Rabu, 30 Juli 2014

BACAAN DZIKIR SETELAH SHALAT YANG SESUAI TUNTUNAN RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM.

BACAAN DZIKIR SETELAH SELESAI SHALAT FARDHU YANG SESUAI SUNNAH RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM.

Sudah menjadi suatu kebiasaan bahwa umumnya bacaan dzikir-dzikir setelah shalat fardhu ini sangat beragam, lain tempat atau daerah lain pula bacaannya, bahkan parahnya lagi begitu selesai salam disebagian imam ada yang langsung mengucapkan "Alfhatihah" kemudian diiringi oleh makmum secara berjamaah dengan hitungan-hitungan tertentu yang tidak diketahui sumbernya. Padahal bacaan dzikir-dzikir seperti ini sesungguhnya tidak pernah dibaca dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat maupun oleh para Imam madzhab yang empat. Artinya bacaan tersebut hanya mengada-ada, asal menurutnya baik dengan mengikuti selera hawa nafsu.

Disini akan dipaparkan mengenai tata cara berdzikir serta bacaan dzikir yang sesuai tuntunan dalam syari'at, terutama bacaan dzikir setelah selesai shalat fardhu, insya Allah untuk mengemban amanah ini tanpa ditambah ataupun dikurangi, disini akan disertakan pula berikut dalil-dalil shahih sebagai penguatnya.

Berikut zdikir-zdikir yang diSunnahkan itu:

Setelah selesai salam dalam shalat fardhu hendaknya membaca ﺍﺳﺘﻐﻔﺎﺭ (istigfar) yaitu ﺃﺳﺘﻐﻔﺮ ﺍﻟﻠﻪ (Astaghfirullah) artinya: "Kami mohon ampun kepada Allah yang maha agung" sebanyak tiga kali. kemudian dilanjutkan dengan mengucapkan:

ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَ ﺃَﻧْﺖَ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡُ ﻭَﻣِﻨْﻚَ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡُ ﺗَﺒَﺎﺭَﻛْﺖَ ﻳَﺎ ﺫَﺍ ﺍﻟْﺠَﻠَﺎﻝِ ﻭَﺍﻟْﺈِﻛْﺮَﺍﻡِ

"Allahumma antas salaam wa minkas salaam tabaarakta yaa dzal jalaali wal ikraam".

Artinya: “Ya Allah, Engkau maha sejahtera, dan dari-Mu kesejahteraan. Maha berkah Engkau, wahai Rabb pemilik ke agungan dan ke muliaan”.
(HR.Muslim no.591).

Perlu diperhatikan bahwa lafadz "Astaghfirullah" tidak ada tambahan lafadz "hald 'adzim" dan lafadz dzikir diatas juga tidak boleh ditambah dengan kata-kata:

ﻭَﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻳَﻌُﻮْﺩُ ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻓَﺤَﻴِّﻨَﺎ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﺑِﺎﻟﺴَّﻼَﻡِ ﻭَﺃَﺩْﺧِﻠْﻨَﺎ ﺩَﺍﺭَ ﺍﻟﺴَّﻼّﻡِ

"Wailaiyka ya'uwdhussalam fahayina rabbana bissalam waadkhilna darussalaam"

Hal itu dikarenakan lafadz tersebut tidak berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(Lihat: Misykatul Mashabih,1:303, Hasyiyah ath-Thahawi ‘alal Maraqiy,2:311).

Sebagaimana hadits shahih berikut ini:

ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺩَﺍﻭُﺩُ ﺑْﻦُ ﺭُﺷَﻴْﺪٍ، ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺍﻟْﻮَﻟِﻴﺪُ، ﻋَﻦِ ﺍﻷَﻭْﺯَﺍﻋِﻲِّ، ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻋَﻤَّﺎﺭٍ ﺍﺳْﻤُﻪُ ﺷَﺪَّﺍﺩُ ﺑْﻦُ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ، ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﺃَﺳْﻤَﺎﺀَ، ﻋَﻦْ ﺛَﻮْﺑَﺎﻥَ، ﻗَﺎﻝَ : " ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺇِﺫَﺍ ﺍﻧْﺼَﺮَﻑَ ﻣِﻦْ ﺻَﻠَﺎﺗِﻪِ، ﺍﺳْﺘَﻐْﻔَﺮَ ﺛَﻠَﺎﺛًﺎ، ﻭَﻗَﺎﻝَ : " ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡُ، ﻭَﻣِﻨْﻚَ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡُ، ﺗَﺒَﺎﺭَﻛْﺖَ ﺫَﺍ ﺍﻟْﺠَﻠَﺎﻝِ ﻭَﺍﻹِﻛْﺮَﺍﻡِ " ، ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻮَﻟِﻴﺪُ : ﻓَﻘُﻠْﺖُ ﻟِﻸَﻭْﺯَﺍﻋِﻲِّ، ﻛَﻴْﻒَ ﺍﻟْﺎﺳْﺘِﻐْﻔَﺎﺭُ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺗَﻘُﻮﻝُ : ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُ ﺍﻟﻠَّﻪَ، ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُ ﺍﻟﻠَّﻪَ

"Telah menceritakan kepada kami Daawud bin Rusyaid: Telah menceritakan kepada kami al-Waliid, dari al-Auzaa’i, dari Abu Ammaar–namanya adalah Syaddaad bin Abdillah, dari Abu Asmaa’, dari Tsaubaan, ia berkata: “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila selesai dari shalatnya, beliau beristighfar tiga kali, lalu membaca: Allahumma antas-salaam wa minkas-salaam tabaarakta dzal-jalaali wal-ikraam" ("Ya Allah, Engkaulah as-Salaam (keselamatan) dan dari-Mu-lah keselamatan, Maha suci Engkau wahai sang pemilik ke agungan dan ke muliaan"). Al-Walid berkata: Aku bertanya kepada al-Auzaa’i: “Bagaimana bacaan istighfar itu ?” - Ia berkata: “Katakanlah: "Astaghfirullaah, Astaghfirullaah”.
(Diriwayatkan oleh Muslim no.591).

Dan dalam hal bacaan ini al-Imam asy-Syaikh ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya: "Apakah bacaan dzikir hamdalah kemudian (membaca) Allahumma antas-salaam wa minkas-salaam, ahyainaa rabbanaa bis-salaam… dan seterusnya. merupakan Sunnah ?". Maka beliau menjawab:

ﺍﻟﺬﻱ ﻗﺎﻟﻪ ﺻﺎﺣﺒﻚ ﻫﻮ ﺍﻟﺼﻮﺍﺏ، ﻓﻘﺪ ﺛﺒﺖ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ ﺛﻮﺑﺎﻥ - ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ - ﻗﺎﻝ : ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺇﺫﺍ ﺍﻧﺼﺮﻑ ﻣﻦ ﺻﻼﺗﻪ، ﻳﻌﻨﻲ ﺇﺫﺍ ﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﺻﻼﺗﻪ ﻗﺎﻝ : ﺃﺳﺘﻐﻔﺮ ﺍﻟﻠﻪ، ﺛﻼﺛﺎً، ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺃﻧﺖ ﺍﻟﺴﻼﻡ، ﻭﻣﻨﻚ ﺍﻟﺴﻼﻡ، ﺗﺒﺎﺭﻛﺖ ﻳﺎ ﺫﺍ ﺍﻟﺠﻼﻝ ﻭﺍﻹﻛﺮﺍﻡ . ﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﺸﺮﻭﻉ . ﺃﻣﺎ ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﻭﻗﻮﻝ : ﺃﺣﻴﻴﻨﺎ ﺑﺎﻟﺴﻼﻡ ، ﻭﻣﺎ ﺫﻛﺮﺗﻪ ﻓﻲ ﻛﻼﻣﻚ ﻫﺬﺍ ﻻ ﺃﺻﻞ ﻟﻪ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺴﻼﻡ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻤﺸﺮﻭﻉ ﻣﺎ ﻗﺎﻟﻪ ﺻﺎﺣﺒﻚ : ﺃﺳﺘﻐﻔﺮ ﺍﻟﻠﻪ، ﺃﺳﺘﻐﻔﺮ ﺍﻟﻠﻪ، ﺃﺳﺘﻐﻔﺮ ﺍﻟﻠﻪ، ﺛﻢ ﺗﻘﻮﻝ : ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺃﻧﺖ ﺍﻟﺴﻼﻡ، ﻭﻣﻨﻚ ﺍﻟﺴﻼﻡ، ﺗﺒﺎﺭﻛﺖ ﻳﺎ ﺫﺍ ﺍﻟﺠﻼﻝ ﻭﺍﻹﻛﺮﺍﻡ، ﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﺴﻨﺔ . ﻭﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻘﺎﺋﻞ ﺇﻣﺎﻣﺎً ﺍﻧﺼﺮﻑ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ، ﺑﻌﺪ ﻗﻮﻟﻪ : ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺃﻧﺖ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻭﻣﻨﻚ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﺗﺒﺎﺭﻛﺖ ﻳﺎ ﺫﺍ ﺍﻟﺠﻼﻝ ﻭﺍﻹﻛﺮﺍﻡ .....

“Telah sah riwayat dalam Shahih Muslim, dari Tsauban radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya apabila selesai dari shalatnya, yaitu jika telah mengucapkan salam dalam shalatnya beliau shallallahu 'alaihi wa sallam membaca: Astaghfirullah, tiga kali, Allaahumma antas salaam wa minkas salaam tabaarakta dzal-jalaali wal ikraam. Inilah yang disyari’atkan. Adapun ucapan Alhamdulillah, ucapan wa ahyainaa bis-salaam, dan apa yang engkau sebutkan dalam perkataanmu itu tidak ada asalnya (dalam Sunnah) untuk diucapkan setelah salam. Yang diSyari’atkan hanyalah yang dikatakan temanmu: Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah, kemudian membaca: Allaahumma antas-salaam wa minkas-salaam tabaarakta dzal-jalaali wal ikraam. Inilah yang diSunnahkan. Apabila yang mengucapkannya adalah imam, maka ia berpaling ke arah makmum setelah hal itu, yaitu setelah bacaannya: Allaahumma antas-salaam wa minkas-salaam tabaarakta dzal-jalaali wal-ikraam …."
(Lihat: http://www.binbaz.org.sa/mat/11521).

Kemudian setelah itu mengucapkan:

ﻟَﺎ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﻟَﺎ ﺷَﺮِﻳﻚَ ﻟَﻪُ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﻤُﻠْﻚُ ﻭَﻟَﻪُ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻭَﻫُﻮَ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻗَﺪِﻳﺮٌ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻟَﺎ ﻣَﺎﻧِﻊَ ﻟِﻤَﺎ ﺃَﻋْﻄَﻴْﺖَ ﻭَﻟَﺎ ﻣُﻌْﻄِﻲَ ﻟِﻤَﺎ ﻣَﻨَﻌْﺖَ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﻨْﻔَﻊُ ﺫَﺍ ﺍﻟْﺠَﺪِّ ﻣِﻨْﻚَ ﺍﻟْﺠَﺪُّ

"Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qadiir. Allahumma laa maani’a lima a’thaita wa laa mu’thiya limaa mana’ta wa laa yanfau dzal jaddi minkal jaddu".

Artinya: “Tidak ada sembahan yang berhak disembah melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan dan pujian. Dia Maha kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang mampu mencegah sesuatu yang telah Engkau berikan dan tidak ada yang mampu memberi sesuatu yang Engkau cegah. Tidak bermanfaat kekayaan dan kemuliaan itu bagi pemiliknya untuk (menebus) siksaan-Mu”.
(HR.Bukhari,no.6862 dan Muslim no.593,an-Nasa’i no.1341).

Setelah itu bisa mengucapkan: Tasbih ﺳﺒﺤﺎﻥ ﺍﻟﻠﻪ (Subhanallah), Tahmid ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ (Alhamdulillah), dan Takbir ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻛﺒﺮ (Allahu akbar) sebanyak tiga puluh tiga kali (33 X), kemudian menyempurnakannya sehingga genap menjadi seratus dengan mengucapkan:

ﻟَﺎ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﻟَﺎ ﺷَﺮِﻳﻚَ ﻟَﻪُ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﻤُﻠْﻚُ ﻭَﻟَﻪُ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻭَﻫُﻮَ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻗَﺪِﻳﺮٌ

"Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah. Lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qadiir".

Artinya: “Tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan dan pujian. Dia Maha kuasa atas segala sesuatu”.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim rahimahullah dan dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ﻣَﻦْ ﺳَﺒَّﺢَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻓِﻲ ﺩُﺑُﺮِ ﻛُﻞِّ ﺻَﻠَﺎﺓٍ ﺛَﻠَﺎﺛًﺎ ﻭَﺛَﻠَﺎﺛِﻴﻦَ ﻭَﺣَﻤِﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺛَﻠَﺎﺛًﺎ ﻭَﺛَﻠَﺎﺛِﻴﻦَ ﻭَﻛَﺒَّﺮَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺛَﻠَﺎﺛًﺎ ﻭَﺛَﻠَﺎﺛِﻴﻦَ ﻓَﺘْﻠِﻚَ ﺗِﺴْﻌَﺔٌ ﻭَﺗِﺴْﻌُﻮﻥَ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺗَﻤَﺎﻡَ ﺍﻟْﻤِﺎﺋَﺔِ ﻟَﺎ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﻟَﺎ ﺷَﺮِﻳﻚَ ﻟَﻪُ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﻤُﻠْﻚُ
ﻭَﻟَﻪُ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻭَﻫُﻮَ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻗَﺪِﻳﺮٌ ﻏُﻔِﺮَﺕْ ﺧَﻄَﺎﻳَﺎﻩُ ﻭَﺇِﻥْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻣِﺜْﻞَ ﺯَﺑَﺪِ ﺍﻟْﺒَﺤْﺮِ

“Barang siapa yang bertasbih, bertahmid, dan bertakbir sebanyak tiga puluh tiga kali setelah melaksanakan shalat fardhu sehingga berjumlah sembilan puluh sembilan kemudian menggenapkannya untuk yang ke seratus dengan ucapan:

 “ ﻟَﺎ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﻟَﺎ ﺷَﺮِﻳﻚَ ﻟَﻪُ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﻤُﻠْﻚُ ﻭَﻟَﻪُ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻭَﻫُﻮَ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻗَﺪِﻳﺮٌ ”

"Maka kesalahannya akan diampuni meskipun sebanyak buih dilautan”.
(HR.Muslim no.597).

Apabila ke adaan tidak memungkinkan untuk membaca lafadzh tasbih, tahmid, dan takbir masing-masing sebanyak tiga puluh tiga kali, bisa juga mengucapkan tasbih, takbir, dan tahmid sebanyak sepuluh kali. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Amru radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

ﺧَﻠَّﺘَﺎﻥِ ﻟَﺎ ﻳُﺤْﺼِﻴﻬِﻤَﺎ ﺭَﺟُﻞٌ ﻣُﺴْﻠِﻢٌ ﺇِﻟَّﺎ ﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﺃَﻟَﺎ ﻭَﻫُﻤَﺎ ﻳَﺴِﻴﺮٌ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﻌْﻤَﻞُ ﺑِﻬِﻤَﺎ ﻗَﻠِﻴﻞٌ ﻳُﺴَﺒِّﺢُ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻓِﻲ ﺩُﺑُﺮِ ﻛُﻞِّ ﺻَﻠَﺎﺓٍ ﻋَﺸْﺮًﺍ ﻭَﻳَﺤْﻤَﺪُﻩُ ﻋَﺸْﺮًﺍ ﻭَﻳُﻜَﺒِّﺮُﻩُ ﻋَﺸْﺮًﺍ

“Ada dua perkara, setiap muslim yang konsisten melakukannya akan masuk ke dalam surga. Ke duanya sangatlah mudah, namun sangat jarang yang mampu konsisten mengamalkannya. (Perkara yang pertama) adalah bertasbih, bertahmid, dan bertakbir masing-masing sebanyak sepuluh kali sesudah menunaikan shalat fardhu”.
(HR.Tirmidzi no.3410 dalam Shahihut Tirmidzi no.2714).

Kemudian membaca Ayat Kursi serta surat al-Ikhlash, al-Falaq, dan an-Naas.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ﻣَﻦْ ﻗَﺮَﺃَ ﺁﻳَﺔَ ﺍﻟْﻜُﺮْﺳِﻲ ﺩُﺑُﺮَ ﻛُﻞِّ ﺻَﻼَﺓٍ ﻣَﻜْﺘُﻮْﺑَﺔٍ ﻟَﻢْ ﻳَﻤْﻨَﻌْﻪُ ﻣِﻦْ ﺩُﺧُﻮْﻝِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﺇِﻻَّ ﺃَﻥْ ﻳَﻤُﻮْﺕَ

“Barang siapa yang membaca ayat Kursi setiap selesai menunaikan shalat fardhu (wajib), maka tidak ada yang menghalanginya masuk surga selain kematian”.
(HR.ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir no.7532, al-Jami’ush Shaghir wa Ziyadatuhu no.11410).

Uqbah bin Amir radhiallahu ‘anhu berkata:

ﺃَﻣَﺮَﻧِﻲ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃَﻥْ ﺃَﻗْﺮَﺃَ ﺑِﺎﻟْﻤُﻌَﻮِّﺫَﺍﺕِ ﺩُﺑُﺮَ ﻛُﻞِّ ﺻَﻠَﺎﺓٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku agar membaca surat al-Mu’awwidzat (al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Naas) setiap selesai menunaikan shalat”.
(HR.Abu Daud no.1523 dalam Shahih Sunan Abi Daud no.1348).

Inilah bacaan dzikir-dzikir setelah selesai shalat fardhu yang disyari'atkan, adapun untuk bacaan zdikir-dzikir selain yang itu, maka itu adalah bacaan dzikir yang hanya karangan-karangan sendiri atau tambahan saja yang tidak ada asal usulnya dalam syari'at, intinya amalan dzikir selain itu adalah bacaan dzikir yang bid'ah.

Diantara kesalahan-kesalahan dan bid'ah yang lainya yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang selepas shalat itu, ringkasanya seperti dibawah ini:

1. Mengusap wajah setelah salam atau setelah selesai berdo'a.

Fatwa Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid hafizhahullah, beliau berkata:

ﻭﺃﻣﺎ ﻣﺴﺢ ﺍﻟﻮﺟﻪ ﻋﻘﺐ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻓﻠﻢ ﻳﺜﺒﺖ ﻓﻴﻪ ﺣﺪﻳﺚ
ﺻﺤﻴﺢ ، ﺑﻞ ﺇﻥ ﺑﻌﺾ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻧﺼﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺑﺪﻋﻴﺘﻪ ﺍﻧﻈﺮ
ﻣﻌﺠﻢ ﺍﻟﺒﺪﻉ ‏( ﺹ 227‏)

"Ada pun mengusap wajah setelah berdo'a, tidak ada hadits kuat lagi shahih tentang hal itu,,bahkan sebagian ulama ada yang menyebutkan bid’ahnya hal itu".
(Lihat Mu’jam al-Bida’ hal.227).

Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi rahimahullah berkata:

ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ – ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ – : ﻟﻴﺲ ﻣﺴﺢ ﺍﻟﻮﺟﻪ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺑﻞ ﻫﻮ ﺑﺪﻋﺔ ﻻﻥ ﻣﺴﺢ ﺍﻟﻮﺟﻪ ﺑﺎﻟﻴﺪﻳﻦ ﻋﻘﺐ ﺩﻋﺎﺀ ﻳﻌﺘﺒﺮ ﻧﺴﻚ ﻭﻋﺒﺎﺩﺓ ﻭﻫﻮ ﻟﻢ ﻳﺜﺒﺖ ﺍﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻌﻠﻪ ﻓﻴﻜﻮﻥ ﺑﺪﻋﺔ ﻓﻰ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺬﻯ ﻭﺭﺩ ﻓﻰ ﻫﺬﺍ ﺿﻌﻴﻒ ﻭﻟﻢ ﻳﺼﺢ

"Mengusap wajah setelah berdo'a bukan termasuk Sunnah, bahkan itu adalah bid’ah, karena mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdo'a telah dianggap sebagai ibadah. Hal itu tidak ada yang shahih dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itu adalah bid’ah dalam agama. Sedangkan hadits yang membicarakan ini adalah lemah dan tidak shahih".
(Lihat Fatawa asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi , hal.315).

Pendapat al-Imam Malik rahimahullah, dari Imam Ahmad bin Ali al-Muqrizi menceritakan:

ﻭﺳﺌﻞ ﻣﺎﻟﻚ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻳﻤﺴﺢ ﺑﻜﻔﻴﻪ
ﻭﺟﻬﻪ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻓﺄﻧﻜﺮ ﺫﻟﻚ ﻭﻗﺎﻝ : ﻣﺎ ﻋﻠﻤﺖ

"Imam Malik rahimahullah di tanya tentang seorang laki-laki yang mengusap wajahnya dengan kedua tangannya ketika berdo'a, lalu dia mengingkarinya, dan berkata: “Aku tidak tahu.”
(Lihat Mukhtashar Kitab al-Witri, hal.152).
http://muslim.or.id/fatwa-ulama/fatwa-ulama-mengusap-wajah-setiap-selesai-berdoa.html

2. Berdo'a dan berdzikir secara berjama'ah yang dipimpin oleh imam selesai shalat, maupun berjamaah dalam berdo'a atau berjamaah membaca dzikir dalam hal yang lainnya.

3. Berdzikir dengan bacaan yang tidak ada nash atau dalilnya, baik secara lafazdh maupun bilangannya, atau berdzikir dengan dasar yang digunakan dari hadits dha'if (lemah) atau hadits maudhu' (palsu).

Contohnya:

- Setelah selesai salam membaca "Alhamdulillah.
- Setelah selesai salam membaca "al-Fatihah".
- Setelah selesai salam membaca beberapa ayat terakhir surat al-Hasyr dan lainnya.

Bacaan ini dilakukan setelah selesai shalat tidak ada sumbernya, artinya tidak ada contoh atau petunjuknya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat, para Imam madzhab yang empat, hingga para Imam yang segenerasi dengan nereka.

4. Menghitung dzikir dengan memakai biji-bijian atau tasbih atau yang serupa dengannya. Tidak ada satu pun hadits yang shahih tentang anjuran menghitung bacaan dzikir dengan biji-bijian tasbih, bukan saja terdapat dalam hadits dha'if (lemah), bahkan sebagian haditsnya adalah hadits maudhu' (palsu). Sebaiknya menggitung bacaan dzikir dengan jari-jari tangan kanan.

Untuk point 4 ini akan dijelaskan sedikit karena maraknya perbuatan seperti ini.

Salah satu hadits yang jadi pedoman oleh mereka berdzikir dengan menggunakan tasbih ini sebagai berikut:

“Sebaik-baik pengingat adalah biji tasbih, dan seutama-utama tempat yang dipakai sujud adalah bumi dan yang ditumbuhkan oleh bumi”.
(Dikeluarkan oleh ad-Dailami dalam Mukhtashar Musnad al-Firdaus:4/98, as-Suyuthi dalam al-Minhah Fis Subhah:2/141 dari al-Hawi, dan dinukil oleh asy-Syaukani dalam Nailul Authar:2/166-167).

Keterangan: Hadits ini Maudhu’ (palsu) karena sanad (jalur periwayatan) hadits ini kebanyakan rawinya adalah majhul (tidak dikenal), bahkan sebagian mereka tertuduh dusta dalam meriwayatkan hadits. (Diantara rawinya) Umul Hasan binti Ja’far bin al-Hasan, dia tidak dikenal biografinya oleh para ulama ahli hadits. Abdush Shamad bin Musa al-Hasyimi dikatakan oleh Imam adz-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal, menukil perkataan al-Khathib al-Baghdadi [14/41], beliau mengatakan: “Para ulama (ahli hadits) telah melemahkannya.

Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan:
"Berdzikir dengan biji-bijian tasbih adalah bid'ah".

Syaikh Bakr Abi Za'id rahimahullah mengatakan bahwa:
"Berdzikir dengan menggunakan biji-bijian tasbih menyerupai orang-orang kaum Yahudi, Nasrani, Bhudha, dan perbuatan ini adalah bid'ah sesat (dhalaalah)".

Yang diSunnahkan dalam berdzikir adalah dengan menggunakan jari-jari tangan kanan sebagaimana hadits:

Dari Abdullah bin 'Amr rahimahullah ia berkata:

ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﻌْﻘِﺪُﻫُﻦَّ
ﺑِﻴَﺪِﻩ

"Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menghitung bacaan tasbih (dengan jari-jari) tangan kanannya".
(HR.Ahmad 6498, Abu Dawud no.1502, dan ath-Tirmidzi no.3486, shahih ath-Tirmidzi III/146 no.2714 shahiihul Jami’,IV/271, no.4865, shahiih Abi Dawud I/280 no.1330, al-Hakim I/547, al-Baihaqi II/253).

Bahkan, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat wanita menghitung bacaan dzikir: Subhanallah, Alhamdulillah, dan mensucikan Allah dengan jari-jari, karena jari-jari itu kelak akan ditanya dan diminta untuk berbicara (pada hari kiamat).
(HR.Abu Dawud no.1501, dan ath-Tirmidzi. Dihasankan oleh Imam an-Nawawi dan ibnu Hajar al ‘Asqalani).

Dari seorang sahabat wanita, Yusairah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada kami (para sahabat wanita):

ﻳَﺎ ﻧِﺴَﺎﺀَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﻴﻦَ، ﻋَﻠَﻴْﻜُﻦَّ ﺑِﺎﻟﺘَّﻬْﻠِﻴﻞِ ﻭَﺍﻟﺘَّﺴْﺒِﻴﺢِ ﻭَﺍﻟﺘَّﻘْﺪِﻳﺲِ، ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻐْﻔُﻠْﻦَ ﻓَﺘَﻨْﺴَﻴْﻦَ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﺔَ، ﻭَﺍﻋْﻘِﺪْﻥَ ﺑِﺎﻟْﺄَﻧَﺎﻣِﻞِ ﻓَﺈِﻧَّﻬُﻦَّ ﻣَﺴْﺌُﻮﻟَﺎﺕٌ ﻣُﺴْﺘَﻨْﻄَﻘَﺎﺕ

“Wahai para wanita mukminah, kalian harus rajin bertasbih, bertahlil, mensucikan nama Allah. Janganlah kalian lalai, sehingga melupakan rahmat. Hitunglah dengan jari-jari kalian, karena semua jari itu akan ditanya dan diminta untuk bicara”.
(HR.Ahmad 27089, Abu Daud 1501, ath-Tarmidzi 3583, dan sanadnya dinilai hasan oleh Syua'ib al-Arnauth dan Syaikh al-Albani).

Dan menurut hadist Abdullah bin 'Amr bahwa Nabi shallallahu’ alaihi wa sallam menghitungnya hanya dengan tangan kanannya bukan dengan kedua tangannya. Dari itu Muhammad Nashirudin al-Albani rahimahullah mengatakan: “Bertasbih dengan kedua tangan menyalahi Sunnah...!” Pantaskan kita berdzikir dengan tangan kiri yang dipergunakan untuk mencuci kotoran..?
(Selengkapnya lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha tulisan asy-Syaikh Bakr Abu Za'id hafizhahullah yang telah diterjemahkan diantaranya dengan judul "Tasbih Bid’ah atau Sunnah ?" [Pustaka Salafiyah,2004]).

Kesimpulan yang tepat dalam hal ini adalah, berdzikir dengan tangan kanan hukumnya dianjurkan, meskipun berdzikir dengan kedua tangan dibolehkan. Karena sejatinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suka menggunakan anggota badan yang kanan untuk hal yang baik. Sebagaimana keterangan 'Aisyah radhiallahu ‘anha:

ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳُﻌْﺠِﺒُﻪُ ﺍﻟﺘَّﻴَﻤُّﻦُ، ﻓِﻲ ﺗَﻨَﻌُّﻠِﻪِ، ﻭَﺗَﺮَﺟُّﻠِﻪِ، ﻭَﻃُﻬُﻮﺭِﻩِ، ﻭَﻓِﻲ ﺷَﺄْﻧِﻪِ ﻛُﻠِّﻪ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suka mendahulukan bagian yang kanan ketika mengenakan sandal, menyisir rambut, bersuci, dan dalam semua urusan beliau”.
(HR.al-Bukhari no.168).

Dari 'Aisyah radhiallahu 'anha berkata:

ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ ﻗَﺎﻟَﺖْ ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟﺘَّﻴَﺎﻣُﻦَ ﻳَﺄْﺧُﺬُ ﺑِﻴَﻤِﻴﻨِﻪِ ﻭَﻳُﻌْﻄِﻲ ﺑِﻴَﻤِﻴﻨِﻪِ ﻭَﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟﺘَّﻴَﻤُّﻦَ ﻓِﻲ ﺟَﻤِﻴﻊِ ﺃُﻣُﻮﺭِﻩِ

“Dari Aisyah radhiallahu 'anha, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai sebelah kanan, mengambil dengan tangan kanannya, memberi dengan tangan kanannya dan menyukai sebelah kanan dalam semua urusannya.”
(HR.an-Nasa’i No.5059).

Intinya tidak ada satupun dalil yang shahih yang menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam berdzikir menggunakan Subhah (tasbih/kalung biji-bijian). Dan sebaiknya berdzikir menggunakan hanya dengan tangan kanan saja.

5. Berdzikir dengan suara keras dan beramai-ramai (dengan berjama'ah).

Banyak sekali hadits-hadits shahih yang melarang berdzikir dengan suara yang keras dizaharkan), sebagaimana hadits Abu Musa al-Asy'ari yang terdapat dalam Shahihain yang menceritakan perjalanan para sahabat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Abu Musa berkata: "Jika kami menuruni lembah maka kami bertasbih dan jika kami mendaki tempat yang tinggi maka kami bertakbir. Dan kamipun mengeraskan suara-suara dzikir kami". Maka berkata Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺍِﺭْﺑَﻌُﻮْﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻜُﻢْ ﺇِﻥَّ ﻣَﻦْ ﺗَﺪْﻋُﻮْﻧَﻪُ ﻟَﻴْﺲَ ﺑﺄَﺻَﻢَّ ﻭَﻻَﻏَﺎﺋِﺐٍ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺗَﺪْﻋُﻮْﻥَ ﺳَﻤِﻴْﻌًﺎ ﺑَﺼِﻴْﺮًﺍ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺗَﺪْﻋُﻮْﻥَ ﻣَﻦْ ﻫُﻮَ ﺃَﻗْﺮَﺏُ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﺣَﺪِ ﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﻏُﻨُﻖِ ﺭَﺍ ﺣِﻠَﺘِﻪِ ﺇِﻟَﻴْﻪِ

"Wahai sekalian manusia, berlaku baiklah kepada diri kalian sendiri. Sesungguhnya yang kalian seru itu tidaklah tuli dan tidak pula ghaib. Sesunguhnya kalian berdo'a kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, yang lebih dekat dengan kalian dari pada leher tunggangan kalian sendiri".

Kejadian ini berlangsung dipadang pasir yang tidak mungkin mengganggu orang lain. Jadi dengan dalil diatas yang keadaan sunyi saja tidak diperkenankan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallama berdzikir dengan suara keras apalagi jika dzikir dengan suara keras dan nyaring berlangsung ditempat-tempat yang ramai, seperti dimajelis-majlis ilmu, dilingkungan rumah tempat tinggal, dimesjid, dimushalah dan lain-lain yang barang tentu perbuatan itu akan mengganggu kenyamanan dan mengganggu orang lain yang sedang membaca al-Qur'an, orang yang sedang shalat dan lain-lain. Intinya berdzikir dengan suara keras atau nyaring sebagaimana yang banyak dilakukan orang-orang sekarang ini adalah terlarang dalam syari'at.

Hal ini sebagaimana dalam al-Qur'an Allah subhanahu wa ta'ala dengan tegas memerintahkan untuk berdzikir dengan suara yang tidak dikeraskan.

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

ﺍﺩْﻋُﻮﺍ ﺭَﺑَّﻜُﻢْ ﺗَﻀَﺮُّﻋًﺎ ﻭَﺧُﻔْﻴَﺔً ۚ ﺇِﻧَّﻪُ ﻟَﺎ ﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟْﻤُﻌْﺘَﺪِﻳﻦَ

"Berdo'alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas".
(QS.al-A'raf:55).

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

ﻭَﺍﺫْﻛُﺮْ ﺭَﺑَّﻚَ ﻓِﻲ ﻧَﻔْﺴِﻚَ ﺗَﻀَﺮُّﻋًﺎ ﻭَﺧِﻴﻔَﺔً ﻭَﺩُﻭﻥَ ﺍﻟْﺠَﻬْﺮِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻘَﻮْﻝِ
ﺑِﺎﻟْﻐُﺪُﻭِّ ﻭَﺍﻟْﺂﺻَﺎﻝِ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻜُﻦْ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻐَﺎﻓِﻠِﻴﻦَ

"Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, diwaktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai".
(QS.al-A'raf:205).

Begitupun al-Imam asy-Syafi'i rahimahullah dalam kitab shahinya kitab al-Umm juga berwasiat agar imam atau makmum untuk tidak mengeraskan bacaan dzikirnya.

Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata:

ﻭﺃﺧﺘﺎﺭ ﻟﻼﻣﺎﻡ ﻭﺍﻟﻤﺄﻣﻮﻡ ﺃﻥ ﻳﺬﻛﺮﺍ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻌﺪ ﺍﻻﻧﺼﺮﺍﻑ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﻳﺨﻔﻴﺎﻥ ﺍﻟﺬﻛﺮَ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺇﻣﺎﻣﺎ ﻳُﺤِﺐُّ ﺃﻥ ﻳﺘﻌﻠّﻢ ﻣﻨﻪ ﻓﻴﺠﻬﺮ ﺣﺘﻰ ﻳَﺮﻯ ﺃﻧﻪ ﻗﺪ ﺗُﻌُﻠِّﻢَ ﻣﻨﻪ ﺛﻢ ﻳُﺴِﺮّ .

"Pendapatku untuk imam dan makmum hendaklah mereka berdzikir selepas selesai shalat. Hendaklah mereka memelankan (secara sir) dzikir kecuali jika imam ingin mengajar bacaan-bacaan zdikir tersebut, maka ketika itu dikeraskanlah dzikir, hingga dia menduga bahwa telah dipelajari darinya (bacaan-bacaan dzikir tersebut), lalu setelah itu ia memelankan kembali dzikirnya".
(Lihat: al-Umm hal.2/288).

6. Membiasakan atau merutinkan berdo'a setelah shalat fardhu (wajib). Sebagaimana banyak riwayat shahih yang menerangkan bahwa beliau shallallahu 'alaihi wa sallam jika berdo'a lebih banyak dilakukan dalam shalat, yaitu berdo'a disaat ruku', dalam sujud dan berdo'a dalam dua tahyat dalam shalat.

7. Tidak mengangkat tangan ketika berdo'a. Mengangkat tangan ketika berdo'a ini tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat dan yang lainya.

Keterangan:
Para ulama berbeda pendapat dalam hal berdo'a sambil mengangkat tangan ini:
Yang pertama: Tidak menganjurkan, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat tangan hanya ketika sedang dalam shalat Istiqa' dan shalat gerhana, selain itu beliau shalallahu alaihi wa sallam dalam berdo'a tidak mengangkat tangan, karena beliau berdo'a lebih banyak dilakukan disetiap dalam shalat Fardhu ketika dalam sujud atau saat dikedua tahyat dalam shalat.

Pendapat kedua: Boleh berdo'a dengan mengangkat kedua tangan, karena ada dalam riwayat lain yang menjelaskan bahwa beliau shalallahu 'alaihi wa sallam setelah shalat beliau berdo'a dengan mengangkat kedua tangannya, walaupun beliau lebih banyak berdo'a ketika dalam shalat, yaitu disaat sujud atau didalam dua tahyat shalat. Alasan lainnya mereka mengkiyaskan dengan dalil bahwa Rasulullah mengangkat tangan ketika shalat Istisqa' dan shalat gerhana.

Pendapat ketiga: Boleh sekali-sekali mengangkat tangan ketika berdo'a dan boleh sekali-sekali tidak mengangkat tangan ketika berdo'a.

KESIMPULAN.

Dalam pembahasan ini, kami lebih memilih pendapat yang pertama yaitu tidak mengangkat tangan dalam berdo'a, karena tidak ada anjurannya atas perbuatan yang demikian selain saat berdo'a dalam shalat Istisqa' dan shalat gerhana. Selain dari dua shalat itu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berdo'a lebih banyak dilakukan saat dalam shalat, seperti berdo'a saat sujud, rukuk atau dalam dua tahyat dalam shalat. Karena disaat sujud adalah salah satu keadaan yang mustajab untuk berdo'a, sebagaimana ditunjukkan dalam sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:

ﻭَﺇِﻧِّﻲ ﻧُﻬِﻴﺖُ ﺃَﻥْ ﺃَﻗْﺮَﺃَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﺭَﺍﻛِﻌًﺎ ﺃَﻭْ ﺳَﺎﺟِﺪًﺍ ﻓَﺄَﻣَّﺎ ﺍﻟﺮُّﻛُﻮﻉُ ﻓَﻌَﻈِّﻤُﻮﺍ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟﺮَّﺏَّ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﺍﻟﺴُّﺠُﻮﺩُ ﻓَﺎﺟْﺘَﻬِﺪُﻭﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀِ ﻓَﻘَﻤِﻦٌ ﺃَﻥْ ﻳُﺴْﺘَﺠَﺎﺏَ ﻟَﻜُﻢْ

“… Dan aku dilarang membaca al-Qur’an ketika ruku’ atau sujud, adapun saat ruku’ maka agungkanlah Rabb ‘azza wa jalla, Adapun sujud maka bersungguh-sungguhlah kalian dalam berdo'a, sungguh dekat do'a itu dikabulkan untuk kalian".
(HR. Muslim no. 738).

Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ﺃَﻗْﺮَﺏُ ﻣَﺎ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪُ ﻣِﻦْ ﺭَﺑِّﻪِ ﻭَﻫُﻮَ ﺳَﺎﺟِﺪٌ ﻓَﺄَﻛْﺜِﺮُﻭﺍ ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀَ

"Saat paling dekat seorang hamba dengan Rabb-Nya adalah ketika ia bersujud, maka perbanyaklah do'a".
(HR. Muslim no.744 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu).

Oleh sebab itu mengangkat tangan saat berdo'a ini selain tidak ada tuntunannya dalam syari'at, dari sisi lain perbuatan ini termasuk perbuatan tasyabbuh (menyerupai) budaya kaum kafir, seperti Rafhidah (Syi'ah), Yahudi, Nasrani dan lain-lain, mereka cenderung melampaui batas dengan cara teriak-teriak sambil mengangkat tangan setinggi-tingginya dengan menangis histeris, meratap, dengan suara keras dan teriak-teriak hingga nampak seperti orang kesurupan.

Jadi sebuah kekeliruan jika ada ada orang yang mengatakan bahwa semua agama itu sama, Islam adalah agama yang berdiri diatas dalil, Islam mempunyai aturan sendiri sebagaimana yang telah diatur dalam al-Qur'an dan as-Sunnah,  yang tidak boleh menyelisihinya termasuk dalam hal berdzikir dan berdo'a baik dari bacaan, tata cara, waktu dan hitung-hitungannya, apalagi sampai menyerupai (tasyabbuh) dengan orang kafir.  Hakekatnya berdo'a itu adalah memohonkan sesuatu kepada-Nya yang tentunya dengan adab yang mulia dengan cara yang berbeda dengan agama lain, yaitu dengan merendahkan diri, lemah lembut, tutur kata yang santun, tidak dengan teriak atau suara keras, khusyu', ikhlas, sabar dan tidak tergesa-gesa, dalam memohon kepada-Nya.

8. Tidak berjabat tangan atau bersalam-salaman setelah selesai shalat, akan tetapi yang benar adalah sesuai contoh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam setelah selesai shalat beliau berdzikir. Perbuatan bersalam-salaman setelah selesai shalat ini adalah perbuatan bid'ah (mengada-ada tanpa ada contoh atau tuntunannya dalam syari'at).

Wallaahu a'lam bish-shawaab.

Demikian semoga bermanfaat
_____________________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar