Rabu, 30 Juli 2014

HUKUM DO'A QUNUT SHUBUH

Meladzimkan do'a Qunut dalam shalat Shubuh secara terus menerus menurut pendapat yang paling shahih adalah bukan merupakan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini berdasarkan beberapa hadits shahih berikut ini:

ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﻨﻴﻊ ﺃﺧﺒﺮﻧﺎ ﻳﺰﻳﺪ ﺑﻦ ﻫﺎﺭﻭﻥ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻣﺎﻟﻚ ﺍﻷﺷﺠﻌﻲ ﻗﺎﻝ : ﻗﻠﺖ ﻷﺑﻲ : ﻳﺎ ﺃﺑﺖ ﺇﻧﻚ ﻗﺪ ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻭﻋﻤﺮ ﻭﻋﺜﻤﺎﻥ ﻭﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻃﺎﻟﺐ ﻫﺎﻫﻨﺎ ﺑﺎﻟﻜﻮﻓﺔ، ﻧﺤﻮﺍ ﻣﻦ ﺧﻤﺲ ﺳﻨﻴﻦ، ﺃﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻘﻨﺘﻮﻥ؟ ﻗﺎﻝ : ﺃﻱ ﺑﻨﻲ ﻣﺤﺪﺙ .

"Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Manii’: Telah mengkhabarkan kepada kami Yaziid bin Harun, dari Abu Malik al-Asyja’iy, ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada ayahku: ‘Wahai ayahku, engkau pernah shalat dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, dan Ali disini, yaitu diKufah selama kurang lebih lima tahun. Apakah mereka semua melakukan Qunut ?”. Ayahku menjawab: “Wahai anakku, itu adalah perbuatan muhdats". (perkara baru yang tidak pernah mereka lakukan).
(Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 402, dan ia berkata: “Hadits ini hasan shahih”. Diriwayatkan juga oleh Ahmad 3/472, ibnu Majah no. 1241, ath-Thabarani dalam al-Kubra 8/378 no. 8178, ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil-Atsar 1/249, adl-Dliyaa’ dalam al-Mukhtarah 8/97 & 98 no. 101 dan 104, dan al-Mizzi dalam Tahdzibul-Kamaal 13/334-335 dari jalan Yazid bin Harun, dari Abu Malik al-Asyja’i).

Dalam lafadzh ath-Thahawi. disebutkan:

ﻗﻠﺖ ﻷﺑﻲ : ﻳﺎ ﺃﺑﺖ، ﺇﻧﻚ ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺧﻠﻒ ﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻭﺧﻠﻒ ﻋﻤﺮ ﻭﺧﻠﻒ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﻭﺧﻠﻒ ﻋﻠﻲ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻢ ﻫﻬﻨﺎ ﺑﺎﻟﻜﻮﻓﺔ، ﻗﺮﻳﺒﺎ ﻣﻦ ﺧﻤﺲ ﺳﻨﻴﻦ، ﺃﻓﻜﺎﻧﻮﺍ ﻳﻘﻨﺘﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ؟ . ﻓﻘﺎﻝ : ﺃﻱ ﺑﻨﻲ، ﻣﺤﺪﺙ .

"Aku bertanya kepada ayahku: “Wahai ayahku, sesungguhnya engkau pernah shalat dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, dan Ali disini di Kufah hampir selama lima tahun. Apakah mereka semua melakukan Qunut diwaktu (shalat) Shubuh ?”. Ayahku menjawab: “Wahai anakku, itu adalah perbuatan muhdats (mengada-ada)".

Yazid bin Harun mempunyai mutaba’ah dari:

1. Hafsh bin Ghiyats dan Abdullah bin Idris sebagaimana diriwayatkan oleh ibnu Abi Syaibah 2/308 [no. 7034 & 7036[, ibnu Majah no. 1241, ath-Thabarani 8/378 no. 8179, dan adl-Dliyaa’ dalam al-Mukhtarah 8/98 no. 105 [shahih].

2. Khalaf bin Khalifah sebagaimana diriwayatkan Ahmad 6/394, an-Nasa’i 2/204 dan dalam al- Kubra 1/341 no. 671, dan ibnu Hibban no. 1989: dengan lafadzh sebagai berikut:

ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻭﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻭﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﻋﻤﺮ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻭﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻭﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﻋﻠﻲ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﺛﻢ ﻗﺎﻝ ﻳﺎ ﺑﻨﻲ ﺇﻧﻬﺎ ﺑﺪﻋﺔ .

“Aku shalat dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak Qunut. Aku shalat dibelakang Abu Bakar, ia tidak Qunut. Aku shalat dibelakang ‘Umar, ia tidak Qunut. Aku shalat dibelakang Utsman, ia tidak Qunut. Dan aku shalat dibelakang Ali, ia pun tidak Qunut”. Kemudian ayahku berkata: “Wahai anakku, ia adalah perbuatan bid’ah”.

3. Abu ‘Awaanah sebagaimana diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 403, ath-Thayalili no. 1425, ath-Thabarani dalam al-Kabir 8/378 no. 8177, al-Baihaqi 2/213, dan adl-Dliya’ 8/97-98 no. 102-103, ath-Thabarani dan adl-Dliya’ membawakan dengan lafadzh berikut:

ﺳﺄﻟﺖ ﺃﺑﻲ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻐﺪﺍﺓ ؟ ﻓﻘﺎﻝ : ﺃﻱ ﺑﻨﻲ ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻭﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻓﻠﻢ ﺃﺭ ﺃﺣﺪﺍ ﻣﻨﻬﻢ ﻳﻘﻨﺖ، ﺃﻱ ﺑﻨﻲ ﺑﺪﻋﺔ . ﻗﺎﻟﻬﺎ ﺛﻼﺛﺎ .

"Aku bertanya kepada ayahku tentang Qunut pada shalat Shubuh. Ia menjawab: “Wahai anakku, aku pernah shalat dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, namun aku tidak melihat salah seorang pun diantara mereka yang melakukan Qunut. Wahai anakku, itu adalah perbuatan Bid’ah”. Ia mengatakannya tiga kali.

4. Abu Mu’awiyyah sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bazzaar dalam al-Musnad no. 2766 dan al-Uqaili 2/484 no. 597. Lafadzh hadits ini mauquf namun dihukumi marfu’. Kesimpulan finalnya, hadits ini shahih, para perawinya tsiqat, dan sanadnya bersambung. Dishahihkan juga oleh al-Albani dalam Irwaul-Ghalil 2/182-183 no. 435, al-Wadi’i dalam al-Jami’ush-shahih mimma Laisa fish-Shahihain 2/147, al-Arna’uth dalam Takhrij Musnad al-Imam Ahmad 25/214, dan Basyar Awwad dalam Takhrij Sunan ibnu Majah 2/402-403.

Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan do'a Qunut dalam shalat Shubuh ini. Sedikit akan  dipaparkan dibawah:

At-Tirmidzi rahimahullah setelah menyebutkan riwayat tentang Qunut Shubuh ini, beliau berkata:

ﻭﺍﺧﺘﻠﻒ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻔﺠﺮ، ﻓﺮﺃﻯ ﺑﻌﺾ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻔﺠﺮ . ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ . ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺣﻤﺪ، ﻭﺇﺳﺤﻖ : ﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﺇﻻ ﻋﻨﺪ ﻧﺎﺯﻟﺔ ﺗﻨﺰﻝ ﺑﺎﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ، ﻓﺈﺫﺍ ﻧﺰﻟﺖ ﻧﺎﺯﻟﺔ ﻓﻠﻺﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﺪﻋﻮ ﻟﺠﻴﻮﺵ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ .

“Para ulama berbeda pendapat mengenai Qunut shalat Shubuh. Sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka berpendapat (masyru’ -nya) Qunut pada shalat Shubuh. Itu merupakan perkataan asy-Syafi’i.

Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih berkata:

"Qunut tidak dilakukan pada shalat Shubuh, kecuali jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin. Jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin, maka imam mendo'akan (kebaikan/kemenangan) untuk pasukan kaum muslimin”.

ﻭﺍﻟﻌﻤﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﻋﻨﺪ ﺃﻛﺜﺮ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ . ﻭﻗﺎﻝ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ ﺇﻥ ﻗﻨﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻓﺤﺴﻦ، ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﺤﺴﻦ ﻭﺍﺧﺘﺎﺭ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻘﻨﺖ . ﻭﻟﻢ ﻳﺮ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻤﺒﺎﺭﻙ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ .

“(Hadits Abu Malik al-Asyja’i diatas) diamalkan oleh kebanyakan ulama. Sufyan ats-Tsauri berkata: "Apabila seseorang melakukan Qunut diwaktu shalat Shubuh, maka itu baik. Jika tidak melakukannya, itu pun baik’.

Ia (ats-Tsauri) memilih untuk tidak Qunut. Ibnul-Mubarak tidak berpendapat adanya Qunut pada shalat Shubuh”.
(Jaami’ at-Tirmidzi, 1/426-427).

Al-‘Uqaili rahimahullah berkata:

ﻭﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﻨﺖ ﺛﻢ ﺗﺮﻙ . ﻭﻫﺬﺍ ﻳﺬﻛﺮ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻢ ﻳﻘﻨﺖ .

“Dan yang benar menurut kami bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan Qunut, kemudian meninggalkannya. Hadits ini (yaitu hadits Abu Malik al-Asyja’i diatas ) menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan Qunut”.
(Adl-Dlu’afa’ , 2/484).

Abu Ja’far ath-Thahawi al-Hanafi rahimahullah berkata:

ﺇﻧﻤﺎ ﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺑﻠﻴﺔ ﻓﺈﻥ ﻭﻗﻌﺖ ﻓﺘﻨﺔ ﺃﻭ ﺑﻠﻴﺔ ﻓﻼ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ ﻓﻌﻠﻪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻱ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ

“Bahwasannya tidak dilakukan Qunut dalam shalat Shubuh disisi kami (madzhab Hanafiyyah) selain dikarenakan musibah. Apabila terjadi fitnah atau musibah, maka tidak mengapa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya, yaitu setelah rukuk”.
(Hasyiyyah ath-Thahthawi ‘ala Maraqil-Falah, hal. 377).

Abul-Husain asy-Syafi’i al-Yamani rahimahullah berkata:

ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ : ﺃﻥ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺼﺒﺢ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻟﺪﻫﺮ، ﻭﺑﻪ ﻗﺎﻝ ﻣﺎﻟﻚ، ﻭﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲ، ﻭﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻟﻴﻠﻰ، ﻭﺍﻟﺤﺴﻴﻦ ﺑﻦ ﺻﺎﻟﺢ، ﻭﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻋﻦ ﺍﻟﺨﻠﻔﺎﺀ ﺍﻷﺭﺑﻌﺔ، ﻭﺃﻧﺲ . ﻭﺫﻫﺐ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ، ﻭﺃﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ، ﻭﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﺇﻟﻰ : ‏(ﺃﻧﻪ ﻏﻴﺮ ﻣﺴﻨﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺒﺢ ‏) ، ﻭﺭُﻭﻱَ ﺫﻟﻚ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ، ﻭﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ، ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ، ﻭﺃﺑﻲ ﺍﻟﺪﺭﺩﺍﺀ . ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﻳﻮﺳﻒ : ﺇﺫﺍ ﻗﻨﺖ ﺍﻹﻣﺎﻡ .....ﻓﺎﻗﻨﺖْ ﻣﻌﻪُ .....

“Dan Sunnah (dalam permasalahan ini): Melakukan Qunut pada shalat Shubuh menurut kami setiap waktu. Inilah yang dikatakan Malik, al-Auza’i, ibnu Abi Laila, al-Husain bin Shalih, dan diriwayatkan oleh asy-Syafi’i dari khalifah yang empat, dan Anas. Adapun ats-Tsauri, Abu Haniifah dan sahabat-sahabatnya berpendapat: Qunut tidak di Sunnahkan dalam shalat Shubuh. Diriwayatkan hal itu dari ibnu ‘Abbas, ibnu ‘Umar, ibnu Mas’ud, dan Abud-Darda’. Abu Yusuf berkata: “Apabila imam melakukan Qunut….maka Qunutlah bersamanya….”
(Al-Bayaan fii Madzhab asy-Syafi’i, 2/242-243).

Abul-Hasan al-Mardawi berkata ketika menerangkan posisi madzhab Ahmad bin Hanbal rahimahullah:

ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ : ﺃﻧﻪ ﻳﻜﺮﻩ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻛﻐﻴﺮﻫﺎ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﻭﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺟﻴﺰ : ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ . ﻗﻠﺖ : ﺍﻟﻨﺺ ﺍﻟﻮﺍﺭﺩ ﻋﻦ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻣﺤﺘﻤﻞ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ ﻭﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ

“Yang shahih dari madzhab: Bahwasannya Ahmad
memakruhkan Qunut diwaktu shalat Shubuh sebagaimana (kemakruhan melakukan Qunut) selain shalat witir. Inilah pendapat jumhur. Dan ia berkata dalam al-Wajiiz: ‘Tidak boleh melakukan Qunut dalam shalat Shubuh’. Aku berkata: "Nash yang ada dari al-Imam Ahmad: "tidak boleh Qunut dalam shalat Shubuh’ dibawa pada pengertian makruh tahrim".
(Al-Inshaf fii Ma’rifati-Rajih minal-Khilaf ‘ala Madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal , 2/174).

Ahmad Syakir rahimahullah berkata saat menyanggah perkataan Thariq bin Asyyam bahwasannya Qunut Shubuh adalah muhdats:

ﺛﺒﺖ ﻓﻲ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﺻﺤﻴﺤﺔ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺒﺢ، ﻭﻣﻦ ﺣﻔﻆ ﺣﺠﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺤﻔﻆ . ﻭﺍﻟﻤﺜﺒﺖ ﻣﻘﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺎﻓﻲ . ﻭﻫﻮ ﻧﻔﻞ ﻻ ﻭﺍﺟﺐ . ﻓﻤﻦ ﺗﺮﻛﻪ ﻓﻼ ﺑﺄﺱ، ﻭﻣﻦ ﻓﻌﻠﻪ ﻓﻬﻮ ﺃﻓﻀﻞ .

“Telah tetap dalam hadits-hadits shahih tentang (masyru’-nya) Qunut pada shalat Shubuh. Orang yang hapal merupakan hujjah bagi orang yang tidak hapal. Yang menetapkan lebih didahulukan dari yang meniadakan. Barangsiapa yang meninggalkannya, tidak mengapa. Dan barangsiapa yang mengerjakannya, maka itu afdhal (lebih utama)”.
(Syarh Sunan at-Tirmidzi, 2/252).

Menilik perkataan al-Imam Ahmad Syakir diatas, dan juga para ulama mutaqaddimin, memang benar ada beberapa hadits yang dianggap sebagai hujjah masyru’-nya (bolehnya) Qunut Shubuh secara terus-menerus. Diantaranya Apa yang telah dijadikan hujjah oleh madzhab Syafi’iyyah dan yang lainnya dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, sebagaimana dinukil oleh Abul-Husain asy-Syafi’i al-Yamani rahimahullah adalah hadits berikut ini:

ﻭﺣﺪﺛﻨﻲ ﻋﻤﺮﻭ ﺍﻟﻨﺎﻗﺪ ﻭﺯﻫﻴﺮ ﺑﻦ ﺣﺮﺏ . ﻗﺎﻻ : ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺇﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ﻋﻦ ﺃﻳﻮﺏ، ﻋﻦ ﻣﺤﻤﺪ . ﻗﺎﻝ : ﻗﻠﺖ ﻷﻧﺲ : ﻫﻞ ﻗﻨﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺼﺒﺢ؟ ﻗﺎﻝ : ﻧﻌﻢ . ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ ﻳﺴﻴﺮﺍ .

"Dan telah menceritakan kepadaku Amru an-Naqid dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami Isma'il, dari Ayyub, dari Muhammad, ia berkata: Aku bertanya kepada Anas: “Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan Qunut pada shalat Shubuh ?”. - Ia menjawab: “Benar, sebentar setelah rukuk”.
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 677 [298]. Diriwayatkan juga oleh al-Bukhari no. 1001, ibnu Majah no. 1184, Abu Dawud no. 1444, dan yang lainnya).

Akan tetapi, mari kita perhatikan jalan periwayatan yang lainnya dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu:

Riwayat pertama:

ﻭﺣﺪﺛﻨﻲ ﻋﺒﻴﺪﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻣﻌﺎﺫ ﺍﻟﻌﻨﺒﺮﻱ ﻭﺃﺑﻮ ﻛﺮﻳﺐ ﻭﺇﺳﺤﺎﻕ ﺑﻦ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ . ﻭﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪﺍﻷﻋﻠﻰ ‏( ﻭﺍﻟﻠﻔﻆ ﻻﺑﻦ ﻣﻌﺎﺫ ‏) ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺮ ﺑﻦ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ، ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻣﺠﻠﺰ، ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ : ﻗﻨﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺷﻬﺮﺍ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ . ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺼﺒﺢ . ﻳﺪﻋﻮ ﻋﻠﻰ ﺭﻋﻞ ﻭﺫﻛﻮﺍﻥ . ﻭﻳﻘﻮﻝ "ﻋﺼﻴﺔ ﻋﺼﺖ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ."

"Dan telah menceritakan kepadaku Ubaidullah bin Mu’adz al-Anbari, Abu Kuraib, Ishaq bin Ibrahim, Muhammad bin Abdil-A’la dan lafadzh hadits ini adalah milik ibnu Mu’adz: Telah menceritakan kepada kami al-Mu’tamir bin Sulaiman, dari ayahnya, dari Abu Mijlaz, dari Anas bin Malik: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan Qunut selama sebulan setelah rukuk dalam shalat Shubuh. Beliau mendo'akan keburukkan kepada Bani Ri’l, dan Bani Dzakwan, dan bersabda: “’Ushayyah telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”.
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 677 [299]. Diriwayatkan juga oleh al-Bukhari no. 1003:4094).

Riwayat kedua:

ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻤﺜﻨﻰ . ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪﺍﻟﺮﺣﻤﻦ . ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻫﺸﺎﻡ ﻋﻦ ﻗﺘﺎﺩﺓ، ﻋﻦ ﺃﻧﺲ؛ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﻨﺖ ﺷﻬﺮﺍ . ﻳﺪﻋﻮ ﻋﻠﻰ ﺃﺣﻴﺎﺀ ﻣﻦ ﺃﺣﻴﺎﺀ ﺍﻟﻌﺮﺏ . ﺛﻢ ﺗﺮﻛﻪ .

"Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna: Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman: Telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Qatadah, dari Anas: Bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan Qunut selama sebulan mendo'akan keburukkan kepada sebagian orang-orang Arab, kemudian beliau meninggalkannya”.
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 677 [304] Diriwayatkan pula oleh al-Bukhari no. 4089).

Riwayat ketiga:

ﺃﻧﺎ ﺃﺑﻮ ﻃﺎﻫﺮ ﻧﺎ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻧﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺮﺯﻭﻕ ﺍﻟﺒﺎﻫﻠﻲ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭﻱ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻋﺮﻭﺑﺔ ﻋﻦ ﻗﺘﺎﺩﺓ ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﺩﻋﺎ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﺃﻭ ﺩﻋﺎ ﻋﻠﻰ ﻗﻮﻡ

"Telah menceritakan kepada kami Abu Thahir: Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakar: Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Muhammad bin Marzuq al-Bahili: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdillah al-Anshari: Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Abi Arubah, dari Qatadah, dari Anas : Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan Qunut, kecuali jika mendo'akan kebaikan pada satu kaum atau mendo'akan keburukkan pada satu kaum”.
(Diriwayatkan oleh ibnu Khuzaimah no. 620; shahih).

Dari ketiga hadits diatas telah menjelaskan bahwa Qunut Shubuh yang dimaksudkan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu  adalah do'a Qunut Nazilah (Do'a disaat ada musibah/karena sebab mendo'akan kebaikan dan keburukan suatu kaum) karena peristiwa Ri’l Ma’unah. Itupun tidak dilakukan terus-menerus, karena hanya dilakukan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selama sebulan dan kemudian beliau tinggalkan.

Lalu apakah do'a Qunut tersebut hanya dilakukan khusus pada shalat Shubuh saja ?

Perhatikan riwayat-riwayat berikut:

ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠّﻪ ﺑﻦ ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ ﺍﻟﺠﻤﺤﻲ، ﺛﻨﺎ ﺛﺎﺑﺖ ﺑﻦ ﻳﺰﻳﺪ، ﻋﻦ ﻫﻼﻝ ﺑﻦ ﺧﺒﺎﺏ، ﻋﻦ ﻋﻜﺮﻣﺔ، ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻗﺎﻝ : ﻗَﻨَﺖَ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠّﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠّﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺷﻬﺮﺍً ﻣﺘﺘﺎﺑﻌﺎً ﻓﻲ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﻭﺍﻟﻌﺼﺮ ﻭﺍﻟﻤﻐﺮﺏ ﻭﺍﻟﻌﺸﺎﺀ ﻭﺻﻼﺓ ﺍﻟﺼﺒﺢ ﻓﻲ ﺩﺑﺮ ﻛﻞ ﺻﻼﺓ ﺇﺫﺍ ﻗﺎﻝ : " ﺳﻤﻊ ﺍﻟﻠّﻪ ﻟﻤﻦ ﺣﻤﺪﻩ " ﻣﻦ ﺍﻟﺮﻛﻌﺔ ﺍﻵﺧﺮﺓ ﻳﺪﻋﻮ ﻋﻠﻰ ﺃﺣﻴﺎﺀ ﻣﻦ ﺑﻨﻲ ﺳﻠﻴﻢ ﻋﻠﻰ ﺭﻋﻞٍ ﻭﺫﻛﻮﺍﻥ ﻭﻋﺼﻴﺔ، ﻭﻳﺆﻣّﻦ ﻣﻦ ﺧﻠﻔﻪ .

"Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Mu’awiyyah al-Jumahi: Telah menceritakan kepada kami Tsabit bin Yazid, dari Hilal bin Khabbab, dari Ikrimah, dari ibnu Abbas, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan penuh pada shalat Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’, dan Shubuh pada akhir setiap shalat, yaitu saat beliau berkata: "sami’Allaahu liman hamidah" diraka’at terakhir. Beliau mendo'akan kejelekan pada orang-orang Bani Sulaim, Bani Ri’l, Bani Dzakwan, dan Bani Ushayyah; serta diaminkan orang-orang yang dibelakang beliau (makmum)”.
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1443: hasan).

ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺛﻨﺎ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺛﻨﺎ ﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲ ﺣﺪﺛﻨﻲ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻛﺜﻴﺮ ﺣﺪﺛﻨﻲ ﺃﺑﻮ ﺳﻠﻤﺔ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ : ﻗﻨﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻌﺘﻤﺔ ﺷﻬﺮﺍ ﻳﻘﻮﻝ ﻓﻲ ﻗﻨﻮﺗﻪ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻧﺞ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻧﺞ ﺳﻠﻤﺔ ﺑﻦ ﻫﺸﺎﻡ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻧﺞ ﺍﻟﻤﺴﺘﻀﻌﻔﻴﻦ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺍﺷﺪﺩ ﻭﻃﺄﺗﻚ ﻋﻠﻰ ﻣﻀﺮ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺍﺟﻌﻠﻬﺎ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺳﻨﻴﻦ ﻛﺴﻨﻲ ﻳﻮﺳﻒ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻭﺃﺻﺒﺢ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺫﺍﺕ ﻳﻮﻡ ﻓﻠﻢ ﻳﺪﻉ ﻟﻬﻢ ﻓﺬﻛﺮﺕ ﺫﻟﻚ ﻟﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﻭﻣﺎ ﺗﺮﺍﻫﻢ ﻗﺪ ﻗﺪﻣﻮﺍ

"Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ibrahim: Telah menceritakan kepada kami al Walid: Telah menceritakan kepada kami al-Auza’i: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abi Katsir: Telah menceritakan kepadaku Abu Salamah bin Abdirrahman, dari Abu Hurairah: Bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan Qunut pada shalat ‘Atamah (Maghrib dan Isya’) selama sebulan dan berdo'a: “Ya Allah, selamatkanlah al-Walid bin al-Walid. Ya Allah, selamatkanlah Salamah bin Hisyam. Ya Allah, selamatkanlah orang-orang lemah dari kalangan mukminin. Ya Allah, keraskanlah tekanan (adzab) kepada Bani Mudlar. Ya Allah, jadikanlah hal itu terjadi atas mereka selama bertahun-tahun seperti pada masa Yusuf”. Abu Hurairah berkata: “Pada satu hari diwaktu Shubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lagi mendo'akan mereka. Maka aku pun menanyakan permasalahan itu pada beliau, lalu beliau bersabda: "Apa pendapatmu tentang mereka sementara mereka telah meninggal ?”.
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1442; shahih).

ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻤﺜﻨﻰ . ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﻌﺎﺫ ﺑﻦ ﻫﺸﺎﻡ . ﺣﺪﺛﻨﻲ ﺃﺑﻲ ﻋﻦ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻛﺜﻴﺮ . ﻗﺎﻝ : ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺳﻠﻤﺔ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ؛ ﺃﻧﻪ ﺳﻤﻊ ﺃﺑﺎ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻳﻘﻮﻝ : ﻭﺍﻟﻠﻪ ! ﻷﻗﺮﺑﻦ ﺑﻜﻢ ﺻﻼﺓ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ . ﻓﻜﺎﻥ ﺃﺑﻮ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻈﻬﺮ . ﻭﺍﻟﻌﺸﺎﺀ ﺍﻵﺧﺮﺓ . ﻭﺻﻼﺓ ﺍﻟﺼﺒﺢ . ﻭﻳﺪﻋﻮ ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﻴﻦ . ﻭﻳﻠﻌﻦ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ

"Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna: Telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam: Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Yahya bin Abi Katsir, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Salamah bin Abdirrahman, bahwasannya ia pernah mendengar Abu Hurairah berkata: “Demi Allah, sungguh aku akan dekatkan kalian dengan shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Maka Abu Hurairah melakukan Qunut pada shalat Dhuhur, Isya’ yang akhir, dan Shubuh dengan mendo'akan kebaikan bagi kaum muslimin dan melaknat orang-orang kafir”.
(Diriwayatkan oleh Muslim no. 676 [296]).

Dari ketiga riwayat diatas ini dengan jelas menunjukkan bahwa do'a Qunut beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak hanya dilakukan diwaktu shalat Shubuh, akan tetapi dilakukan pula pada waktu-waktu shalat yang lain, dalam rangka untuk mendo'akan kebaikan kaum muslimin dan melaknat kaum kafir.

Ringkasnya, tidak ada pendalilan untuk hadits Anas diatas sebagai hujjah masyru’-nya do'a Qunut pada shalat Shubuh secara terus-menerus secara khusus.

Tidak dipungkiri memang, bahwa ada riwayat yang juga dari Anas bin Malik radhiallahu lainnya yang menjadi hujjah masyru’-nya do'a Qunut pada shalat Shubuh secara terus-menerus, riwayat inipun dijadikan sandaran oleh pihak untuk melegalisasi akan masyru'nya amalan ini, berikut riwayat tersebut:

ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺯﺍﻕ ﻗﺎﻝ ﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺟﻌﻔﺮ ﻳﻌﻨﻲ ﺍﻟﺮﺍﺯﻱ ﻋﻦ ﺍﻟﺮﺑﻴﻊ ﺑﻦ ﺃﻧﺲ ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻗﺎﻝ ﻣﺎ ﺯﺍﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﺣﺘﻰ ﻓﺎﺭﻕ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ

"Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far, yaitu ar-Razi, dari ar-Rabi’ bin Anas, dari Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan Qunut diwaktu Shubuh hingga meninggal dunia”.
(Diriwayatkan oleh Ahmad 3/162, Diriwayatkan juga oleh Abdurrazzaq no. 4963, ad-Daruquthni 2/370-372 no. 1692-1694, ibnu Abi Syaibah 2/312, al-Bazzaar dalam Kasyful-Astar no. 556, ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil-Atsar 1/244, al-Baihaqi 2/201, al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah no. 639, al-Hazimi dalam al-I’tibar hal. 86, adl-Dliya’ dalam al-Mukhtarah no. 2128; semuanya dari jalan Abu Ja’far ar-Razi. Al-Baihaqi berkata: “Sanad hadits ini shahih, para perawinya tsiqah”).

Keterangan: Perkataannya al-Baihaqi ini layak untuk dicermati keabsahannya,karena status hadits ini adalah dha'if (lemah), bahkan riwayatnya "Munkar". Riwayat Abu Ja’far ar-Razi ini tidak diterima jika menyendiri atau menyelisihi riwayat para perawi tsiqat, karena jeleknya hapalannya. Dalam riwayat ad-Daruquthni dibawakan dengan lafadzh:

ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﻨﺖ ﺷﻬﺮﺍ ﻳﺪﻋﻮﺍ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺛﻢ ﺗﺮﻛﻪ ﻭﺃﻣﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺒﺢ ﻓﻠﻢ ﻳﺰﻝ ﻳﻘﻨﺖ ﺣﺘﻰ ﻓﺎﺭﻕ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ

“Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan Qunut selama sebulan untuk mendo'akan kejelekan pada mereka, kemudian meninggalkannya. Adapun untuk (Qunut) pada shalat Shubuh, maka beliau senantiasa melakukannya hingga meninggal dunia”.

Riwayat Anas bin Malik yang dibawakan Abu Ja’far ini menyelisihi riwayat yang telah disebutkan diatas dari Anas yang menyebutkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya Qunut Nazilah selama sebulan kemudian berhenti.
(HR. Al-Bukhari no. 4089 dan Muslim no. 677).

Anas pun memberi kesaksian bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan do'a Qunut Shubuh kecuali do'a Qunut Nazilah untuk mendo'akan kebaikan atau keburukkan pada satu kaum.
(HR. Ibnu Khuzaimah no. 620).

Apalagi dalam hadits shahih riwayat dari ibnu Khuzaimah no. 619, bahwa ibnu Abbas telah menguatkan kesaksian tersebut. Oleh karena itu, riwayatnya dari Anas bin Malik yang dibawakan dari Abu Ja’far disini adalah riwayat yang "Munkar".

Ar-Rabi’ bin Anas mempunyai mutaba’ah dari:

1. Al-Hasan al-Bashri.

ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺩﺍﻭﺩ ﻗﺎﻝ : ﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻣﻌﻤﺮ، ﻗﺎﻝ : ﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻮﺍﺭﺙ، ﻗﺎﻝ : ﺛﻨﺎ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﻋﺒﻴﺪ، ﻋﻦ ﺍﻟﺤﺴﻦ، ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ : ﺻﻠﻴﺖ ﻣﻊ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻠﻢ ﻳﺰﻝ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻐﺪﺍﺓ، ﺣﺘﻰ ﻓﺎﺭﻗﺘﻪ، ﻭﺻﻠﻴﺖ ﻣﻊ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻓﻠﻢ ﻳﺰﻝ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻐﺪﺍﺓ ﺣﺘﻰ ﻓﺎﺭﻗﺘﻪ .

"Telah menceritakan kepada kami ibnu Abi Dawud, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdul Warits, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Amru bin Ubaid, dari al-Hasan, dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka beliau senantiasa Qunut pada shalat Shubuh hingga meninggal dunia. Dan aku pun pernah shalat bersama 'Umar bin al-Khathab radhiallahu ‘anhuma, maka ia senantiasa Qunut pada shalat Shubuh hingga meninggal dunia”.
(Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil-Atsar, 1/243. Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi 2/202 dan ad-Daruquthni 2/372-373 no. 1695-1698).

Keterangan: Amru bin Ubaid at-Tamimi al-Bashri al-Mu’tazili menjadi penyakit utama dalam sanad hadits ini. Ia seorang yang "Matruk' sebagaimana yang dikatakan oleh Amru bin Ali dan Abu Hatim. Bahkan, Yunus bin Ubaid mengatakan ia telah memalsukan hadits. Humaid mengatakan Amru bin Ubaid at-Tamimi al-Bashri al-Mu’tazili ini telah memalsukan hadits dari al-Hasan al-Bashri. Mu’adz bin Mu’adz dan Ayyub mengatakan ia adalah seorang "Pendusta". Dan yang lainnya banyak sekali celaan dar para muhaddits (ahli hadits) terhadapnya dengan celaan-celaan yang berat.
(Selengkapnya lihat dalam: Tahdzibut-Tahdzib, 8/70-75 no. 108).

Kemudian riwayat dari Anas bin Malik lainnya yang menjadi sandaran untuk do'a Qunut Shubuh telah dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani dalam silsilah hadits adh Dha'ifah Wa Maudhu’ah no. 1238 hal. 384. Anas bin Malik radhiallahu 'anhu pernah berkata :

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan senantiasa Qunut Shubuh sampai beliau menuinggal dunia.”

Syaikh Hasan Mashur Salman mengomentari hadits ini yang bersumber dari Abu Ja’far ar Razi yang tercampur hafalannya, sebagaimana dikatakan oleh ibnu al-Madini begitu pula Abu Jur’ah beliau juga menyatakan Abu Ja’far Ar Razi adalah seorang yang sering ragu (wahm), dan ibnu Hibban berujar:”Abu Ja’far Ar Razi bersendirian dalam meriwayatkan hadits-hadits mungkar, yang masyhur sehingga derajat hadits ini tidak shahih, dengan demikian hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah untuk beribadah kepada Allah ta'ala.
(Lihat al-Qaulul Mubin fi Akhthaul Mushallin:127).

Maka, riwayat ini tidak layak untuk dijadikan hujjah untuk mereka yang membolehkan do'a Qunut Shubuh, karena haditsnya dha'iffun jiddan (sangat lemah), bahkan haditnya Maudhu' (palsu).

Ada jalur lain yang dibawakan oleh ad-Daruquthni [2/373 no. 1698] dari Isma’il al-Makki dari al-Hasan, dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu sebagai berikut:

ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺑﻦ ﺣﻤﺎﺩ ﺛﻨﺎ ﻋﺒﺎﺩ ﺑﻦ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺛﻨﺎ ﻗﺮﻳﺶ ﺑﻦ ﺃﻧﺲ ﺛﻨﺎ ﺇﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ﺍﻟﻤﻜﻲ ﻭﻋﻤﺮﻭ ﻋﻦ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﻗﺎﻝ : ﻗﺎﻝ ﻟﻲ ﺃﻧﺲ ﻗﻨﺖ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻣﻊ ﻋﻤﺮ ﺣﺘﻰ ﻓﺎﺭﻗﺘﻬﻤﺎ

"Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin
Hammad: Telah menceritakan kepada kami Abbad bin al-Walid: Telah menceritakan kepada kami Quraisy bin Anas: Telah menceritakan kepada kami Isma’il al-Makki dan Amru, dari al-Hasan, ia berkata: Telah berkata kepadaku Anas: “Aku melakukan Qunut bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersama Umar hingga keduanya berpisah denganku (meninggal dunia)”.
(Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi 2/202 dari jalan Quraisy bin Anas yang selanjutnya seperti riwayat ad-Daruquthni).

Keterangan: Hadits ini dha'iffun jiddan (sangat lemah), karena faktor dari Isma’il al-Makki.

Riwayat lain dari Abu Qatadah radhiallahu 'anhu disebutkan:

ﺃﺧﺒﺮﻧﺎ ﺃﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺛﻨﺎ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺣﻤﺸﺎﺫ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﻭﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻌﻨﺒﺮﻱ ﻗﺎﻻ ﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺍﻟﻌﺒﺪﻱ ﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﻨﻔﻴﻠﻲ ﺛﻨﺎ ﺧﻠﻴﺪ ﺑﻦ ﺩﻋﻠﺞ ﻋﻦ ﻗﺘﺎﺩﺓ ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﻨﺖ ﻭﺧﻠﻒ ﻋﻤﺮ ﻓﻘﻨﺖ ﻭﺧﻠﻒ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﻓﻘﻨﺖ

"Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Abdillah al-Hafidh: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hamasyadz al-‘Adl dan Yahya bin Muhammad bin Abdillah al-Anbari, mereka berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah Muhammad bin Ibrahim al-Abdi: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad an-Nufaili: Telah menceritakan kepada kami Khalid bin Dal’aj, dari Qatadah, dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, ia berkata: “Aku pernah shalat dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau melakukan Qunut. Dibelakang 'Umar ia Qunut, dan dibelakang Utsman, iapun Qunut”.
(Diriwayatkan oleh al-Baihaqi 2/202).

Keterangan: Hadits ini dha'if (lemah) lagi Munkar. Penyakitnya ada pada Khalid bin Dal’aj, ia seorang yang dha’if, ia yang meriwayatkan beberapa hadits munkar dari Qatadah. Dan ini sebagian diantaranya. Selain itu, riwayat Anas yang menyatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafaur Rasyidin setelah melakukan Qunut Shubuh secara terus-menerus sangat nyata bertentangan dengan persaksian Thariq bin Asyyam bin Mas’ud al-Asyja’i (yang disebutkan diawal bahasan) bahwasannya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan Qunut Shubuh (secara terus-menerus), dan hal itu berjalan hingga kekhalifahan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu .

Seorang Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang bernama Thariq bin Asyyam bin Mas'ud al-Asyja'i ayahanda Abu Malik Sa'd al-Asyja'i radhiallahu 'anhu dengan tegas dan tandas mengatakan bahwa: "Qunut Shubuh adalah BID'AH".

PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG QUNUT SHUBUH TERUS MENERUS.

[1]. Imam ibnul Mubarak rahimahullah berpendapat tidak ada Qunut dishalat Shubuh.

[2]. Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata: Qunut Shubuh (terus-menerus itu) dilarang.
(Lihat dalam Subulus Salam [I/378])

[3]. Abul Hasan al-Kurajiy asy-Syafi'i rahimahullah (wafat th. 532 H), beliau tidak mengerjakan Qunut Shubuh. Dan ketika ditanya: "Mengapa demikian?". Beliau menjawab: "Tidak ada satu pun hadits yang shahih tentang masalah Qunut Shubuh".
(Lihat dalam silsilatul Ahaadits adh-Dha'ifah wal Maudhu’ah [II/388]).

[4]. Imam ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah berkata: "Tidak ada sama sekali petunjuk dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau telah mengerjakan do'a Qunut Shubuh terus-menerus. Bahkan Jumhur (sepakat) ulama berkata: "Tidaklah Qunut Shubuh ini dikerjakan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan tidak ada satupun dalil yang sah yang menerangkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam mengerjakan yang demikian".
(Lihat Zaadul Ma'ad [I/271 : 283], tahqiq: Syuaib al-Arnauth dan Abdul Qadir al-Arnauth).

[5]. Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata: "Qunut Shubuh tidak disyari'atkan kecuali bila ada Nazilah (musibah) itupun dilakukan dalam shalat lima waktu, dan bukan hanya diwaktu shalat Shubuh saja. Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, ibnul Mubarak, Sufyan ats-Tsauri dan Ishaq, mereka semua tidak melakukan Qunut Shubuh.
(Lihat Fiqhus Sunnah [I/167-168]).

PENJELASAN TENTANG PENDAPAT MEREKA YANG MENSUNNAHKANNYA.

Sebagian orang ada yang mengatakan: Madzhab kami berpendapat Sunnah ber-Qunut pada shalat Shubuh, baik ada Nazilah ataupun tidak ada Nazilah.

Namun apabila diperhatikan, maka kita dapat mengetahui bahwa yang melatar belakangi pendapat demikian adalah karena anggapan mereka tentang adanya hadits Qunut Shubuh secara terus-menerus. Akan tetapi setelah diadakan penelitian oleh para ulama ahli hadits, ternyata hadits-hadits yang menyebutkan masyru'-nya Qunut Shubuh ini ternyata semuanya banyak kecacatan, artinya hadits tersebut semuanya berstatus dha'if (lemah) bahkan haditsnya Maudhu' (palsu).

Kemungkinan besar, mereka belum mengetahui ini karena belum sampainya berita kepada mereka tentang kecacatan hadits-hadits tersebut. Namun kendati ada ulama yang me-masyru’kan Qunut ini bukan berarti kemudian kita harus menentang, meremehkan atau menolak pendapatnya hanya karena berbeda pendapat dengan kita.

Permasalahan ini sudah masyhur adalah soal khilaf dikalangan para ulama, jika ada disebagian ulama yang bertentangan dengan pendapat kita karena berdasarkan kita mengambil pendapat dari ulama yang lain, dalam hal ini janganlah kita sampai fanatik dengan pendapat yang kita yakini, kemudian kita meremehkan pendapat ulama yang berseberangan dengan kita, akan tetapi kita tetap harus menghormati, menjunjung tinggi dan menghargai atas segala usaha serta jerih payah mereka para ulama yang telah berjuang berdakwah demi menegakkan tauhid dimuka bumi ini, dan kita tetap patut beryukur dan bangga memiliki ulama seperti mereka yang memiliki ilmu begitu luas yang tiada tandingannya diabad ini, semua itu tiada lain demi untuk menuntun kita sebagai umat muslim ke arah jalan agama yang lurus, agar tidak tersesat dari jalan Allah dan Rasul-Nya. Semoga mereka para ulama ini berkumpul bersama para Nabi dan Rasul serta bersama para sahabat dan orang-orang shalih lainya dalam surganya Allah subhanahu wa ta’ala.

Selanjutnya dalam perkara ini, harus dipahami bahwa mereka ulama tetaplah ulama yang hanya manusia biasa, siapapun dia, sebab sifat manusia itu bisa benar dan bisa salah, ada yang bisa diambil pendapatnya dan yang ditolak, katena semua umat ini tidak ada yang ma’shum (lepas dari kesalahan) kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam Malik rahimahullah:

ﻟﻴﺲ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺧﻠﻖ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻻ ﻭﻳﺆﺧﺬ ﻣﻦ ﻗﻮﻟﻪ ﻭﺗﺮﻙ ﺇﻻ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ

“Tidak ada seorangpun setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kecuali perkataannya itu ada yang diambil dan ada yang ditinggalkan, kecuali Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam“.
(Ibnu Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayanil-‘Ilmi wa Fadhlihi juz II, hal. 111-112).

Tentang ketidak ma'shuman ini al-Imam Malik rahimahullah mengungkapkan bahwa beliau juga bisa keliru dan bisa benar dengan mengatakan:

ﺇﻧﻤﺎ ﺃﻧﺎ ﺑﺸﺮ ﺃﺧﻄﺊ ﻭﺃﺻﻴﺐ، ﻓﺎﻧﻈﺮﻭﺍ ﻓﻲ ﺭﺃﻳﻲ؛ ﻓﻜﻞ ﻣﺎ ﻭﺍﻓﻖ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ؛ ﻓﺨﺬﻭﻩ، ﻭﻛﻞ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻮﺍﻓﻖ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ؛ ﻓﺎﺗﺮﻛﻮﻩ

“Aku ini hanya seorang manusia biasa, yang kadang salah dan kadang benar. Maka cermatilah setiap pendapatku, jika sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah.”
(Diriwayatkan ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jami' 2/32, ibnu Hazm dalam Ushul al-Ahkam 6/149. Dinukil dari ashl Sifah Shalatin Nabi,27).

Bahkan seorang sahabat Ali bin Abi Thaalib radhiallahu ‘anhu sendiri disebutkan pernah mengatakan tentang ketidak ma'shuman dirinya dengan mengatakan:

ﻓﻼ ﺗﻜﻔﺮﻭﺍ ﻋﻦ ﻣﻘﺎﻟﺔ ﺑﺤﻖ، ﺃﻭ ﻣﺸﻮﺭﺓ ﺑﻌﺪﻝ، ﻓﺈﻧِّﻲ ﻟﺴﺖ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻲ ﺑﻔﻮﻕ ﺃﻥ ﺃﺧﻄﺊ، ﻭﻻ ﺁﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﻓﻌﻠﻲ، ﺇﻟَّﺎ ﺃﻥ ﻳﻜﻔﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﻧﻔﺴﻲ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺃﻣﻠﻚ ﺑﻪ ﻣﻨِّﻲ

“Janganlah kamu berhenti dari mengatakan kebenaran, atau bermusyawarah dengan adil. Sebab aku pada diriku tidak terbebas dari kesalahan dan aku tidak menjamin hal itu dari perbuatanku, kecuali bila Allah mencukupkan dari diriku sesuatu yang Dia lebih memilikinya daripadaku”.
(Nahjul-Balaaghah, hal 485: Daarul-Ma’rifah, Beirut).

Dan al-Imam asy-Syafi'i (lahirkan tahun 150 H dan wafat tahun 204 H) sangat memahami hal ini, sehingga beliau termasuk ulama yang paling banyak memberikan nasehat kepada umat ini untuk tidak taqlid (mengikuti) kepada pendapat siapapun termasuk kepada beliau jika pendapatnya ada yang bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau menganjurkan kepada umatnya untuk tidak berpedoman dengan pendapatnya tersebut, dan menyarankan untuk tetap berpedoman hanya kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Berikut petikan beberapa perkataan beliau:

ﺇِﺫَﺍ ﻭَﺟَﺪْﺗُﻢْ ﻓِﻲ ﻛِﺘَﺎﺑِﻲ ﺧِﻼَﻑَ ﺳُﻨَّﺔِ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﺑِﺴُﻨَّﺔِ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺩَﻋُﻮﺍ ﻣَﺎ ﻗُﻠْﺖُ - ﻭﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ - ﻓَﺎﺗَّﺒِﻌُﻮﻫَﺎ ﻭَﻻَ ﺗَﻠْﺘَﻔِﺘُﻮﺍ ﺇِﻟﻰَ ﻗَﻮْﻝِ ﺃَﺣَﺪٍ. ) ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻓﻲ. ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ 1 / 63

"Apabila kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, maka sampaikanlah Sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku". – dan dalam riwayat lain Imam asy-Syafi’i mengatakan: "Maka ikutilah Sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang".
(Lihat al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab 1/63).

Al-Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata:

ﻋِﻨْﺪَ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟﻨَّﻘْﻞِ ﺑِﺨِﻼَﻑِ ﻣَﺎ ﻗُﻠْﺖُ ﻓَﺄَﻧﺎَ ﺭَﺍﺟِﻊٌ ﻋَﻨْﻬَﺎ e ﻛُﻞُّ ﻣَﺴْﺄَﻟَﺔٍِ ﺻَﺢَّ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﺍﻟْﺨَﺒَﺮُ ﻋَﻦْ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪ (ﻓِﻲ ﺣَﻴَﺎﺗِﻲ ﻭَﺑَﻌْﺪَ ﻣَﻮْﺗِﻲ) ﺃﺑﻮ ﻧﻌﻴﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻠﻴﺔ 9 /107

"Setiap masalah yang disana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku".
(Lihat Hilyatul Auliya’ 9/107).

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

ﻛُﻞُّ ﻣَﺎ ﻗُﻠْﺖُ ﻓَﻜَﺎﻥَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺧِﻼَﻑُ ﻗَﻮْﻟِﻲْ ﻣِﻤَّﺎ ﻳَﺼِﺢُّ ﻓَﺤَﺪِﻳْﺚُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺃَﻭْﻟَﻰ، ﻓَﻼَ ﺗُﻘَﻠِّﺪُﻭْﻧِﻲ

“Setiap dari perkataanku, kemudian ada riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi perkataanku, maka hadits Nabi (harus) diutamakan. Maka janganlah kalian taqlid (mengikuti) kepadaku”.
(Diriwayatkan oleh ibnu Abi Hatim dalam Adab asy-Syafi’i [hal. 93], ibnu Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in [IV/45-46], Abu Nu’aim dan ibnu Asakir [XV/9/2] dengan sanad yang shahih. Lihat juga Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, [hal. 52] ).

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

ﺃﺟﻤﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﻦ ﺍﺳﺘﺒﺎﻧﺖ ﻟﻪ ﺳﻨﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﺪﻋﻬﺎ ﻟﻘﻮﻝ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ

“Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya Sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak boleh ia meninggalkan Sunnah demi membela pendapat siapapun”.
(Diriwayatkan oleh ibnul Qayyim dalam al-I’lam 2/361. Dinukil dari ashl Sifah Shalatin Nabi , 28).

Al-Imam asy-Syafi'i Rahimahullah berkata:

ﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﺃَﺣَﺪٍ ﺇِﻻَّ ﻭَﺗَﺬْﻫَﺐُ ﻋَﻠَﻴﻪِ ﺳُﻨَّﺔٌ ﻟِﺮَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺗَﻌْﺰُﺏُ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﻤَﻬْﻤَﺎ ﻗُﻠْﺖُ ﻣِﻦْ ﻗَﻮْﻝٍ ﺃَﻭْ ﺃَﺻَّﻠْﺖُ ﻣِﻦْ ﺃَﺻْﻞٍ, ﻓِﻴْﻪِ ﻋَﻦْ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻟِﺨِﻼَﻑِ ﻣَﺎ ﻗُﻠْﺖُ ﻓَﺎﻟْﻘَﻮْﻝُ ﻣَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﻫُﻮَ ﻗَﻮْﻟِﻲ ) ﺗﺎﺭﻳﺦ
ﺩﻣﺸﻖ ﻻﺑﻦ ﻋﺴﺎﻛﺮ 15 / 389 )

"Tidak ada seorang pun melainkan pasti ada sebagian Sunnah Rasulullah yang luput dari pengetahuannya. Maka perkataan apa pun yang pernah kukatakan, atau kaidah apa pun yang kuletakkan, sedang disana ada hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang bertentangan dengan pendapatku, maka pendapat yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Rasulullah, dan itulah pendapatku".
(Lihat: Tarikh Dimasyq, 15/389 oleh ibnu Asakir).

Al-Imam asy-Syafi'i Rahimahullah berkata:

ﺇِﺫَﺍ ﺻَﺢَّ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚُ ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﺬْﻫَﺒِﻲ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺻَﺢَّ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳْﺚُ ﻓَﺎﺿْﺮِﺑُﻮﺍ
ﺑِﻘَﻮْﻟِﻲ ﺍﻟْﺤَﺎﺋِﻂَ ) ﺳﻴﺮ ﺃﻋﻼﻡ ﺍﻟﻨﺒﻼﺀ ( 3285-3/3284 )

"Kalau ada hadits shahih, maka itulah madzhabku, dan kalau ada hadits shahih maka lemparkanlah pendapatku ke (balik) tembok".
(Lihat Siyar A’laamin Nubala’3/3284-3285).

Begitupun para Imam-imam yang lain juga mengungkapkan hal yang sama untuk tidak taqlid (mengikuti) kepada pendapat siapapun termasuk kepada pendapat beliau, seperti yang diungkapkan oleh al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, beliau berkata:

ﻻ ﺗﻘﻠﺪﻧﻲ، ﻭﻻ ﺗﻘﻠﺪ ﻣﺎﻟﻜﺎً، ﻭﻻ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ، ﻭﻻ ﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲ، ﻭﻻ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ، ﻭﺧﺬ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﺃﺧﺬﻭﺍ

“Jangan taqlid (mengikuti) kepada pendapatku, juga pendapat Malik, asy-Syafi’i, al-Auza’i maupun ats Tsauri. Tapi ambilah dari mana mereka mengambil (dalil)”.
(Diriwayatkan oleh ibnul Qayyim dalam al-I’lam 2/302. Dinukil dari ashl Sifah Shalatin Nabi, 32).

Dan masih banyak lagi pernyataan-pernyatan para ulama lainnya.

Dengan menilik perkataan para ulama diatas,  jelas bahwa mereka para ulama sendiri mengakui atas segala keterbatasan mereka, sehingga mereka menuntun kita agar dalam segala perkara ibadah harus tetap merujuk kepada tuntunannya al-Qur'an dan Sunnahnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Oleh sebab itu, begitu pentingnya ittiba' ini sehingga para ulama tiada henti-hentinya berwasiat kepada seluruh umat muslim dimuka bumi ini untuk tetap patuh hanya kepada Allah dan mentaati perintah Rasul-Nya dan kita diperintahkan untuk selalu mencermati setiap mengambil pendapat dari siapapun, karena mereka para ulama tidak ingin umat muslim ini tergelincir oleh hal-hal yang jauh dari ajaran agama.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ: “ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻧَﻔْﺲُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻟَﻮْ ﺑَﺪَﺍ ﻟَﻜُﻢْ ﻣُﻮْﺳَﻰ ﺛُﻢَّ ﺍﺗَّﺒَﻌْﺘُﻤُﻮْﻩُ ﻭَﺗَﺮَﻛْﺘُﻤُﻮْﻧِﻲْ ﻟَﻀَﻠَﻠْﺘُﻢْ ﻋَﻦْ ﺳَﻮَﺍﺀِ ﺍﻟﺴَّﺒِﻴْﻞِ ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﺣَﻴًّﺎ ﻭَﺃَﺩْﺭَﻙَ ﻧُﺒُﻮَّﺗِﻲْ ﻻَﺗَّﺒَﻌَﻨِﻲْ ”.

"Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya,
seandainya Musa hadir ditengah kalian lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, maka sungguh kalian telah tersesat dari jalan yang lurus., Kiranya Musa hidup dan menjumpai kenabianku, dia pasti mengikutiku".
(HR. Ad-Darimi dalam Sunannya [441] dan Ahmad [3/471, 4/466] Lihat al-Misykah [177] hasan oleh Syaikh al-Albani).

Maksudnya apabila kita meninggalkan Sunnahnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu kita mengikuti Nabi Musa alaihi salam, yang jelas adalah seorang Nabi mulia yang pernah diajak bicara langsung oleh Allah ta'ala, maka kita akan tersesat dari jalan yang lurus. Lantas bagaimana apabila kita meninggalkan Sunnah Nabi lalu mengikuti para kyai, tokoh agama, ustadz, mubaligh, cendekiawan dan sebagainya yang sangat jauh bila dibandingkan dengan Nabi Musa alaihi salam ?
(Lihat kitab Muqaddimah Bidayatus Suul hal. 6 oleh Syaikh al-Albani).

Dan dalam riwayat lain disebutkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ﻟَﻮْ ﺃَﻥَّ ﻣُﻮْﺳَﻰ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻛَﺎﻥَ ﺣَﻴًّﺎ ﻣَﺎ ﻭَﺳِﻌَﻪُ ﺇِﻻَّ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَّﺒِﻌَﻨِﻲْ

“Andaikan Musa hidup, tentunya tidak mungkin baginya, kecuali harus mengikutiku”.
(HR. Ahmad dalam al-Musnad (3/387), ad-Darimi dalam as-Sunan [1/115], ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah [5/2], ibnu Abdil Barr dalam al-Jami’ Bayan al-I'lm [2/42], dan lainnya. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’ [1589]).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ﺃﻣﺘﻬﻮﻛﻮﻥ ﺃﻧﺘﻢ ﻛﻤﺎ ﺗﻬﻮﻛﺖ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻭﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ؟ ﻟﻘﺪ ﺟﺌﺘﻜﻢ ﺑﻬﺎ ﺑﻴﻀﺎﺀ ﻧﻘﻴﺔ ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻣﻮﺳﻰ ﺣﻴﺎ ﻣﺎ ﻭﺳﻌﻪ ﺇﻻ ﺍﺗﺒﺎﻋﻲ

“Apakah kalian orang-orang yang bimbang seperti bimbangnya Yahudi dan Nashara ? Sungguh aku telah membawakan kalian syari'at yang putih dan bersih. Jika seandainya Musa alaihis salam hidup sekarang ini, maka tidak dibolehkan baginya melainkan dia harus mengikuti aku”.
(HR.Ahmad, Baihaqi dalam kitab syu’abul iman, dan dihasankan Syaikh al-Albani dalam al-misykaah).

Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan:

“Mayoritas orang-orang fanatik mazdhab tidak mendalami al-Qur’an dan as-Sunnah kecuali hanya segelintir orang saja. Sandaran mereka hanyalah hadits-hadits lemah, pendapat-pendapat rapuh atau hikayat-hikayat dari para tokoh ulama yang bisa jadi benar dan bisa jadi bohong."
(Majmu’ Fatawa 22/254).

QUNUT NAZILAH.

Qunut Nazilah adalah do'a Qunut yang dikerjakan ketika datang musibah atau kesulitan yang menimpa kaum Muslimin, seperti peperangan, terbunuhnya kaum Muslimin atau diserangnya kaum Muslimin oleh orang-orang kafir. Begitupun ketika ada musibah bencana lainnya seperti musim penyakit yang berbahaya, bencana alam dan lain-lain.

Selain itu Qunut Nazilah ini dilakukan untuk mendo'akan kebaikan atau kemenangan bagi kaum Muslimin dan mendo'akan keburukan atau kekalahan, kehancuran dan kebinasaan bagi orang-orang kafir, Musyrikin dan selainnya yang memerangi kaum Muslimin, Dan do'a Qunut Nazilah ini jika dilakukan pada saat-saat seperti tersebut diatas, maka hukumnya adalah Sunnah, itupun dilakukan bukan hanya didalam shalat Shubuh saja, tapi dilakukan juga disetiap shalat lima waktu. Untuk pelaksanaannya do'a Qunut Nazilah dilakukan sesudah ruku' diraka'at terakhir pada shalat wajib lima waktu, dan hal ini telah dilakukan oleh para Imam atau Ulil Amri.

Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata: Ahmad (bin Hanbal) dan Ishaq bin Rahawaih telah berkata:

"Tidak ada Qunut dalam shalat Fajar (Shubuh) kecuali bila terjadi Nazilah (musibah) yang menimpa kaum Muslimin. Maka, apabila telah terjadi sesuatu, hendaklah Imam (yakni imam kaum Muslimin atau Ulil Amri) mendo'akan kemenangan bagi tentara-tentara kaum Muslimin".

Imam an-Nawawi rahimahullah memberikan bab didalam Syarah Muslim dari Kitabul Masaajid, bab. 54: Istihbabul Qunut fii Jami’ish Shalawat idza Nazalat bil Muslimin Nazilah (bab diSunnahkan Qunut pada Semua shalat (yang lima waktu) apabila ada musibah yang menimpa kaum Muslimin.

KESIMPULAN.

Hadits-hadits tersebut diatas mengkhabarkan pada kita bahwa do'a Qunut pada waktu shalat Shubuh yang dilakukan secara terus-menerus sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin sekarang ini adalah suatu amalan yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga tidak pernah dilakukan diera al-Khulafaur Rasyidin dan setelahnya. Intinnya dari uraian diatas bahwa bacaan do'a Qunut yang dikhususkan dalam shalat Shubuh terus-menerus adalah Bid'ah.
(Silahkan lihat permasalahan ini dalam Tafsir al-Qurthuby 4/200-201, al-Mughny 2/575-576, al-Inshaf 2/173, Syarh Ma’any al-Atsar 1/241-254, al-Ifshah 1/323, al-Majmu’ 3/483-485, Hasyiyah ar-Raud al-Murbi’ : 2/197-198, Nailul Author 2/155-158 [Cet. Darul Kalim ath Thoyyib], al-Majmu’ al-Fatawa 22/104-111 dan Zadul Ma’ad 1/271-285).

Seandainya memang perbuatan itu dicontohkan, sudah pasti Thariq bin Asyyam bin Mas’ud al-Asyja’i radhiallahu ‘anhu akan memberikan kesaksian lain sebagaimana riwayat diatas. Jika kita menggunakan bahasa riwayat, maka Qunut Shubuh secara terus-menerus dalam shalat Shubuh tanpa sebab adalah perkara Muhdats atau Bid’ah.

Ada satu pelajaran penting bagi kita semua bahwa khilaf permasalahan ini telah ada, minimal sejak era tabi’iin. Karena tidak mungkin riwayat dari Abu Malik al-Asy’ja’i bertanya kepada ayahnya tentang Qunut yang dilakukan manusia secara terus menerus pada shalat Shubuh jika ia sendiri tidak menyaksikannya atau mendengarnya.

Kemudian satu hal lagi yang tidak kalah penting dalam perkara do'a Qunut ini, yaitu mengenai bacaannya atau lafadzhnya, karena ada sebuah  kekeliruan dalam prakteknya, dimana banyak kita dengar dari orang-orang yang membaca do'a Qunut Shubuh ini seperti "ALLAHUMMADINI FIMAA HADAIT...dan seterusnya, inilah sebuah kekeliruan, entahlah dari mana asal mula lafadz ini digunakan untuk shalat Shubuh sehingga begitu populer dan merebak dan menjadi kebiasaan dibaca  oleh umat muslim sekarang, apalagi bagi masyarakat awam yang tidak mengerti ilmu agama, tentu mereka akan menganggap bahwa bacaan seperti sudah benar berdasarkan dari apa yang telah mereka lihat dan mereka dengar dari turun temurun, apalagi yang melakukan itu adalah seorang ustad atau kyai, tentu akan menambah keyakinan mereka untuk membenarkan adannya bacaan Qunut seperti ini.

Lalu pertanyaannya, apakah ada bacaan khusus untuk do'a Qunut Nazilah ini ?

Untuk diketahui bahwa lafadzh "ALLAHUMMAADIINI FIMAAN HADAIT...dan seterusnya ini tidak terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya menggunakan do'a tersebut selain untuk shalat Witir. Tidak pula terdapat satupun riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi ber-Qunut dengan bacaan do'a tersebut, baik pada shalat Shubuh maupun dalam shalat yang lain. Lafadzh do'a Qunut dengan menggunakan do'a tersebut dishalat shubuh sama sekali tidak ada dasarnya dari Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena lafadzh do'a itu adalah bacaan untuk do'a Qunut shalat Witir. Sedangkan untuk shalat Shubuh itu sendiri dilakukan seperti shalat biasa yang tidak ada bacaan  do'a-do'a khusus sebagaimana dalam shalat yang lima waktu. Adapun untuk bacaan do'a Qunut Nazilah, ini juga tidak ada lafadzh atau bacaan tertentu melainkan dibaca sesuai bahasa yang kita pahami dan disesuikan dengan keadaan musibah yang terjadi, seperti ada sebab yang terkait dengan kaum muslimin secara umum. Misalnya ada bencana wabah penyakit yang menimpa kaum muslimin maka kaum muslimin disyari'atkan untuk ber-Qunut pada semua shalat wajib, termasuk didalamnya shalat Shubuh, agar Allah menghilangkan bencana dari kaum muslimin.

Selanjutnya dalam permasalahan khilaf ini baik mereka yang berpendapat masyru’-nya Qunut Shubuh atau yang tidak tetaplah saling menjaga ukhuwah atas perbedaan ini. Bagi mereka yang berpendapat masyru’-nya Qunut Shubuh, maka tidak perlu mencela kepada mereka yang mengatakan bahwa Qunut Shubuh yang dilakukan terus menerus adalah perbuatan muhdats atau Bid’ah, karena pihak yang berseberangan dengan mereka itu tentu telah memiliki landasan ilmu yang kuat dengan menggunakan sebaik-baik lafadzh yang diriwayatkan secara shahih dari para sahabat radhiallahu ‘anhu.

Sebaliknya, bagi pihak yang berpendapat Qunut Shubuh itu tidak masyru' atau perkara itu adalah muhdast atau Bid'ah, maka ia tidak perlu memaksakan pendapatnya untuk diaminkan pihak lain. Dan keduanya tidak perlu memisahkan diri dari jama’ah, lalu membuat jama’ah baru karena merasa imam yang ada melakukan sesuatu yang berlainan dengan apa yang diperbuatnya. Semuanya ini masih dalam ruang khilaf ijtihadiyyah yang ditoleransi dan diperbolehkan, walau kewajiban setiap kaum muslimin mengambil apa yang dianggapnya kuat menurut kadar pengetahuan yang dimilikinya.

Namun mirisnya, tidak sedikit kita jumpai ditengah masyarakat muslim sekarang yang masih fanatik atas apa yang ia dapati dari petunjuk orang lain tanpa dasar ilmu, mereka taqlid buta (mengekor tanpa landasan)) yaitu mengada-ada atau membuat aturan-aturan atau tata cara sendiri dalam beribadah, misalnya ketika ada pihak yang biasa shalat ber-Qunut kemudian ia terjebak menjadi makmum lalu ia ikut shalat berjamaah bersama imam yang kebetulan tidak ber-Qunut, kemudian begitu selesai berjamaah itu mereka mengulangi lagi shalat Shubuhnya tersebut, karena ia menganggap bahwa shalat shubuhnya itu terasa belum afdhal jika tanpa do'a Qunut, bahkan yang lebih parahnya lagi disebagian mereka ada yang melakukan sujud sahwi...na'uzubillahimin dzaliq....semoga pihak yang berbuat demikian mendapatkan petunjuk serta rahmatnya Allah ta'ala.

Inilah fenomena yang terjadi dizaman ini, sebuah realita yang memprihatinkan, mereka melakukannya tanpa rasa berdosa, benarlah apa yang dikatakan oleh seorang pakar ahli hadits KH. Makhrus Ali dari Sidoarjo yang dulu mantan kyai NU (begitu beliau menjuluki dirinya) kini beliau mendapat hidayah dengan hijrah kepengajian Salaf (Ahlu Sunnah waljamaah) yaitu kembali ke ajaran Islam yang murni, dalam sebuah buku beliau yang diberi judul "SESAT TANPA SADAR" dan perbuatan dari pihak yang membuat aturan-aturan ibadah sendiri ini termasuk salah satunya.

Sesungguhnya perbuatan yang seperti ini sangat tidak dibenarkan dalam Islam, karena tidak ada tauladannya atau contohnya dari baginda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari para sahabat. Padahal shalat Shubuh itu yang disyari'atkan hanya sekali dalam sehari. Jika shalatnya diulang artinya shalat Shubuh itu menjadi dua kali sehari, jadi shalat yang kedua ini adalah bathil atau tertolak, selain itu bahwa shalat fardhu maupun yang Sunnah sudah ada waktu-waktunya tersendiri yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya tanpa boleh menambah atau menguranginya, baik aturan waktu, bacaan maupun tata caranya. Begitupun sujud sahwi ini sudah ada syarat dan ketentuannya yaitu hanya boleh dilakukan karena sebab kelupaan dalam menghitung jumlah shalat rakaat selain sebab itu tidak disyari'atkan.

Oleh karena itu sesuatu perkara ibadah dalam agama ini haruslah tegak diatas dalil dengan mengikuti petunjuknya al-Qur'an dan Sunnah yang shahih, artinya sesuatu perbuatan ibadah dalam agama ini jika tidak ada tuntunannya maka ibadah tidak bermanfaat apa-apa dan sia-sia belaka, bahkan bukannya pahala yang didapat tapi justru sebaliknya yaitu musibah atau sebuah penyimpangan yang amat sesat dan penyimpangan ini jelas ancamannya adalah neraka, dalil yang menunjukkan ini adalah:

Dalam riwayat an Nasa’i dikatakan:

ﻭَﻛُﻞَّ ﺿَﻼَﻟَﺔٍ ﻓِﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ

“Setiap kesesatan tempatnya dineraka”.
(HR. An Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan shahih oleh Syaikh al-Albani diShahih wa Dha’if Sunan an Nasa’i ).

Diriwayatkan dari al ‘Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:

“Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini bergemetar (takut)”. Lalu ada yang mengatakan:

ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻛَﺄَﻥَّ ﻫَﺬِﻩِ ﻣَﻮْﻋِﻈَﺔُ ﻣُﻮَﺩِّﻉٍ ﻓَﻤَﺎﺫَﺍ ﺗَﻌْﻬَﺪُ ﺇِﻟَﻴْﻨَﺎ

“Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami ?”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ﺃُﻭﺻِﻴﻜُﻢْ ﺑِﺘَﻘْﻮَﻯ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟﺴَّﻤْﻊِ ﻭَﺍﻟﻄَّﺎﻋَﺔِ ﻭَﺇِﻥْ ﻋَﺒْﺪًﺍ ﺣَﺒَﺸِﻴًّﺎ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻣَﻦْ ﻳَﻌِﺶْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺑَﻌْﺪِﻯ ﻓَﺴَﻴَﺮَﻯ ﺍﺧْﺘِﻼَﻓًﺎ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﺴُﻨَّﺘِﻰ ﻭَﺳُﻨَّﺔِ ﺍﻟْﺨُﻠَﻔَﺎﺀِ ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻳِّﻴﻦَ ﺍﻟﺮَّﺍﺷِﺪِﻳﻦَ ﺗَﻤَﺴَّﻜُﻮﺍ ﺑِﻬَﺎ ﻭَﻋَﻀُّﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺑِﺎﻟﻨَّﻮَﺍﺟِﺬِ ﻭَﺇِﻳَّﺎﻛُﻢْ ﻭَﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺕِ ﺍﻷُﻣُﻮﺭِ ﻓَﺈِﻥَّ ﻛُﻞَّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup diantara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk.
Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.
(HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Daud dan Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ﺃَﻧَﺎ ﻓَﺮَﻃُﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺤَﻮْﺽِ ، ﻟَﻴُﺮْﻓَﻌَﻦَّ ﺇِﻟَﻰَّ ﺭِﺟَﺎﻝٌ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺣَﺘَّﻰ ﺇِﺫَﺍ ﺃَﻫْﻮَﻳْﺖُ ﻷُﻧَﺎﻭِﻟَﻬُﻢُ ﺍﺧْﺘُﻠِﺠُﻮﺍ ﺩُﻭﻧِﻰ ﻓَﺄَﻗُﻮﻝُ ﺃَﻯْ ﺭَﺏِّ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑِﻰ . ﻳَﻘُﻮﻝُ ﻻَ ﺗَﺪْﺭِﻯ ﻣَﺎ ﺃَﺣْﺪَﺛُﻮﺍ ﺑَﻌْﺪَﻙَ

“Aku akan mendahului kalian di al-haudh (telaga). Dinampakkan dihadapanku beberapa orang diantara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al-haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman: "Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang telah mereka perbuat sesudahmu“.
(HR. Bukhari no. 7049).

Dalam riwayat lain dikatakan:

ﺇِﻧَّﻬُﻢْ ﻣِﻨِّﻰ . ﻓَﻴُﻘَﺎﻝُ ﺇِﻧَّﻚَ ﻻَ ﺗَﺪْﺭِﻯ ﻣَﺎ ﺑَﺪَّﻟُﻮﺍ ﺑَﻌْﺪَﻙَ ﻓَﺄَﻗُﻮﻝُ ﺳُﺤْﻘًﺎ ﺳُﺤْﻘًﺎ ﻟِﻤَﻦْ ﺑَﺪَّﻝَ ﺑَﻌْﺪِﻯ

“ (Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman: ‘"Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu".  Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan: “Celaka, celaka..bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.”
(HR. Bukhari no. 7051).

Begitu juga semua ibadah yang tanpa ada contoh atau tuntunannya ini tidak bermanfaat dan sia-sia bahkan tertolak sebagaimana  Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻓِﻰ ﺃَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan agama ini yang tidak ada asalnya dari kami, maka perkara tersebut tertolak”.
(HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718).

Dari 'Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻼً ﻟَﻴْﺲَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﻣْﺮُﻧَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan dalam agama ini yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak”.
(HR. Muslim no. 1718).

Dan dari Abdullah bin 'Umar radhiallahu ‘anhuma berkata:

 ﻋَﻦْ ﺍﺑﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ، ﻗَﺎﻝَ : ﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ ﻭَﺇِﻥْ ﺭَﺁﻫَﺎﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺣَﺴَﻨَﺔً

“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia memandangnya baik.”
(Riwayat Al-Lalika-i fii syarah Ushuul I’tiqaad Ahlissunnah wal jama'ah 1/104 no.126 dan Li Ibni Baththah,1/219,Asy-Syamilah-'Ukbari dalam Al-Ibaanah no.205)

Intinya dalam permasalahan ini yang terbaik adalah ikuti sebagaimana shalatnya imam sampai selesai  inilah yang terpuji dan lebih afdhal, dan tidak perlu dikedua belah pihak sengaja mencari-cari jamaah yang khusus shalat Shubuhnya tidak ber-Qunut, atau mencari yang khusus ber-Qunut, karena yang ber-Qunut maupun tidak ber-Qunut shalat keduanya tetap sah dan bernilai pahala.

Dalam pembahasan ini kami hanya mengambil pendapat yang rajih bahwa Qunut yang dilakukan terus-menerus dalam shalat Shubuh adalah Bid'ah, sebagaimana dalil-dalil diatas dan ada tambahan dalil lain diantaranya:

1. Dari ibnu ‘Umar ibnu al-Khathab radhiallahu 'anhuma:

ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﻣِﺠْﻠَﺰِ ﻗَﺎﻝَ : “ ﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﻣَﻊَ ﺍِﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﺻَﻼَﺓَ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢِ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ .” ﻓَﻘُﻠْﺖُ : “ﺁﻟﻜِﺒَﺮُ ﻳَﻤْﻨَﻌُﻚَ ,” ﻗَﺎﻝَ : “ﻣَﺎ ﺃَﺣْﻔَﻈُﻪُ ﻋَﻦْ ﺃَﺣَﺪٍ ﻣِﻦْ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑِﻲْ ”.

“Dari Abu Mijlaz beliau berkata: Aku shalat bersama ibnu ‘Umar shalat Shubuh lalu beliau tidak Qunut. Lalu aku bertanya: apakah lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya). Beliau berkata: Aku tidak menghafal hal tersebut dari para sahabatku”.
(Dikeluarkan oleh ath-Thahawi 1\246, Al-Baihaqi 2\213 dan ath-Thabarani sebagaimana dalam Majma’ az-Zawa’id 2\137 dan al-Haitsami berkata: ”rawi-rawinya tsiqah”).

2. Hadits dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu:

ﻗَﻨَﺖَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺷَﻬْﺮًﺍ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﺮُّﻛُﻮﻉِ ﻓِﻲ ﺻَﻠَﺎﺓِ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢِ ﻳَﺪْﻋُﻮ ﻋَﻠَﻰ ﺭِﻋْﻞٍ، ﻭَﺫَﻛْﻮَﺍﻥَ، ﻭَﻳَﻘُﻮﻝُ : ﻋُﺼَﻴَّﺔُ ﻋَﺼَﺖِ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟَﻪُ

“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berdo'a Qunut selama sebulan penuh, beliau mendo'akan keburukan terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta Ushayyah yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya”.
(HR. Bukhari 1003, Muslim 677).

Dalam riwayat Imam al-Bukhari diceritakan, ketika itu terjadi pengkhianatan dari suku Ri’lan, Dzakwan dan Ushayyah. Mereka membantai 70 sahabat Nabi dari kaum Anshar.

3. Hadits dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:

“Selama sebulan penuh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam setelah membaca " ﺳﻤﻊ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟِﻤَﻦْ ﺣَﻤِﺪَﻩُ " pada raka’at terakhir dari shalat Isya' beliau membaca do'a Qunut:

ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻧْﺞِ ﻋَﻴَّﺎﺵَ ﺑْﻦَ ﺃَﺑِﻲ ﺭَﺑِﻴﻌَﺔَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻧْﺞِ ﺍﻟْﻮَﻟِﻴﺪَ ﺑْﻦَ ﺍﻟْﻮَﻟِﻴﺪِ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻧْﺞِ ﺳَﻠَﻤَﺔَ ﺑْﻦَ ﻫِﺸَﺎﻡٍ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻧْﺞِ ﺍﻟْﻤُﺴْﺘَﻀْﻌَﻔِﻴﻦَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺷْﺪُﺩْ ﻭَﻃْﺄَﺗَﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﻀَﺮَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺟْﻌَﻠْﻬَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﺳِﻨِﻴﻦَ ﻛَﺴِﻨِﻲ ﻳُﻮﺳُﻒَ

"Ya Allah, tolonglah Ayyash bin Abi Rabi’ah. Ya Allah, tolonglah Walid bin al-Walid. Ya Allah, tolonglah Salamah bin Hisyam. Ya Allah, tolonglah orang-orang lemah dari kaum.mu’minin. Ya, Allah sempitkanlah jalan-Mu atas orang-orang yang durhaka. Ya Allah, jadikanlah tahun-tahun yang mereka lewati seperti tahun-tahun paceklik yang dilewati Yusuf“.
(HR. Bukhari 1006, 2932, 3386).

4. Hadits dari Abu Malik al-Asyja-’i:

ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻴﻪِ ﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺧَﻠْﻒَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ ، ﻭَﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺧَﻠْﻒَ ﺃَﺑِﻲ ﺑَﻜْﺮٍ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ ، ﻭَﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺧَﻠْﻒَ ﻋُﻤَﺮَ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ ، ﻭَﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺧَﻠْﻒَ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥَ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ ﻭَﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺧَﻠْﻒَ ﻋَﻠِﻲٍّ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﻘْﻨُﺖْ ، ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ ﻳَﺎ ﺑُﻨَﻲَّ ﺇﻧَّﻬَﺎ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ { ﺭَﻭَﺍﻩُ ﺍﻟﻨَّﺴَﺎﺋِﻲّ ﻭَﺍﺑْﻦُ ﻣَﺎﺟَﻪْ ﻭَﺍﻟﺘِّﺮْﻣِﺬِﻱُّ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺣَﺪِﻳﺚٌ ﺣَﺴَﻦٌ ﺻَﺤِﻴﺢٌ

“Dari ayahku, ia berkata: "Aku pernah shalat menjadi makmum Nabi shallallahu’alaihi wa sallam namun ia tidak membaca qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Abu Bakar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum 'Umar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Utsman namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Ali namun ia tidak membaca Qunut. Wahai anakku ketahuilah itu perkara bid’ah”.
(HR. Nasa-i, ibnu Majah, at Tirmidzi. 330. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”).

Kemudian Atsar ibnu 'Umar dari Abul Sya’sya’, dalam Mushannaf Abdirrazzaq [4954] dengan sanad shahih Dari Abi Mijlaz ia berkata:

ﺳﺄﻟﺖ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻓﻘﺎﻝ : ﻣﺎ ﺷﻌﺮﺕ ﺍﻥ ﺍﺣﺪﺍ ﻳﻔﻌﻠﻪ

“Aku bertanya kepada ibnu 'Umar tentang Qunut diwaktu Shubuh. Ia berkata: "Aku rasa tidak ada seorang pun (sahabat) yang melakukannya”.
(Lihat Mafatihul Fiqh, 106. Atsar ini telah diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi didalam kitab Sunanul Kubra [II/213] dengan sanad yang hasan, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syaikh Syuaib al-Arnauth dalam tahqiq beliau atas kitab Zaadul Ma’ad [I/272]).

Juga Atsar dari ibnu Mas’ud dalam Mushannaf Abdirrazzaq [4949] dengan sanad shahih yang menyatakan bahwa beliau tidak pernah membaca Qunut ketika shalat Shubuh.
(Mafatihul Fiqh,106).

Jika ditelaah hadits-hadits praktek dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam membaca Qunut, umumnya berkaitan dengan musibah. Ibnul Qayyim berkata: “Petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam berdo'a Qunut adalah mengkhususkannya hanya pada saat terjadi musibah dan tidak melakukannya jika tidak ada musibah. Selain itu tidak mengkhususkan pada shalat Shubuh saja, walaupun memang beliau paling sering melakukan pada shalat Shubuh”.
(Zaadul Ma’ad 273/1).

Syaikh Abdul Qadir Syaibatul Hamdi juga menjelaskan bahwa perkataan sahabat tentang Qunut Shubuh itu muhdats (hanya diada-adakan) apabila Qunut shubuh itu dilakukan secara terus-menerus, adapun jika dilakukan pada kejadian-kejadian tertentu (QUNUT NAWAZIL/Musibah) maka tidak apa-apa.
(Lihat Fiqhul Islam 1/263).

Pendapat ini dipegang oleh Sufyan ats Tsauri, Imam Abu Hanifah, al-Laits, pendapat terakhir Imam Ahmad, ibnu Syabramah, Imam ibnul Qayyim al Jauziyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Syaikh Mubarak Fury menjelasakn tentang QUNUT NAWAZIL ini dilakukan pada kejadian-kejadian tertentu karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hanya melakukan QUNUT NAWAZIL jika mendo'akan kebaikan bagi kaum muslimin dan mendo'akan kejelekan bagi kaum kafirin. Demikian juga Qunut ini tidak dikhususkan untuk satu shalat saja, bahkan sebaiknya dilakukan didalam shalat maktubah (shalat wajib) seluruhnya.
(Lihat dalam Taudihul Ahkam : 2/83).

Meskipun pendapat yang rajih (kuat) bahwa perkara Qunut Shubuh adalah perkara muhdast atau bid'ah, namun disini kita ambil saja jalur tengah, bahwa perkara ini adalah perkara yang luas dan longgar berdasarkan khilafiyyah dari para ulama, dan ini tergolong khilafiyyah yang ditoleransi yang diperbolehkan. Dari uraian diatas bukanlah semata-mata untuk memvonis bahwa untuk yang tidak ber-Qunut itu salah, tapi ini hanya sekedar tambahan ilmu agar bisa jadi bahan pertimbangan yang mana harus jadi acuan untuk kita , jadi silahkan menurut keyakinan kita mana yang harus dipegang diantara keduanya, dan tetap saling menjaga kerukunan sesama umat muslim.

Demikian semoga ini bermanfaat.

BACAAN DZIKIR SETELAH SHALAT YANG SESUAI TUNTUNAN RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM.

BACAAN DZIKIR SETELAH SELESAI SHALAT FARDHU YANG SESUAI SUNNAH RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM.

Sudah menjadi suatu kebiasaan bahwa umumnya bacaan dzikir-dzikir setelah shalat fardhu ini sangat beragam, lain tempat atau daerah lain pula bacaannya, bahkan parahnya lagi begitu selesai salam disebagian imam ada yang langsung mengucapkan "Alfhatihah" kemudian diiringi oleh makmum secara berjamaah dengan hitungan-hitungan tertentu yang tidak diketahui sumbernya. Padahal bacaan dzikir-dzikir seperti ini sesungguhnya tidak pernah dibaca dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat maupun oleh para Imam madzhab yang empat. Artinya bacaan tersebut hanya mengada-ada, asal menurutnya baik dengan mengikuti selera hawa nafsu.

Disini akan dipaparkan mengenai tata cara berdzikir serta bacaan dzikir yang sesuai tuntunan dalam syari'at, terutama bacaan dzikir setelah selesai shalat fardhu, insya Allah untuk mengemban amanah ini tanpa ditambah ataupun dikurangi, disini akan disertakan pula berikut dalil-dalil shahih sebagai penguatnya.

Berikut zdikir-zdikir yang diSunnahkan itu:

Setelah selesai salam dalam shalat fardhu hendaknya membaca ﺍﺳﺘﻐﻔﺎﺭ (istigfar) yaitu ﺃﺳﺘﻐﻔﺮ ﺍﻟﻠﻪ (Astaghfirullah) artinya: "Kami mohon ampun kepada Allah yang maha agung" sebanyak tiga kali. kemudian dilanjutkan dengan mengucapkan:

ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَ ﺃَﻧْﺖَ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡُ ﻭَﻣِﻨْﻚَ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡُ ﺗَﺒَﺎﺭَﻛْﺖَ ﻳَﺎ ﺫَﺍ ﺍﻟْﺠَﻠَﺎﻝِ ﻭَﺍﻟْﺈِﻛْﺮَﺍﻡِ

"Allahumma antas salaam wa minkas salaam tabaarakta yaa dzal jalaali wal ikraam".

Artinya: “Ya Allah, Engkau maha sejahtera, dan dari-Mu kesejahteraan. Maha berkah Engkau, wahai Rabb pemilik ke agungan dan ke muliaan”.
(HR.Muslim no.591).

Perlu diperhatikan bahwa lafadz "Astaghfirullah" tidak ada tambahan lafadz "hald 'adzim" dan lafadz dzikir diatas juga tidak boleh ditambah dengan kata-kata:

ﻭَﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻳَﻌُﻮْﺩُ ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻓَﺤَﻴِّﻨَﺎ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﺑِﺎﻟﺴَّﻼَﻡِ ﻭَﺃَﺩْﺧِﻠْﻨَﺎ ﺩَﺍﺭَ ﺍﻟﺴَّﻼّﻡِ

"Wailaiyka ya'uwdhussalam fahayina rabbana bissalam waadkhilna darussalaam"

Hal itu dikarenakan lafadz tersebut tidak berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(Lihat: Misykatul Mashabih,1:303, Hasyiyah ath-Thahawi ‘alal Maraqiy,2:311).

Sebagaimana hadits shahih berikut ini:

ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺩَﺍﻭُﺩُ ﺑْﻦُ ﺭُﺷَﻴْﺪٍ، ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺍﻟْﻮَﻟِﻴﺪُ، ﻋَﻦِ ﺍﻷَﻭْﺯَﺍﻋِﻲِّ، ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻋَﻤَّﺎﺭٍ ﺍﺳْﻤُﻪُ ﺷَﺪَّﺍﺩُ ﺑْﻦُ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ، ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﺃَﺳْﻤَﺎﺀَ، ﻋَﻦْ ﺛَﻮْﺑَﺎﻥَ، ﻗَﺎﻝَ : " ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺇِﺫَﺍ ﺍﻧْﺼَﺮَﻑَ ﻣِﻦْ ﺻَﻠَﺎﺗِﻪِ، ﺍﺳْﺘَﻐْﻔَﺮَ ﺛَﻠَﺎﺛًﺎ، ﻭَﻗَﺎﻝَ : " ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡُ، ﻭَﻣِﻨْﻚَ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡُ، ﺗَﺒَﺎﺭَﻛْﺖَ ﺫَﺍ ﺍﻟْﺠَﻠَﺎﻝِ ﻭَﺍﻹِﻛْﺮَﺍﻡِ " ، ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻮَﻟِﻴﺪُ : ﻓَﻘُﻠْﺖُ ﻟِﻸَﻭْﺯَﺍﻋِﻲِّ، ﻛَﻴْﻒَ ﺍﻟْﺎﺳْﺘِﻐْﻔَﺎﺭُ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺗَﻘُﻮﻝُ : ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُ ﺍﻟﻠَّﻪَ، ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُ ﺍﻟﻠَّﻪَ

"Telah menceritakan kepada kami Daawud bin Rusyaid: Telah menceritakan kepada kami al-Waliid, dari al-Auzaa’i, dari Abu Ammaar–namanya adalah Syaddaad bin Abdillah, dari Abu Asmaa’, dari Tsaubaan, ia berkata: “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila selesai dari shalatnya, beliau beristighfar tiga kali, lalu membaca: Allahumma antas-salaam wa minkas-salaam tabaarakta dzal-jalaali wal-ikraam" ("Ya Allah, Engkaulah as-Salaam (keselamatan) dan dari-Mu-lah keselamatan, Maha suci Engkau wahai sang pemilik ke agungan dan ke muliaan"). Al-Walid berkata: Aku bertanya kepada al-Auzaa’i: “Bagaimana bacaan istighfar itu ?” - Ia berkata: “Katakanlah: "Astaghfirullaah, Astaghfirullaah”.
(Diriwayatkan oleh Muslim no.591).

Dan dalam hal bacaan ini al-Imam asy-Syaikh ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya: "Apakah bacaan dzikir hamdalah kemudian (membaca) Allahumma antas-salaam wa minkas-salaam, ahyainaa rabbanaa bis-salaam… dan seterusnya. merupakan Sunnah ?". Maka beliau menjawab:

ﺍﻟﺬﻱ ﻗﺎﻟﻪ ﺻﺎﺣﺒﻚ ﻫﻮ ﺍﻟﺼﻮﺍﺏ، ﻓﻘﺪ ﺛﺒﺖ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ ﺛﻮﺑﺎﻥ - ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ - ﻗﺎﻝ : ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺇﺫﺍ ﺍﻧﺼﺮﻑ ﻣﻦ ﺻﻼﺗﻪ، ﻳﻌﻨﻲ ﺇﺫﺍ ﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﺻﻼﺗﻪ ﻗﺎﻝ : ﺃﺳﺘﻐﻔﺮ ﺍﻟﻠﻪ، ﺛﻼﺛﺎً، ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺃﻧﺖ ﺍﻟﺴﻼﻡ، ﻭﻣﻨﻚ ﺍﻟﺴﻼﻡ، ﺗﺒﺎﺭﻛﺖ ﻳﺎ ﺫﺍ ﺍﻟﺠﻼﻝ ﻭﺍﻹﻛﺮﺍﻡ . ﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﺸﺮﻭﻉ . ﺃﻣﺎ ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﻭﻗﻮﻝ : ﺃﺣﻴﻴﻨﺎ ﺑﺎﻟﺴﻼﻡ ، ﻭﻣﺎ ﺫﻛﺮﺗﻪ ﻓﻲ ﻛﻼﻣﻚ ﻫﺬﺍ ﻻ ﺃﺻﻞ ﻟﻪ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺴﻼﻡ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻤﺸﺮﻭﻉ ﻣﺎ ﻗﺎﻟﻪ ﺻﺎﺣﺒﻚ : ﺃﺳﺘﻐﻔﺮ ﺍﻟﻠﻪ، ﺃﺳﺘﻐﻔﺮ ﺍﻟﻠﻪ، ﺃﺳﺘﻐﻔﺮ ﺍﻟﻠﻪ، ﺛﻢ ﺗﻘﻮﻝ : ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺃﻧﺖ ﺍﻟﺴﻼﻡ، ﻭﻣﻨﻚ ﺍﻟﺴﻼﻡ، ﺗﺒﺎﺭﻛﺖ ﻳﺎ ﺫﺍ ﺍﻟﺠﻼﻝ ﻭﺍﻹﻛﺮﺍﻡ، ﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﺴﻨﺔ . ﻭﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻘﺎﺋﻞ ﺇﻣﺎﻣﺎً ﺍﻧﺼﺮﻑ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ، ﺑﻌﺪ ﻗﻮﻟﻪ : ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺃﻧﺖ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻭﻣﻨﻚ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﺗﺒﺎﺭﻛﺖ ﻳﺎ ﺫﺍ ﺍﻟﺠﻼﻝ ﻭﺍﻹﻛﺮﺍﻡ .....

“Telah sah riwayat dalam Shahih Muslim, dari Tsauban radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya apabila selesai dari shalatnya, yaitu jika telah mengucapkan salam dalam shalatnya beliau shallallahu 'alaihi wa sallam membaca: Astaghfirullah, tiga kali, Allaahumma antas salaam wa minkas salaam tabaarakta dzal-jalaali wal ikraam. Inilah yang disyari’atkan. Adapun ucapan Alhamdulillah, ucapan wa ahyainaa bis-salaam, dan apa yang engkau sebutkan dalam perkataanmu itu tidak ada asalnya (dalam Sunnah) untuk diucapkan setelah salam. Yang diSyari’atkan hanyalah yang dikatakan temanmu: Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah, kemudian membaca: Allaahumma antas-salaam wa minkas-salaam tabaarakta dzal-jalaali wal ikraam. Inilah yang diSunnahkan. Apabila yang mengucapkannya adalah imam, maka ia berpaling ke arah makmum setelah hal itu, yaitu setelah bacaannya: Allaahumma antas-salaam wa minkas-salaam tabaarakta dzal-jalaali wal-ikraam …."
(Lihat: http://www.binbaz.org.sa/mat/11521).

Kemudian setelah itu mengucapkan:

ﻟَﺎ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﻟَﺎ ﺷَﺮِﻳﻚَ ﻟَﻪُ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﻤُﻠْﻚُ ﻭَﻟَﻪُ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻭَﻫُﻮَ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻗَﺪِﻳﺮٌ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻟَﺎ ﻣَﺎﻧِﻊَ ﻟِﻤَﺎ ﺃَﻋْﻄَﻴْﺖَ ﻭَﻟَﺎ ﻣُﻌْﻄِﻲَ ﻟِﻤَﺎ ﻣَﻨَﻌْﺖَ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﻨْﻔَﻊُ ﺫَﺍ ﺍﻟْﺠَﺪِّ ﻣِﻨْﻚَ ﺍﻟْﺠَﺪُّ

"Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qadiir. Allahumma laa maani’a lima a’thaita wa laa mu’thiya limaa mana’ta wa laa yanfau dzal jaddi minkal jaddu".

Artinya: “Tidak ada sembahan yang berhak disembah melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan dan pujian. Dia Maha kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang mampu mencegah sesuatu yang telah Engkau berikan dan tidak ada yang mampu memberi sesuatu yang Engkau cegah. Tidak bermanfaat kekayaan dan kemuliaan itu bagi pemiliknya untuk (menebus) siksaan-Mu”.
(HR.Bukhari,no.6862 dan Muslim no.593,an-Nasa’i no.1341).

Setelah itu bisa mengucapkan: Tasbih ﺳﺒﺤﺎﻥ ﺍﻟﻠﻪ (Subhanallah), Tahmid ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ (Alhamdulillah), dan Takbir ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻛﺒﺮ (Allahu akbar) sebanyak tiga puluh tiga kali (33 X), kemudian menyempurnakannya sehingga genap menjadi seratus dengan mengucapkan:

ﻟَﺎ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﻟَﺎ ﺷَﺮِﻳﻚَ ﻟَﻪُ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﻤُﻠْﻚُ ﻭَﻟَﻪُ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻭَﻫُﻮَ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻗَﺪِﻳﺮٌ

"Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah. Lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qadiir".

Artinya: “Tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan dan pujian. Dia Maha kuasa atas segala sesuatu”.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim rahimahullah dan dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ﻣَﻦْ ﺳَﺒَّﺢَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻓِﻲ ﺩُﺑُﺮِ ﻛُﻞِّ ﺻَﻠَﺎﺓٍ ﺛَﻠَﺎﺛًﺎ ﻭَﺛَﻠَﺎﺛِﻴﻦَ ﻭَﺣَﻤِﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺛَﻠَﺎﺛًﺎ ﻭَﺛَﻠَﺎﺛِﻴﻦَ ﻭَﻛَﺒَّﺮَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺛَﻠَﺎﺛًﺎ ﻭَﺛَﻠَﺎﺛِﻴﻦَ ﻓَﺘْﻠِﻚَ ﺗِﺴْﻌَﺔٌ ﻭَﺗِﺴْﻌُﻮﻥَ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺗَﻤَﺎﻡَ ﺍﻟْﻤِﺎﺋَﺔِ ﻟَﺎ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﻟَﺎ ﺷَﺮِﻳﻚَ ﻟَﻪُ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﻤُﻠْﻚُ
ﻭَﻟَﻪُ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻭَﻫُﻮَ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻗَﺪِﻳﺮٌ ﻏُﻔِﺮَﺕْ ﺧَﻄَﺎﻳَﺎﻩُ ﻭَﺇِﻥْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻣِﺜْﻞَ ﺯَﺑَﺪِ ﺍﻟْﺒَﺤْﺮِ

“Barang siapa yang bertasbih, bertahmid, dan bertakbir sebanyak tiga puluh tiga kali setelah melaksanakan shalat fardhu sehingga berjumlah sembilan puluh sembilan kemudian menggenapkannya untuk yang ke seratus dengan ucapan:

 “ ﻟَﺎ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﻟَﺎ ﺷَﺮِﻳﻚَ ﻟَﻪُ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﻤُﻠْﻚُ ﻭَﻟَﻪُ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻭَﻫُﻮَ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻗَﺪِﻳﺮٌ ”

"Maka kesalahannya akan diampuni meskipun sebanyak buih dilautan”.
(HR.Muslim no.597).

Apabila ke adaan tidak memungkinkan untuk membaca lafadzh tasbih, tahmid, dan takbir masing-masing sebanyak tiga puluh tiga kali, bisa juga mengucapkan tasbih, takbir, dan tahmid sebanyak sepuluh kali. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Amru radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

ﺧَﻠَّﺘَﺎﻥِ ﻟَﺎ ﻳُﺤْﺼِﻴﻬِﻤَﺎ ﺭَﺟُﻞٌ ﻣُﺴْﻠِﻢٌ ﺇِﻟَّﺎ ﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﺃَﻟَﺎ ﻭَﻫُﻤَﺎ ﻳَﺴِﻴﺮٌ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﻌْﻤَﻞُ ﺑِﻬِﻤَﺎ ﻗَﻠِﻴﻞٌ ﻳُﺴَﺒِّﺢُ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻓِﻲ ﺩُﺑُﺮِ ﻛُﻞِّ ﺻَﻠَﺎﺓٍ ﻋَﺸْﺮًﺍ ﻭَﻳَﺤْﻤَﺪُﻩُ ﻋَﺸْﺮًﺍ ﻭَﻳُﻜَﺒِّﺮُﻩُ ﻋَﺸْﺮًﺍ

“Ada dua perkara, setiap muslim yang konsisten melakukannya akan masuk ke dalam surga. Ke duanya sangatlah mudah, namun sangat jarang yang mampu konsisten mengamalkannya. (Perkara yang pertama) adalah bertasbih, bertahmid, dan bertakbir masing-masing sebanyak sepuluh kali sesudah menunaikan shalat fardhu”.
(HR.Tirmidzi no.3410 dalam Shahihut Tirmidzi no.2714).

Kemudian membaca Ayat Kursi serta surat al-Ikhlash, al-Falaq, dan an-Naas.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ﻣَﻦْ ﻗَﺮَﺃَ ﺁﻳَﺔَ ﺍﻟْﻜُﺮْﺳِﻲ ﺩُﺑُﺮَ ﻛُﻞِّ ﺻَﻼَﺓٍ ﻣَﻜْﺘُﻮْﺑَﺔٍ ﻟَﻢْ ﻳَﻤْﻨَﻌْﻪُ ﻣِﻦْ ﺩُﺧُﻮْﻝِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﺇِﻻَّ ﺃَﻥْ ﻳَﻤُﻮْﺕَ

“Barang siapa yang membaca ayat Kursi setiap selesai menunaikan shalat fardhu (wajib), maka tidak ada yang menghalanginya masuk surga selain kematian”.
(HR.ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir no.7532, al-Jami’ush Shaghir wa Ziyadatuhu no.11410).

Uqbah bin Amir radhiallahu ‘anhu berkata:

ﺃَﻣَﺮَﻧِﻲ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃَﻥْ ﺃَﻗْﺮَﺃَ ﺑِﺎﻟْﻤُﻌَﻮِّﺫَﺍﺕِ ﺩُﺑُﺮَ ﻛُﻞِّ ﺻَﻠَﺎﺓٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku agar membaca surat al-Mu’awwidzat (al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Naas) setiap selesai menunaikan shalat”.
(HR.Abu Daud no.1523 dalam Shahih Sunan Abi Daud no.1348).

Inilah bacaan dzikir-dzikir setelah selesai shalat fardhu yang disyari'atkan, adapun untuk bacaan zdikir-dzikir selain yang itu, maka itu adalah bacaan dzikir yang hanya karangan-karangan sendiri atau tambahan saja yang tidak ada asal usulnya dalam syari'at, intinya amalan dzikir selain itu adalah bacaan dzikir yang bid'ah.

Diantara kesalahan-kesalahan dan bid'ah yang lainya yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang selepas shalat itu, ringkasanya seperti dibawah ini:

1. Mengusap wajah setelah salam atau setelah selesai berdo'a.

Fatwa Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid hafizhahullah, beliau berkata:

ﻭﺃﻣﺎ ﻣﺴﺢ ﺍﻟﻮﺟﻪ ﻋﻘﺐ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻓﻠﻢ ﻳﺜﺒﺖ ﻓﻴﻪ ﺣﺪﻳﺚ
ﺻﺤﻴﺢ ، ﺑﻞ ﺇﻥ ﺑﻌﺾ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻧﺼﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺑﺪﻋﻴﺘﻪ ﺍﻧﻈﺮ
ﻣﻌﺠﻢ ﺍﻟﺒﺪﻉ ‏( ﺹ 227‏)

"Ada pun mengusap wajah setelah berdo'a, tidak ada hadits kuat lagi shahih tentang hal itu,,bahkan sebagian ulama ada yang menyebutkan bid’ahnya hal itu".
(Lihat Mu’jam al-Bida’ hal.227).

Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi rahimahullah berkata:

ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ – ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ – : ﻟﻴﺲ ﻣﺴﺢ ﺍﻟﻮﺟﻪ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺑﻞ ﻫﻮ ﺑﺪﻋﺔ ﻻﻥ ﻣﺴﺢ ﺍﻟﻮﺟﻪ ﺑﺎﻟﻴﺪﻳﻦ ﻋﻘﺐ ﺩﻋﺎﺀ ﻳﻌﺘﺒﺮ ﻧﺴﻚ ﻭﻋﺒﺎﺩﺓ ﻭﻫﻮ ﻟﻢ ﻳﺜﺒﺖ ﺍﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻌﻠﻪ ﻓﻴﻜﻮﻥ ﺑﺪﻋﺔ ﻓﻰ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺬﻯ ﻭﺭﺩ ﻓﻰ ﻫﺬﺍ ﺿﻌﻴﻒ ﻭﻟﻢ ﻳﺼﺢ

"Mengusap wajah setelah berdo'a bukan termasuk Sunnah, bahkan itu adalah bid’ah, karena mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdo'a telah dianggap sebagai ibadah. Hal itu tidak ada yang shahih dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itu adalah bid’ah dalam agama. Sedangkan hadits yang membicarakan ini adalah lemah dan tidak shahih".
(Lihat Fatawa asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi , hal.315).

Pendapat al-Imam Malik rahimahullah, dari Imam Ahmad bin Ali al-Muqrizi menceritakan:

ﻭﺳﺌﻞ ﻣﺎﻟﻚ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻳﻤﺴﺢ ﺑﻜﻔﻴﻪ
ﻭﺟﻬﻪ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻓﺄﻧﻜﺮ ﺫﻟﻚ ﻭﻗﺎﻝ : ﻣﺎ ﻋﻠﻤﺖ

"Imam Malik rahimahullah di tanya tentang seorang laki-laki yang mengusap wajahnya dengan kedua tangannya ketika berdo'a, lalu dia mengingkarinya, dan berkata: “Aku tidak tahu.”
(Lihat Mukhtashar Kitab al-Witri, hal.152).
http://muslim.or.id/fatwa-ulama/fatwa-ulama-mengusap-wajah-setiap-selesai-berdoa.html

2. Berdo'a dan berdzikir secara berjama'ah yang dipimpin oleh imam selesai shalat, maupun berjamaah dalam berdo'a atau berjamaah membaca dzikir dalam hal yang lainnya.

3. Berdzikir dengan bacaan yang tidak ada nash atau dalilnya, baik secara lafazdh maupun bilangannya, atau berdzikir dengan dasar yang digunakan dari hadits dha'if (lemah) atau hadits maudhu' (palsu).

Contohnya:

- Setelah selesai salam membaca "Alhamdulillah.
- Setelah selesai salam membaca "al-Fatihah".
- Setelah selesai salam membaca beberapa ayat terakhir surat al-Hasyr dan lainnya.

Bacaan ini dilakukan setelah selesai shalat tidak ada sumbernya, artinya tidak ada contoh atau petunjuknya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat, para Imam madzhab yang empat, hingga para Imam yang segenerasi dengan nereka.

4. Menghitung dzikir dengan memakai biji-bijian atau tasbih atau yang serupa dengannya. Tidak ada satu pun hadits yang shahih tentang anjuran menghitung bacaan dzikir dengan biji-bijian tasbih, bukan saja terdapat dalam hadits dha'if (lemah), bahkan sebagian haditsnya adalah hadits maudhu' (palsu). Sebaiknya menggitung bacaan dzikir dengan jari-jari tangan kanan.

Untuk point 4 ini akan dijelaskan sedikit karena maraknya perbuatan seperti ini.

Salah satu hadits yang jadi pedoman oleh mereka berdzikir dengan menggunakan tasbih ini sebagai berikut:

“Sebaik-baik pengingat adalah biji tasbih, dan seutama-utama tempat yang dipakai sujud adalah bumi dan yang ditumbuhkan oleh bumi”.
(Dikeluarkan oleh ad-Dailami dalam Mukhtashar Musnad al-Firdaus:4/98, as-Suyuthi dalam al-Minhah Fis Subhah:2/141 dari al-Hawi, dan dinukil oleh asy-Syaukani dalam Nailul Authar:2/166-167).

Keterangan: Hadits ini Maudhu’ (palsu) karena sanad (jalur periwayatan) hadits ini kebanyakan rawinya adalah majhul (tidak dikenal), bahkan sebagian mereka tertuduh dusta dalam meriwayatkan hadits. (Diantara rawinya) Umul Hasan binti Ja’far bin al-Hasan, dia tidak dikenal biografinya oleh para ulama ahli hadits. Abdush Shamad bin Musa al-Hasyimi dikatakan oleh Imam adz-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal, menukil perkataan al-Khathib al-Baghdadi [14/41], beliau mengatakan: “Para ulama (ahli hadits) telah melemahkannya.

Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan:
"Berdzikir dengan biji-bijian tasbih adalah bid'ah".

Syaikh Bakr Abi Za'id rahimahullah mengatakan bahwa:
"Berdzikir dengan menggunakan biji-bijian tasbih menyerupai orang-orang kaum Yahudi, Nasrani, Bhudha, dan perbuatan ini adalah bid'ah sesat (dhalaalah)".

Yang diSunnahkan dalam berdzikir adalah dengan menggunakan jari-jari tangan kanan sebagaimana hadits:

Dari Abdullah bin 'Amr rahimahullah ia berkata:

ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﻌْﻘِﺪُﻫُﻦَّ
ﺑِﻴَﺪِﻩ

"Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menghitung bacaan tasbih (dengan jari-jari) tangan kanannya".
(HR.Ahmad 6498, Abu Dawud no.1502, dan ath-Tirmidzi no.3486, shahih ath-Tirmidzi III/146 no.2714 shahiihul Jami’,IV/271, no.4865, shahiih Abi Dawud I/280 no.1330, al-Hakim I/547, al-Baihaqi II/253).

Bahkan, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat wanita menghitung bacaan dzikir: Subhanallah, Alhamdulillah, dan mensucikan Allah dengan jari-jari, karena jari-jari itu kelak akan ditanya dan diminta untuk berbicara (pada hari kiamat).
(HR.Abu Dawud no.1501, dan ath-Tirmidzi. Dihasankan oleh Imam an-Nawawi dan ibnu Hajar al ‘Asqalani).

Dari seorang sahabat wanita, Yusairah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada kami (para sahabat wanita):

ﻳَﺎ ﻧِﺴَﺎﺀَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﻴﻦَ، ﻋَﻠَﻴْﻜُﻦَّ ﺑِﺎﻟﺘَّﻬْﻠِﻴﻞِ ﻭَﺍﻟﺘَّﺴْﺒِﻴﺢِ ﻭَﺍﻟﺘَّﻘْﺪِﻳﺲِ، ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻐْﻔُﻠْﻦَ ﻓَﺘَﻨْﺴَﻴْﻦَ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﺔَ، ﻭَﺍﻋْﻘِﺪْﻥَ ﺑِﺎﻟْﺄَﻧَﺎﻣِﻞِ ﻓَﺈِﻧَّﻬُﻦَّ ﻣَﺴْﺌُﻮﻟَﺎﺕٌ ﻣُﺴْﺘَﻨْﻄَﻘَﺎﺕ

“Wahai para wanita mukminah, kalian harus rajin bertasbih, bertahlil, mensucikan nama Allah. Janganlah kalian lalai, sehingga melupakan rahmat. Hitunglah dengan jari-jari kalian, karena semua jari itu akan ditanya dan diminta untuk bicara”.
(HR.Ahmad 27089, Abu Daud 1501, ath-Tarmidzi 3583, dan sanadnya dinilai hasan oleh Syua'ib al-Arnauth dan Syaikh al-Albani).

Dan menurut hadist Abdullah bin 'Amr bahwa Nabi shallallahu’ alaihi wa sallam menghitungnya hanya dengan tangan kanannya bukan dengan kedua tangannya. Dari itu Muhammad Nashirudin al-Albani rahimahullah mengatakan: “Bertasbih dengan kedua tangan menyalahi Sunnah...!” Pantaskan kita berdzikir dengan tangan kiri yang dipergunakan untuk mencuci kotoran..?
(Selengkapnya lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha tulisan asy-Syaikh Bakr Abu Za'id hafizhahullah yang telah diterjemahkan diantaranya dengan judul "Tasbih Bid’ah atau Sunnah ?" [Pustaka Salafiyah,2004]).

Kesimpulan yang tepat dalam hal ini adalah, berdzikir dengan tangan kanan hukumnya dianjurkan, meskipun berdzikir dengan kedua tangan dibolehkan. Karena sejatinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suka menggunakan anggota badan yang kanan untuk hal yang baik. Sebagaimana keterangan 'Aisyah radhiallahu ‘anha:

ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳُﻌْﺠِﺒُﻪُ ﺍﻟﺘَّﻴَﻤُّﻦُ، ﻓِﻲ ﺗَﻨَﻌُّﻠِﻪِ، ﻭَﺗَﺮَﺟُّﻠِﻪِ، ﻭَﻃُﻬُﻮﺭِﻩِ، ﻭَﻓِﻲ ﺷَﺄْﻧِﻪِ ﻛُﻠِّﻪ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suka mendahulukan bagian yang kanan ketika mengenakan sandal, menyisir rambut, bersuci, dan dalam semua urusan beliau”.
(HR.al-Bukhari no.168).

Dari 'Aisyah radhiallahu 'anha berkata:

ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ ﻗَﺎﻟَﺖْ ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟﺘَّﻴَﺎﻣُﻦَ ﻳَﺄْﺧُﺬُ ﺑِﻴَﻤِﻴﻨِﻪِ ﻭَﻳُﻌْﻄِﻲ ﺑِﻴَﻤِﻴﻨِﻪِ ﻭَﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟﺘَّﻴَﻤُّﻦَ ﻓِﻲ ﺟَﻤِﻴﻊِ ﺃُﻣُﻮﺭِﻩِ

“Dari Aisyah radhiallahu 'anha, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai sebelah kanan, mengambil dengan tangan kanannya, memberi dengan tangan kanannya dan menyukai sebelah kanan dalam semua urusannya.”
(HR.an-Nasa’i No.5059).

Intinya tidak ada satupun dalil yang shahih yang menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam berdzikir menggunakan Subhah (tasbih/kalung biji-bijian). Dan sebaiknya berdzikir menggunakan hanya dengan tangan kanan saja.

5. Berdzikir dengan suara keras dan beramai-ramai (dengan berjama'ah).

Banyak sekali hadits-hadits shahih yang melarang berdzikir dengan suara yang keras dizaharkan), sebagaimana hadits Abu Musa al-Asy'ari yang terdapat dalam Shahihain yang menceritakan perjalanan para sahabat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Abu Musa berkata: "Jika kami menuruni lembah maka kami bertasbih dan jika kami mendaki tempat yang tinggi maka kami bertakbir. Dan kamipun mengeraskan suara-suara dzikir kami". Maka berkata Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺍِﺭْﺑَﻌُﻮْﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻜُﻢْ ﺇِﻥَّ ﻣَﻦْ ﺗَﺪْﻋُﻮْﻧَﻪُ ﻟَﻴْﺲَ ﺑﺄَﺻَﻢَّ ﻭَﻻَﻏَﺎﺋِﺐٍ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺗَﺪْﻋُﻮْﻥَ ﺳَﻤِﻴْﻌًﺎ ﺑَﺼِﻴْﺮًﺍ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺗَﺪْﻋُﻮْﻥَ ﻣَﻦْ ﻫُﻮَ ﺃَﻗْﺮَﺏُ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﺣَﺪِ ﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﻏُﻨُﻖِ ﺭَﺍ ﺣِﻠَﺘِﻪِ ﺇِﻟَﻴْﻪِ

"Wahai sekalian manusia, berlaku baiklah kepada diri kalian sendiri. Sesungguhnya yang kalian seru itu tidaklah tuli dan tidak pula ghaib. Sesunguhnya kalian berdo'a kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, yang lebih dekat dengan kalian dari pada leher tunggangan kalian sendiri".

Kejadian ini berlangsung dipadang pasir yang tidak mungkin mengganggu orang lain. Jadi dengan dalil diatas yang keadaan sunyi saja tidak diperkenankan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallama berdzikir dengan suara keras apalagi jika dzikir dengan suara keras dan nyaring berlangsung ditempat-tempat yang ramai, seperti dimajelis-majlis ilmu, dilingkungan rumah tempat tinggal, dimesjid, dimushalah dan lain-lain yang barang tentu perbuatan itu akan mengganggu kenyamanan dan mengganggu orang lain yang sedang membaca al-Qur'an, orang yang sedang shalat dan lain-lain. Intinya berdzikir dengan suara keras atau nyaring sebagaimana yang banyak dilakukan orang-orang sekarang ini adalah terlarang dalam syari'at.

Hal ini sebagaimana dalam al-Qur'an Allah subhanahu wa ta'ala dengan tegas memerintahkan untuk berdzikir dengan suara yang tidak dikeraskan.

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

ﺍﺩْﻋُﻮﺍ ﺭَﺑَّﻜُﻢْ ﺗَﻀَﺮُّﻋًﺎ ﻭَﺧُﻔْﻴَﺔً ۚ ﺇِﻧَّﻪُ ﻟَﺎ ﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟْﻤُﻌْﺘَﺪِﻳﻦَ

"Berdo'alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas".
(QS.al-A'raf:55).

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

ﻭَﺍﺫْﻛُﺮْ ﺭَﺑَّﻚَ ﻓِﻲ ﻧَﻔْﺴِﻚَ ﺗَﻀَﺮُّﻋًﺎ ﻭَﺧِﻴﻔَﺔً ﻭَﺩُﻭﻥَ ﺍﻟْﺠَﻬْﺮِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻘَﻮْﻝِ
ﺑِﺎﻟْﻐُﺪُﻭِّ ﻭَﺍﻟْﺂﺻَﺎﻝِ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻜُﻦْ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻐَﺎﻓِﻠِﻴﻦَ

"Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, diwaktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai".
(QS.al-A'raf:205).

Begitupun al-Imam asy-Syafi'i rahimahullah dalam kitab shahinya kitab al-Umm juga berwasiat agar imam atau makmum untuk tidak mengeraskan bacaan dzikirnya.

Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata:

ﻭﺃﺧﺘﺎﺭ ﻟﻼﻣﺎﻡ ﻭﺍﻟﻤﺄﻣﻮﻡ ﺃﻥ ﻳﺬﻛﺮﺍ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻌﺪ ﺍﻻﻧﺼﺮﺍﻑ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﻳﺨﻔﻴﺎﻥ ﺍﻟﺬﻛﺮَ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺇﻣﺎﻣﺎ ﻳُﺤِﺐُّ ﺃﻥ ﻳﺘﻌﻠّﻢ ﻣﻨﻪ ﻓﻴﺠﻬﺮ ﺣﺘﻰ ﻳَﺮﻯ ﺃﻧﻪ ﻗﺪ ﺗُﻌُﻠِّﻢَ ﻣﻨﻪ ﺛﻢ ﻳُﺴِﺮّ .

"Pendapatku untuk imam dan makmum hendaklah mereka berdzikir selepas selesai shalat. Hendaklah mereka memelankan (secara sir) dzikir kecuali jika imam ingin mengajar bacaan-bacaan zdikir tersebut, maka ketika itu dikeraskanlah dzikir, hingga dia menduga bahwa telah dipelajari darinya (bacaan-bacaan dzikir tersebut), lalu setelah itu ia memelankan kembali dzikirnya".
(Lihat: al-Umm hal.2/288).

6. Membiasakan atau merutinkan berdo'a setelah shalat fardhu (wajib). Sebagaimana banyak riwayat shahih yang menerangkan bahwa beliau shallallahu 'alaihi wa sallam jika berdo'a lebih banyak dilakukan dalam shalat, yaitu berdo'a disaat ruku', dalam sujud dan berdo'a dalam dua tahyat dalam shalat.

7. Tidak mengangkat tangan ketika berdo'a. Mengangkat tangan ketika berdo'a ini tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat dan yang lainya.

Keterangan:
Para ulama berbeda pendapat dalam hal berdo'a sambil mengangkat tangan ini:
Yang pertama: Tidak menganjurkan, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat tangan hanya ketika sedang dalam shalat Istiqa' dan shalat gerhana, selain itu beliau shalallahu alaihi wa sallam dalam berdo'a tidak mengangkat tangan, karena beliau berdo'a lebih banyak dilakukan disetiap dalam shalat Fardhu ketika dalam sujud atau saat dikedua tahyat dalam shalat.

Pendapat kedua: Boleh berdo'a dengan mengangkat kedua tangan, karena ada dalam riwayat lain yang menjelaskan bahwa beliau shalallahu 'alaihi wa sallam setelah shalat beliau berdo'a dengan mengangkat kedua tangannya, walaupun beliau lebih banyak berdo'a ketika dalam shalat, yaitu disaat sujud atau didalam dua tahyat shalat. Alasan lainnya mereka mengkiyaskan dengan dalil bahwa Rasulullah mengangkat tangan ketika shalat Istisqa' dan shalat gerhana.

Pendapat ketiga: Boleh sekali-sekali mengangkat tangan ketika berdo'a dan boleh sekali-sekali tidak mengangkat tangan ketika berdo'a.

KESIMPULAN.

Dalam pembahasan ini, kami lebih memilih pendapat yang pertama yaitu tidak mengangkat tangan dalam berdo'a, karena tidak ada anjurannya atas perbuatan yang demikian selain saat berdo'a dalam shalat Istisqa' dan shalat gerhana. Selain dari dua shalat itu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berdo'a lebih banyak dilakukan saat dalam shalat, seperti berdo'a saat sujud, rukuk atau dalam dua tahyat dalam shalat. Karena disaat sujud adalah salah satu keadaan yang mustajab untuk berdo'a, sebagaimana ditunjukkan dalam sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:

ﻭَﺇِﻧِّﻲ ﻧُﻬِﻴﺖُ ﺃَﻥْ ﺃَﻗْﺮَﺃَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﺭَﺍﻛِﻌًﺎ ﺃَﻭْ ﺳَﺎﺟِﺪًﺍ ﻓَﺄَﻣَّﺎ ﺍﻟﺮُّﻛُﻮﻉُ ﻓَﻌَﻈِّﻤُﻮﺍ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟﺮَّﺏَّ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﺍﻟﺴُّﺠُﻮﺩُ ﻓَﺎﺟْﺘَﻬِﺪُﻭﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀِ ﻓَﻘَﻤِﻦٌ ﺃَﻥْ ﻳُﺴْﺘَﺠَﺎﺏَ ﻟَﻜُﻢْ

“… Dan aku dilarang membaca al-Qur’an ketika ruku’ atau sujud, adapun saat ruku’ maka agungkanlah Rabb ‘azza wa jalla, Adapun sujud maka bersungguh-sungguhlah kalian dalam berdo'a, sungguh dekat do'a itu dikabulkan untuk kalian".
(HR. Muslim no. 738).

Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ﺃَﻗْﺮَﺏُ ﻣَﺎ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪُ ﻣِﻦْ ﺭَﺑِّﻪِ ﻭَﻫُﻮَ ﺳَﺎﺟِﺪٌ ﻓَﺄَﻛْﺜِﺮُﻭﺍ ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀَ

"Saat paling dekat seorang hamba dengan Rabb-Nya adalah ketika ia bersujud, maka perbanyaklah do'a".
(HR. Muslim no.744 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu).

Oleh sebab itu mengangkat tangan saat berdo'a ini selain tidak ada tuntunannya dalam syari'at, dari sisi lain perbuatan ini termasuk perbuatan tasyabbuh (menyerupai) budaya kaum kafir, seperti Rafhidah (Syi'ah), Yahudi, Nasrani dan lain-lain, mereka cenderung melampaui batas dengan cara teriak-teriak sambil mengangkat tangan setinggi-tingginya dengan menangis histeris, meratap, dengan suara keras dan teriak-teriak hingga nampak seperti orang kesurupan.

Jadi sebuah kekeliruan jika ada ada orang yang mengatakan bahwa semua agama itu sama, Islam adalah agama yang berdiri diatas dalil, Islam mempunyai aturan sendiri sebagaimana yang telah diatur dalam al-Qur'an dan as-Sunnah,  yang tidak boleh menyelisihinya termasuk dalam hal berdzikir dan berdo'a baik dari bacaan, tata cara, waktu dan hitung-hitungannya, apalagi sampai menyerupai (tasyabbuh) dengan orang kafir.  Hakekatnya berdo'a itu adalah memohonkan sesuatu kepada-Nya yang tentunya dengan adab yang mulia dengan cara yang berbeda dengan agama lain, yaitu dengan merendahkan diri, lemah lembut, tutur kata yang santun, tidak dengan teriak atau suara keras, khusyu', ikhlas, sabar dan tidak tergesa-gesa, dalam memohon kepada-Nya.

8. Tidak berjabat tangan atau bersalam-salaman setelah selesai shalat, akan tetapi yang benar adalah sesuai contoh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam setelah selesai shalat beliau berdzikir. Perbuatan bersalam-salaman setelah selesai shalat ini adalah perbuatan bid'ah (mengada-ada tanpa ada contoh atau tuntunannya dalam syari'at).

Wallaahu a'lam bish-shawaab.

Demikian semoga bermanfaat
_____________________________________

Kamis, 24 Juli 2014

MUSIK DALAM TINJAUAN SYARI'AT.

HUKUM MUSIK DALAM TINJAUAN SYARI'AT.

Sudah sejak dari dulu kala musik ini menjadi kebiasaan yang dianggap trend dan sebuah hiburan yang telah mentradisi sampai mengakar dan mendarah daging dilakukan oleh umat muslim dibelahan bumi ini, para pelakunya tidak saja dari kalangan masyarakat muslim yang awam bahkan sampai kepada mereka yang sudah berlabel ustad, kyai ataupun ulama. Hal ini bukan saja dilakukan didalam acara-acara hiburan yang umum tapi musik ini juga kerap dilatunkan didalam acara-acara kerohanian, seperti dalam acara maulid Nabi, Isra' Mi'raj, acara ultah, tabligh akbar dan lain-lain. Bahkan sekarang ini sudah banyak didapati dalam acara shalawatan dan dzikir-dzikir yang disertai dengan musik, perbuatan seperti ini sudah termasuk tasyabbuh (menyerupai) peribadatannya orang kafir.

Bagi para penikmat musik, hal semacam ini dianggap biasa dan dianggap legal, apalagi mereka sendiri melihat banyaknya orang yang dianggap shalihpun banyak yang mengadakannya. Terkadang mereka berdalih bahwa bermain musik ini selain untuk menghibur diri, manfaatnya juga bisa digunakan untuk sarana berdakwah.

Inilah fenomena umum yang sudah turun temurun dari dulu kala, padahal jika kita mau menelaah bahwa perbuatan dengan bernyanyi dan bermain musik ini adalah sangat dilarang dalam syari'atnya Allah dan Rasul-Nya, belum lagi kemudharatan dalam nyanyian dan bermusik itu sering dihadirkan para biduanita-biduanita cantik yang kerap memamerkan aurat sambil berlenggak-lenggok menampilkan gerak tubuh sexynya, ditambah lagi keharamannya dengan bercampurnya antara laki-laki dan wanita yang bukan makhram sambil berjoget ria, bahkan tidak sedikit dari pelakunya yang meminum minuman keras sampai mabuk-mabukan, narkoba, berdansa ria hingga melakukan sex bebas...na'uzubillahimin zaliq..Semoga Allah memberikan petunjuk serta hidayahnya kepada para pelaku kemungkaran ini.

Untuk diketahui bahwa sebenarnya hukum nyanyian, musik dan alat musik serta yang sejenisnya ini tidak ada khilaf atas keharamannya dari para ulama salaf terdahulu, namun para ustad, kyai atau ulama generasi sekarang atau ulama belakangan enggan mengindahkan keharaman perbuatan musik yang mereka lakukan, bahkan justru dari mereka para rokoh inilah yang melakukannya sehingga menjadi contoh bagi masyarakat awam untuk mrmbenarkannya, akhirnya mereka terkecoh dan meyakini akan legalnya musik ini. Untuk mengetahui lebih lanjut, mari kita telusuri riwayat-riwayat tentang keharaman musik ini.

SIMAK DALIL-DALIL BERIKUT:

’Utsman bin ’Affan radhiallaahu ’anhu berkata:

ﻟَﻘَﺪِ ﺍﺧْﺘَﺒَﺄْﺕُ ﻋِﻨْﺪَ ﺭَﺑِّﻲ ﻋَﺸْﺮًﺍ ، ﺇِﻧِّﻲ ﻟَﺮَﺍﺑِﻊُ ﺃَﺭْﺑَﻌَﺔٍ ﻓِﻲ ﺍﻹِﺳْﻼﻡِ ، ﻭَﻣَﺎ ﺗَﻌَﻨَّﻴْﺖُ ﻭَﻻ ﺗَﻤَﻨَّﻴْﺖُ

”Sungguh aku telah bersumbunyi dari Rab-ku selama sepuluh tahun. Dan aku adalah orang keempat dari empat orang yang pertama kali masuk Islam. Aku tidak pernah bernyanyi dan berangan-angan.....!”
(Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam Mu’jamul-Kabiir no. 122 – Maktabah Sahab: hasan).

Abdullah ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, berkata:

ﺍﻟﻐﻨﺎﺀ ﻳﻨﺒﺖ ﺍﻟﻨﻔﺎﻕ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻠﺐ

“Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati”.
(Diriwayatkan oleh ibnu Abid-Dunyaa dalam
Dzammul-Malaahi 4/2 serta al-Baihaqi dari jalannya dalam Sunan- nya 10/223 dan Syu’abul-Iman 4/5098-5099; shahih. Lihat Tahrim Alaatith-Tharb hal. 98; Maktabah Sahab).

Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma . Ibnul-Jauzi meriwayatkan sebagai berikut:

ﻭﻣﺮ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺑﻘﻮﻡ ﻣﺤﺮﻣﻴﻦ ﻭﻓﻴﻬﻢ ﺭﺟﻞ ﻳﺘﻐﻨﻰ ﻗﺎﻝ ﺃﻻ ﻻ ﺳﻤﻊ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻜﻢ

”Ibnu ’Umar radhiallahu ’anhu pernah melewati satu kaum yang sedang melakukan ihram dimana bersama mereka ada seorang laki-laki yang sedang bernyanyi. Maka ibnu ’Umar berkata kepada mereka: ”Ketahuilah, semoga Allah tidak mendengar do'a kalian”.
(Talbis Ibliis oleh ibnul-Jauzi hal. 209 – Daarul-Fikr 1421).

Abdullah ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, berkata:

ﺍﻟﺪﻑ ﺣﺮﺍﻡ ، ﻭﺍﻟﻤﻌﺎﺯﻑ ﺣﺮﺍﻡ ، ﻭﺍﻟﻜﻮﺑﺔ ﺣﺮﺍﻡ ، ﻭﺍﻟﻤﺰﻣﺎﺭ ﺣﺮﺍﻡ

”Duff itu haram, alat musik (ma’aazif) itu haram, al-kuubah itu haram, dan seruling itu haram”.
(Diriwayatkan oleh al-Baihaqi 10/222; shahih).

Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziz rahimahullah, al-Auza’i berkata:

ﻛﺘﺐ ﻣﻊ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﺇﻟﻰ ‏( ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ‏) ﻛﺘﺎﺑﺎ ﻓﻴﻪ ...." ﻭ ﺇﻇﻬﺎﺭﻙ ﺍﻟﻤﻌﺎﺯﻑ ﻭﺍﻟﻤﺰﻣﺎﺭ ﺑﺪﻋﺔ ﻓﻲ ﺍﻹﺳﻼﻡ ، ﻭﻟﻘﺪ ﻫﻤﻤﺖ ﺃﻥ ﺃﺑﻌﺚ ﺇﻟﻴﻚ ﻣﻦ ﻳَﺠُﺰُّ ﺟُﻤَّﺘﻚ ﺟﻤَّﺔ ﺳﻮﺀ ."

" ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziz pernah menulis surat kepada ‘Umar bin al-Walid yang didiantaranya berisi: “….Perbuatanmu yang memperkenalkan alat musik merupakan satu kebid’ahan dalam Islam. Dan sungguh aku telah berniat untuk mengutus seseorang kepadamu untuk memotong rambut kepalamu dengan cara yang kasar”.
(Dikeluarkan oleh an-Nasa’i dalam Sunan -nya [2/178] dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [5/270] dengan sanad shahih. Disebutkan juga oleh ibnu ‘Abdil-Hakam dalam Siratu ‘Umar [154-157] dengan panjang lebar. Juga oleh Abu Nu’aim [5/309] dari jalan yang lain dengan sangat ringkas).

Abu Hanifah rahimahullah, ibnul-Jauzi berkata:

ﺃﺧﺒﺮﻧﺎ ﻫﺒﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﻟﺤﺮﻳﺮﻱ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺍﻟﻄﻴﺐ ﺍﻟﻄﺒﺮﻱ ﻗﺎﻝ ﻛﺎﻥ ﺃﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻳﻜﺮﻩ ﺍﻟﻐﻨﺎﺀ ﻣﻊ ﺇﺑﺎﺣﺘﻪ ﺷﺮﺏ ﺍﻟﻨﺒﻴﺬ ﻭﻳﺠﻌﻞ ﺳﻤﺎﻉ ﺍﻟﻐﻨﺎﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﺬﻧﻮﺏ ﻗﺎﻝ ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻣﺬﻫﺐ ﺳﺎﺋﺮ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻜﻮﻓﺔ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﻭﺍﻟﺸﻌﺒﻲ ﻭﺣﻤﺎﺩ ﻭﺳﻔﻴﺎﻥ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﻻ ﺃﺧﺘﻼﻑ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻗﺎﻝ ﻭﻻ ﻳﻌﺮﻑ ﺑﻴﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﺼﺮﺓ ﺧﻼﻑ ﻓﻲ ﻛﺮﺍﻫﺔ ﺫﻟﻚ ﻭﺍﻟﻤﻨﻊ ﻣﻨﻪ

“Telah mengkhabarkan kepada kami Hibatullah bin Ahmad al-Hariry, dari Abuth-Thayyib ath-Thabary ia berkata: “Adalah Abu Hanifah membenci nyanyian dan memperbolehkan perasan buah. Beliau memasukkan mendengar lagu sebagai satu dosa. Dan begitulah madzhab seluruh penduduk Kufah seperti Ibrahim (an-Nakha’i), asy-Sya’bi, Hammad, Sufyan ats-Tsauri, dan yang lainnya. Tidak ada perbedaan diantara mereka mengenai hal itu. Dan tidak diketahui pula perbedaan pendapat akan hal yang sama diantara penduduk Bashrah dalam kebencian dan larangan mengenai hal tersebut".
(Talbis Ibliis oleh ibnul-Jauzi hal. 205 –Daarul-Fikr 1421).

Malik bin Anas rahimahullah bahwa ia berkata:

ﺳﺄﻟﺖ ﻣﺎﻟﻚ ﺑﻦ ﺃﻧﺲ ﻋﻤﺎ ﻳﺘﺮﺧﺺ ﻓﻴﻪ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻐﻨﺎﺀ ؟ ﻓﻘﺎﻝ : " ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻔﻌﻠﻪ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﺍﻟﻔﺴّﺎﻕ

“Aku bertanya kepada Malik bin Anas tentang nyanyian yang diperbolehkan oleh Ahlul-Madinah ?”. - Maka ia menjawab: “Bahwasannya hal bagi kami hanya dilakukan oleh orang-orang fasiq".
(Diriwayatkan dengan sanad shahih dari Ishaq bin ‘Isa ath-Thabba’ (termasuk perawi Muslim) oleh Abu Bakar al-Khallal dalam al-Amru bil-Ma’ruf [hal.32] dan ibnul-Jauzi dalam Talbis Iblis [hal. 244]),

Muhammad bin Idris (asy-Syafi’i) rahimahullah berkata:

ﺇﻥ ﺍﻟﻐﻨﺎﺀ ﻟﻬﻮ ﻣﻜﺮﻭﻩ ﻳﺸﺒﻪ ﺍﻟﺒﺎﻃﻞ ﻭﺍﻟﻤﺤﺎﻝ ﻭﻣﻦ ﺍﺳﺘﻜﺜﺮ ﻣﻨﻪ ﻓﻬﻮ ﺳﻔﻴﻪ ﺗﺮﺩ ﺷﻬﺎﺩﺗﻪ

“Sesungguhnya nyanyian itu perkataan sia-sia lagi makruh, sama halnya dengan kebathilan. Barangsiapa yang sering mendengarkan nyanyian, maka dia itu bodoh, tidak diterima persaksiannya”.
(Adabul-Qadla’-melalui perantara al-I’laam bi-Naqdi Kitab al-Halal wal-Haram oleh asy-Syaikh Shalih al-Fauzan–Maktabah asy-Syaikh Shalih al-Fauzan).

Beliau al-Imam asy-Syafi'irahimahullah juga berkata:

ﺗﺮﻛﺖ ﺑﺎﻟﻌﺮﺍﻕ ﺷﻴﺌﺎ ﻳﺴﻤﻮﻧﻪ ﺍﻟﺘﻐﺒﻴﺮ ﻭﺿﻌﺘﻪ ﺍﻟﺰﻧﺎﺩﻗﺔ ﻳﺼﺪﻭﻥ ﺑﻪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ

“Aku meninggalkan Baghdad karena munculnya sesuatu disana yang mereka namakan dengan at-Taghbir yang telah dibuat oleh kaum Zanadiqah. Mereka memalingkan manusia dari al-Qur’an”.
(Nuzhatul-Asmaa’ fii Mas-alatis-Simaa’ oleh ibnu Rajab al-Hanbali, Daaruth-Thayyibah 1407).

Para ulama telah menjelaskan makna at-Taghbir disini dengan: ”Bait-bait sya'ir yang mengajak bersikap zuhud terhadap dunia, dilantunkan oleh seorang penyanyi. Sebagian yang hadir kemudian memukulkan potongan ranting diatas hamparan tikar atau bantal, disesuaikan dengan jenis lagunya. Jumhur fuqaha telah melarang taghbir ini.

Sa’id bin al-Musayib rahimahullah mengatakan:

ﺇﻧﻲ ﻷُﺑﻐﺾ ﺍﻟﻐﻨﺎﺀ ﻭﺃﺣﺐ ﺍﻟﺮﺟﺰ

“Sesungguhnya aku membenci nyanyian, dan lebih menyukai rajaz (semacam syi’ir)”.
(Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf [11/6/19743] dengan sanad shahih).

Ahmad bin Hanbal rahimahullah, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata: ”Aku pernah mendengar ayahku (Ahmad bin Hanbal) berkomentar tentang seorang laki-laki yang kebetulan melihat (beberapa alat musik seperti) thanbur (gitar/rebab), ’uud, thabl (gendang), atau yang serupa dengannya, maka apa yang harus ia lakukan dengannya ?". - Beliau berkata:

ﺍﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻣﻐﻄﻰ ﻓﻼ ﻭﺍﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻜﺸﻮﻓﺎ ﻛﺴﺮﻩ

”Apabila alat-alat tersebut tidak tampak, maka jangan (engkau rusak). Namun bila alat-alat tersebut nampak, maka hendaknya ia rusakkan".
(Masaailul-Imam Ahmad bin Hanbal no. 1174).

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal pernah bertanya kepada ayahnya tentang nyanyian, maka beliau menjawab:

ﻳﺜﺒﺖ ﺍﻟﻨﻔﺎﻕ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻠﺐ ........

”Menetapkan kemunafikan didalam hati....
(Masaailul-Imam Ahmad bin Hanbal no. 1175).

Syuraih al-Qadli rahimahullah, Abu Hushain
mengatakan:

ﺃﻥ ﺭﺟﻼً ﻛﺴﺮ ﻃﻨﺒﻮﺭ ﺭﺟﻞ ، ﻓﺨﺎﺻﻤﻪ ﺷﺮﻳﺢ ، ﻓﻠﻢ ﻳﻀﻤّﻨﻪ ﺷﻴﺌﺎً

“Bahwasannya ada seorang laki-laki yang mematahkan thanbur (mandolin) milik seseorang. Maka hal itu diperkarakan kepada Syuraih (sebagai seorang Qadli pada waktu itu). Maka ia (Syuraih) memutuskan bahwa orang yang mematahkan thanbur tersebut tidak memberi jaminan ganti sedikitpun".
(Dikeluarkan oleh ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 7/312/3275 dengan sanad shahih. Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi 6/101 dan al-Khallal halaman 26, dimana disebutkan bahwa sesuadah itu Abu Hushain berkata: Telah berkata Hanbal: Aku mendengar Abu ‘Abdillah [Imam Ahmad] berkata: “Hal tersebut adalah munkar, sehingga Syuraih tidak memberikan keputusan apa-apa". [pada si pemilik thanbur]).

Asy-Sya’bi (‘Amir bin Syarahil) rahimahullah. Diriwayatkan oleh Isma’il bin Abi Khalid bahwa asy- Sya’bi membenci upah penyanyi, dan ia (asy-Sya’bi) berkata:

ﻣﺎ ﺃﺣﺐ ﺃﻥ ﺁﻛﻠﻪ

“Aku tidak mau memakannya”.
(Dikeluarkan oleh ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf [7/9/2203] dengan sanad shahih).

Beliau asy-Sya’bi (‘Amir bin Syarahil) juga berkata:

ﺇﻥ ﺍﻟﻐﻨﺎﺀ ﻳﻨﺒﺖ ﺍﻟﻨﻔﺎﻕ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻠﺐ ، ﻛﻤﺎ ﻳﻨﺒﺖ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﺍﻟﺰﺭﻉ ، ﻭﺇﻥ ﺍﻟﺬﻛﺮ ﻳﻨﺒﺖ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻠﺐ ﻛﻤﺎ ﻳﻨﺒﺖ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﺍﻟﺰﺭﻉ

“Sesungguhnya nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati, sebagaimana air menumbuhkan tanaman. Dan sesungguhnya dzikir itu menumbuhkan iman sebagaimana air menumbuhkan tanaman”.
(Dikeluarkan oleh ibnun-Nashr dalam Qadrush-Shalah halaman 151/2 – 152/1 dengan sanad hasan dari riwayat Abdullah bin Dukain, dari Firaas bin Yahya (asalnya dari ibnu 'Abdillah – dan hal itu keliru dari asy-Sya’bi).

Ibrahim bin al-Mundzir rahimahullah, seorang tsiqah yang berasal dari Madinah dan termasuk guru dari al-Imam al-Bukhari pernah ditanya: “Apakah engkau membolehkan nyanyian ?". -  maka beliau menjawab:

ﻣﻌﺎﺫ ﺍﻟﻠﻪ ، ﻣﺎ ﻳﻔﻌﻞ ﻫﺬﺍ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﺇﻻ ﺍﻟﻔﺴّﺎﻕ

“Ma’adzallah (aku berlindung kepada Allah), tidaklah ada yang melakukannya disisi kami kecuali orang-orang fasiq”.
(Diriwayatkan oleh al-Khallal dengan sanad shahih).

Abu ‘Umar bin Abdil-Barr (ibnu Abdil-Barr) rahimahullah menjelaskan:

ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻜﺎﺳﺐ ﺍﻟﻤﺠﺘﻤﻊ ﻋﻠﻰ ﺗﺤﺮﻳﻤﻬﺎ ﺍﻟﺮﺑﺎ ﻭﻣﻬﻮﺭ ﺍﻟﺒﻐﺎﺀ
ﻭﺍﻟﺴﺤﺖ ﻭﺍﻟﺮﺷﺎﻭﻱ ﻭﺃﺧﺬ ﺍﻷﺟﺮﺓ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﻴﺎﺣﺔ ﻭﺍﻟﻐﻨﺎﺀ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﻬﺎﻧﺔ ﻭﺍﺩﻋﺎﺀ ﺍﻟﻐﻴﺐ ﻭﺃﺧﺒﺎﺭ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮﻣﺰ ﻭﺍﻟﻠﻌﺐ ﻭﺍﻟﺒﺎﻃﻞ ﻛﻠﻪ

“Termasuk usaha-usaha yang haram ialah riba, hasil perzinahan, makanan haram, suap, upah ratapan, nyanyian, hasil perdukunan, peramal bintang, serta permainan bathil”.
(Lihat Al-Kaafi - Bab : Mukhtasharul-Qauli fil-Makaasib–Maktabah al-Misykah).

Ibnush-Shalah rahimahullah berkata dalam Fatwa -nya ketika ditanya tentang orang-orang yang menghalalkan nyanyian dengan rebana dan seruling, dengan tarian dan tepuk tangan, serta mereka menganggapnya sebagai perkara yang halal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah:

ﻟﻘﺪ ﻛﺬﺑﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ، ﻭﺷﺎﻳﻌﻮﺍ ﺑﻘﻮﻟﻬﻢ ﻫﺬﺍ ﺑﺎﻃﻨﻴﺔ ﺍﻟﻤﻠﺤﺪﻳﻦ ، ﻭﺧﺎﻟﻔﻮﺍ ﺇﺟﻤﺎﻉ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ، ﻭﻣﻦ ﺧﺎﻟﻒ ﺇﺟﻤﺎﻋﻬﻢ ، ﻓﻌﻠﻴﻪ ﻣﺎ ﻓﻲ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : ‏( ﻭﻣﻦ ﻳﺸﺎﻗﻖ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﻣﺎ ﺗﺒﻴﻦ ﻟﻪ ﺍﻟﻬﺪﻯ ﻭﻳﺘﺒﻊ ﻏﻴﺮ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻧﻮﻟﻪ ﻣﺎ ﺗﻮﻟﻰ ﻭﻧﺼﻠﻪ ﺟﻬﻨﻢ ﻭﺳﺎﺀﺕ ﻣﺼﻴﺮﺍ

”Sungguh, mereka telah berdusta atas nama Allah subhaanahu wa ta’ala. Mereka mengiringi orang-orang bathiniyyah atheis dengan perkataan mereka. Mereka juga telah menyelisihi ijma’ kaum muslimin. Barangsiapa yang menyelisihi ijma’ mereka, maka baginya adalah seperti yang difirmankan oleh Allah ta’ala: ”Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisaa’ : 115).
(Fataawaa Ibnish-Shalah hal. 300-301–lihat at-Tahrim hal. 115: Maktabah Sahab).

Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

ﻓﻤﻦ ﻓﻌﻞ ﻫـﺬﻩ ﺍﻟﻤﻼﻫـﻲ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ ﺍﻟﺪﻳﺎﻧﺔ ﻭﺍﻟﺘﻘﺮﺏ ﻓﻼ ﺭﻳﺐ ﻓﻲ ﺿﻼﻟﺘﻪ ﻭﺟﻬﺎﻟﺘﻪ

“Barangsiapa yang memainkan alat-alat musik tersebut dalam keyakinannya menjalankan agama dan bertaqarrub kepada Allah, maka tidak diragukan lagi kesesatan dan kebodohannya”.
(Lihat dalam Majmu’ Fatawa 11/162–Maktabah al-Misykah).

Al-Imam Abdul-‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata:

ﺇﻥ ﺍﻻﺳﺘﻤﺎﻉ ﺇﻟﻰ ﺍﻷﻏﺎﻧﻲ ﺣﺮﺍﻡ ﻭﻣﻨﻜﺮ , ﻭﻣﻦ ﺃﺳﺒﺎﺏ ﻣﺮﺽ ﺍﻟﻘﻠﻮﺏ ﻭﻗﺴﻮﺗﻬﺎ ﻭﺻﺪﻫﺎ ﻋﻦ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻋﻦ ﺍﻟﺼﻼﺓ . ﻭﻗﺪ ﻓﺴﺮ ﺃﻛﺜﺮ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : ﺳﻮﺭﺓ ﻟﻘﻤﺎﻥ ﺍﻵﻳﺔ 6 ﻭَﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻣَﻦْ ﻳَﺸْﺘَﺮِﻱ ﻟَﻬْﻮَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚِ ﺍﻵﻳﺔ : ﺑﺎﻟﻐﻨﺎﺀ .

"Sesungguhnya mendengarkan nyanyian merupakan /satu keharaman dan kemunkaran. Termasuk diantara sebab hati menjadi sakit dan keras. Mencegah dzikir kepada Allah dan menghalangi ditunaikannya shalat. Dan sungguh telah banyak ulama yang menafsirkan firman Allah dalam QS. Luqman ayat 6: ”Dan diantara manusia ada yang membeli perkataan-perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah". [Al-Ayat]. Yaitu dengan nyanyian".
(Lihat dalam Majmu’ Fatawa wa Maqaalat Mutanawwi’ah oleh asy-Syaikh ibnu Baaz, 3/432).

Bakr bin ’Abdillah Abu Zaid rahimahullah berkata:

ﻭﺍﻟﺬﻱ ﻧﻘﻮﻝ ﻫﻨﺎ : ﺇﻥ ﺍﻟﺬﻛﺮ، ﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﺑﺎﻟﻐﻨﺎﺀ، ﻭﺍﻟﺘﻞﺡﻳﻦ،
ﻭﺍﻟﺘﻄﺮﻳﺐ، ﻭﺇﻧﺸﺎﺩ ﺍﻷﺷﻌﺎﺭ، ﻭﺍﻷﺕ ﺍﻟﻠﻬﻮ، ﻭﺍﻟﺘﺼﻔﻴﻖ، ﻭﺍﻟﺘﻤﺎﻳﻞ، ﻛﻞ ﺫﻟﻚ ﺑﺪﻉ ﺷﻨﻴﻌﺔ، ﻭﺃﻋﻤﺎﻝ ﻗﺒﻴﺤﺔ، ﻫﻲ ﻣﻦ ﺃﻗﺒﺢ ﺃﻧﻮﺍﻉ ﺍﻹﺑﺘﺪﺍﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﺬﻛﺮ ﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀ، ﻓﻮﺍﺟﺐ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻓﺎﻋﻞ ﻟﻬﺎ، ﺃﻭ ﻟﺸﻲﺀ ﻣﻨﻬﺎ، ﺍﻹﻗﻼﺀ ﻋﻨﻪ، ﻭﺃﻥ ﻻ ﻳﺠﻌﻞ ﻧﻔﺴﻪ ﻣﻄﻴﺔ ﻟﻬﻮﺍﻩ ﻭﺷﻴﻄﺎﻧﻪ، ﻭﻭﺍﺟﺐ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺭﺃﻯ ﺷﻴﺌﺎًَ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﺇﻧﻜﺎﺭﻩ، ﻭﻭﺍﺟﺐ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺑﺴﻂ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺪﻩ ﻋﻠﻲ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ، ﻣﻨﻌﻪ، ﻭﺗﺄﺩﺑﻮﻩّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّ ﻓﺎﻋﻠﻪ، ﻭﺭﺩﻋﻪ، ﻭﺗﺒﺼﻴﺮ ﻟﺪﻳﻨﻪ

"Dan sesungguhnya kami mengatakan disini:
”Sesungguhnya dzikir dan do'a dengan nyanyian, dengan lirik yang disertai tabuhan alat musik, melantunkan sya'ir, tepuk tangan; semua itu termasuk perbuatan bid’ah, sangat menjijikkan dan perbuatan yang buruk. Lebih buruk daripada pelanggaran dalam berdzikir dan berdo'a. Siapapun yang melakukan hal itu atau sebagian diantaranya harus segera melepaskan diri darinya, tidak membuat dirinya tunduk kepada hawa nafsu dan bisikan syaithan. Siapapun yang melihat dari sebagian hal-hal itu harus mengingkarinya. Siapapun diantara kaum muslimin yang mempunyai kekuatan terhadap harus mencegahnya, mencela pelakunya, meluruskannya, dan menjelaskan kedudukan hal tersebut dalam kaca mata agamanya”.
(Tashhihud-Du’a hal. 78–Daarul-’Ashimah 1419).

Imam ibnu Majah meriwayatkan hadits sebagai berikut:

ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻣﺎﻟﻚ ﺍﻷﺷﻌﺮﻱ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻴﺸﺮﺑﻦ ﻧﺎﺱ ﻣﻦ ﺃﻣﺘﻲ ﺍﻟﺨﻤﺮ ﻳﺴﻤﻮﻧﻬﺎ ﺑﻐﻴﺮ ﺍﺳﻤﻬﺎ ﻳﻌﺰﻑ ﻋﻠﻰ ﺭﺀﻭﺳﻬﻢ ﺑﺎﻟﻤﻌﺎﺯﻑ ﻭﺍﻟﻤﻐﻨﻴﺎﺕ ﻳﺨﺴﻒ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻬﻢ ﺍﻷﺭﺽ ﻭﻳﺠﻌﻞ ﻣﻨﻬﻢ ﺍﻟﻘﺮﺩﺓ ﻭﺍﻟﺨﻨﺎﺯﻳﺮ

"Dari Abu Malik al-Asy’ary ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam: ”Sungguh akan ada orang-orang dari umatku yang meminum khamr yang mana mereka menamakannya dengan selain namanya. Mereka dihibur dengan musik dan (alunan suara) biduanita, maka Allah akan membenamkan mereka kedalam bumi dan dia akan mengubah bentuk sebagian mereka menjadi kera dan babi”.
(HR. Ibnu Majah no. 4010. Diriwayatkan juga oleh Ahmad no. 22951, ibnu Hibban dalam Mawaridudh-Dham’an hal. 336 no. 1384, dan yang lainnya. Hadits ini dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan ibnu Majah, Misykatul-Mashabih, ash-Shahihah, dan Tahrim Alatith-Tharb dan asy-Syaikh Syu’aib al-Arna’uth dalam ta’liq -nya atas Musnad Imam Ahmad).

Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Musnad-nya:

ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﻣﻮﻟﻰ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ : ﺃﻥ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺳﻤﻊ ﺻﻮﺕ ﺯﻣﺎﺭﺓ ﺭﺍﻉ ﻓﻮﺿﻊ ﺇﺻﺒﻌﻴﻪ ﻓﻲ ﺃﺫﻧﻴﻪ ﻭﻋﺪﻝ ﺭﺍﺣﻠﺘﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﻄﺮﻳﻖ ﻭﻫﻮ ﻳﻘﻮﻝ ﻳﺎ ﻧﺎﻓﻊ ﺃﺗﺴﻤﻊ ﻓﺄﻗﻮﻝ ﻧﻌﻢ ﻓﻴﻤﻀﻲ ﺣﺘﻰ ﻗﻠﺖ ﻻ ﻓﻮﺿﻊ ﻳﺪﻳﻪ ﻭﺃﻋﺎﺩ ﺭﺍﺣﻠﺘﻪ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻄﺮﻳﻖ ﻭﻗﺎﻝ ﺭﺃﻳﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺳﻤﻊ ﺻﻮﺕ ﺯﻣﺎﺭﺓ ﺭﺍﻉ ﻓﺼﻨﻊ ﻣﺜﻞ ﻫﺬﺍ

"Dari Nafi’ maula ibnu ’Umar radhiallahu ’anhuma: "Bahwasannya ibnu ’Umar pernah mendengarkan suara seruling yang ditiup oleh seorang penggembala. Maka ia meletakkan kedua jarinya dikedua telinganya (untuk menyumbat/menutupinya) sambil membelokkan untanya dari jalan (menghindari suara tersebut). Ibnu ’Umar berkata: ”Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengarnya ?”. -  Maka aku berkata: ”Ya”. -  Maka ia terus berlalu hingga aku berkata: ”Aku tidak mendengarnya lagi”. - Maka ibnu ’Umar pun meletakkan tangannya (dari kedua telinganya) dan kembali kejalan tersebut sambil berkata: ”Aku melihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ketika mendengar suara seruling melakukannya demikian”.
(HR. Ahmad 2/8 no. 4535 dan 2/38 no. 4965.
Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud no. 4924 dan 4926: al-Ajurri dalam Tahrimun-Nard wasy-Syatranj wal- Malahi no. 64; dan yang lainnya).

Banyak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang dibencinya banyak bersya’ir:

ﻋﻦ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻷﻥ ﻳﻤﺘﻠﺊ ﺟﻮﻑ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﻗﻴﺤﺎ ﺧﻴﺮ ﻟﻪ ﻣﻦ ﺃﻥ ﻳﻤﺘﻠﺊ ﺷﻌﺮﺍ

"Dari ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda: “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah daripada ia penuhi dengan sya’ir”.
(HR. Al-Bukhari no. 5802).

Dari Abu Hurairah radhialllahu 'anhu berkata:

ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻷﻥ ﻳﻤﺘﻠﺊ ﺟﻮﻑ ﺭﺟﻞ ﻗﻴﺤﺎ ﻳﺮﻳﻪ ﺧﻴﺮ ﻣﻦ ﺃﻥ ﻳﻤﺘﻠﺊ ﺷﻌﺮﺍ

"Dari Abi Hurairah radhialllahu ‘anhu ia berkata: "Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah hingga merusak perutnya daripada ia penuhi dengan sya’ir”.
(HR. Al-Bukhari no. 5803 dan Muslim no. 2257).

Ibnu Hajar radhiallahu 'anhu berkata:

ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﺒﺎﻟﻐﺔ ﻓﻲ ﺫﻡ ﺍﻟﺸﻌﺮ ﺃﻥ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺧﻮﻃﺒﻮﺍ ﺑﺬﻟﻚ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻓﻲ ﻏﺎﻳﺔ ﺍﻹﻗﺒﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺍﻻﺷﺘﻐﺎﻝ ﺑﻪ ﻓﺰﺟﺮﻫﻢ ﻋﻨﻪ ﻟﻴﻘﺒﻠﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻋﻠﻰ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﻋﺒﺎﺩﺗﻪ ﻓﻤﻦ ﺃﺧﺬ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﻣﺎ ﺃﻣﺮ ﺑﻪ ﻟﻢ ﻳﻀﺮﻩ ﻣﺎ ﺑﻘﻲ ﻋﻨﺪﻩ ﻣﻤﺎ ﺳﻮﻯ ﺫﻟﻚ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ

“Faktor munculnya celaan yang cukup keras tersebut karena orang yang diajak bicara adalah orang-orang yang menyibukkan diri dan menghabiskan waktunya hanya untuk sya’ir, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela mereka agar mereka kembali kepada al-Qur’an, berdzikir, dan beribadah kepada Allah. Barangsiapa telah melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya, maka tidak mengapa jika sisa waktunya digunakan untuk hal lain".
Wallaahu a’lam .
(Fathul-Bari : 10/550).

Abu ‘Amir al-Asy’ari berkata:

ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻋﺎﻣﺮ ﺍﻷﺷﻌﺮﻱ ﺳﻤﻊ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ  ﻳﻘﻮﻝ  : (( ﻟﻴﻜﻮﻧﻦّ ﻣﻦ ﺃﻣﺘﻲ ﺃﻗﻮﺍﻡ ﻳَﺴﺘَﺤِﻠُﻮﻥَ ﺍﻟﺤِﺮَّ ﻭﺍﻟﺤَﺮﻳﺮَ ﻭﺍﻟﺨﻤْﺮَ ﻭﺍﻟﻤَﻌَﺎﺯﻑ .))


"Dari Abu ‘Amir al-Asy’ari, ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Akan ada dikalangan umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, alat musik.(al-ma’aazif)”.
(Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam shahih -nya [10/51])

Riwayat ini secara mu’allaq dengan lafadzh jazm, dari jalan Hisyam bin ‘Ammar: Telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Khalid: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Yazid bin Jabir: Telah menceritakan kepada kami ‘Athiyyah bin Qais al-Kilabi: Telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahman bin Ghunm al-Asy’ari, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Abu ‘Amir atau Abu Malik al-Asy’ari.

Diriwayatkan pula dari jalan Hisyaam bin ‘Ammar secara maushul oleh: al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra [1/221], al-Ajurri dalam Tahriimun-Nard [hal. 292], ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul-Kabir [3/319] dan dalam Musnad asy-Syamiyyin [1/334], Da’laj dalam Musnad al-Muqallin [hal. 35], ibnu Hibban dalam shahih -nya [8/265], adz-Dzahabi dalam as-Siyar [21/158] dan dalam Tadzkiratul-Huffadh [4/1377], al-Mizzi dalam Tahdzibul-Kamal [ ﻕ /941/2/ ﻁ], ibnu Hajar dalam Taghliqut-Ta’liq [5/155], serta ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq [hal.155] dari beberapa jalan, dari Hisyam (bin ‘Ammar) dengan kelanjutan sanad seperti diatas.

Kemudian riwayat berikut:

ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻫِﺸَﺎﻡُ ﺑْﻦُ ﻋَﻤَّﺎﺭٍ، ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺻَﺪَﻗَﺔُ ﺑْﻦُ ﺧَﺎﻟِﺪٍ، ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺑْﻦُ ﻳَﺰِﻳﺪَ ﺑْﻦِ ﺟَﺎﺑِﺮٍ، ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻋَﻄِﻴَّﺔُ ﺑْﻦُ ﻗَﻴْﺲٍ ﺍﻟْﻜِﻠَﺎﺑِﻲُّ، ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺑْﻦُ ﻏَﻨْﻢٍ ﺍﻟْﺄَﺷْﻌَﺮِﻱُّ، ﻗَﺎﻝَ : ﺣَﺪَّﺛَﻨِﻲ ﺃَﺑُﻮ ﻋَﺎﻣِﺮٍ ﺃَﻭْ ﺃَﺑُﻮ ﻣَﺎﻟِﻚٍ ﺍﻟْﺄَﺷْﻌَﺮِﻱُّ، ﻭَﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣَﺎ ﻛَﺬَﺑَﻨِﻲ ﺳَﻤِﻊَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﻘُﻮﻝُ : " ﻟَﻴَﻜُﻮﻧَﻦَّ ﻣِﻦْ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﺃَﻗْﻮَﺍﻡٌ ﻳَﺴْﺘَﺤِﻠُّﻮﻥَ ﺍﻟْﺤِﺮَ، ﻭَﺍﻟْﺤَﺮِﻳﺮَ، ﻭَﺍﻟْﺨَﻤْﺮَ، ﻭَﺍﻟْﻤَﻌَﺎﺯِﻑَ ﻭَﻟَﻴَﻨْﺰِﻟَﻦَّ ﺃَﻗْﻮَﺍﻡٌ ﺇِﻟَﻰ ﺟَﻨْﺐِ ﻋَﻠَﻢٍ ﻳَﺮُﻭﺡُ ﺑِﺴَﺎﺭِﺣَﺔٍ ﻟَﻬُﻢْ ﻳَﺄْﺗِﻴﻬِﻢْ ﻳَﻌْﻨِﻲ ﺍﻟْﻔَﻘِﻴﺮَ ﻟِﺤَﺎﺟَﺔٍ، ﻓَﻴَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ ﺍﺭْﺟِﻊْ ﺇِﻟَﻴْﻨَﺎ ﻏَﺪًﺍ، ﻓَﻴُﺒَﻴِّﺘُﻬُﻢُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﻳَﻀَﻊُ ﺍﻟْﻌَﻠَﻢَ ﻭَﻳَﻤْﺴَﺦُ ﺁﺧَﺮِﻳﻦَ ﻗِﺮَﺩَﺓً، ﻭَﺧَﻨَﺎﺯِﻳﺮَ ﺇِﻟَﻰ ﻳَﻮْﻡِ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ "

"Telah berkata Hisyam bin ‘Ammar: Telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Khalid : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Yazid bin Jabir: Telah menceritakan kepada kami ‘Athiyyah bin Qais al-Kilaby: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Ghunm al-Asy’ari ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Abu ‘Amir atau Abu Malik al-Asy’ar demi Allah ia tidak mendustaiku, bahwa ia telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Akan ada dikalangan umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, alat musik (al-ma’azif). Dan sungguh beberapa kaum akan mendatangi tempat yang terletak didekat gunung tinggi lalu mereka didatangi orang yang berjalan kaki untuk suatu keperluan. Lantas mereka berkata: "Kembalilah besok." Pada malam harinya, Allah menimpakan gunung tersebut kepada mereka dan sebagian yang lain dikutuk menjadi monyet dan babi hingga hari kiamat”.
(Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari no. 5268. Diriwayatkan juga oleh ibnu Hibban no. 6754, ath-Thabarani dalam al-Kabir no. 3417 dan dalam Musnad Syamiyyin no. 588, al-Baihaqi 3/272, 10/221, dan yang lainnya. Al-Hafidh ibnu Hajar membawakan hadits ini dalam Taghliqut-Ta’liiq 5/18,19 dan yang lainnya).

Al-Imam al-Bukhari dan Imam Muslim membawakan hadits dalam kitab shahihnya dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ia berkata:

ﺩﺧﻞ ﻋﻠﻲ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻋﻨﺪﻱ ﺟﺎﺭﻳﺘﺎﻥ ﺗﻐﻨﻴﺎﻥ ﺑﻐﻨﺎﺀ ﺑﻌﺎﺙ ﻓﺎﺿﻄﺠﻊ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﺮﺍﺵ ﻭﺣﻮﻝ ﻭﺟﻬﻪ ﻭﺩﺧﻞ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻓﺎﻧﺘﻬﺮﻧﻲ ﻭﻗﺎﻝ ﻣﺰﻣﺎﺭﺓ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﺄﻗﺒﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻓﻘﺎﻝ ﺩﻋﻬﻤﺎ ﻓﻠﻤﺎ ﻏﻔﻞ ﻏﻤﺰﺗﻬﻤﺎ ﻓﺨﺮﺟﺘﺎ ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻮﻡ ﻋﻴﺪ ﻳﻠﻌﺐ ﺍﻟﺴﻮﺩﺍﻥ ﺑﺎﻟﺪﺭﻕ ﻭﺍﻟﺤﺮﺍﺏ ﻓﺈﻣﺎ ﺳﺄﻟﺖ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺇﻣﺎ ﻗﺎﻝ ﺗﺸﺘﻬﻴﻦ ﺗﻨﻈﺮﻳﻦ ﻓﻘﻠﺖ ﻧﻌﻢ ﻓﺄﻗﺎﻣﻨﻲ ﻭﺭﺍﺀﻩ ﺧﺪﻱ ﻋﻠﻰ ﺧﺪﻩ ﻭﻫﻮ ﻳﻘﻮﻝ ﺩﻭﻧﻜﻢ ﻳﺎ ﺑﻨﻲ ﺃﺭﻓﺪﺓ ﺣﺘﻰ ﺇﺫﺍ ﻣﻠﻠﺖ ﻗﺎﻝ ﺣﺴﺒﻚ ﻗﻠﺖ ﻧﻌﻢ ﻗﺎﻝ ﻓﺎﺫﻫﺒﻲ

"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki rumahku sedang aku bersama dua orang anak perempuan kecil yang sedang mendendangkan nyanyian Bu’ats. Lalu beliau berbaring dan mengarahkan wajahnya ke arah lain. Kemudian Abu Bakar masuk dan memukulku seraya berkata: “Ada seruling syaithan didekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam". Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapkan wajahnya kepada Abu Bakar seraya bersabda: “Biarkan saja mereka berdua”. Ketika Abu Bakar lengah, aku mencubit kedua anak perempuan itu dan merekapun pergi keluar”.
(HR. Al-Bukhari no. 907 dan Muslim no. 892).

Hadits ‘Aisyah diatas memberikan pemahaman bahwa Nabi dan para sahabatnya tidak terbiasa berkumpul mendengarkan nyanyian, karena itu secara spontan Abu Bakar ash-Shiddiq menamainya "seruling syaithan". Dan pada waktu itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari perkataan Abu Bakar (ketika beliau mengatakan: “Ada seruling syaithan didekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”). Dalam riwayat lain, beliau memberikan penjelasan kepada Abu Bakar tentang alasan pembolehan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu itu sebagai satu rukhshah, dengan perkataan beliau:

( ﺩﻋﻬﻤﺎ ﻳﺎ ﺃﺑﺎ ﺑﻜﺮ ! ﻓﺈﻥ ﻟﻜﻞ ﻗﻮﻡ ﻋﻴﺪﺍ ، ﻭﻫﺬﺍ ﻋﻴﺪﻧﺎ )

"Biarkan mereka berdua wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai ‘Ied (hari raya). Dan ini adalah hari raya kita".

Abu Thayyib ath-Thabari mengatakan:

ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺣﺠﺘﻨﺎ ، ﻷﻥ ﺃﺑﺎ ﺑﻜﺮ ﺳﻤﻰ ﺫﻟﻚ ﻣﺰﻣﻮﺭ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ، ﻭﻟﻢ ﻳﻨﻜﺮ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻗﻮﻟﻪ ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻣﻨﻌﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻐﻠﻴﻆ ﻓﻲ ﺍﻹﻧﻜﺎﺭ ﻟﺤﺴﻦ ﺭﻓﻘﺘﻪ ، ﻻ ﺳﻴﻤﺎ ﻓﻲ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻌﻴﺪ ، ﻭﻗﺪ ﻛﺎﻧﺖ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﺎ ﺻﻐﻴﺮﺓ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻮﻗﺖ ، ﻭﻟﻢ ﻳﻨﻘﻞ ﻋﻨﻬﺎ ﺑﻌﺪ ﺑﻠﻮﻏﻬﺎ ﻭﺗﺤﺼﻴﻠﻬﺎ ﺇﻻ ﺫﻡ ﺍﻟﻐﻨﺎﺀ ، ﻭﻗﺪ ﻛﺎﻥ ﺍﺑﻦ ﺃﺧﻴﻬﺎ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﻳﺬﻡ ﺍﻟﻐﻨﺎﺀ ﻭﻳﻤﻨﻊ ﻣﻦ ﺳﻤﺎﻋﻪ ، ﻭﻗﺪ ﺃﺧﺬ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻋﻨﻬﺎ

“Hadits tersebut (yaitu hadits ‘Aisyah diatas) merupakan hujjah bagi kami. Hal itu disebabkan Abu Bakar menamakannya seruling syaithan, dan perkataan ini tidak diingkari oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja, beliau melarang Abu Bakar untuk mengingkarinya secara keras (berlebihan) karena kelemah lembutan beliau terhadap mereka, terutama pada hari ‘Ied. Apalagi ‘Aisyah radhiallahu ‘anha masih kecil/muda pada waktu itu. Dan tidaklah kemudian dinukil darinya setelah ia baligh dan dewasa kecuali celaannya terhadap nyanyian. Kemenakannya yang bernama al-Qasim bin Muhammad mencela nyanyian dan melarang untuk mendengarkannya. Dan al-Qasim telah mengambil ilmu dari ‘Aisyah (maknanya: celaan dan pelarangan al-Qasim itu sangat dimungkinkan merupakan ilmu yang diajarkan ‘Aisyah kepadanya)”.
(Dinukil dari kitab ibnul-Jauzi 1/253-254).

Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

ﻓﻔﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺑﻴﺎﻥ ﺃﻥ ﻫﺬﺍ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﻦ ﻋﺎﺩﺓ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﺍﻻﺟﺘﻤﺎﻉ ﻋﻠﻴﻪ ، ﻭﻟﻬﺬﺍ ﺳﻤﺎﻩ ﺍﻟﺼﺪﻳﻖ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ " ﻣﺰﻣﻮﺭ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ " ، ﻭﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻗﺮّ ﺍﻟﺠﻮﺍﺭﻱ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻌﻠﻼ ﺫﻟﻚ ﺑﺄﻧﻪ ﻳﻮﻡ ﻋﻴﺪ ﻭﺍﻟﺼﻐﺎﺭ ﻳﺮﺧﺺ ﻟﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﻠﻌﺐ ﻓﻲ ﺍﻷﻋﻴﺎﺩ ، ﻛﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ : " ﻟﻴﻌﻠﻢ ﺍﻟﻤﺸﺮﻛﻮﻥ ﺃﻥ ﻓﻲ ﺩﻳﻨﻨﺎ ﻓﺴﺤﺔ " ، ﻭﻛﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻌﺎﺋﺸﺔ ﻟﻌﺐ ﺗﻠﻌﺐ ﺑﻬﻦ ، ﻭﺗﺠﻲﺀ ﺻﻮﺍﺣﺒﺎﺗﻬﺎ ﻣﻦ ﺻﻐﺎﺭ ﺍﻟﻨﺴﻮﺓ ﻳﻠﻌﺒﻦ ﻣﻌﻬﺎ ."

“Dalam hadits ini mengandung penjelasan bahwasannya hal tersebut (mendengarkan nyanyian dan seruling) bukanlah kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, yaitu berkumpul padanya (untuk mendengarkannya). Oleh karena itu Abu Bakar ash-Shiddiq menamainya dengan seruling syaithan. Dan di waktu yang bersamaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui apa yang dilakukan oleh gadis-gadis kecil dengan alasan bahwa hari itu adalah hari ‘Ied. Anak-anak kecil diberikan keringanan (rukhshah) untuk bernyanyi dan bermain-main sebagaimana tercantum dalam hadits:

“Agar orang-orang musyrik mengetahui bahwa dalam agama kita terdapat keluasan.”Sebagaimana juga ‘Aisyah mempunyai mainan yang ia pakai untuk bermain, dan kemudian didatangkan anak-anak kecil perempuan untuk bermain dengannya”.
(As-Sima’ war-Raqsh –Majmu’atur-Rasaail al-Kubra 2/285).

Al-Hafidh ibnu Hajar rahimahullah berkata:

ﻓﻴﻪ ﺗﻌﻠﻴﻞ ﻭﺇﻳﻀﺎﺡ ﺧﻼﻑ ﻣﺎ ﻇﻨﻪ ﺍﻟﺼﺪﻳﻖ ﻣﻦ ﺃﻧﻬﻤﺎ ﻓﻌﻠﺘﺎ ﺫﻟﻚ ﺑﻐﻴﺮ ﻋﻠﻤﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ، ﻟﻜﻮﻧﻪ ﺩﺧﻞ ﻓﻮﺟﺪﻩ ﻣﻐﻄﻰ ﺑﺜﻮﺑﻪ ﻓﻈﻨﻪ ﻧﺎﺋﻤﺎ ، ﻓﺘﻮﺟﻪ ﻟﻪ ﺍﻹﻧﻜﺎﺭ ﻋﻠﻰ ﺍﺑﻨﺘﻪ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻭﺟﻪ ، ﻣﺴﺘﺼﺤﺒﺎ ﻟﻤﺎ ﺗﻘﺮﺭ ﻋﻨﺪﻩ ﻣﻦ ﻣﻨﻊ ﺍﻟﻐﻨﺎﺀ ﻭﺍﻟﻠﻬﻮ ، ﻓﺒﺎﺩﺭ ﺇﻟﻰ ﺇﻧﻜﺎﺭ ﺫﻟﻚ ﻗﻴﺎﻣﺎ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﺬﻟﻚ ، ﻣﺴﺘﻨﺪﺍ ﺇﻟﻰ ﻣﺎ ﻇﻬﺮ ﻟﻪ ، ﻓﺄﻭﺿﺢ ﻟﻪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﺤﺎﻝ ، ﻭﻋﺮّﻓﻪ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﻣﻘﺮﻭﻧﺎ ﺑﺒﻴﺎﻥ ﺍﻟﺤﻜﻤﺔ ﺑﺄﻧﻪ ﻳﻮﻡ ﻋﻴﺪ ، ﺃﻱ : ﺳﺮﻭﺭ ﺷﺮﻋﻲ ﻓﻼ ﻳﻨﻜﺮ ﻓﻴﻪ ﻣﺜﻞ ﻫﺬﺍ ﻛﻤﺎ ﻻ ﻳﻨﻜﺮ ﻓﻲ ﺍﻷﻋﺮﺍﺱ

“Didalam hadits tersebut terdapat alasan dan penjelasan yang bertolak belakang dengan apa yang diperkirakan oleh ash-Shiddiq (Abu Bakar), bahwasannya mereka berdua (yaitu dua anak kecil yang bernyanyi) melakukannya tanpa sepengetahuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu dikarenakan, ketika Abu Bakar masuk, ia menemukan beliau dalam keadaan berselimut pakaiannya yang ia menyangka beliau sedang tidur. Maka Abu Bakar melakukan pengingkaran berdasarkan apa yang ia pahami secara dhahir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (atas pelarangannya). Maka kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal tersebut kepadanya, dan memberitahukan hukum yang terkait dengan penjelasan hikmah yang terkandung dalam hari ‘Ied, yaitu: kegembiraan yang disyari’atkan. Maka, tidaklah hal itu diingkari sebagaimana hal itu juga tidak diingkari ketika acara pernikahan”.
(Fathul-Baari 2/no. 907).

Mungkinkah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhuma menyanyi dan menari-nari seperti orang-orang Shufi...?

Semoga hati kita belum mengalami mal fungsi sehingga bisa menjawab dengan benar. Salah makan obat, kemudlaratannya hanyalah menimpa dunia Anda. Namun salah dalam beragama, maka kemudlaratannya menimpa dunia dan akhirat Anda sekaligus.

BERIKUT PENDAPAT PARA ULAMA EMPAT MADZHAB.

MADZHAB HANAFIYYAH.

Abdul-‘Aziz bin Ahmad al-Hanafi rahimahullah berkata:

ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻉُ ﻭَﺍﻟْﻘَﻮْﻝُ ﻭَﺍﻟﺮَّﻗْﺺُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻳَﻔْﻌَﻠُﻪُ ﺍﻟْﻤُﺘَﺼَﻮِّﻓَﺔُ ﻓِﻲ ﺯَﻣَﺎﻧِﻨَﺎ ﺣَﺮَﺍﻡٌ

“Nyanyian, qaul, dan tarian yang dilakukan oleh orang Shufi dijaman kita adalah haram”.
(Lihat Fatawa al-Hindiyyah: 43/447).

Abul-Barakat ‘Abdullah bin Ahmad an-Nasafi al-Hanafi rahimahullah berkata:

ﻭﻫﺬﺍ ﻧﺺٌّ ﺻﺮﻳﺢٌ ﻓﻲ ﺗﺤﺮﻳﻢ ﺍﻟﺮﻗﺺ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺴﻤّﻴﻪ ﺍﻟﻤﺘﺼﻮﻓﺔ ﺍﻟﻮﻗﺖ ﻭﺳﻤﺎﻉ ﺍﻟﻄﻴﺐ، ﻭﺇﻧّﻤﺎ ﻫﻮ ﺳﻤﺎﻉٌ ﻓﻴﻪ ﺃﻧﻮﺍﻉُ ﺍﻟﻔﺴﻖ ﻭﺃﻧﻮﺍﻉُ ﺍﻟﻌﺬﺍﺏ ﻓﻲ ﺍﻵﺧﺮﺓ

“Ini adalah nash yang shaarih (jelas) dalam pengharaman tarian yang dinamakan oleh kaum Shufi jaman ini sebagai nyanyian (samaa’) yang baik. Nyanyian yang ada padanya hanyalah jenis-jenis kefasikan dan ‘adzab diakhirat”.
(Lihat Syarh al-Kanz lin-Nasafi).

Ahmad bin Muhammad ath-Thahthawi al-Hanafi rahimahullah berkata:

ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﺮﻗﺺ ﻭﺍﻟﺘﺼﻔﻴﻖ ﻭﺍﻟﺼﺮﻳﺦ ﻭﺿﺮﺏ ﺍﻷﻭﺗﺎﺭ ﻭﺍﻟﺼﻨﺞ ﻭﺍﻟﺒﻮﻕ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻔﻌﻠﻪ ﺑﻌﺾ ﻣﻦ ﻳﺪﻋﻲ ﺍﻟﺘﺼﻮﻑ ﻓﺈﻧﻪ ﺣﺮﺍﻡ ﺑﺎﻹﺟﻤﺎﻉ؛ ﻷﻧﻬﺎ ﺯﻱُّ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ

“Adapun tarian, tepuk tangan, teriakan, petikan senar, pukulan simbal, dan tiupan terompet yang dilakukan sebagian orang Shufi, maka haram hukumnya berdasarkan ijma’ karena ia adalah mode orang-orang kafir”.
(Lihat Hasyiyyah ath-Thahawi ‘alal-Maraqi, 2/311).

Alauddiin al-Khawarizmi al-Hanafi rahimahullah berkata:

ﺳُﺌﻞ ﺍﻟﺤﻠﻮﺍﻧﻲ ﻋﻤَّﻦ ﺳَﻤّﻮﺍ ﺃﻧﻔﺴﻬﻢ ﺍﻟﺼﻮﻓﻴّﺔ، ﻭﺍﺧﺘﺼّﻮﺍ ﺑﻨﻮﻉ ﻟِﺒْﺴﺔٍ، ﻭﺍﺷﺘﻐﻠﻮﺍ ﺑﺎﻟﻠﻬﻮ ﻭﺍﻟﺮﻗﺺ، ﻭﺍﺩّﻋﻮﺍ ﻷﻧﻔﺴﻬﻢ ﺍﻟﻤﻨﺰﻟَﺔَ، ﻓﻘﺎﻝ : ﺍﻓْﺘَﺮَﻭﺍ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻛﺬﺑﺎً

“Al-Hulwani pernah ditanya tentang golongan yang menamakan dirinya Shufiyyah, yang mempunyai pakaian khusus, menyibukkan diri dengan permainan dan tarian, serta mendakwakan diri mereka sebagai manzilah; maka ia (al-Hulwani) berkata: "Mereka telah membuat-buat kedustaan terhadap Allah”.
(Lihat al-Yatiimatud-Dahr fii Fatawaa Ahlil-‘Ashr).

Mahmud bin Abil-Qasim bin Badran al-Hanafi rahimahullah berkata:

ﺃﻻ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺮﻗﺺ ﻭﺇﺳﺘﻤﺎﻉ ﺍﻟﻐﻨﺎﺀ ﺍﻟﺸﺒﺎﺑﺎﺕ ﻭﺍﻟﻠﻌﺐ ﺑﺎﻟﺸﻄﺮﻧﺞ ﻭﻟﺒﺲ ﺍﻟﺨﺮﻗﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺸﺎﻳﺦ ﻭﺗﻘﻠﻴﺪ ﺍﻟﺠﻬﺎﻝ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ ﺃﻣﺮ ﺗﺒﻴﻦ ﺯﻳﻐﺔ ﻋﻨﺪ ﺃﻫﻞ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ

“Ketahuilah, sesungguhnya tarian, mendengarkan nyanyian seruling, bermain catur, mengenakan pakaian para masyayikh, serta taqlid kepada orang-orang bodoh dari kalangan ahli ibadah merupakan perkara yang jelas menyimpang menurut orang-orang yang berpegang pada Islam dan Sunnah”.
(Lihat an-Naha ‘an ar-Raqs wal-Istima’, 2/676).

MADZHAB MALIKIYYAH.

Al-Imam al-Malik bin Anas sebagaimana dinukil oleh al-Qadli ‘Iyadl rahimahumallah:

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺘﻨﻴﺴﻲ : ﻛﻨﺎ ﻋﻨﺪ ﻣﺎﻟﻚ ﻭﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﺣﻮﻟﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺟﻞ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﻧﺼﻴﺒﻴﻦ ﻳﺎ ﺃﺑﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻗﻮﻡ ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻬﻢ ﺍﻟﺼﻮﻓﻴﺔ ﻳﺄﻛﻠﻮﻥ ﻛﺜﻴﺮﺍً ﺛﻢ ﻳﺄﺧﺬﻭﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺼﺎﺋﺪ ﺛﻢ ﻳﻘﻮﻣﻮﻥ ﻓﻴﺮﻗﺼﻮﻥ. ﻓﻘﺎﻝ ﻣﺎﻟﻚ : ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ ﻫﻢ؟ ﻗﺎﻝ ﻻ.
ﻗﺎﻝ ﺃﻣﺠﺎﻧﻴﻦ؟ ﻗﺎﻝ ﻻ، ﻗﻮﻡ ﻣﺸﺎﺋﺦ ﻭﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ ﻋﻘﻼً .
ﻗﺎﻝ ﻣﺎﻟﻚ ﻣﺎ ﺳﻤﻌﺖ ﺃﻥ ﺃﺣﺪﺍً ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻳﻔﻌﻞ ﻫﺬﺍ .

“At-Tunisiy berkata: "Kami pernah berada disisi Malik dan sahabat-sahabatnya yang mengitarinya. Ada seorang laki-laki dari penduduk Nushaibin berkata: "Wahai Abu ‘Abdillah, disisi kami dari suatu kaum yang bernama Shufiyyah. Mereka makan banyak, setelah itu mereka mendendangkan qashidah, lalu mereka berdiri dan menari". -  Malik berkata: "Apakah mereka itu anak-anak ?" -  Ia menjawab: "Tidak". -  Malik berkata: "Apakah mereka itu orang-orang gila ?". -  Ia menjawab: "Tidak". Mereka suatu kaum yang berakal terdiri orang-orang tua dan yang lainnya". -  Malik berkata:"Aku belum pernah mendengar seorang pun dari orang Islam melakukannya”.
(Lihat Tartibul-Madarik: 1/55).

Abu Bakr ath-Thurthusi al-Maliki rahimahullah berkata:

ﻳﺮﺣﻤﻚ ﺍﻟﻠﻪ - ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻟﺼﻮﻓﻴﺔ ﺑﻄﺎﻟﺔ ﻭﺟﻬﺎﻟﺔ ﻭﺿﻼﻟﺔ، ﻭﻣﺎ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺇﻻ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺳﻨﺔ ﺭﺳﻮﻝ، ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﺮﻗﺺ ﻭﺍﻟﺘﻮﺍﺟﺪ ﻓﺄﻭﻝ ﻣﻦ ﺃﺣﺪﺛﻪ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﺴﺎﻣﺮﻱ، ﻟﻤﺎ ﺍﺗﺨﺬ ﻟﻬﻢ ﻋﺠﻼ ﺟﺴﺪﺍ ﻟﻪ ﺧﻮﺍﺭ ﻗﺎﻣﻮﺍ ﻳﺮﻗﺼﻮﻥ ﺣﻮﺍﻟﻴﻪ ﻭﻳﺘﻮﺍﺟﺪﻭﻥ؛ ﻓﻬﻮ ﺩﻳﻦ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ ﻭﻋﺒﺎﺩ ﺍﻟﻌﺠﻞ؛ ....... ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻳﺠﻠﺲ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻊ ﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﻛﺄﻧﻤﺎ ﻋﻠﻰ ﺭﺅﻭﺳﻬﻢ ﺍﻟﻄﻴﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻗﺎﺭ؛ ﻓﻴﻨﺒﻐﻲ ﻟﻠﺴﻠﻄﺎﻥ ﻭﻧﻮﺍﺑﻪ ﺃﻥ ﻳﻤﻨﻌﻬﻢ ﻋﻦ ﺍﻟﺤﻀﻮﺭ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ؛ ﻭﻻ ﻳﺤﻞ ﻷﺣﺪ ﻳﺆﻣﻦ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻭﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻵﺧﺮ ﺃﻥ ﻳﺤﻀﺮ ﻣﻌﻬﻢ، ﻭﻻ ﻳﻌﻴﻨﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺑﺎﻃﻠﻬﻢ؛ ﻫﺬﺍ ﻣﺬﻫﺐ ﻣﺎﻟﻚ ﻭﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻭﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﻣﻦ ﺃﺋﻤﺔ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻭﺑﺎﻟﻠﻪ ﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ.

“Semoga Allah memberikan rahmat kepadamu,… madzhab Shufiyyah hanyalah kesia-siaan, kebodohan, dan kesesatan. Islam itu hanyalah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun tarian dan sikap berkasih-kasihan, yang pertama kali mengadakannya adalah rekan-rekan Samiriy. Ketika ia berhasil membuat patung anak sapi yang bisa bersuara, maka mereka berdiri menari disekitarnya sambil berkasih-kasihan. Perbuatan tersebut merupakan agama orang kafir dan penyembah anak sapi..... Adapun majelis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabatnya, (keadaannya) adalah seakan-akan di kepala-kepala mereka terdapat burung karena ketenangannya. Sudah seharusnya sulthan dan para wakilnya melarang mereka (shufi) menghadiri masjid-masjid dan yang lainnya. Tidak halal bagi seorang pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir hadir pada kegiatan mereka. Tidak diperbolehkan menolong kebathilan mereka. Inilah madzhab Malik, Abu Hanifah, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan yang lainnya dari kalangan Imam-Imam kaum muslimin. Wabillahit-taufiiq".
(Lihat Tafsir al-Qurthubi: 11/238).

Abu Ishaq asy-Syathibi al-Maliki rahimahullah berkata:

ﻭﻗﻊ ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ ﻋﻦ ﻗﻮﻡ ﻳﺘﺴﻤﻮﻥ ﺑﺎﻟﻔﻘﺮﺍﺀ، ﻳﺰﻋﻤﻮﻥ ﺃﻧﻬﻢ ﺳﻠﻜﻮﺍ ﻃﺮﻳﻖ ﺍﻟﺼﻮﻓﻴﺔ، ﻓﻴﺠﺘﻤﻌﻮﻥ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻠﻴﺎﻟﻲ، ﻭﻳﺄﺧﺬﻭﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﺬﻛﺮ ﺍﻟﺠﻬﺮﻱ ﻋﻠﻰ ﺻﻮﺕ ﻭﺍﺣﺪ، ﺛﻢ ﻓﻲ
ﺍﻟﻐﻨﺎﺀ ﻭﺍﻟﺮﻗﺺ ﺇﻟﻰ ﺁﺧﺮ ﺍﻟﻠﻴﻞ، ﻭﻳﺤﻀﺮ ﻣﻌﻬﻢ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﺘﺴﻤﻴﻦ ﺑﺎﻟﻔﻘﻬﺎﺀ، ﻳﺘﺮﺳﻤﻮﻥ ﺑﺮﺳﻢ ﺍﻟﺸﻴﻮﺥ ﺍﻟﻬﺪﺍﺓ ﺇﻟﻰ ﺳﻠﻮﻙ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻄﺮﻳﻖ؛ ﻫﻞ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺻﺤﻴﺢ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﺃﻡ ﻻ؟. ﻓﻮﻗﻊ ﺍﻟﺠﻮﺍﺏ ﺑﺄﻥ ﺫﻟﻚ ﻛﻠﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺒﺪﻉ ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﺎﺕ، ﺍﻟﻤﺨﺎﻟﻔﺔ ﻃﺮﻳﻘﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻃﺮﻳﻘﺔ ﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﻭﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻴﻦ ﻟﻬﻢ ﺑﺈﺣﺴﺎﻥ .

“Terdapat pertanyaan tentang suatu kaum yang menamakan diri dengan fuqara’. Mereka menyangka bahwa mereka menempuh jalan orang-orang Shufi. Mereka berkumpul pada sebagian malam, lalu mengumandangkan dzikir jahr (keras) dengan satu suara, kemudian diiringi dengan lagu dan tarian hingga akhir malam. Hadir pada acara tersebut orang-orang yang disebut fuqaha’ yang mengenakan pakaian ala guru besar yang memberi petunjuk pada jalan tarekat Shufiyyah tersebut. Apakah perbuatan ini dibenarkan menurut syari’at ?. Jawabannya adalah bahwa semua hal itu termasuk perbuatan bid'ah yang dibuat-buat, bertentangan dengan jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”.
(Lihat al-I’tisham , 1/337).

MADZHAB SYAFI'IYYAH.

Muhammad bin Idriis asy-Syafi’i rahimahullah:

ﻭَﺃَﺧْﺒَﺮَﻧِﻲ ﺯَﻛَﺮِﻳَّﺎ ﺑْﻦُ ﻳَﺤْﻴَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﻗِﺪُ، ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺍﻟْﺤُﺴَﻴْﻦُ ﺑْﻦُ ﺍﻟْﺤَﺮُﻭﺭِﻱِّ، ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪُ ﺑْﻦُ ﻳَﻌْﻘُﻮﺏَ، ﻗَﺎﻝَ : ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﻳُﻮﻧُﺲَ ﺑْﻦَ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻷَﻋْﻠَﻰ، ﻗَﺎﻝَ : ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲَّ، ﻗَﺎﻝَ : " ﺗَﺮَﻛْﺖُ ﺑِﺎﻟْﻌِﺮَﺍﻕِ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻳُﺴَﻤُّﻮﻧَﻪُ ﺍﻟﺘَّﻐْﺒِﻴﺮَ، ﻭَﺿَﻌَﺘْﻪُ ﺍﻟﺰَّﻧَﺎﺩِﻗَﺔُ ﻳَﺸْﻐِﻠُﻮﻥَ ﺑِﻪِ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ "

"Dan telah mengkhabarkan kepadaku Zakariyya bin Yahya an-Naqid: Telah menceritakan kepada kami al-Husain bin al-Haruri: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ya’qub, ia berkata: Aku mendengar Yunus bin ‘Abdil-A’la, ia berkata: Aku mendengar asy-Syafi’i berkata: “Aku meninggalkan Iraq sesuatu karena munculnya sesuatu disana yang mereka namakan dengan at-Taghbir yang telah dibuat oleh kaum Zanadiqah. Mereka memalingkan manusia dengannya dari al-Qur’an".
(Diriwayatkan oleh al-Khallal dalam al-Amru bil-Ma’ruf wan-Nahyu ‘anil-Munkar , hal. 99; shahih).

As-Suyuthi menukil perkataan al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahumallah berikut:

ﺧﻠﻔﺖ ﺑﺎﻟﻌﺮﺍﻕ ﺷﻴﺌﺎً ﺃﺣﺪﺛﻪ ﺍﻟﺰﻧﺎﺩﻗﺔ ﻳﺴﻤﻰ ﺍﻟﺘﻐﻴﻴﺮ ﻳﺸﻐﻠﻮﻥ ﺑﻪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ

“Aku meninggalkan Iraq dalam keadaan disana terdapat orang-orang zindiq (kaum munafik yang berpura-pura masuk Islam) mengada-adakan nyanyian yang dinamakan at-Taghbir. Nyanyian itu melalaikan manusia dari al-Qur’an”.
(Lihat al-Amr bil Ittiba’ hal.8).

Ibnu Shalah asy-Syafi’i rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang memainkan alat musik duff dan melakukan tarian, apakah ia berdosa dan ‘adalah (keadilan)-nya gugur ? maka ia menjawab:

ﻧﻌﻢ ﻳَﺄْﺛَﻢ ﺑﺬﻟﻚ ﻭﻳﻔﺴﻖ ﻭَﺗﺴﻘﻂ ﻋَﺪَﺍﻟَﺘﻪ ﻭﺣﺎﻟﺘﻪ ﻫَﺬِﻩ ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺍﻟﺴﻤﺎﻉ ﺍﻟْﻤُﻌْﺘَﺎﺩ ﺣﺮَﺍﻡ ﻏﻠﻴﻆ ﻋِﻨْﺪ ﺍﻟْﻌﻠﻤَﺎﺀ ......

“Benar, ia berdosa atas perbuatan tersebut. Ia difasikkan dan digugurkan ‘adalah -nya. Dan keadaannya ini, serta nyanyian yang dibiasakannya ini sangat diharamkan menurut para ulama....”
(Lihat Fatawaa ibnish-Shalah ,2/498).

Al-‘Izz bin ‘Abdis-Salam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

ﺍﻟﺮﻗﺺ ﻻ ﻳﺘﻌﺎﻃﺎﻩ ﺇﻻ ﻧﺎﻗﺺ ﺍﻟﻌﻘﻞ، ﻭﻻ ﻳﺼﻠُﺢ ﺇﻻ ﻟﻠﻨﺴﺎﺀ

“Tidak ada yang melakukan tarian kecuali orang yang kurang akalnya. Tidak layak dilakukan kecuali bagi para wanita".
(Lihat Qawa’idul-Ahkam , hal. 679).

MADZHAB HANABILLAH.

Ibnul-Jauziy rahimahullah menukil pendapat Ahmad bin Hanbal rahimahumallah berkara:

ﻭﺭﻭﻯ ﻋﻨﻪ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﺤﺎﺭﺙ ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ : ﺍﻟﺘﻐﻴﻴﺮ ﺑﺪﻋﺔ، ﻓﻘﻴﻞ ﻟﻪ ﺃﻧﻪ ﻳﺮﻗﻖ ﺍﻟﻘﻠﺐ. ﻓﻘﺎﻝ ﻫﻮ ﺑﺪﻋﺔ . ﻭﺭﻭﻯ ﻋﻨﻪ ﻳﻌﻘﻮﺏ ﺍﻟﻬﺎﺷﻤﻲ : ﺍﻟﺘﻐﻴﻴﺮ ﺑﺪﻋﺔ ﻣﺤﺪﺙ. ﻭﺭﻭﻯ ﻋﻨﻪ ﻳﻌﻘﻮﺏ ﺑﻦ ﻏﻴﺎﺙ ﺃﻛﺮﻩ ﺍﻟﺘﻐﻴﻴﺮ ﻭﺃﻧﻪ ﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﺍﺳﺘﻤﺎﻋﻪ .

“Dan diriwayatkan dari Abul-Harits, bahwasannya Ahmad berkata: ‘"at-Taghyir (musik dan tarian) adalah bid’ah". Dikatakan kepadanya: "Ia dapat melembutkan hati". Ahmad berkata: "Hal itu adalah bid’ah".
(Diriwayatkan oleh Ya'qub al-Hasyimi darinya (Ahmad), ia berkata: "at-Taghyir adalah bid’ah yang diada-adakan". Dan diriwayatkan oleh Ya’qub bin Ghiyats darinya (Ahmad), ia berkata: "Aku membenci at-taghyir". Dan bahwasannya ia melarang untuk mendengarkannya”.
(Lihat Talbis Iblis , 1/203).

Ibnul-Jauziy rahimahullah sendiri berkata:

ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻻ ﻧﻘﺒﻞ ﺷﻬﺎﺩﺓ ﺍﻟﻤﻐﻨﻲ ﻭﺍﻟﺮﻗﺎﺹ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻤﻮﻓﻖ

“Para fuqaha’ dari kalangan sahabat kami (ulama Hanabilah) tidak menerima persaksian penyanyi dan penari". Wallaahul-muwaffiq’.
(1/205-206).

Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata:

ﻗُﻠْﺖ : ﻭَﻟَﻪُ ﺭﺳﺎﺋﻞ ﻛﺜﻴﺮﺓ ﺇﻟﻰ ﺍﻷﻋﻴﺎﻥ ﺑﺎﻹِﻧﻜﺎﺭ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢ ﻭﺍﻟﻨﺼﺢ ﻟَﻬُﻢْ. ﻭﺭﺃﻳﺖ ﺑﺨﻄﻪ ﻛﺘﺎﺑﺎ ﺃﺭﺳﻠﻪ ﺍﻟﻰ ﺍﻟﺨﻠﻴﻔﺔ ﺑﺒﻐﺪﺍﺩ . ﻭﺃﺭﺳﻞ ﺃﻳﻀًﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻋَﻠِﻲ ﺑْﻦ ﺇﺩﺭﻳﺲ ﺍﻟﺰﺍﻫﺪ - ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻋَﺒْﺪ ﺍﻟﻘﺎﺩﺭ - ﺭﺳﺎﻟﺔ ﻃﻮﻳﻠﺔ، ﺗﺘﻀﻤﻦ ﺇﻧﻜﺎﺭ ﺍﻟﺮﻗﺺ ﻭﺍﻟﺴﻤﺎﻉ ﻭﺍﻟﻤﺒﺎﻟﻐﺔ ﻓِﻲ ﺫَﻟِﻚَ.

“Aku katakan: "Ia (Ishaq bin Ahmad bin Muhammad bin Ghanim al- Hanbali) mempunyai banyak risalah yang ditujukan kepada beberapa orang dalam rangka pengingkaran dan nasihat kepada mereka. Dan aku pernah melihat sebuah kitab dengan tulisannya, yang ia kirim kepada Khaliifah di Bagdad. Ia juga pernah mengirimkan kepada asy-Syaikh ‘Ali bin Idriis az-Zahid – sahabat asy-Syaikh ‘Abdul-Qadir sebuah risalah panjang yang berisi pengingkaran terhadap tarian, nyanyian, dan berlebih-lebihan dalam hal tersebut”.
(Lihat Dzail Thabaqat al-Hanabilah, 1/164).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah al-Hanbali rahimahullah berkata:

ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﺮﻗﺺ ﻓﻠﻢ ﻳﺄﻣﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻪ ﻭﻻ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﻭﻻ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﺑﻞ ﻗﺪ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻰ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﻭﺍﻗﺼﺪ ﻓﻰ ﻣﺸﻴﻚ ﻭﻗﺎﻝ ﻓﻰ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﻭﻋﺒﺎﺩ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﻤﺸﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺭﺽ ﻫﻮﻧﺎ ﺃﻯ ﺑﺴﻜﻴﻨﺔ ﻭﻭﻗﺎﺭ. ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻋﺒﺎﺩﺓ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ ﻭﺍﻟﺴﺠﻮﺩ ﺑﻞ ﺍﻟﺪﻑ ﻭﺍﻟﺮﻗﺺ ﻓﻰ ﺍﻟﻄﺎﺑﻖ ﻟﻢ ﻳﺄﻣﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻪ ﻭﻻ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﻭﻻ ﺍﺣﺪ ﻣﻦ ﺳﻠﻒ ﺍﻷﻣﺔ ﺑﻞ ﺃﻣﺮﻭﺍ ﺑﺎﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﻰ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻜﻴﻨﺔ

“Adapun tarian, maka itu tidak pernah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta tidak seorangpun dari kalangan imam kaum muslimin. Bahkan Allah ta’ala berfirman dalam kitab-Nya: "Dan sederhanalah kamu dalam berjalan". (QS. Luqman : 19). Dan Allah juga berfirman dalam kitab-Nya: "Dan hamba-hamba Tuhan yang maha penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati". (QS. Al-Furqan : 63), yaitu: dengan ketenangan. Ibadah yang dilakukan kaum muslimin hanyalah rukuk dan sujud. Akan tetapi permainan duff dan tarian diloteng rumah tidak pernah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Tidak pula oleh seorangpun dari kalangan salafnya umat. Akan tetapi mereka (kaum muslimin) diperintahkan untuk membaca al-Qur’an dalam shalat dan bersikap tenang”.
(Lihat Majmu’ Al-Fatawaa 11/599).
Wallahu a’lam .

NYANYIAN DAN MUSIK YANG DI PERKECUALIKAN.

Ada saat-saat tertentu dimana nyanyian dan alat musik ini diperbolehkan untuk dimainkan dan didengarkan. Diantaranya adalah:

(1). Pada saat hari raya.

Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan oleh ’Aisyah radhiallahu ’anha sebagaimana telah lewat.
(HR. Bukhari no. 907 dan Muslim no. 892).

Selain itu, masih dalam riwayat ‘Aisyah yang dibawakan oleh al-Imam al-Bukhari dalam shahih -nya:

ﺃﻥ ﺃﺑﺎ ﺑﻜﺮ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻪ ﺩﺧﻞ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﻋﻨﺪﻫﺎ ﺟﺎﺭﻳﺘﺎﻥ ﻓﻲ ﺃﻳﺎﻡ ﻣﻨﻰ ﺗﺪﻓﻔﺎﻥ ﻭﺗﻀﺮﺑﺎﻥ ﻭﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﺘﻐﺶ ﺑﺜﻮﺑﻪ ﻓﺎﻧﺘﻬﺮﻫﻤﺎ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻓﻜﺸﻒ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻦ ﻭﺟﻬﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﺩﻋﻬﻤﺎ ﻳﺎ ﺃﺑﺎ ﺑﻜﺮ ﻓﺈﻧﻬﺎ ﺃﻳﺎﻡ ﻋﻴﺪ ﻭﺗﻠﻚ ﺍﻷﻳﺎﻡ ﺃﻳﺎﻡ ﻣﻨﻰ ﻭﻗﺎﻟﺖ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺃﻳﺖ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺴﺘﺮﻧﻲ ﻭﺃﻧﺎ ﺃﻧﻈﺮ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺤﺒﺸﺔ ﻭﻫﻢ ﻳﻠﻌﺒﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻓﺰﺟﺮﻫﻢ ﻋﻤﺮ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺩﻋﻬﻢ ﺃﻣﻨﺎ ﺑﻨﻲ ﺃﺭﻓﺪﺓ ﻳﻌﻨﻲ ﻣﻦ ﺍﻷﻣﻦ

”Bahwasannya Abu Bakr radhiallahu ta’ala ’anhu masuk menemuinya (’Aisyah) dimana disampingnya terdapat dua orang anak perempuan dihari Mina yang memukul duff. Adapun Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam waktu itu dalam keadaan menutup wajahnya dengan bajunya. Ketika melihat hal tersebut, maka Abu Bakr membentak kedua anak perempuan tadi. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam kemudian membuka bajunya yang menutup wajahnya dan berkata: ”Biarkan mereka wahai Abu Bakr, sesungguhnya hari ini adalah hari raya Mina”.  Pada waktu itu adalah hari-hari Mina”.
(HR. Al-Bukhari no.944).

(2). Pada saat pernikahan.

ﻗﺎﻟﺖ ﺍﻟﺮﺑﻴﻊ ﺑﻨﺖ ﻣﻌﻮﺫ ﺑﻦ ﻋﻔﺮﺍﺀ ﺟﺎﺀ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﺪﺧﻞ ﺣﻴﻦ ﺑﻨﻲ ﻋﻠﻲ ﻓﺠﻠﺲ ﻋﻠﻰ ﻓﺮﺍﺷﻲ ﻛﻤﺠﻠﺴﻚ ﻣﻨﻲ ﻓﺠﻌﻠﺖ ﺟﻮﻳﺮﻳﺎﺕ ﻟﻨﺎ ﻳﻀﺮﺑﻦ ﺑﺎﻟﺪﻑ ﻭﻳﻨﺪﺑﻦ ﻣﻦ ﻗﺘﻞ ﻣﻦ ﺁﺑﺎﺋﻲ ﻳﻮﻡ ﺑﺪﺭ ﺇﺫ ﻗﺎﻟﺖ ﺇﺣﺪﺍﻫﻦ ﻭﻓﻴﻨﺎ ﻧﺒﻲ ﻳﻌﻠﻢ ﻣﺎ ﻓﻲ ﻏﺪ ﻓﻘﺎﻝ ﺩﻋﻲ ﻫﺬﻩ ﻭﻗﻮﻟﻲ ﺑﺎﻟﺬﻱ ﻛﻨﺖ ﺗﻘﻮﻟﻴﻦ

Telah berkata ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin ’Afra’: ”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam datang ketika acara pernikahanku. Maka beliau duduk diatas tempat tidurku seperti duduknya engkau (yaitu Khalid bin Dzakwan–orang yang diajak bicara ar-Rubayi’) dariku. Datanglah beberapa anak perempuan yang memainkan/memukul duff sambil menyebut kebaikan-kebaikan orang-orang yang terbunuh dari orang-orang tuaku pada waktu perang Badr. Salah seorang dari mereka berkata: ”Diantara kami
terdapat seorang Nabi yang mengetahui apa yang terjadi esok hari". Maka Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata: ”Tinggalkan perkataan ini (karena perkataan anak-anak wanita tersebut tidak benar) dan ucapkanlah apa yang tadi engkau katakan (yaitu sebelum perkataan yang mengandung keharaman tadi)”.
(HR. Al-Bukhari no.4852).

Ibnu Hajar mengomentari hadits ini dengan perkataannya:

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻤﻬﻠﺐ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻋﻼﻥ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﺑﺎﻟﺪﻑ ﻭﺑﺎﻟﻐﻨﺎﺀ ﺍﻟﻤﺒﺎﺡ

”Telah berkata al-Muhallab : Dalam hadits ini
menunjukkan bahwa mengumumkan pernikahan dengan memainkan duff adalah diperbolehkan”.
(Lihat Fathul-Bari juz 9 no. 4852).

ﻋﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﺎﻃﺐ ﺍﻟﺠﻤﺤﻲ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﺼﻞ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺤﻼﻝ ﻭﺍﻟﺤﺮﺍﻡ ﺍﻟﺪﻑ ﻭﺍﻟﺼﻮﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ

"Dari Muhammad bin Hathib al-Jumahi berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam: ”Pembeda antara yang haram dan yang halal adalah duff dan suara dalam pernikahan”.
(HR. Ahmad no. 15489, Tirmidzi no. 1088, dan yang lainnya; hasan).

Hadits-hadits diatas tidak bisa dipahami bahwa pembolehan tersebut mutlak disemua waktu, semua orang, dan semua alat musik. Ini tidak benar. Hadits-hadits diatas sifatnya lebih khusus yang mentakhshish hadits-hadits yang telah disebut sebelumnya yang menyatakan keharamannya, sehingga yang ’aam (umum) dibawa kepada yang khash (khusus). Pengkhususan tersebut meliputi:

(A). Terkait dengan waktu, yaitu pada saat hari raya dan pernikahan.

(B). Terkait dengan orang yang melakukan, yaitu wanita.

(C). Terkait dengan alat musik yang dimainkan, yaitu duff (rebana).

Tidak diriwayatkan satupun hadits shahih selain dari sifat-sfat yang disebutkan, selain hadits Buraidah yang akan dibahas kemudian. Diperbolehkannya nyanyian dan memukul duff pada hari raya dan pernikahan merupakan rukhshah (keringanan). Hal ini sebagaimana jelas dalam riwayat:

ﻋﻦ ﻋﺎﻣﺮ ﺑﻦ ﺳﻌﺪ ﻗﺎﻝ : ﺩﺧﻠﺖ ﻋﻠﻰ ﻗﺮﻇﻪ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ ﻭﺃﺑﻲ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭﻱ ﻓﻲ ﻋﺮﺱ ﻭﺇﺫﺍ ﺟﻮﺍﺭ ﻳﻐﻨﻴﻦ ﻓﻘﻠﺖ ﺃﻧﺘﻤﺎ ﺻﺎﺣﺒﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺑﺪﺭ ﻳﻔﻌﻞ ﻫﺬﺍ ﻋﻨﺪﻛﻢ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﺟﻠﺲ ﺇﻥ ﺷﺌﺖ ﻓﺎﺳﻤﻊ ﻣﻌﻨﺎ ﻭﺇﻥ ﺷﺌﺖ ﺍﺫﻫﺐ ﻗﺪ ﺭﺧﺺ ﻟﻨﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻠﻬﻮ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻌﺮﺱ

"Dari ’Amir bin Sa’d ia berkata: "Aku masuk menemui Quradhah bin Ka’b dan Abu Mas’ud al-Anshar radhiallahu ’anhu dalam satu pernikahan yang disitu terdapat anak-anak perempuan yang sedang menyanyi. Maka aku berkata: ”Kalian berdua adalah sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan termasuk ahli Badr. Dan hal ini dilakukan disisi kalian ?”. Maka salah seorang dari mereka menjawab: ”Duduklah jika engkau mau dan dengarkanlah bersama kami. Atau pergilah jika engkau mau. Sungguh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa salam memberikan rukhshah (keringanan) kepada kami mendengarkan hiburan saat pernikahan”.
(HR. An-Nasa’i no. 3383, al-Hakim no. 2752, dan yang lainnya; hasan).

Atsar diatas menunjukkan bahwa nyanyian dan musik dikalangan sahabat bukan merupakan fenomena yang ladzim dimainkan, sehingga ketika Quradhah dan Abu Mas’ud mendengarkan nyanyian yang dimainkan oleh gadis kecil saat pernikahan, maka ’Amir bin Sa’d bertanya dengan penuh keheranan. Namun kemudian dua orang sahabat Nabi tersebut menjawab bahwa mendengarkan nyanyian dan pukulan duff (rebana) saat pernikahan merupakan satu keringanan (rukhshah) dalam syari’at Islam. Kalimat rukhkhisha lana menunjukkan bahwa nyanyian dan memainkan duff merupakan pengecualian (takhshish) yang sangat jelas dari dalil yang bersifat umum (yang menjelaskan keharaman). Juga, kalimat tersebut memberikan pengetahuan bahwa perkara sebelum pemberian rukhshah adalah sesuatu yang patut untuk berhati-hati/diwaspadai, yaitu menunjukkan keharaman.

 ﺍﻷﻣﺮ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺘﺮﺧﻴﺺ ﻣﺤﻈﻮﺭ – ﺃﻱﻣﺤﺮّﻡ

Hal serupa  adalah seperti yang terdapat dalam hadits:

ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺃﻧﺒﺄﻫﻢ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺭﺧﺺ ﻟﻌﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﻋﻮﻑ ﻭﺍﻟﺰﺑﻴﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﻌﻮﺍﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻤﺺ ﺍﻟﺤﺮﻳﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻔﺮ ﻣﻦ ﺣﻜﺔ ﻛﺎﻧﺖ ﺑﻬﻤﺎ ﺃﻭ ﻭﺟﻊ ﻛﺎﻥ ﺑﻬﻤﺎ

"Dari Anas bin Malik radhiallahu ’anhu: Bahwasannya Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah memberikan keringanan (rukhshah) kepada ’Abdurrahman bin ’Auf dan az-Zubair bin ’Awwam untuk mengenakan baju dari sutera dalam safar karena mereka berdua terserang penyakit gatal atau penyakit yang lain”.
(HR. Al-Bukhari no. 2762 dan Muslim no.2076)

Maka, hadits diatas merupakan takhshish dari keumuman larangan sutera bagi laki-laki sebagaimana sabda beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

ﻻ ﺗﻠﺒﺴﻮﺍ ﺍﻟﺤﺮﻳﺮ ﻓﺈﻧﻪ ﻣﻦ ﻟﺒﺴﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻟﻢ ﻳﻠﺒﺴﻪ ﻓﻲ ﺍﻵﺧﺮﺓ

”Janganlah kalian mengenakan sutera, karena sesungguhnya jika ia mengenakannya didunia maka ia tidak akan mengenakannya di akhirat”.
(HR. Al-Bukhari no. 5310 dan Muslim no. 2069).

Rukhshah disini datang setelah adalah pengharaman. Asy-Syaikh ’Abdurrahman as-Suhaim (dalam risalahnya : Hukmud-Duff lir-Rijal wan-Nisa’ fii Ghairil-A’rasy  menukil perkataan ibnu Hazm:

ﻻ ﺗﻜﻮﻥ ﻟﻔﻈﺔ ﺍﻟﺮﺧﺼﺔ ﺇﻻ ﻋﻦ ﺷﻲﺀ ﺗﻘﺪﻡ ﺍﻟﺘﺤﺬﻳﺮ ﻣﻨﻪ

”Tidak ada lafadzh rukhshah kecuali berasal dari sesuatu yang didahului peringatan atas hal tersebut”.

Al-Amidi rahimahullah berkata:

  " ﺍﻟﺮﺧﺼﺔ ﻣﺎ ﺷﺮﻉ ﻟﻌﺬﺭ ﻣﻊ ﻗﻴﺎﻡ ﺍﻟﺴﺒﺐ ﺍﻟﻤﺤﺮﻡ  ”

"Rukhshah itu adalah apa-apa yang disyari’atkan karena adanya udzur yang bersamaan dengan keberadaan sebab yang mengharamkan (jika ia mengerjakan atau melanggarnya ditinjau dari hukum asal)".

Banyak ulama yang mendefinisikan semisal. Dan kaidah inilah yang berlaku secara umum, baik dalam masalah sutera, nyanyian dan musik, serta yang lainnya. Jika hukum asalnya adalah wajib, maka rukhshah ini berlaku dengan pembolehan untuk meninggalkan kewajiban atau mengerjakan penggantinya yang diperbolehkan oleh syari’at. Jika hukum asalnya adalah haram, maka rukhshah di sini berlaku untuk mengerjakan keharaman itu. Tentunya, semua itu dengan batasan-batasan yang telah diberikan sesuai dengan penunjukan dalil.

Keharaman nyanyian dan musik dalam bahasan di sini adalah keharaman karena dzatnya. Tidak bisa kita katakan bahwa nyanyian dan alat musik itu hukum asalnya adalah mubah. Jika hukum asalnya adalah mubah, tentu para sahabat tidak akan mengatakan bahwa kebolehan mendengarkan nyanyian dan tabuhan rebana itu hanya dalam hari raya dan pernikahan. Hukum mubah itu menafikkan adanya rukhshah.

Ringkasnya, tidak ada keringanan dalam perkara yang asalnya adalah mubah.

HADITS BURAIDAH.

Sebagian orang yang berhujjah untuk melegalisasi perkara nyanyian dan musik berdalilkan dengan hadits Buraidah radhiallahu ’anhu:

ﺍﻥ ﺃﻣﺔ ﺳﻮﺩﺍﺀ ﺃﺗﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺭﺟﻊ ﻣﻦ ﺑﻌﺾ ﻣﻐﺎﺯﻳﻪ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﺍﻧﻰ ﻛﻨﺖ ﻧﺬﺭﺕ ﺍﻥ ﺭﺩﻙ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﺎﻟﺤﺎ ﺍﻥ ﺃﺿﺮﺏ ﻋﻨﺪﻙ ﺑﺎﻟﺪﻑ ﻗﺎﻝ ﺍﻥ ﻛﻨﺖ ﻓﻌﻠﺖ ﻓﺎﻓﻌﻠﻲ ﻭﺍﻥ ﻛﻨﺖ ﻟﻢ ﺗﻔﻌﻠﻲ ﻓﻼ ﺗﻔﻌﻠﻲ ﻓﻀﺮﺑﺖ ﻓﺪﺧﻞ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻭﻫﻰ ﺗﻀﺮﺏ ﻭﺩﺧﻞ ﻏﻴﺮﻩ ﻭﻫﻰ ﺗﻀﺮﺏ ﺛﻢ ﺩﺧﻞ
ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻝ ﻓﺠﻌﻠﺖ ﺩﻓﻬﺎ ﺧﻠﻔﻬﺎ ﻭﻫﻰ ﻣﻘﻨﻌﺔ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻥ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﻟﻴﻔﺮﻕ ﻣﻨﻚ ﻳﺎ ﻋﻤﺮ ﺃﻧﺎ ﺟﺎﻟﺲ ﻫﺎ ﻫﻨﺎ ﻭﺩﺧﻞ ﻫﺆﻻﺀ ﻓﻠﻤﺎ ﺍﻥ ﺩﺧﻠﺖ ﻓﻌﻠﺖ ﻣﺎ ﻓﻌﻠﺖ

”Bahwasannya ada seorang budak wanita hitam yang datang kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ketika beliau datang dari sebuah peperangan. Maka budak tersebut berkata kepada beliau : ” Sesungguhnya aku pernah bernadzar untuk memukul rebana didekatmu jika Allah mengembalikanmu dalam keadaan selamat.”Beliau berkata: ”Jika engkau telah bernadzar, maka lakukanlah. Dan jika engkau belum bernadzar, maka jangan engkau lakukan”. Maka dia pun mulai memukulnya. Lalu Abu Bakr masuk, ia tetap memukulnya. Masuklah sahabat yang lain, ia pun masih memukulnya. Lalu ’Umar masuk, maka ia pun segera menyembunyikan rebananya itu dibalik punggungnya sambil menutupi dirinya. Maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam berkata: ”Sesungguhnya syaithan benar-benar takut padamu wahai ’Umar. Aku duduk disini dan mereka ini masuk. Ketika Engkau masuk, maka ia pun melakukan apa yang ia lakukan tadi”.
(HR. Ahmad no. 23039, ibnu Hibban 10/4386, dan yang lainnya; hasan).

Mereka mengatakan bahwa jika memang nyanyian dan musik itu haram, tentu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam akan melarangnya. Taqrir beliau atas apa yang dilakukan oleh budak wanita tersebut menunjukkan kebolehan nyanyian dan memainkan alat musik. Nyanyian dan alat musik dilarang jika sudah melalaikan. Jika tidak melalaikan maka itu boleh.

Sungguh jauh apa yang mereka sangkakan itu. Tidak ada taqyid pengharaman dengan kata ”melalaikan” dalam nash. Itu hanyalah hal yang mereka buat-buat semata. Jika memang taqyid ”melalaikan” itu dipakai, maka itu akan membatalkan beberapa manthuq nash yang menjelaskan tentang keharaman nyanyian dan alat musik sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Jika kita terima taqyid mereka, maka sifat melalaikan itu hakekatnya ada pada semua hal. Bukan hanya pada nyanyian dan alat musik. Maka taqyid mereka itu akan membawa konsekuensi hukum bahwa asal dari perkara nyanyian dan alat musik adalah mubah. Sebab, hanya perkara mubahlah yang dapat ditaqyid dengan sifat melalaikan. Ini adalah aneh dan janggal. Bagaimana bisa dipakai taqyid ini padahal Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah dengan tegas menjelaskan keharaman alat musik dan bernyanyi. Bahkan dalam beberapa hadits ditegaskan jenis alat musiknya (seperti al-kuubah ). Bahkan para sahabat besar dan tabi’in sangat tegas membenci nyanyian. Apalagi lafadzh-lafadzh hadits memakai lafadzh celaan, laknat, atau kutukan. Maka tidak bisa tidak, lafadzh- lafadzh itu mengandung hukum asal yang menunjukkan keharaman.

Selain itu, jika kita terima taqyid ”melalaikan” dari mereka, maka atsar mauquf (namun dihukumi marfu') dari ’Amir bin Sa’d akan sia-sia. Perkataan Abu Mas’ud/Quradhah tentang rukhshah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendengarkan nyanyian dan tabuhan duff ketika pernikahan menjadi tidak bermakna. Apa makna rukhshah jika hukum asalnya adalah mubah ? Ini menyalahi kaidah ushul.

Justru dalam hadits Buraidah itu terdapat lafadzh yangmenunjukkan tentang hukum asal keharamannya. Lafadzh tersebut adalah:

 ﺍﻥ ﻛﻨﺖ ﻓﻌﻠﺖ ﻓﺎﻓﻌﻠﻲ ﻭﺍﻥ ﻛﻨﺖ ﻟﻢ ﺗﻔﻌﻠﻲ ﻓﻼﺗﻔﻌﻠﻲ

”Jika engkau telah bernadzar, maka lakukanlah.Dan jika engkau belum bernadzar, maka jangan engkau lakukan”.

Perkataan beliau ”jika engkau belum bernadzar, maka jangan engkau lakukan” : menunjukkan bahwa pada asalnya perbuatan tersebut adalah tidak diperbolehkan. Perkataan ini menunjukkan bahwa sebenarnya beliau tidak mau/ingin mendengarkannya. Namun kemudian beliau membolehkannya karena ia telah menadzarkannya karena besarnya rasa gembira dengan kepulangan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dari peperangan dalam keadaan selamat. Beliau membolehkan pelaksanaan nadzar budak perempuan itu yang pada asalnya tidak boleh sebagai satu kekhususan bagi dirinya yang tidak diberlakukan bagi selain dirinya.

Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata:

ﻭﻗﺪ ﻳُﺸﻜﻞ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻨﺎﺱ ، ﻷﻥ ﺍﻟﻀﺮﺏ ﺑﺎﻟﺪﻑ ﻣﻌﺼﻴﺔ ﻓﻲ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﻭﺍﻟﻌﻴﺪ ، ﻭﺍﻟﻤﻌﺼﻴﺔ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻧﺬﺭﻫﺎ ﻭﻻ ﺍﻟﻮﻓﺎﺀ ﺑﻬﺎ . ﻭﺍﻟﺬﻱ ﻳﺒﺪﻭ ﻟﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﺃﻥ ﻧﺬﺭﻫﺎ ﻟﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻓﺮﺣﺎ ﻣﻨﻬﺎ ﺑﻘﺪﻭﻣﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﺻﺎﻟﺤﺎ ﻣﻨﺘﺼﺮﺍ ، ﺍﻏﺘﻔﺮ ﻟﻬﺎ ﺍﻟﺴﺒﺐ ﺍﻟﺬﻱ ﻧﺬﺭﺗﻪ ﻹﻇﻬﺎﺭ ﻓﺮﺣﻬﺎ ، ﺧﺼﻮﺻﻴﺔ ﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺟﻤﻴﻌﺎ ، ﻓﻼ ﻳﺆﺧﺬ ﻣﻨﻪ ﺟﻮﺍﺯ ﺍﻟﺪﻑ ﻓﻲ ﺍﻷﻓﺮﺍﺡ ﻛﻠﻬﺎ ، ﻷﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻫﻨﺎﻙ ﻣﻦ ﻳُﻔﺮﺡ ﺑﻪ ﻛﺎﻟﻔﺮﺡ ﺑﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ، ﻭﻟﻤﻨﺎﻓﺎﺓ ﺫﻟﻚ ﻟﻌﻤﻮﻡ ﺍﻷﺩﻟﺔ ﺍﻟﻤﺤﺮﻣﺔ ﻟﻠﻤﻌﺎﺯﻑ ﻭﺍﻟﺪﻓﻮﻑ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ ، ﺇﻻ ﻣﺎ ﺍﺳﺘﺜﻨﻲ ﻛﻤﺎ ﺫﻛﺮﻧﺎ ﺁﻧﻔﺎ

”Hadits ini telah membuat kerumitan bagi sebagian orang karena memukul duff (rebana) selain waktu pernikahan dan hari raya adalah kemaksiatan. Dan kemaksiatan itu tidak diperbolehkan dijadikan nadzar dan ditunaikan. Maka yang nampak bagiku adalah bahwa nadzar yang dilakukan oleh budak perempuan tersebut disebabkan kegembiraan karena kedatangan/kepulangan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan selamat, sehat, dan menang. Nabi pun memaafkan penyebab nadzarnya itu untuk meluapkan kegembiraan tersebut. Hal ini sebagai kekhususan bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan untuk seluruh manusia. Sehingga tidak boleh dijadikan dalil bolehnya memukul rebana pada setiap kegembiraan. Sebab, tidak ada yang lebih menggembirakan dari kegembiraan atas datangnya Nabi shallallahu ’alaihi wasallam”.
(Lihat Silsilah ash-Shahihah 4/142 dan at-Tahriim hal. 85).

Asy-Syaikh al-Albani mengisyaratkan apa yang menjadi pendapatnya tersebut juga tersirat dalam penjelasan al-Imam al-Khaththabi dalam Ma’alimus-Sunan (4/382.

Ada juga ulama lain yang membawa hadits Buraidah ini tentang kebolehan menabuh rebana (oleh wanita) karena ada orang yang datang. Dan ini merupakan pendapat dari sebagaian ulama Najd. ’Abdis-Salam bin Taimiyyah (kakek dari Syaikhul-Islam ibnu Taimiyyah) membawa hadits Buraidah dalam pemahaman ini dimana dalam kitab al-Muntaqaa min Akhbaril-Musthafa, beliau meletakkannya dalam Bab: Dlarbun-Nisa’ bid-Duff li Qudumil-Ghaibi Wama fi Ma’nahu (Bab: Wanita yang memukul rebana karena kedatangan seseorang atau alasan yang semisalnya).

Pemahaman dalil inipun bisa diterima karena takhshish ini menunjukkan pada waktu, yaitu saat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pulang dari salah satu peperangan.

Dijaman sekarang muncullah istilah yang disebut an-nasyid . Sebagian ulama kontemporer membolehkan jika tidak disertai oleh alat musik, tidak berlebihan, tidak mengandung unsur-unsur yang haram. Namun jika dicermati sebagian diantara ulama yang membolehkan an-nasyid dengan model tersebut adalah yang mempunyai sifat seperti syi’ir, rajaz, atau hidaa’ (sebagaimana yang dipahami dalam salah satu fatwa asy-Syaikh al-Albani dalam rekaman yang berjudul: Hukum Nasyid Islamy) dan asy-Syaikh ibnu ’Utsaimin (yang terdapat dalam rekaman Nur ’alad-Darb no. 337 side B).

Jika nasyid tersebut telah dilantunkan dengan gubahan dan aturan-aturan melodi ala Barat, maka dilarang. Tapi ada juga yang membencinya secara tegas seperti asy-Syaikh ibnu Fauzan (seperti dalam majalah ad-Da’wah edisi 1632, tgl 7 Dzulhijjah 1418 dan dalam al-Khuthabul-Minbariyyah 3/184-185), Asy-Syaikh Shalih Alu Syaikh (dalam al-Fatawa hal. 28), asy-Syaikh Hamud at-Tuwaijiri (dalam Iqamatud-Daliil ’alal-Man’i Minal-Anasyid ) dan yang lainnya.

KESIMPULAN.

(1). Nyanyian dan musik adalah haram menurut pendapat yang rajih yang didasarkan oleh nash-nash yang shahih.

(2). Nyanyian dan musik hanya diperbolehkan pada waktu pernikahan dan hari raya. Bisa juga dilakukan ketika seorang pemimpin atau orang besar datang, menurut salah satu pendapat. Hal itu merupakan satu rukhshah yang dipandang dalam syari’at Islam.

(3). Alat yang diperbolehkan untuk dimainkan hanyalah rebana (duff) yang dibawakan oleh perempuan. Laki-laki diharamkan untuk memukul rebana. Tidak diriwayatkan satu pun shahabat dan tabi’in besar yang memukul rebana.

Kemudian ada hadits lain yang menjadi sandaran oleh umat muslim jaman sekarang ini, yaitu hadits riwayat dari Abu Ismail Muhammad Rijal berbunyi:

ﻋَﻦْ ﺍﺑﻦِ ﻋﺒﺎﺱٍ ﺃﻥَّ ﺭﺳﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪ r ﺧَﺮَﺝَ ﻭﻗَﺪْ ﺭﺵَّ ﺣﺴَّﺎﻥُ ﻓِﻨﺎﺀَ ﺃﻃﻤِﻪِ ﻭﺃﺻﺤﺎﺏُ ﺭﺳﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ r ﺳِﻤَﺎﻃَﻴﻦ ﻭﺑﻴﻨﻬﻢ ﺟﺎﺭﻳﺔٌ ﻟﺤﺴَّﺎﻥَ ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎ ﺳﻴﺮﻳﻦ ﻭﻣﻌﻬﺎ ﻣِﺰْﻫَﺮٌ ﻟﻬﺎ ﺗﻐﻨِّﻴﻬﻢ ﻭﻫﻲ ﺗﻘﻮﻝ ﻓﻲ ﻏِﻨَﺎﺋﻬﺎ : ‏( ﻫﻞ ﻋﻠﻲَّ ﻭَﻳْﺤَﻜﻢ * ﺇﻥْ ﻟﻬﻮﺕُ ﻣﻦ ﺣَﺮَﺝٍ ‏) ﻓﺘﺒﺴّﻢ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ r ﻭﻗﺎﻝ : )) ﻻ ﺣﺮﺝ ((

“Dari ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar ketika Hassan telah menyirami halaman tempat tinggalnya, sementara para sahabat radhiallahu‘anhu duduk dua shaf, ditengah-tengah mereka budak perempuan milik Hassan bernama Sirin membawa mizhar-nya (sejenis alat musik berdawai seperti kecapi) berdendang untuk para sahabat. Dalam nyanyiannya dia mengatakan: “Celaka ! apakah ada atasku dosa jika aku berdendang ?”. -  Maka Rasulullah tersenyum seraya bersabda: “Tidak mengapa (tidak ada dosa atasmu)”.

Sepintas, siapapun yang membaca hadits ini akan mengambil kesimpulan bahwa nyanyian dan alat musik adalah sesuatu yang wajar dan boleh-boleh
saja. Demikian difahami dari zhahir hadits ini.

Rasulullah shallallahu 'alaihai wa sallam memberikan hukum atas perbuatan budak Hassan bin Tsabit t dengan sabda beliau: “Laa haraj” (tidak mengapa), yang menunjukkan kebolehan apa yang dilakukan Sirin, budak perempuan Hassan bin Tsabit. Dalam hadits juga terdapat taqrir (persetujuan) Nabi kepada para shahabat yang menikmati mizhar dan mendengarkan alunan suara Sirin, sehingga difahami bahwa perbuatan tersebut adalah perkara mubah, sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul bahwasannya persetujuan Nabi atas perbuatan yang dilakukan dihadapan beliau menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut.

Hadits ini adalah sekian dari syubhat-syubhat yang dijadikan sandaran oleh para ustad, da'i, kyai yang hati-hati mereka yang berpenyakit untuk membolehkan nyanyian dan alat musik.

Akan tetapi benarkah hadits ini adalah dalil untuk mereka yang membolehkan nyanyian, musik dan alat musik serta yang sejenisnya ? Lalu shahihkah hadits ini yang telah menyandarkan atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ?

Mari ditelisik hadits ini:

Ibnu ‘Asakir menyebutkan dalam kitab beliau Tarikh Dimasyq [12/415] dari jalan Abu Uwais dari al-Husain bin ‘Abdillah dari ‘Ikrimah dari ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib. Hadits ini tidak sah dari Rasulullah shallallahu 'alaihai wa sallam bahkan tergolong hadits-hadits yang maudhu’ (palsu). Abul Faraj ibnul Jauzi memasukkannya dalam kitab beliau al-Maudhu’at [3/115-116] dalam bab Fii Ibahatil Ghina (Bab Tentang Bolehnya Nyanyian).

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah dalam takhrij beliau terhadap risalah Ada'u Ma Wajaba Min Bayani Wadh’il Wadhdha’ina Fi Rajab [hal. 150] mengatakan bahwa hadits ini "bathil".

Kebathilan hadits ibnu ‘Abbas dapat diketahui dari beberapa tinjauan berdasarkan dalil-dali diatas.

1. Kelemahan dalam sanadnya.
2. Penyelisihannya terhadap Al-Quran.
3. Penyelisihannya terhadap as-Sunnah ash-shahihah.
4. Hadits ini sangat bertentangan dengan keadaan sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihai wa sallam sebagai generasi terbaik yang sangat menjaga batasan-batasan Allah dan sangat jauh dari perkara-perkara-yang diharamkan agama.

Diawali dari tinjauan sanad hadits, maka kita dapatkan dalam hadits ini dua orang perawi yang diperbincangkan yaitu: al-Husain bin ‘Abdillah dan Abu Uwais . Adapun perawi pertama, dia adalah al-Husain bin ‘Abdillah bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbas bin ‘Abdil Muthallib al-Hasyimi al-Madani. Berikut nukilkan hukum ulama al-Jarh wa at-Ta’dil tentang al-Husain bin ‘Abdillah.

Berkata al-Imam Ahmad bin Hambal dalam riwayat al-Atsram, “Lahu Asy-ya'u Munkarah”. berkata Yahya bin Ma’in, “Huwa Dha’if”, berkata: Abu Zur’ah ar-Razi, “Laisa bi Qowiyyin”. berkata: Abu Hatim ar-Razi, “Dha’iful hadits”. berkata: an-Nasa`i: “Matruk”. Berkata al-Jauzajani: “Laa Yusytaghal bihadiitsihi”, berkata ibnu Hibban: “Yuqallibul asaaniid wa yarfa’ul marasil”. Berkata: Al-Hafidz ibnu Hajar: “Dha’if”. Ibnul Jauzi berkata: Dalam kitabnya al-Maudhu’at [3/116] -setelah menyebutkan hadits diatas: Adapun al-Husain maka berkata ‘Ali bin al-Madini tentangnya: “Taraktu Haditsahu”. Berkata an-Nasa'i: “Matrukul Hadiits”. Berkata as-Sa’di: “Laa Yusytaghol bi Hadiistihi”.

Dari perkataan-perkataan ulama al-Jarh wa at-Ta’dil diatas didapatkan bahwa mereka bersepakat akan kedhai’fan (kelemahan) al-Husain. hal ini tentunya mengakibatkan lemah dan tertolaknya hadits yang diriwayatkannya.

Oleh karena itulah al-Imam adz-Dzahabi dalam kitab beliau Mizanul I’tidal [2/292] memasukkan hadits ibnu ‘Abbas ini sebagai salah satu dari kemungkaran-kemungkaran hadits al-Husain bin ‘Abdillah.

Tentang perawi kedua yaitu Abu Uwais, berkata ibnul Jauzi: Adapun Abu Uwais maka namanya adalah ‘Abdullah bin ‘Abdillah bin Uwais. Berkata Ahmad (bin Hambal) dan Yahya (bin Ma’in): “Dha’iful Hadits”. Dan Yahya pernah berkata: “Kaana Yasriqul Hadits”. [Al-Maudhu’at 3/116 ]. Berkata Adz-Dzahabi tentang Abu Uwais: “Laisa bi qowiyyin”. Demikian beberapa nukilan ucapan ulama tentang kedha’ifan al-Husain dan Abu Uwais.

Lemahnya hadits ibnu ‘Abbas ini bukan hanya ditinjau dari sisi sanad. Penyelisihan hadits ini terhadap al-Quran dan hadits shahih semakin memperjelas kebatilannya. Al-Qur'an telah menunjukkan haramnya nyanyian, musik dan alat-alat musik dan sejenisnya demikian pula nash-nash dari Rasulullah yang shahih sebagaimana yang dijelaskan diatas. Diantara ayat yang menunjukkan haramnya musik selain hadits-hadits shahih yang dipaparkan diatas adalah firman Allah dalam surat Al-Isra’: 64:

ﻭَﺍﺳْﺘَﻔْﺰِﺯْ ﻣَﻦِ ﺍﺳْﺘَﻄَﻌْﺖَ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﺑِﺼَﻮْﺗِﻚَ ﻭَﺃَﺟْﻠِﺐْ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﺑِﺨَﻴْﻠِﻚَ ﻭَﺭَﺟِﻠِﻚَ ﻭَﺷَﺎﺭِﻛْﻬُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﻣْﻮَﺍﻝِ ﻭَﺍﻟْﺄَﻭْﻻَﺩِ ﻭَﻋِﺪْﻫُﻢْ ﻭَﻣَﺎ ﻳَﻌِﺪُﻫُﻢُ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥُ ﺇِﻻَ ﻏُﺮُﻭﺭًﺍ

“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu (ajakanmu), dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki, dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaithan kepada mereka melainkan tipuan belaka".
(QS. Al-Israa’ : 64).

Berkata Mujahid rahimahullah tentang makna( ﺑِﺼَﻮْﺗِﻚَ ) adalah: perkataan sia-sia dan nyanyian. Demikian ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan perkataan Mujahid dalam tafsirnya.

Dalam ayat lain Allah ta'ala berfirman:

ﻭَﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻣَﻦْ ﻳَﺸْﺘَﺮِﻱ ﻟَﻬْﻮَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚِ ﻟِﻴُﻀِﻞَّ ﻋَﻦْ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻭَﻳَﺘَّﺨِﺬَﻫَﺎ ﻫُﺰُﻭًﺍ ﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻟَﻬُﻢْ ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﻣُﻬِﻴﻦٌ

"Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan".
(QS. Luqman : 31).

Berkata asy-Syaikh ‘Abdurrahman Nashir as-Sa’di dalam tafsir beliau Taisir al-Karimir Rahman [6/150]: Yang dimaksud dengan -perkataan yang tidak berguna- adalah perkataan-perkataan yang melalaikan hati yang menghalangi hati dari tujuan yang mulia. Maka masuk didalamnya semua jenis perkataan haram, yang sia-sia dan bathil, ucapan-ucapan yang tidak masuk akal dari perkataan yang menjerumuskan kepada kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan, (juga) perkataan orang-orang yang menolak kebenaran dan berdebat dengan kebathilan untuk menghancurkan al-haq, ghibah, namimah (adu domba), dusta, cercaan dan celaan, (termasuk juga) nyanyian, dan alat-alat musik, dan perkara-perkara yang melalaikan yang tidak ada manfaatnya baik dunia atau agama.

Demikian semoga bermanfaat.

Sumber:
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hukum-musik-dan-nyanyian-1.html dan http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hukum-musik-dan-nyanyian-2.html