوا مِئَةً، فَيُهَلِّلُونَ مِئَةً، فَيَقُولُ : سَبِّحُوا مِئَةً، فَيُسَبِّحُونَ مِئَةً. قَالَ : فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ ؟ قَالَ : مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا انْتِظَارَ رَأْيِكَ أَوِ انْتِظَارَ أَمْرِكَ. قَالَ : أَفَلَا أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ، وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لَا يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِهِم، ثَمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلَقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ، فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ : مَا هَذا الَّذِيْ أَرَاكُمْ تَصْنَعُوْنَ ؟ قَالُوا : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًا نَعُدَّ بِهِ التَّكْبِيْرَ والتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيْحَ. قَالَ : فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ، فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لَا يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، مَا أَسْرَعَ هَلَكَتكُمْ ! هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُوْنَ، وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ، وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ. قَالُوا : وَاللهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، مَا أَرَدْنَا إِلَّا الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ تُصِيْبَهُ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، وَايْمُ اللهِ مَا أَدْرِيْ لَعَلَّ أَكْتَرَهُمْ مِنْكُمْ، ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ. فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلَمَةَ : رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ.

“Telah memberi khabar kepada kami Al-Hakam bin Al-Mubaarak : Telah memberitakan kepada kami ‘Amru bin Yahya, ia berkata : Aku mendengar ayahku meriwayatkan hadits dari ayahnya, ia berkata : Sebelum shalat Shubuh, kami biasa duduk didepan pintu ‘Abdullah bin Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu. Jika dia sudah keluar rumah, maka kami pun berjalan bersamanya menuju masjid. Tiba-tiba kami didatangi oleh Abu Musa Al-Asy’ariy Radliyallaahu ‘anhu, seraya bertanya : “Apakah Abu ‘Abdirrahman (‘Abdullah bin Mas’ud) sudah keluar menemui kalian ?”. Kami menjawab : “Belum”. Lalu dia pun duduk bersama kami hingga ‘Abdullah bin Mas’ud keluar rumah. Setelah dia keluar, kami pun bangkit menemuinya. Abu Musa berkata : “Wahai Abu ‘Abdirrahman, tadi aku melihat kejadian yang aku ingkari dimasjid, namun aku menganggap – segala puji bagi Allah – hal itu adalah baik”. Kata Ibnu Mas’ud : “Apakah itu ?”. Abu Musa menjawab : “Jika engkau berumur panjang, engkau akan mengetahui. Ada sekelompok orang dimasjid, mereka duduk ber-halaqah sedang menunggu shalat. Setiap kelompok dipimpin oleh seseorang, sedang ditangan mereka terdapat kerikil. Lalu pimpinan halaqah tadi berkata : ‘Bertakbirlah seratus kali’, maka mereka pun bertakbir seratus kali. ‘Bertahlillah seratus kali’, maka mereka pun bertahlil seratus kali. ‘Bertasbihlah seratus kali’, maka mereka pun bertasbih seratus kali”. Ibnu Mas’ud bertanya : “Lalu apa yang engkau katakan kepada mereka ?”. Abu Musa menjawab : “Aku tidak berkata apa-apa hingga aku menunggu apa yang akan engkau katakan atau perintahkan”. Ibnu Mas’ud berkata : “Tidakkah engkau katakan kepada mereka agar mereka menghitung kesalahan mereka dan kamu jamin bahwa kebaikan mereka tidak akan disia-siakan”. Lalu Ibnu Mas’ud berlalu menuju masjid tersebut dan kami pun mengikuti dibelakangnya hingga sampai ditempat itu. Ibnu Mas’ud bertanya kepada mereka : “Benda apa yang kalian pergunakan ini ?”. Mereka menjawab : “Kerikil wahai Abu ‘Abdirrahman. Kami bertakbir, bertahlil, dan bertasbih dengan mempergunakannya”. Ibnu Mas’ud berkata : “Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian, aku jamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan disia-siakan sedikitpun. Celaka kalian wahai umat Muhammad ! Betapa cepat kebinasaan/penyimpangan yang kalian lakukan. Para shahabat Nabi kalian masih banyak yang hidup. Sementara baju beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga belum lagi usang, bejana beliau belum juga belum retak. Demi Dzat yang diriku berada ditangan-Nya ! Apakah kalian merasa berada diatas agama yang lebih benar daripada agama Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ataukah kalian akan menjadi pembuka pintu kesesatan ?”. Mereka menjawab : “Wahai Abu ‘Abdirrahman, kami tidaklah menghendaki kecuali kebaikan”. Ibnu Mas’ud menjawab : “Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun ia tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada kami : ‘Akan ada segolongan orang yang membaca Al-Qur’an, namun apa yang dibacanya itu tidak melewati kerongkongannya’. Demi Allah, aku tidak tahu, boleh jadi kebanyakan dari mereka adalah sebagian diantara kalian”. ‘Amr bin Salamah berkata : “Kami melihat mayoritas diantara orang-orang yang ikut dalam halaqah itu adalah orang yang menyerang kami dalam Perang Nahrawaan yang bergabung bersama orang-orang Khawarij”.
(HR. Ad-Daarimi no. 210 dengan sanad jayyid; akan tetapi menjadi shahih dengan keseluruhan jalannya).

Sungguh indah atsar diatas ! sangat pas dengan permasalahan yang sedang dibahas. Lihatlah ikhwah, betapa ‘Umar mengingkari dengan pengingkaran yang keras terhadap orang-orang yang berkumpul dan berdo'a secara berjama’ah, padahal yang mereka lakukan adalah kebaikan – menurut prasangka mereka – yaitu mendo'akan kaum muslimin dan pemimpinnya. Apa gerangan yang menyebabkan pengingkaran tersebut ? Tidak lain adalah cara yang mereka lakukan menyelisihi apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat. Dan yang lebih jelas lagi adalah atsar ‘Abdullah bin Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu. Apa yang diingkari oleh Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu ? Ia mengingkari keberadaan halaqah-halaqah dzikir jama’iy yang dikomandoi oleh seorang pimpinan dimana mereka menggunakan kerikil sebagai alat hitung. Alangkah samanya hari itu dengan hari ini. Ibnu Mas’ud tidaklah mengingkari lafadzh tasbiih, tahmiid, tahliil, ataupun takbiir yang mereka ucapkan. Namun yang diingkari oleh Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu adalah cara yang mereka lakukan yang menyelisihi petunjuk Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Mereka membuat cara-cara baru yang tidak dikenal dalam Sunnah Nabi dan para shahabatnya. Tidakkah kita perhatikan alasan mereka ketika perbuatan mereka itu diingkari oleh Ibnu Mas’ud : “Wahai Abu ‘Abdirrahman, kami tidaklah menghendaki kecuali kebaikan”. Atas perkataan ini, Ibnu Mas’ud menjawab : “Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun ia tidak mendapatkannya”. Jawaban ini mengandung makna yang sangat dalam, yaitu bahwa tidaklah setiap niat baik itu dapat diterima menurut syari’at apabila dilakukan dengan cara-cara yang menyelisihi syari’at.

Tidak ternukil penyelisihan dari kalangan shahabat lain terhadap apa yang dilakukan ‘Umar bin Al-Khaththab dan ‘Abdullah bin Mas’ud Radliyallaahu ‘anhuma. Bisa jadi, apa yang dilakukan oleh kedua shahabat tadi merupakan ijma’ sukuti, sebagaimana dikenal dalam ilmu ushul fiqh. Konsekuensinya, pengingkaran terhadap satu amal secara ijma’,tidaklah mungkin menjadi sunnah selamanya.

Kembali ke permasalahan awal, yaitu tentang Majelis Dzikir. Jika kita tengok riwayat-riwayat diatas, sangat jelas bagi kita bahwa dzikir jama’iy itu tidak dikenal dikalangan shahabat Radliyallaahu ‘anhu, sehingga, membawa pengertian Majelis Dzikir kepada pelaksanaan halaqah dzikir jama’iy – sebagaimana dipahami sebagian orang – sangatlah tidak tepat. Oleh karena itu, tiga hadits yang dibawakan diawal tulisan ini pun sama sekali tidak bisa diarahkan sebagai penunjuk disyari'atkannya dzikir jama’iy.

Hadits pertama, misalnya. Makna ‘majelis dzikir’ yang didalamnya terdapat ucapan tasbiih, tahmiid, tahliil, atau takbiir tidak harus berkonsekuensi pada dzikir jama’iy. Bukankah jika kita sedang mengikuti ta’lim yang didalamnya terdapat pengajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah didalamnya juga mengandung takbiir, tahmiid, tahlil, ataupun takbiir ? Bukankah ketika kita sedang shalat berjama’ah didalam masjid kita tercinta ini didalamnya juga terdapat takbiir, tahmiid, tahliil, ataupun takbiir ? Bukankah ketika kita sedang menghafalkan Al-Qur’an dan hadits bersama teman-teman kita didalamnya lafadzh-lafadzh takbiir, tahmiid, tahliil, ataupun takbiir ?

Hadits kedua yang didalamnya terdapat kalimat : “Jika dia mengingat-Ku ditengah orang banyak, maka Aku juga mengingatnya ditengah orang banyak yang lebih baik dari mereka” ; ini pun tidak harus dikonsekuensikan dengan dzikir jama’iy. Pendalilan dengan hadits kedua ini lebih jauh daripada hadits pertama. Sebab, makna mengingat Allah ditengah/bersama orang banyak itu adalah ketika ia merasa ingat kepada Allah, takut akan larangannya, semangat dalam mengerjakan apa yang diperintahnya, dan yang lain sebagainya; saat ia bersama manusia.

Begitu pula dengan hadits yang ketiga.

Majelis Dzikir yang ada dijaman Nabi dan para shahabat adalah majelis penyampaian ilmu, ta’lim, pembacaan dan pengajaran Al-Qur’an, serta saling nasihat-menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. Begitu juga pendirian shalat-shalat wajib ataupun sunnah. Tidak terkecuali, berdzikir dengan dzikir yang disyari’atkan setelah shalat atau diwaktu-waktu lain - tanpa berjama’ah.  Majelis Dzikir inilah yang ternukil dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah.

Demikianlah secara ringkas yang dapat dituliskan. Masih banyak hal yang tertinggal dan belum tertulis dalam pembahasan ini. Dari yang sedikit, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Wal-‘ilmu ‘indallah. Wallaahu ta’ala bish-shawwaab.

http://abul-jauzaa.blogspot.com].


[1]     Al-Mu’jamul-Wasith hal. 130.

[2]     Al-Qamus Al-Muhith hal. 507 dan Lisaanul-‘Arab 5/48.

[3]     Al-Mufradaat, hal. 328.

[4]     Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 21/220 dan Al-Futuuhaat Ar-Rabbaniyyah, 1/18.

[5]     Fathul-Baariy, 11/209.

[6]     Jaami’ul-Ulum wal-Hikam hal. 325.

[7]     Hilyatul-Auliyaa’ 3/313.

[8]     Seorang Khalifah ketujuh Bani ‘Abbasiyyah, putra dari Khalifah Harun Ar-Rasyid.

[9]     Telah berkata Al-Imam Asy-Syafi’iy dalam Al-Umm :

وأختار للإمام والمأموم أن يذكرا الله بعد الانصراف من الصلاة ، ويخفيان الذكر إلا أن يكون إماماً يجب أن يُتعلم منه فيجهر حتى يرى أنه قد تُعُلِّم منه ثم يُسِرُّ ، فإن الله عز وجل يقول : { ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها } [ الإسراء : 110 ] يعني - والله تعالى أعلم - الدعاء ، ولا تجهر : ترفع .  ولا تخافت : حتى لا تسمع نفسك

“Dan aku memilih bagi imam dan makmum agar berdo'a kepada Allah setelah selesai melakukan shalat, dan melembutkan suara dalam berdzikir kecuali seorang imam yang ingin mengajarkan kepada makmum. Hendaknya ia mengeraskan bacaan dzikir sehingga makmum mengetahui bahwa mereka telah diajarkan, kemudian setelah itu imam harus melembutkan suaranya dengan pelan ketika berdoa, sebagaimana firman Allah : “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam do'amu dan jangan pula merendahkannya. Carilah jalan tengah diantara keduanya”.
(QS. Al-Israa’ : 110). Dan yang dimaksud dengan ayat ini adalah do'a”.

Apa yang ditegaskan oleh Asy-Syafi’i adalah benar lagi mencocoki firman Allah ta’ala :

{وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ }

“Dan berdzikirlah/sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, diwaktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”.
(QS. Al-A’raaf : 205).

[10]    Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 10/296. Lihat pula Tarikh Al-Umam wal-Mulk oleh Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari, 10/281.

[11]. Lihat takhrij riwayat ini selengkapnya dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 2005 oleh Asy-Syaikh Al-Albani, Takhrij Al-I’tisham lisy-Syaathibi oleh Asy-Syaikh Masyhuur bin Hasan Alu Salmaan 2/323-325, dan Tahqiq Sunan Ad-Daarimiy oleh Husain Saliim Asad.

[12]. Bagaimana bisa diarahkan ? Bukankah hadits-hadits diatas disampaikan melalui lisan-lisan shahabat ? Jika para shahabat tidak pernah memahami makna Majelis Dzikir dengan Dzikir Jama’iy; maka dengan alasan apa kita mengarahkan pada pelaksanaan Dzikir Jama’iy ? Shahabat adalah orang-orang yang melihat, mendengarkan, dan mendapatkan pengajaran langsung dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tentu saja, mereka lebih tahu tentang makna-makna hadits dibandingkan orang-orang selain mereka – termasuk kita.

Sumber:
http://abul-jauzaa.blogspot.in/2009/04/majelis-dzikir-dan-dzikir-jamaiy.html?m=1

Diarsipkan oleh:
http://arie49.wordpress.com
http://ariedoank49.blogspot.com