Selasa, 31 Maret 2020

Tak Usah Belajar, Agar Tak Berdosa?

Tak Usah Belajar, Agar Tak Berdosa?
═══════════════════════

Ust, pernah denger klo yg ngga ngamalin ilmunya nanti diazab sama Allah. Klo orang salah tapi blm tau maka dimaafkan Allah. Nah, terkadang trs jadi muncul inisiatif, ngga usah belajar saja, klo tau trs ngelanggar malah berdosa… Mohon pencerahannya Ust?

Syukron…

Jawaban:

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Seringkali memang setan datang kepada kita menampakkan sebagai penasihat yang bijak. Padahal, itu adalah tipu muslihat agar kita jauh dari kebenaran. Terlebih menuntut ilmu adalah ibadah yang sangat besar pahalanya, karena seorang hamba tak akan bisa menghamba secara profesional kepada Allah, tanpa ilmu. Setan menyadari ini sehingga mereka berusaha sekuat tenaga menghalangi manusia dari ibadah menuntut ilmu.

Maka, bila mendengar bisikan seperti itu, dan bisikan-bisikan lain yang mendorong kita untuk malas menuntut ilmu, bergegaslah berlindung kepada Allah…

A’udzubillahi minas syaithoonir rojiim

“Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.”

Tentu kesimpulan seperti itu tidak benar. Alasannya adalah berikut:

*Pertama,* menuntut ilmu hukumnya wajib.

Rasulullah _shalallahu alaihi wa sallam_ bersabda,

طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَىْ كُلِّ مُسْلِمٍ

_"Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.*_ (HR. Ibnu Majah)

Sehingga dengan enggan belajar agama, padahal mampu dan sarana pun ada, maka dia telah terjatuh pada dosa besar, berupa meninggalkan kewajiban. Inginnya terbebas dari dosa, saat melakukan dosa karena tidak tahu kalau itu dilarang, ternyata justeru dengan sikap enggan menuntut ilmu, sudah jatuh pada dosa. Lihatlah bagaimana kelicikan setan dalam menipu manusia.

*Kedua,* yang diberi udzur karena kebodohan adalah orang yang tidak ada akses menerima kebenaran.

Seperti dia tinggal di pelosok hutan, atau di puncak gunung, yang tidak ada akses menerima dakwah Islam. Sinyal tak ada, dai yang berdakwah ke sana pun tak ada. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan spiritual mereka, mereka menganut agama nenek moyang.

Orang seperti ini kondisinya, mungkin mendapatkan pemakluman karena kebodohannya. Karena Allah tak membebani manusia di luar kemampuan,

Allah Ta’ala berfirman,

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

_“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”_ (QS. Al Baqarah: 286)

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا

_“Dan Kami tidak akan meng-azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”_ (QS Al-Isra’ : 15).

رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

_“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allāh sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”_ (QS An-Nisa’ : 165).

Adapun kita yang tinggal di lingkungan banyak pengajian, atau kalau pun jarang sekarang ada internet, parabola dan sarana lainnya, maka tak ada pemakluman atas kebodohan kita.

*Ketiga,* itu namanya berpaling dari kebenaran (i’rodh).

*Saat kemampuan untuk mendengar ilmu ada, namun tetap enggan belajar, ini menunjukkan ada sikap berpaling dari kebenaran atau disebut i’rodh.*

Akibat dari sikap ini tak main-main, Allah memperingatkan,

وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِي فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةٗ ضَنكٗا وَنَحۡشُرُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ أَعۡمَىٰ

_"Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.”_ (QS. Tha-Ha : 124)

*Keempat,* kufur nikmat.

Allah bekali manusia sarana-sarana menangkap ilmu, berupa pendengaran, penglihatan dan pikiran, untuk disyukuri.

Allah _‘azza wa jalla_ berfirman,

وَٱللَّهُ أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡـٔٗا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفۡـِٔدَةَ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ

_"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur."_ (QS. An-Nahl : 78)

Cara mensyukurinya adalah, dengan menggunakannya sebagaimana fungsinya, yaitu untuk menerima ilmu.

Ketika seorang memiliki kemampuan untuk menggunakan penglihatan dan pikiran, untuk disyukuri, artinya tak ada sedikitpun yang cacat, kemudian ia enggan lenuntut Ilmu, maka ia telah kufur nikmat.

Di ayat-ayat selanjutnya, Allah menjelaskan akibat dari kufur nikmat ini.

فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَإِنَّمَا عَلَيۡكَ ٱلۡبَلَٰغُ ٱلۡمُبِينُ

_"Maka jika mereka berpaling, maka ketahuilah kewajiban yang dibebankan atasmu (Muhammad) hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang."_ (QS. An-Nahl : 82)

يَعۡرِفُونَ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ ثُمَّ يُنكِرُونَهَا وَأَكۡثَرُهُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ

_"Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang yang ingkar kepada Allah."_ (QS. An-Nahl : 83)

وَيَوۡمَ نَبۡعَثُ مِن كُلِّ أُمَّةٖ شَهِيدٗا ثُمَّ لَا يُؤۡذَنُ لِلَّذِينَ كَفَرُواْ وَلَا هُمۡ يُسۡتَعۡتَبُونَ

_"Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami bangkitkan seorang saksi (rasul) dari setiap umat, kemudian tidak diizinkan kepada orang yang kafir (untuk membela diri) dan tidak (pula) dibolehkan memohon ampunan."_ (QS. An-Nahl : 84)

وَإِذَا رَءَا ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ ٱلۡعَذَابَ فَلَا يُخَفَّفُ عَنۡهُمۡ وَلَا هُمۡ يُنظَرُونَ

_"Dan apabila orang zhalim telah menyaksikan azab, maka mereka tidak mendapat keringanan dan tidak (pula) diberi penangguhan."_ (QS. An-Nahl : 85).

Demikian, Wallahua’lam bis showab.


••• ════♻♻════ •••
Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori

https://konsultasisyariah.com/36220-tak-usah-belajar-agar-tak-berdosa.html

MENUNTUT ILMU SAMPAI MATI

*Menuntut Ilmu Sampai Mati*
┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈

Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Nabi _shallallahualahi wa sallam_ bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

_*”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”.*_ (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 224)

Bahkan menuntut ilmu merupakan ibadah yang paling afdhol. Karena seluruh ibadah tak akan bisa ditunaikan, sesuai yang diinginkan Allah dan Rasul-Nya, kecuali dengan ilmu. Sampai-sampai Imam Sofyan As-Tsauri _rahimahullah_ mengatakan,

لا أعلم بعد النبوة أفضل من العلم

*“Aku tak tau derajat paling mulia yang melekat pada manusia setelah kenabian, yang lebih afdhol daripada ilmu.”*

Ali bin Thalib juga mengatakan,

العلم أفضل من القائم الساجد

*“Menuntut ilmu lebih utama daripada seorang yang rajin sholat rajin sujud.”*

Maka jelas bahwa, menuntut ilmu itu ibadah. Saat anda melaksanakan sholat hadir dalam diri anda perasaan sedang ibadah, maka hadirkan juga perasaan tersebut saat anda hadir di kajian, membaca kitab para ulama, dan ikhtiyar-ikhtiyar menuntut ilmu lainnya.


❀✿••••••••••••••••••••••••••••✿❀
📝_______✍
*Oleh Ustadz Ahmad Anshori*
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta

❀✿••••••••••••••••••••••••••••✿❀
https://konsultasisyariah.com/36214-menuntut-ilmu-sampai-mati.html

Syahid Karena Meninggal Tenggelam?

Syahid Karena Meninggal Tenggelam?
════════════════

Nabi ﷺ menjelaskan beberapa kondisi yang menyebabkan seorang mendapat pahala mati syahid. Diantaranya adalah mati karena tenggelam.

Beliau ﷺ bersabda,

مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الطَّاعُونِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَالْغَرِيقُ شَهِيدٌ

_*“Siapa yang terbunuh di jalan Allah, dia syahid. Siapa yang mati (tanpa dibunuh) di jalan Allah dia syahid, siapa yang mati karena wabah penyakit Tha’un, dia syahid. Siapa yang mati karena sakit perut, dia syahid. Siapa yang mati karena tenggelam, dia syahid.”*_ [HR. Muslim 1915].

Dalam hadits dari Jabir bin Atik _radhiyallahu ‘anhu,_ Rasulullah ﷺ juga menjelaskan,

الشَّهَادَةُ سَبْعٌ سِوَى الْقَتْلِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ: الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ، وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ، وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ، وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ، وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ، وَالَّذِي يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ، وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدٌ

_*“Selain yang terbunuh di jalan Allah, mati syahid ada tujuh: mati karena tha’un syahid, mati karena tenggelam syahid, mati karena sakit tulang rusuk syahid, mati karena sakit perut syahid, mati karena terbakar syahid, mati karena tertimpa benda keras syahid, wanita yang mati karena melahirkan syahid.”*_
[HR. Abu Daud 3111 dan dishahihkan Al-Albani].


❀✿••••••••••••••••••••••••••••✿❀

📍https://konsultasisyariah.com/36208-syahid-karena-meninggal-tenggelam.html

Benarkah Yahudi itu banyak membunuh nabi? berapa jumlah nabi yang dibunuh Yahudi?

Benarkah Yahudi itu banyak membunuh nabi? berapa jumlah nabi yang dibunuh Yahudi?
╚═════❖❅❖❓❓❖❅❖═════╝


📱_ _ _ _ _ _ _ ✍
*Jawab:*

_Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,_

Al-Qur'an berkali-kali menyebutkan bahwa ada nabi di masa silam yang dibunuh Bani Israil. Diantaranya firman Allah _Ta’ala,_

أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لَا تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقًا كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ

_“Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian lalu kalian bersikap sombong; kemudian beberapa orang (diantara nabi itu) kalian dustakan dan beberapa nabi (yang lain) kalian bunuh?_ (QS. al-Baqarah: 87)

Di ayat lain, Allah juga berfirman menceritakan bahwa Yahudi itu membunuh beberapa nabi dan orang-orang soleh yang mendakwahkan kebenaran,

إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِآَيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَيَقْتُلُونَ الَّذِينَ يَأْمُرُونَ بِالْقِسْطِ مِنَ النَّاسِ

_"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memamg tidak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil."_ (QS. Ali Imran: 21)

Hanya saja dalam al-Qur'an tidak disebutkan siapa saja nabi yang dibunuh, dan berapa jumlahnya.

Sebagian ahli tafsir seperti al-Baidhawi menyebutkan beberapa nama nabi yang dibunuh Bani Israil,

فإنهم قتلوا اشعياء وزكريا ويحيى وغيرهم بغير الحق عندهم إذ لم يروا منهم ما يعتقدون به جواز قتلهم وإنما حملهم على ذلك اتباع الهوى وحب الدنيا

*Mereka membunuh Isaia, Zakariya, Yahya dan yang nabi-nabi lainnya yang mereka tahu itu tidak dibenarkan. Karena mereka tidak memiliki keyakinan bolehnya membunuh para nabi. Namun mereka lakukan itu karena mengikuti hawa nafsu dan cinta dunia.* [Tafsir al-Baidhawi, hlm. 331]

Dan Allah juga menyebutkan bahwa mereka telah berupaya untuk membunuh Isa, namun tidak berhasil.

Allah _Ta'ala_ berfirman,

وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ

_"Dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka."_ (QS. an-Nisa: 157)

Demikian pula Nabi Muhammad ﷺ mereka berusaha untuk membunuh beliau, namun gagal. Ketika beliau sedang tidur, ada Yahudi yang hendak menjatuhkan batu besar ke badan beliau, dilemparkan dari atas rumah.

Termasuk ketika beliau diundang wanita Yahudi Khoibar untuk makan kambing, ternyata sudah dibubuhi racun. Namun beliau muntahkan dan tidak jadi menelannya, karena tulang kambing panggang itu menyampaikan kepada Nabi ﷺ bahwa dia telah dibubuhi racun.

*Berapa Jumlah Nabi yang Dibunuh Yahudi?*

Kami tidak menjumpai dalil baik dari al-Qur'an maupun hadits yang menyebutkan jumlah nabi yang dibunuh Bani Israil. Yang kami temukan hanya keterangan ulama, seperti keterangan Ibnul Qoyim ketika menyebutkan beberapa penyimpangan Yahudi.

*Ibnul Qoyim menyebutkan,*

وأما خلفهم فهم قتلة الانبياء قتلوا زكريا وابنه يحي وخلقا كثيرا من الانبياء حتى قتلوا في يوم سبعين نبيا واقاموا السوق في آخر النهار كأنهم لم يصنعوا شيئا

"Sementara generasi yang datang setelah Musa, mereka adalah pembunuh para nabi. Mereka membunuh Zakariya dan putranya nabi Yahya dan banyak nabi-nabi yang lainnya. Hingga dalam waktu sehari mereka membunuh 70 nabi, lalu mereka mengadakan pasar di Sore hari, seolah-oleh mereka tidak berbuat kesalahan apapun". [Hidayah al-Hayara, hlm. 19]

Demikian, Allahu a’lam.

❀✿••••••••••••••••••••••••••••✿❀
🎓______✒
*Ustadz Ammi Nur Baits* (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

📍https://konsultasisyariah.com/36217-jumlah-nabi-yang-dibunuh-yahudi.html
❀✿••••••••••••••••••••••••••••✿❀

Hukum Menunda Pembagian Daging Aqiqah

Hukum Menunda Pembagian Daging Aqiqah
╚═════════════════•✿❁✿•╝


-------❓❓------
Saya baru saja dikarunia anak lelaki Alhamdulillah, pada hari ke 7, atau hari disunnahkan ber-aqiqah kami direpotkan dgn kondisi bayi yang harus masuk ke RS. Namun, kami ber-aqiqah hanya meyembelih saja, daging-daging kambing yang akan dibagikan kami masukkan ke frezeer untuk kemudian kami masak & bagikan setelah kami selesai mengurus bayi kami yang masih di rumah sakit. Bagaimana hukumnya menunda memberikan sedekah hasil aqiqah ?


*Jawab:*
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

🔗 Hakekat dari aqiqah adalah menyembelih kambing dalam rangka beribadah kepada Allah, karena mensyukuri nikmat atas kelahiran anak.

*🔸Dari Salman bin Amir ad-Dhabbi ﺭﺿﻲﺍﻟﻠﻪﻋﻨﻬﻢ , Nabi ﷺ bersabda,*

مَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَتُهُ، فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا، وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى

_*"Setiap anak ada aqiqahnya, disembelihkan hewan untuknya dan dicukur rambutnya."*_ (HR. Bukhari 5471, Ahmad 16229 dan yang lainnya).

⏳Hadits ini menunjukkan bahwa inti dari aqiqah adalah kegiatan penyembelihannya dan bukan pembagian dagingnya. Karena itu, jika kita ingin menjalankan aqiqah di hari ketujuh pasca-kelahiran, maka yang harus kita lakukan adalah menyembelih kambing di hari itu.

▪Sementara untuk pembagian dagingnya, para ulama menjelaskan bahwa syariat memberikan kelonggaran. Dalam arti tidak harus bertepatan dengan waktu penyembelihan. Sebagaimana qurban, penyembelihannya dilakukan pada waktu yang telah ditetapkan, yaitu ldul adha dan hari tasyriq, sementara distribusi dagingnya boleh menyusul.

*📝🎓 Ibnu Qudamah menjelaskan,*

وسبيلها في الأكل والهدية والصدقة سبيلها ـ يعني سبيل العقيقة كسبيل الأضحية .. وبهذا قال الشافعي .

وقال ابن سيرين : اصنع بلحمها كيف شئت

*"Aturan dalam aqiqah, seperti hukum makan, dihadiahkan dan disedekahkan, sama seperti aturan qurban, artinya aturan aqiqah sama seperti aturan qurban.. dan ini yang dinyatakan as-Syafi’i. Ibnu Sirin mengatakan, ‘Tangani dagingnya sesuai yang anda inginkan.’*

➡ Beliau juga menegaskan,

والأشبه قياسها على الأضحية لأنها نسيكة مشروعة غير واجبة فأشبهت الأضحية ولأنها أشبهتها في صفاتها وسنها وقدرها وشروطها فأشبهتها في مصرفها

*"Yang paling mendekati, aqiqah diqiyaskan dengan kurban. Karena aqiqah adalah ibadah yang disyariatkan dan hukumnya tidak wajib, sehingga sama seperti qurban. Dan karena aqiqah sama seperti qurban untuk kriteria hewannya, usianya, batasannya, dan syarat-syaratnya, sehingga cara pembagiannya juga sama seperti qurban."*
📚 [al-Mughni, 9/463].

🔗 Demikian pula, aqiqah bisa diwakilkan. Sebagaimana menyembelih qurban dan pembagiannya bisa diwakilkan.

*🎓 Al-Qarrafi mengatakan,*

الأفعال قِسمان: منها ما يشتَمِل فعلُه على مصلحةٍ، مع قطع النَّظر عن فاعله: كردِّ الودائع، وقضاء الدُّيون، وردِّ الغصوبات، وتفْريق الزَّكوات والكفَّارات، ولحوم الهدايا والضَّحايا، وذبْح النُّسك، ونَحوها، فيصحُّ في جَميع ذلك النِّيابة إجماعًا

*✔ Amal perbuatan itu ada 2:*
*'Amalan yang dilakukan untuk tujuan kemaslahatan tertentu, tanpa melihat siapa pelakunya. Seperti mengembalikan wadiah, melunasi utang, mengembalikan barang rampasan, membagi zakat dan kafarat, distribusi daging hadyu dan qurban, menyembelih hewan, atau semacamnya. Semua amal ini boleh diwakilkan dengan sepakat ulama."*

📚 [al-Furuq, 2/205].

*➡ Karena itu, untuk kasus yang anda alami, ada 2 solusi yang bisa dilakukan,*

1⃣ Mewakilkan pelaksanaan dan distribusi aqiqah kepada orang lain agar dilakukan di hari ketujuh pasca-kelahiran

2⃣ Menyembelih hewan aqiqah di hari ketujuh, kemudian menunda distribusi di waktu yang memungkinkan.

Demikian, Allahu a’lam.


┈┉┅━━━•❀◎♾•♾◎❀•━━━┅┉┈

📝________✍
*🎓 Oleh Ustadz Ammi Nur Baits*


📍https://konsultasisyariah.com/33766-hukum-menunda-pembagian-daging-aqiqah.html
┈┉┅━━━•❀◎♾•♾◎❀•━━━┅┉┈

Bagaimana hukum Sholat Jamaah dengan shaf renggang ?

┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈
Bagaimana hukum Sholat Jamaah dengan shaf renggang ?
┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈


📝 🎓 Syaikh Labib Najib menjawab :

Dengan meminta pertolongan kepada Allah ﷻ, bahwa sholat mereka sah. Ulama Madzhab Asy-Syafiyyah menyebutkan : Jika Imam dan makmum berkumpul di suatu masjid, maka sah untuk bermakmum pada imam (makmum mengikuti imam) dengan syarat : Makmum tau pergerakan imam dan makmum tidak mendahului imam (meskipun ada perincian dalam madzhab syafii pada hal ini) .

Akan tetapi, apakah mendapatkan fadhilah (keutamaan) sholat jamaah atau tidak?
Arromly : Naam, dapat.

Ibnu Hajar Al-Haitamy : Tidak dapat. Beliau menyebutkan dalam Kitab Minhajul Qowim Syarh Muqodimah Al-Hadromiyyah

ويستحب تسوية الصفوف والأمر بذلك لكل أحد وهو من الإمام بنفسه أو مأذونه آكد للاتباع، مع الوعيد على تركها، والمراد بها إتمام الأول فالأول، وسدُّ الفرَج وتحاذي القائمين فيها .. فإن خولف في شئ من ذلك كُره) انتهى

"Mustahab/disunnahkan untuk meluruskan shaf dan memerintahkan untuk meluruskan, baik imam atau yang diizinkan agar diikuti dengan memberikan ancaman bagi yang meninggalkannya. Yang di maksud yaitu menyempurnakan shof awal, lalu disusul yang berikutnya dan merapatkannya saling mendekat antar makmum. Jika seandainya menyelisihi maka itu tidak disukai (makruh).

Mbah Tarmasi memberi komentar perkataan diatas : Yaitu kehilangan keutamaan sholat jamaah menurut Ibnu Hajar. Adapaun kata Ar-Romly, semua hal yang makruh menghilangkan fadhillah (keutamaan) sholat jamaah, kecuali meluruskan shof (tidak hilang keutamaan jamaah ketika tidak dilakukan) . (Syaikh Baaisyin menyebutkan dalam Kitab Busyro Karim Syarh Muqoddimah Al-Hadromiyah)

🎓 Dr. Labib mengomentari : Dan semoga hukum makruh bisa terangkat karena ada hajat (kebutuhan yang mendesak).

📝 🎓 Syaikhuna Abdul Muhsin Al-Abbad ﺣَﻔِﻈَﻪُ ﺍﻟﻠﻪ  juga mengomentari,

Di sebagian masjid, orang-orang melakukan shalat jamaah dan antara satu orang dengan yang lain terpisah jarak 1 atau 2 meter dengan anggapan ini upaya untuk mencegah penyakit. Bagaimana hukum shalat seperti ini ?

➡ Syaikh ﺣَﻔِﻈَﻪُ ﺍﻟﻠﻪ menjawab :

Shalat jamaahnya TIDAK SAH. Mereka dianggap MUNFARID (sholat sendiri-sendiri) sebagaimana kalau mereka shalat sendirian (munfarid).


❀✿••••••••••••••••••••••••••••✿❀

*✅ Dan untuk keluar dari perselisihan, maka silahkan Sholat di rumah masing-masing sesuai perintah ulil amri jika memang keadaan memaksakan demikian.*

درء المفاسد أولى بجلب المصالح

Wallaahua’lam


❀✿••••••••••••••••••••••••••••✿❀

🗓 Madinah, 22 Rajab 1441 H

📝______✍
🎓 Oleh : Abu Yusuf

Senin, 30 Maret 2020

BACA DOA SELALU DITUTUP DENGAN SURAH AL-FATIHAH

TERMASUK BIDAH:
⚠ BACA DOA SELALU DITUTUP DENGAN SURAH AL-FATIHAH
╚═══════════════════╝


🎓 Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan,

👉🏿“Di antara bentuk bid’ah yang dilakukan terkait surah Al-Fatihah adalah surah ini terus dijadikan bacaan penutup setelah doa. Juga surah ini dijadikan pendahuluan sebelum khutbah, juga dibaca pada acara-acara tertentu, yaitu ada yang mengatakan bacalah Al-Fatihah. Seperti ini keliru. Karena ibadah itu harus dibangun di atas dalil dan mengikuti petunjuk Nabi kita _shallallahu ‘alaihi wa sallam.”_

📚 [Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma, hlm. 7.]


×══════ ❀•◎⬇⬇◎•❀ ══════×
Baca Tafsir Basmalah dari Tafsir Jalalain dan tafsir ulama lainnya di sini:
https://rumaysho.com/23512-tafsir-jalalain-basmalah-dalam-surah-al-fatihah.html

ADAKAH SHOLAT HAJAT

https://nasihatsahabat.com/adakah-salat-hajat




ADAKAH ShALAT HAJAT?


Mengenai Shalat Hajat, dalam hal ini perlu didudukkan terlebih dahulu apa yang dimaksud hajat. Setelah itu kita baru bisa mengetahui, apakah shalat tersebut disyariatkan atau tidak. Hal itu karena didapati sebagian ulama menetapkan adanya Shalat Hajat, sedangkan yang lain meniadakannya, bahkan menganggapnya bidah. Selain itu, di kalangan sebagian ulama yang menetapkan atau yang membidahkan, maksud masing-masing mereka terhadap shalat tersebut berbeda.

*Penamaan Shalat Hajat itu sendiri BUKAN dari Nabi ﷺ, tetapi dari para ulama.* Sebagian mereka melihat sebuah hadits Shahih yang memuat anjuran untuk melakukan shalat terkait dengan suatu kebutuhan atau hajat, mereka lalu menetapkan adanya shalat itu, dan menyebutnya Shalat Hajat. Adapun ulama lain melihat hadits lemah yang menganjurkan untuk shalat terkait dengan sebuah hajat, mereka pun menyimpulkan Shalat Hajat tidak ada, karena haditsnya lemah. Oleh karena itu, di sini akan disebutkan kedua-duanya.

*Ulama yang MENETAPKAN ADANYA Shalat Hajat di antaranya al-Mundziri dalam kitab beliau at-Targhib wat Tarhib. Lalu beliau menyebutkan hadits Utsman bin Hanif _radhiyallahu 'anhu_ sebagai berikut:*

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً ضَرِيْرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: اُدْعُ اللهَ أَنْ يُعَافِيْنِيْ، قَالَ: إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ. قَالَ: فَادْعُهُ، قَالَ: فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوْئَهُ وَيَدْعُوْهُ بِهَذَا الدُّعَاءِ: اَلَّلهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ هَذِهِ لِتَقْضَى لِيْ اَللَّهُمَّ فَشَفَعْهُ فِيْ. قَالَ: فَفَعَلَ الرَّجُلُ فَبَرَأَ.

Dari Utsman bin Hunaif, bahwasanya ada seorang laki-laki buta yang pernah datang kepada Nabi ﷺ seraya berkata: “Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku!” Nabi ﷺ bersabda: “Jika engkau menginginkan demikian, saya akan doakan. Tetapi jika engkau mau bersabar, itu lebih baik bagimu.” Lelaki itu menjawab, “Berdoalah!” Maka Nabi ﷺ memerintahkannya supaya berwudhu dengan sempurna, dan shalat dua rakaat, lalu berdoa dengan doa ini:
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu, Nabi rahmat. Sesungguhnya aku menghadap kepada Rabbku denganmu, dalam kebutuhanku ini agar ditunaikan. Ya Allah, terimalah syafaatnya untukku’. Dia berkata: “Lelaki itu kemudian mengerjakan (saran Nabi ﷺ) lantas dia menjadi sembuh.”

*Takhrij hadis:*
Shahih. Diriwayatkan Ahmad dalam Musnad-nya, 4:138, Tirmidzi:3578, Ibnu Majah:1384, Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya:1219, Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir, 3:2, dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak:1221.

Tirmidzi berkata, “Hadits ini Hasan Sahih Gharib.” Abu Ishaq berkata, “Hadits ini Shahih.” Al-Hakim berkata, “Sanadnya Shahih,” dan hal ini disetujui oleh Adz-Dzahabi. Syekh Al-Albani juga menilai bahwa hadits ini Shahih, dalam buku beliau At-Tawassul, hlm. 75–76.

Sebagian ulama lagi menetapkan adanya Shalat Hajat, tetapi maksudnya adalah Shalat Istikharah.

*Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz _rahimahullah_ mengatakan:*

“Hadits Shalat Istikharah, disebut juga Shalat Hajat, karena Istikharah adalah dalam hal kebutuhan yang sedang dialami seseorang. Sehingga disyariatkan bagi seseorang untuk melakukan shalat dua rakaat dan memanjatkan doa Istikharah dalam hal itu.”

Beliau _rahimahullah_ juga menyebut Shalat Tobat dengan Shalat Hajat. [Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 25/165]

*Adapun ulama yang MENIADAKAN Shalat Hajat, mereka memaksudkan seperti yang terdapat dalam Hadis Dhaif berikut ini:*

Dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ كَانَتْ لَهُ إِلَى اللهِ حَاجَةٌ أَوْ إِلَى أَحَدٍ مِنْ بَنِي آدَمَ فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُحْسِنِ الْوُضُوءَ ثُمَّ لْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ لْيُثْنِ عَلَى اللهِ وَلْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ n ثُمَّ لْيَقُلْ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ الْحَلِيمُ الْكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ وَالْغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ وَالسَّلاَمَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لاَ تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلاَّ غَفَرْتَهُ وَلاَ هَمًّا إِلاَّ فَرَّجْتَهُ وَلاَ حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلاَّ قَضَيْتَهَا، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ

“Barang siapa yang mempunyai kebutuhan kepada Allah atau kepada seseorang dari Bani Adam, maka berwudhulah, dan perbaikilah wudhunya, kemudian salatlah dua rakaat. Lalu hendaklah ia memuji Allah ﷻ dan bershalawat kepada Nabi ﷺ, dan mengucapkan (doa di atas): ‘Tidak ada Sesembahan yang benar melainkan Allah yang Maha Penyantun dan Maha Mulia. Maha Suci Allah Rabb Arsy yang agung, segala puji millik Allah Rabb sekalian alam. Aku memohon kepada-Mu hal-hal yang menyebabkan datangnya rahmat-Mu, dan yang menyebabkan ampunan-Mu, serta keuntungan dari setiap kebaikan dan keselamatan dari segala dosa. Janganlah Engkau tinggalkan pada diriku dosa, kecuali Engkau ampuni, kegundahan melainkan Engkau berikan jalan keluarnya, tidak pula suatu kebutuhan yang Engkau ridai, melainkan Engkau penuhi, wahai Yang Maha Penyayang di antara penyayang’.” [HR. at-Tirmidzi no. 479, Ibnu Majah no. 1384, dan yang lainnya]

Hadits ini TIDAK bisa dijadikan hujjah. At-Tirmidzi sendiri mengatakan setelah meriwayatkan hadits ini, “Hadits ini Gharib (Dalam beberapa cetakan Sunan at-Tirmidzi disebutkan, “Hasan Gharib.” Namun, Ahmad Syakir menyalahkan penyebutan ‘Hasan’ tersebut, karena pada semua manuskrip lama tidak terdapat kata tersebut, kecuali hanya satu manuskrip). Dalam sanadnya ada pembicaraan, dan Faid bin Abdurrahman dilemahkan dalam hadits.”

Para ulama pun mencela perawi tersebut (Faid bin Abdurrahman).
Al-Imam al-Bukhari mengatakan: “Mungkarul Hadits (hadisnya mungkar).”
Al-Imam Ahmad mengatakan: “Matrukul Hadits (haditsnya ditinggalkan).”
Adz-Dzahabi mengatakan: “Tarakuhu (Para ulama meninggalkannya).”
Adapun Ibnu Hajar mengatakan: “Martrukun Ittahamuhu (Dia ditinggalkan haditsnya, para ulama menuduhnya sebagai pendusta).”

Atas dasar itu, asy-Syaikh al-Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini Dhaifun Jiddan (Lemah Sekali).
Dari kelemahan hadits itulah sebagian ulama meniadakan Shalat Hajat, yakni yang dilakukan dengan cara semacam itu. Wallahu a’lam.

*Dewan Fatwa Saudi Arabia atau al-Lajnah ad-Daimah menyebutkan:*

“Adapun yang disebut Shalat Hajat, telah datang hadits yang Dha'if dan Mungkar. Sebatas pengetahuan kami, *TIDAK bisa dijadikan hujjah, dan TIDAK bisa dibangun amalan di atas hadits-hadits tersebut.”* [Ditandatangani oleh Ketua: Abdul Aziz bin Baz, Wakil: Abdurrazzaq Afifi, Anggota: Abdullah bin Qu’ud dan al-Ghudayyan, 1/161]

*Demikian pula asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan:*

“Shalat Hajat tidak ada dalilnya yang shahih dari Nabi ﷺ. Akan tetapi diriwayatkan bahwa apabila Nabi ﷺ menghadapi suatu masalah yang menyulitkannya, beliau ﷺ segera menuju shalat, karena Allah berfirman:
_“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.”_ (QS. al-Baqarah: 45) [Fatawa Nurun ‘ala ad-Darb]

Demikian juga hadits:

كَانَ النَّبِيُّ n إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى

_“Apabila Nabi ﷺ menghadapi suatu masalah yang menyulitkan beliau, beliau melakukan salat.”_ [HR. Ahmad dan Abu Dawud. Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Hasan.”]

Perhatian:
Dalam buku-buku mazhab terdahulu juga dibahas Shalat Hajat, dengan tata cara pelaksanaan yang bermacam-macam, terutama jumlah rakaatnya. Akan tetapi semuanya tidak didasari oleh hadits-hadits yang Shahih.
Wallahu a’lam.


••• ════ ༻🎯༺ ════ •••
Sumber:
[Konsultasisyariah.com]
[Asysyariah.com]

Baca artikel lengkap di: https://nasihatsahabat.com/adakah-salat-hajat

MASIH RAGU TERHADAP ANJURAN SHALAT DI RUMAH?

https://nasihatsahabat.com/masih-ragu-terhadap-anjuran-salat-di-rumah




MASIH RAGU TERHADAP ANJURAN SHALAT DI RUMAH?
┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈

⬇ Mari kita perhatikan dalil berikut ini:

*📖 🎓 Dari Ibnu Abbas _radhiyallahu ‘anhuma,_* beliau berpesan kepada muazin pada saat hujan:

إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلاَ تَقُلْ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ قُلْ صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ

“Apabila engkau selesai mengucapkan *‘Asyhadu allaa ilaha illallah, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’,* maka janganlah engkau ucapkan *‘Hayya ’alash sholaah’.* Tetapi ucapkanlah *‘SHOLLUU FII BUYUTIKUM’* (Shalatlah di rumah kalian).”

قَالَ : فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّى إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّى كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِى الطِّينِ وَالدَّحْضِ.

"Masyarakat pun mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut. Lalu Ibnu Abbas mengatakan:
*“Apakah kalian merasa heran dengan hal ini, padahal hal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (Rasulullah ﷺ)?"* [HR. Muslim no. 1637 dan Abu Daud no. 1066]

*📖 🎓 Imam An Nawawi _Rahimahullah_* menjelaskan:
”Dari hadits di atas terdapat dalil tentang keringanan untuk *TIDAK* melakukan sholat berjamaah ketika turun hujan, dan ini termasuk udzur (halangan) untuk *MENINGGALKAN* sholat berjamaah."

Menurut beliau letak tambahan lafal *“Shalatlah di rumah kalian”* lebih bagus diletakkan di akhir setelah adzan biasa dikumandangkan. [Syarh Muslim, 5/207]

Kita analogikan kasus hujan dan wabah virus Corona, mana kiranya yang lebih besar bahayanya?
Tentu wabah virus Corona.

Jika hujan saja bisa menjadi udzur boleh tidak sholat Jum'at dan berjamaah, apalagi virus Corona.

Metode pendalilan inilah yang digunakan oleh Syekh Prof. Sulayman Al Ruhayli _hafidzahullah_ (ulama Madinah dan guru besar Fakultas Syariah Universitas Islam Madinah) pada fatwa beliau yang disampaikan lewat akun twitter.com/solyman24
"Jika didapati keberadaan virus Corona di suatu daerah, atau pemerintah setempat melarang kerumunan massa, maka boleh tidak melaksanakan sholat Jum'at dan sholat berjamaah di masjid. Masyarakat mendapatkan pahala keringanan boleh sholat di rumah mereka, karena wabah Corona lebih berbahaya daripada hujan lebat. Sedangkan karena hujan lebat saja seseorang boleh mengerjakan sholat di rumahnya".

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.


••• ════ ༻🎯༺ ════ •••
Sumber: [Rumaysho.com]

https://nasihatsahabat.com/masih-ragu-terhadap-anjuran-salat-di-rumah
••• ════ ༻🎯༺ ════ •••

📖 HUKUM DZIKIR SESUDAH SHOLAT DI SELAIN TEMPAT MENGERJAKAN SHOLAT.

┏━━━━❃❀❃•❃❀❃━━━━┓
         FATAWA ULAMA
┗━━━━❃❀❃•❃❀❃━━━━┛

📖 HUKUM DZIKIR SESUDAH SHOLAT DI SELAIN TEMPAT  MENGERJAKAN SHOLAT.

🎓Syekh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin _rahimahullah_

*📪Pertanyaan:*

Jazakumullahu khairan. Apakah tasbih sesudah shalat wajib dilakukan di tempat seseorang shalat padanya. Penanya berkata : saya seorang istri dan memiliki beberapa anak, sehingga saya tidak bisa duduk sampai menyempurnakan tasbih, lalu saya pun menyempurnakaannya saat mengerjakan salah satu urusan keluargaku?

*🎓 Syekh : Tidak di Persyarakatkan berdzikir setelah sholat dilakukan di tempat sholat.*

➡ Allah ﷻ berfirman:

*💬فَاِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلٰوةَ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِكُمْ ۚ*

_*"Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah ketika kamu berdiri, pada waktu duduk, dan ketika berbaring."*_ (QS. An Nisa':103)

➡ Allah ﷻ  juga berfirman:

*💬فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا*

_*"Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak."*_(Al Jumuah:10).

✅ Hanya saja perkara yang terpenting adalah hatinya hadir saat berdzikir. Ya.

📻 [Fatawa Nurun 'Ala ad Darb 375]

*📪السؤال:*
*💬جزاكم الله خيراً. هل التسبيح بعد الصلاة يجب أن يكون في نفس المكان الذي يصلي فيه الشخص، تقول: لأني امرأة متزوجة ولي أولاد فلا أقوي أن أجلس حتى أكمل التسبيح فأكمله وأنا أقوم بشأن أفراد أسرتي؟*
*🔐الجواب:*
*🎓الشيخ: لا يشترط أن في الذكر خلف الصلوات أن يكون في المكان قال الله عز وجل: ﴿فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ﴾، وقال عز وجل في صلاة الجمعة: ﴿فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً﴾،  لكن أهم شيء أن يكون قلبها حاضراً عند الذكر. نعم.-*

*📡 Disebarkan oleh As-sunnah TDS bekerja sama dengan Markas Dakwah tauhid & Sunnah :*


📮 Channel telegram http://telegram.me/dakwahtauhiddansunnah
🌐 Instagram.Com/ Assunnahtds

🔰Dengan Ilmu Syar'i Kita Tegakan Tauhid & Sebarkan Sunnah diatas Manhaj Salaf
*Share, yuk! !..*
_Semoga saudara saudara kita mendapatkan faidah ilmu dari yang anda bagikan dan menjadi pembuka amal amal kebaikan bagi anda yang telah menunjukkan kebaikan. آمِينَ._

Sikap Pertengahan Dalam Agama

Sikap Pertengahan Dalam Agama



Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin _rahimahullah_ ditanya mengenai maksud dari sikap pertengahan dalam beragama. Beliau menjawab:

Sikap pertengahan dalam beragama adalah sikap *tidak ghuluw* (ekstrem) dalam beragama, yaitu melewati batasan yang ditetapkan Allah _Azza Wa Jalla,_ namun juga tidak kurang dari batasan yang ditetapkan Allah _Subhanahu Wa Ta’ala._

Bersikap pertengahan dalam beragama yaitu dengan meneladai jalan hidup Nabi _Shallallahu’alaihi Wasallam._ Sedangkan sikap ghuluw, adalah melebihi dari apa yang beliau ajarkan. Dan taqshiir adalah yang melakukan kurang dari apa yang beliau ajarkan.

Contohnya, seseorang mengatakan: *‘Saya ingin shalat Malam dan tidak tidur setiap hari, karena shalat adalah ibadah yang paling utama maka saya ingin sepanjang Malam saya dalam keadaan shalat‘.* Maka kita katakan bahwa *sikap ini adalah sikap ghuluw* dalam beragama dan tidak benar. Hal yang semisal ini pun pernah terjadi di masa Nabi _Shallallahu’alaihi Wasallam_

اجتمع نفر فقال بعضهم: أنا أقوم ولا أنام، وقال الآخر: أنا أصوم ولا أفطر، وقال الثالث: أنا لا أتزوج النساء، فبلغ ذلك النبي، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فقال، عليه الصلاة والسلام: ” ما بال أقوامٍ يقولون كذا وكذا أنا أصوم وأفطر، وأقوم، وأنام، وأتزوج النساء، فمن رغب عن سنتي فليس مني


“Sekelompok orang berkumpul membicarakan sesuatu. Lelaki pertama berkata, saya akan shalat Malam dan tidak tidur. Yang lain berkata, saya akan puasa dan tidak berbuka. Yang ketiga berkata, saya tidak akan menikah. Perkataan mereka ini sampai kepada Rasulullah _Shallallahu’alaihi Wasallam._ Kemudian beliau berkata, kenapa ada orang-orang yang begini dan begitu?! Aku shalat Malam tapi juga tidur, aku puasa tapi juga berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, dia tidak di atas jalanku” [HR. Bukhari-Muslim]

Rasulullah _Shallallahu’alaihi Wasallam_ berlepas diri dari mereka yang ghuluw karena mereka tidak menyukai sunnah Nabi, diantara yaitu puasa dan berbuka, shalat Malam dan tidur, serta menikah dengan para wanita.

Sedangkan *al muqashir* (orang yang meremehkan) adalah orang yang berkata: *“Saya tidak butuh shalat sunnah, saya cukup shalat wajib saja”.* Bahkan terkadang mereka meremehkan perkara-perkara yang wajib. *Inilah al muqashir.*

Adapun *al mu’tadil*(orang yang bersikap pertengahan) adalah orang yang menerapkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah _Shallallahu’alaihi Wasallam_ dan para khulafa ar rasyidin.

Contoh lain, ada 3 orang yang sedang membahas seorang yang fasiq di depan mereka.
Yang pertama mengatakan: ‘Saya tidak akan memberi salam pada orang fasiq ini. Akan saya boikot dia, saya jauhi dan saya tidak mau bicara dengannya’.

Orang kedua mengatakan: ‘Saya akan berjalan bersama orang fasiq ini, bermuka cerah di hadapannya, mengundangnya ke rumah saya, saya pun memenuhi undangannya, dan sikap saya terhadapnya sama seperti sikap saya terhadap orang shalih’.

Orang ketiga mengatakan: ‘Orang fasiq ini, saya benci dia karena perbuatan fasiqnya. Namun saya masih cinta dia karena imannya. Saya tidak akan memboikot dia kecuali jika memang diboikot ia menjadi lebih baik. Namun kalau boikot saya itu malah menambah kefasikannya, maka saya tidak boikot dia’.

*Kami katakan, orang yang pertama adalah ekstrim kanan (ghalin) sedangkan orang yang kedua adalah ekstrim kirim (muqashir)  dan yang ketiga adalah orang yang pertengahan (mutawashith).* Demikian juga hal ini terjadi dalam seluruh perkara ibadah dan muamalah. Yaitu orang-orang pasti termasuk salah satu dari 3 keadaan ini, muqashir, ghalin dan mutawashith.

*Contoh ketiga,* ada lelaki yang sudah berkeluarga, ia dikendalikan sesuai keinginan istrinya. Suaminya tidak menentang perbuatan dosa yang dilakukan istrinya dan tidak menyemangatinya untuk berbuat kebaikan. Istrinya telah menguasai akalnya dan jadilah sang istri ‘pemimpin’ dalam rumah tangganya.
Lelaki yang lain, kasar, angkuh, dan merasa tinggi di hadapan istrinya. Tidak peduli pada istrinya dan memperlakukan istrinya seolah istrinya lebih rendah dari pada pembantu.
Lelaki yang ketiga adalah lelaki yang bersikap pertengahan. Ia bersikap sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

_“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf”_ (QS. Al Baqarah: 228)

لا يفرك مؤمن مؤمنة إن كره منها خلقا رضي منها خلقا آخر

*“Janganlah seorang mu’min membenci seorang mu’minah. Jika ia tidak menyukai salah satu sifatnya, hendaklah ia menyenangi sifat yang lainnya”* (HR. Muslim)

Lelaki yang terakhir tadi adalah yang mutawashith, yang pertama itu ghaalin dalam bermuamalah dengan istrinya sedangkan yang kedua muqashir. Demikian juga ini berlaku dalam seluruh amal ibadah dan muamalah.

[ Majmu' Fatawa War Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 1/43, Asy Syamilah ]

**********
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel : muslim.or.id

Sumber http://ersunnah.blogspot.com/2012/08/syaikh-muhammad-bin-shalih-al-utsaimin.html?m=1

AJARAN TASAWUF MERUSAK AQIDAH ISLAM

AJARAN TASAWUF MERUSAK AQIDAH ISLAM

Oleh ‘Abdul Azîz bin ‘Abdullâh al-Husaini Imam Syafi’i rahimahullah :

“Seandainya seorang menjadi sufi (bertasawwuf) di pagi hari, niscaya sebelum datang waktu Zhuhur, engkau tidak dapati dirinya, kecuali menjadi orang bodoh”. [al-Manâqib lil Baihaqi 2/207]

Wihdatul mashdar menjadi salah satu ciri Ahlu Sunnah wal Jama’ah dalam penetapan masaail aqidah, Mereka hanya berlandaskan misykâtun nubuwwah, wahyu dari Allâh Azza wa Jalla , tidak memandang akal, qiyas dan kasyf sebagai bagian sandaran aqidah. Justru tiga hal tersebut akan bertentangan banyak dengan nash al-Kitab dan Sunnah. Sehingga amat aneh bila ada orang yang mendahulukannya di atas hujjah-hujjah al-Qur`an dan Hadits.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja pernah menegur ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu dari sekedar melihat-lihat lembar Taurat yang sebelumnya merupakan kitab yang diturunkan dari langit meski tidak telah dimasuki oleh tahrif-tahrif hasil penyelewengan tangan para pemuka agama mereka. Dan tentunya Taurat dalam konteks ini lebih afdhal daripada hasil qiyas akal manusia dan kayalan kalangan Sufi.

Seiring dengan perjalanan waktu, semakin jauh umat dari masa kenabian, muncullah berbagai keyakinan dan ideologi dari luar al-Qur`ân dan Sunnah yang mengintervensi aqidah Islamiyyah. Sufi dengan ajaran tasawufnya pun ikut menodai kejernihan dan keutuhan aqidah Islamiyyah. Masuknya ideologi ini di tengah masyarakat menyebabkan terjadinya kegoncangan akidah pada akidah kebanyakan umat Islam, pemikiran dan pandangan-pandangan mereka dan secara otomatis menjauhkan mereka dari aqidah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Inilah salah satu dampak buruk yang harus dirasakan bila kekeliruan dan penyimpangan sangat dominan di masyarakat, akhirnya khalayak menganggapnya sebagai kebenaran. Pihak yang menentangnya dipandang keluar dari al-haq.

Dan lebih menarik lagi, bangsa Barat memberikan atensi besar pada pengkajian khazanah ‘ilmiah’ Sufi, mencetak dan menyebarluaskannya serta menterjemahkannya ke berbagai bahasa. Tiada lain karena mereka sudah mengetahui bahaya Tasawuf bagi Islam dan umat Islam, bukan dalam rangka mendukung Islam. Wallâhul musta’ân.

*DIBANGUN DI ATAS KEDUSTAAN*

Kerusakan aqidah bila ditampakkan dengan terang-terangan, pasti akan ditolak oleh manusia-manusia yang berfitrah lurus dan berakal sehat. Maka, sebagian tokoh (tarekat Sufi) ajaran ini memperkenalkan tasawuf dengan slogan-slogan, visi dan misi yang menarik agar mudah menggandeng manusia sebanyak mungkin, menegaskan bahwa dakwah mereka sesuai dengan ajaran Islam , misi mereka untuk mensucikan kalbu, membina akhlak dst slogan-slogan menarik guna mengelabuhi ummat.

Seorang pemuka tarekat di Mesir, Mahmûd as-Sathûhî menjelaskan bahwa Tasawuf merupakan inti sari pengamalan ajaran Islam, mengamalkan al-Qur`ân dan Sunnah, berjihad melawan musuh dan hawa nafsu. (!!).

Sebagian pemuka aliran Tasawuf bahkan memandang bahwa seluruh Shahabat Nabi, generasi Tâbi’în dan Tâbi’ît Tâbi’în adalah pioner aliran Tasawuf karena sikap zuhud dan semangat berjihad mereka. (!?). Ungkapan-ungkapan di atas hanyalah klaim kosong dan pernyataan yang tidak mendasar.

Seorang Muslim yang berilmu akan merasa keheranan dengan klaim-klaim (kosong tanpa bukti). Bagaimana mungkin mereka disebut mengikut al-Qur’ân dan Sunnah, serta menjadi para pengikut dan penerus generasi terbaik umat?. Karena dari sisi aqidah terjadi perbedaan tajam antara aqidah para Shahabat dan kalangan Tasawuf, apalagi dengan aqidah tokoh besar Sufi, semisal Ibnu Arabi. Namun keheranan ini akan segera sirna begitu mengetahui bahwa klaim-klaim palsu dan tuduhan-tuduhan asal-asalan merupakan salah satu uslub (metode) memasarkan ajaran mereka dan menjauhkan umat dari kebenaran.

*BENAR-BENAR MERUSAK AQIDAH ISLAMIYAH*

Kekhawatiran terhadap ideologi Sufi tidak hanya lantaran kandungan penyelewengan akidah yang ada padanya,. Akan tetapi, juga karena penyebarannya yang begitu luas di dunia Islam. Akibatnya, terbentuk semacam opini bahwa kebenaran adalah apa yang ada pada kaum Sufi (?!). Seperti pepatah Arab, wabil mitsâl yattadhihul maqâl, dengan contoh, pernyataan akan bertambah jelas, maka di sini akan disebutkan beberapa contoh bagaimana ajaran tasawuf merubah kemurnian aqidah Islam:

1. Aqidah Islam telah menetapkan Allâh Azza wa Jalla menciptakan makhluk-makhluk-Nya dari ‘adam (tidak ada sebelumnya), tidak dari Dzat-Nya dan bahwa semesta alam ini bukan khaliq (pencipta). Inilah aqidah yang dibawa al-Qur`an dan Hadits-hadits Nabi.

Sementara dalam kamus Sufi, diyakini bahwa segala yang ada di alam ini merupakan perwujudan Dzat Allâh Azza wa Jalla dengan aqidahnya yang dikenal dengan wihdatul wujud, kesatuan wujud.

2. Aqidah Islam berdasarkan nash-nash al-Qur`ân dan Hadits telah menentukan bahwa Allâh Azza wa Jalla berada di atas langit, bersemayam di atas Arsy sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

_"(Yaitu) Rabb yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy."_ [QS. Thâhâ/20:5]

Sementara dalam ilmu Tasawuf diajarkan bahwa Allâh Azza wa Jalla berada dimana-mana.

3. Aqidah Islam menyatakan bahwa kenabian mutlak merupakan keutamaan yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepada insan yang Allâh kehendaki. Kenabian dan kerasulan tidak datang melalui keinginan nabi dan rasul yang bersangkutan atau atas permintaan mereka kepada Allah.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

_"Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia. Sesungguhnya Allâh Maha Mendengar lagi Maha Melihat."_  [QS. al-Hajj/22:75]

Dalam hal ini, tokoh Sufi memandang kenabian dapat diraih melalui ketekunan melakukan riyadhah, sampai seorang tokoh Sufi, Ibnu Sab’in mengatakan, “Ibnu Aminah (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah membatasi sesuatu yang lingkupnya luas ketika mengatakan, “Tidak ada nabi sepeninggalku”.

4. Aqidah Islam menegaskan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan nabi serta rasul yang lain juga manusia-manusia seperti orang-orang yang lain dan masih berkewajiban menjalankan syariat. Akan tetapi, Allâh Azza wa Jalla memilih mereka dan mengutamakan mereka di atas kebanyakan orang sebagai utusan-utusan-Nya.

Adapun golongan Sufi berpandangan bahwa Nabi Muhammad sumber terciptanya makhluk-makhluk yang lain (keyakinan ini dikenal dengan aqidah Nur Muhammadi). Mereka pun membawakan hadits-hadits palsu yang menyatakan jika tidak ada Muhammad maka alam semesta ini tidak akan pernah ada . Mereka pun memandang manusia bila sudah mencapai derajat tertentu tidak terkena kewajiban menjalankan syariat Islam.

5. Sumber hukum aqidah Islam hanya dua: al-Qur`ân dan Hadits shahih, tidak ada sumber ketiga atau keempat dan seterusnya…

Sementara itu, kaum Sufi memiliki sumber aqidah yang lain yang dikenal dengan istilah al-kasyf dan al-faidh. Mereka secara nyata meyakininya sebagai landasan keyakinan.

6. Aqidah Islam menjunjung tinggi tauhîdullâh dan datang untuk memberantas syirik dengan seluruh jenisnya dan praktek penyembahan kepada selain Allâh Azza wa Jalla .

Sedangkan pada ajaran Tasawuf, praktek syirik sangat kentara dalam bentuk meminta kepada penghuni kubur, istighotsah kepada orang-orang yang telah mati, pengagungan kuburan dan lain-lain.

7. Aqidah Islam telah menetapkah hanya Allâh saja yang mengetahui alam gaib.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

 قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ

_"Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan."_ [QS. an-Naml/27:65]

Dalam hal ini, kaum Sufi menyatakan bahwa syaikh-syaikh tarekat memiliki kemampuan meneropong dan mengetahui alam gaib melalui jalan kasyf, dan menurut mereka lagi, mereka meemperoleh ilmu itu dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Masih banyak keyakinan mereka lainnya yang jelas-jelas berseberangan dengan aqidah yang dibawa oleh Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pendek kata, ajaran Tasawuf berdiri di atas landasan-landasan berikut:

• Membagi agama menjadi lahir yang diketahui oleh orang-orang awam dan batin yang hanya dimengerti oleh kaum khos (orang-orang khusus saja)

• Memegangi kasyf dan dzauq dalam penetapan masalah-masalah aqidah dan ibadah

• Melegalkan praktek syirik dan bahkan melakukan pembelaan untuknya

• Menshahihkan hadits melalui jalan kasyf

• Beramal berdasarkan hasil mimpi

• Beribadah dengan dasar dzauq dan wajd

• Menyebarkan hadits-hadits lemah dan palsu dan mengamalkannya.

• Membiasakan dzikir jama’i dan beribadah dengan menari-nari diiringi oleh suara-suara alunan bunyi seruling dan alat-alat musik lainnya. Bahkan penulis kitab Ihya Ulumuddin menulis satu bab di dalamnya dukungannya terhadap ‘ibadah’ dengan tarian dan musik disertai penjelasan tentang adab-adab dan menetapkan bahwa musik lebih menggelorakan hati daripada al-Qur`ân dari tujuh aspek. [al-Ihyâ:2/325-328].

Demikian point-point prinsip aqidah yang diajarkan dalam ilmu Tasawuf dan diyakini kalangan Sufi.

Semoga Allâh Azza wa Jalla menjauhkan kita dari segala kerusakan dalam keyakinan kita. Wallâhu a’lam.


Dikutip dari at-Tauhîd fî Masîratil ‘Amalil Islami bainal Wâqi wal Ma`mûl, ‘Abdul Azîz bin ‘Abdullâh al-Husaini.

Pengantar Nashir bin ‘Abdul Karîm al-‘Aql, Cet I, Th. 1419H, Darul Qasim. hlm. 25-33.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

_______
Footnote
[1]. HR. Ahmad, al-Baihaqi, Ibnu Abi Ashim. Hadits hasan dengan berbagai jalur periwayatannya.
[2]. Lihat Manhajul Istidlâl ‘alâ Masâil al-I’tiqâd ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah 1/41-42
[3]. Dia adalah ‘Abdul Haqq bin Ibrâhîm bin Muhammad bin Nashr bin Sab’în (613-668H), seorang pemuka golongan Sufi dan termasuk berkeyakinan wihdatul wujud.

Sumber: https://almanhaj.or.id/3681-ajaran-tasawuf-merusak-aqidah-islam.html

HUKUM KEBIASAAN MENGUCAPKAN JUM’AT YANG PENUH BERKAH

┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈
HUKUM KEBIASAAN MENGUCAPKAN JUM’AT YANG PENUH BERKAH
┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈


*Pertanyaan :*

Apa hukum seorang muslim  mengucapkan (selamat) Jum’at mubarokah (Jum'at penuh berkah) kepada muslim yang lain dengan cara perpesanan via ponsel atau di forum² (internet)?

*🎙🎓Yang Mulia Syaikh Shalih bin Fauzân al-Fauzân _hafizhahullâhu_* menjawab :
Perbuatan ini tidak ada asalnya dan termasuk bid’ah. *Tidak boleh (membiasakan) mengucapkan salam hari Jum’at seperti ini.*

*Perbuatan ini tidak ada riwayatnya satupun dan tidak pula diamalkan oleh para salaf. Jadi, hal ini termasuk perkara bid’ah yang diada-adakan* dan para pelaku bid’ah sekarang ini banyak sibuk dengan ponsel dan internet dengan perkara-perkara sebagaimana yang disebutkan dan mereka gunakan untuk menyebarkan kebid’ahan dengan cara seperti ini.*

➡ http://www.alfawzan.af.org.sa/node/13651

══════ ❁✿❁ ══════

ما حكم قول المسلم للمسلم جمعة مباركة في كل جمعة برسائل الجوال أو في المنتديات ؟

يجيبگ فضيلة الشيخ صالح بن فوزان الفوزان حفظه الله

ߌ■الجواب :
هذا لا أصل له وهو بدعة ، ولا يجوز التهنئة بيوم الجمعة ، هذا لم يرد فيه شيء ، وليس من عمل السلف ، فهو مبتدَع ، والمبتدعة يستغلون الآن الجوالات والإنترنتات على ما يذكرون ويستعملونها لترويج البدع بهذه الطريقة .

http://www.alfawzan.af.org.sa/node/13651

◇◇◇
♦ جزى الله خيراً من قرأها وساعدنا على نشرها

══════ ❁✿❁ ══════

https://abusalma.net/2015/12/18/hukum-kebiasaan-mengucapkan-jumat-yang-penuh-berkah/

Hukum Ucapan : Kullu ‘Âmin wa Antum Bikhayrin

┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈
Hukum Ucapan : Kullu ‘Âmin wa Antum Bikhayrin
┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈


حكم التهنئة بـ كل عام وأنتم بخير

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
?قال الإمام اﻷلباني رحمه الله :

*📝🎓Al-Imam al-Albånî _rahimahullåhu_* berkata :

ﻗﻮﻝ ﻛﻞ ﻋﺎﻡ ﻭﺍﻧﺘﻢ ﺑﺨﻴﺮ ﻻ ﺃﺻﻞ ﻟﻬﺎ ﻭﺣﺴﺒﻚ ﺗﻘﺒﻞ الله ﻃﺎﻋﺘﻜﻢ ﺃﻣﺎ ﻛﻞﻋﺎﻡ ﻭﺃﻧﺘﻢ ﺑﺨﻴﺮ ﻫﺬﻩ ﺗﺤية ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ ﺻﺎﺭﺕ ﺇﻟﻴﻨﺎ ﻧﺤﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻓﻲ ﻏﻔﻠﺔ ﻣﻨﺎ!
ﻭﺫﻛﺮ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺬﻛﺮﻯ ﺗﻨﻔﻊ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ) ﺳﻠﺴﻠﻪ ﺍﻟﻬﺪﻯﻭﺍﻟﻨﻮﺭ ﺷﺮﻳﻂ ﺭﻗﻢ 323

➡ Ucapan *Kullu ‘Âmin wa Antum bikhayrin* (semoga setiap tahun kalian dalam kebaikan) itu tidak ada asalnya. Cukuplah bagi Anda mengucapkan *taqobbalallâhu thô’atakum* (Semoga Allah menerima amal ketaatan kalian). Adapun ucapan *Kullu ‘Âmin wa Antum Bikhayrin,* ini merupakan ucapan (yang berasal) dari orang-orang kafir, yang menjadi kebiasaan kita kaum muslimin lantaran kelalaian kita! Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. [QS 51:55]
📚 [Silsilah al-Hudâ Wan Nûr karet no 323]

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
?وسئل الشيخ ابن عثيمين رحمه الله : هل يقال كل عام وأنتم بخير؟

*📝🎓Syaikh Ibnu Utsaimin _rahimahullāhu_* pernah ditanya :

“Apakah boleh mengucapkan *Kullu ‘âmin wa antum bikhayrin?"*

قال رحمه الله:
كل عام وأنتم بخير لا تقال لا في عيد اﻷضحى ولا في عيدالفطر )
لقاءالباب المفتوح (202)

➡ Beliau _rahimahullåhu_ menjawab : *Kullu ‘âmin wa antum bikhayrin* tidak selayaknya diucapkan baik di *‘îdul adha maupun di ‘îdul fihtri.*

📚 [Liqô’ul Bâb al-Maftûh 202]

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
?وسئل الشيخ الفوزان حفظه الله
عن كل عام وأنتم بخير هل هي مشروعة في هذةاﻷيام؟

*📝 🎓Syaikh al-Fauzån _hafizhahullåhu_* ditanya tentang ucapan *Kullu ‘âmin wa antum bikhayrin* apakah dianjurkan (disyariatkan) pada hari-hari ini (îd)?

فقال حفظه الله:
لا ليست مشروعة ولا يجوز هذا )
اﻹجابات المهمة في المشاكل المدلهمة ص 229.

➡ Beliau _hafizhahullåhu_ menjawab : *Tidak ! (ucapan tersebut) tidak disyariatkan dan tidak boleh mengucapkannya !*

📚 [Al-Ijâbah al-Muhimmah fîl Masyâkil al-Mudlahimah hal. 229]


••• ════ ༻🎯༺ ════ •••
@abinyasalma
Channel Telegram & WAG al-Wasathiyah wal I’tidål | bit.ly/abusalma

https://abusalma.net/2016/09/11/hukum-ucapan-kullu-amin-wa-antum-bikhayrin/

ADAB BERMEDIA SOSIAL (MEDSOS)

╔•◎•◎❀══════════╗
    ADAB BERMEDSOS
╚══════════❀◎•◎•╝

أحيوا الحق بذكره

1⃣ Hidupkan / marakkan kebenaran dengan cara menyampaikannya ?

Kebenaran itu adalah yang selaras dengan Kitâbullâh dan Sunnah Rasulullah yang shahih/valid. Kebenaran yang paling tinggi adalah memenuhi hak Allah dengan cara mentauhidkan-Nya dan memenuhi hak Rasulullah dengan cara mengikuti sunnah beliau.

❁❁══════════════════❁❁

أميتوا الباطل بتركه

2⃣ Matikan / tinggalkan kebatilan dengan cara meninggalkannya. ?

Semua yang bertentangan dan menyelisihi Kitâbullâh dan sunnah Rasulullah adalah bathil, dan kebatilan itu lawan dari kebenaran. Kebatilan yang paling besar adalah syirik, kemudian bid’ah, kemudian maksiat.

❁❁══════════════════❁❁

تجنبوا الصورالمحرمة

3⃣ Jauhilah gambar-gambar yang diharamkan ?

Yaitu gambar-gambar yang berisi maksiat seperti pornografi, wanita yang membuka aurat, gambar yang mengajak kepada kesyirikan, bid’ah, atau yang berisi fitnah dll

❁❁══════════════════❁❁

تجنبوا الجدال غير المفيد.

4⃣ Tinggalkanlah perdebatan yang tidak bermanfaat !

Yaitu perdebatan kusir untuk menang-menangan, bukan untuk mencari kebenaran tapi untuk mencari pembenaran. Apalagi debat tanpa ilmu.

❁❁══════════════════❁❁

تجنبوا النكت التي تستهزىء بالدين والأشخاص والشعوب

5⃣ Jauhi canda yang mengandung hinaan terhadap agama, individu atau bangsa ?

Menjadikan agama sebagai bahan olokan bisa membuat kafir, sedangkan mengolok individu atau suku/bangsa adalah dosa besar.

❁❁══════════════════❁❁

لا تكونوا مصدرا للإشاعة وتأكدوا من صحة الأحاديث والقصص والأخبار

6⃣ Jangan jadi sumber isu/ gosip, verifikasi terlebih dahulu kebenaran suatu hadits, kisah maupun berita.

Karena cukuplah seseorang itu dikatakan pendusta, apabila ia menyampaikan segala yang ia dengar. Dan betapa banyak kerusakan yang terjadi lantaran tergesa-gesa di dalam menyebarkan informasi tanpa verifikasi terlebih dahulu.

❁❁══════════════════❁❁

اجعلوا الكلمة التي ترسلونها شاهدة لكم لا عليكم

7⃣ Jadikanlah tulisan yang anda kirim-kan itu sebagai saksi yang dapat me-nyokong anda, bukan yang malah melawan anda sendiri ?

Maksudnya, setiap tulisan yang akan anda kirim, hendaknya dipastikan kebenaran isinya. Dan anda juga harus berusaha mengamalkan isinya tersebut. Jangan sampai menyebarkan tulisan yang mengajak orang lain untuk bersikap ramah dan santun, namun ternyata anda sendiri orang yang pertama kali menyelisihinya.

❁❁══════════════════❁❁

أي رسالة ترسلونها هي بمثابة توقيع منكم بالموافقة على مضمونها.

8⃣ Setiap artikel/risalah yang anda kirimkan, maka dianggap anda telah menyetujui konten/isinya ?

Karena itu berhati-hatilah dari menshare atau menforward tulisan apapun sebelum membaca dan memahami isinya.

❁❁══════════════════❁❁

لا ترسل المقاطع التي فيها موسيقى والمتبرجات لأنه يخشى أن تتحمل وزر كل من يشاهدها أو يسمعها إلى يوم القيامة

9⃣ Jangan mengirim potongan video yang di dalamnya mengandung musik atau wanita-wanita yang bersolek, karena dikhawatirkan anda akan menanggung dosa semua orang yang menontonnya atau mendengarkannya hingga hari kiamat ?

Inilah yang disebut dengan dosa jariyah. Selama masih ada orang yang melakukan maksiat lantaran sebab anda, misal mereka melihat gambar maksiat yang anda kirimkan, maka senantiasa dosa tersebut mengalir kepada anda. Karena itu hati-hatilah dan waspadalah dari menshare /men-forward apapun

❁❁══════════════════❁❁


Dialihbahasakan oleh @abinyasalma

https://abusalma.net/2019/01/12/adab-bermedsos/

DI KALA LUPA RAKA’AT SETELAH SALAM

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
DI KALA LUPA RAKA’AT SETELAH SALAM
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬


*Pertanyaan :*
Hukum seseorang yang lupa satu rakaat dan mengingatnya selepas salam, apakah dia perlu mengulangi shalatnya.

*Jawaban :*

*📚🎓 Syaikh Ibnu ‘Utsaimin _rahimahullâhu_ berkata :*

“Jika belum lama jedanya, lalu ia saat itu kembali ingat, kemudian ia sempurnakan shalatnya, maka shalatnya sah. Namun wajib baginya melakukan sujud sahwi setelah salam.
Adapun jika jedanya lama atau dia berhadats (batal wudhunya), maka hendaknya dia mengulangi shalatnya dari awal. Adapun dalam kondisi berhadats maka wajib baginya untuk berwudhu kemudian mengulangi shalatnya dari awal.”

Kemudian beliau _rahimahullah_ ditanya:
*“Berapa kira-kira lama jeda tersebut?”*

*➡ Beliau menjawab:*

*“Lama jedanya diukur berdasarkan ‘urf, yaitu 5 menit atau 4 menit, ini sudah lama.”*

[Fatawa Nur alad Darbi Kaset nomor 365]

◆◆◆◆
Channel Telegram ‘Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin _rahimahullah_

قناة العلامة .. محمد بن صالح العثيمين -رحمه الله – فيرنامج التليجرام 

حكم من نسي ركعة وذكرها بعد السلام فهل يستأنف الصلاة ؟
قال ابن عثيمين رحمه الله
إذا لم يطل الفصل ورجع من حين تذكر ثم أتم صلاته فصلاته صحيحة، وعليه سجود السهو بعد السلام. وأما إذا طال الفصل أو أحدث فعليه أن يعيد الصلاة من أولها، وفيما إذا أحدث يجب عليه أن يتوضأ ثم يعيد الصلاة من أولها.

وسئل رحمه الله :
كم مدة الفصل تقريباً؟

فأجاب : الفصل مقيد بالعرف يعني خمس دقائق أربعة دقائق هذه طويلة.

فتاوى نور على الدرب > الشريط رقم [365]


••• ════ ༻🎯༺ ════ •••
✅ Alih Bahasa : Maramis Setiawan
✅ Koreksi : Abu Salma Muhammad
✅ Channel Telegram al-Wasathiyah wal I’tidâl (join : https://goo.gl/7zuADL)

https://abusalma.net/2015/12/18/di-kala-lupa-rakaat-setelah-salam/

MANA YANG LEBIH UTAMA, 'UZLAH MENGASINGKAN DIRI) ATAU BERGAUL DENGAN MASYARAKAT?

┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈
MANA YANG LEBIH UTAMA, 'UZLAH MENGASINGKAN DIRI) ATAU BERGAUL DENGAN MASYARAKAT?
┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈


▪Dizaman yang penuh fitnah ini, yaitu ketika *fitnah syubhat dan syahwat begitu kerasnya menerpa,* ketika *kesyirikan menjamur,* ketika *maksiat tersebar dan dianggap biasa* orang masyarakat, ketika *sunnah dianggap asing dan bid’ah dianggap sunnah* oleh mereka terkadang orang yang ingin berpegang teguh pada agamanya dihadapkan oleh dua pilihan: *‘UZLAH (mengasingkan diri) ataukah KHULTHAH (tetap bergaul di tengah masyarakat)?*

*Dalil-Dalil Yang Menganjurkan 'Uzlah Demi Menjauhi Fitnah*

Banyak dalil-dalil yang menganjurkan untuk *'uzlah (mengasingkan diri)* demi menyelamatkan diri dari fitnah atau diri menghindari masyarakat yang banyak terjadi maksiat, kebid’ahan dan pelanggaran agama. Diantaranya sabda Nabi _Shallallahu’alaihi Wasallam_:

خَيْرُ الناسِ في الفِتَنِ رجلٌ آخِذٌ بِعِنانِ فَرَسِه أوْ قال بِرَسَنِ فَرَسِه خلفَ أَعْدَاءِ اللهِ يُخِيفُهُمْ و يُخِيفُونَهُ ، أوْ رجلٌ مُعْتَزِلٌ في بادِيَتِه ، يُؤَدِّي حقَّ اللهِ تَعالَى الذي عليهِ

_“Sebaik-baik manusia ketika berhadapan dengan fitnah adalah orang yang memegang tali kekang kudanya menghadapi musuh-musuh Allah. Ia menakuti-nakuti mereka, dan merekapun menakut-nakutinya. Atau seseorang yang mengasingkan diri ke lereng-lereng gunung, demi menunaikan apa yang menjadi hak Allah”_ (HR. Al Hakim 4/446, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 2/311).

Sebagaimana juga dalam hadits,

قال رجلٌ : أيُّ الناسِ أفضلُ ؟ يا رسولَ اللهِ ! قال ( مؤمنٌ يجاهد بنفسِه ومالِه في سبيلِ اللهِ ) قال : ثم من ؟ قال ( ثم رجلٌ مُعتزلٌ في شِعبٍ من الشِّعابِ . يعبد ربَّه ويدَعُ الناسَ من شرِّه

_“Seseorang bertanya kepada Nabi: ‘siapakan manusia yang paling utama wahai Rasulullah?’ Nabi menjawab: ‘Orang yang berjihad dengan jiwanya dan hartanya di jalan Allah’. Lelaki tadi bertanya lagi: ‘lalu siapa?’. Nabi menjawab: ‘Lalu orang yang mengasingkan diri di lembah-lembah demi untuk menyembah Rabb-nya dan menjauhkan diri dari kebobrokan masyarakat'”._ (HR. Al Bukhari 7087, Muslim 143).

Bahkan andai satu-satu jalan supaya selamat dari fitnah adalah dengan mengasingkan diri ke lembah-lembah dan puncak-puncak gunung, maka itu lebih baik daripada agama kita terancam hancur. Nabi _Shallallahu’alaihi Wasallam_ bersabda:

يُوشِكَ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ الرَّجُلِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنْ الْفِتَنِ

_“Hampir-hampir harta seseorang yang paling baik adalah kambing yang ia pelihara di puncak gunung dan lembah, karena ia lari mengasingkan diri demi menyelamatkan agamanya dari fitnah”_ (HR. Al Bukhari 3300).

*Dalil-Dalil Yang Menganjurkan Untuk Bergaul Di Tengah Masyarakat*

Sebagian dalil yang lain menganjurkan kita untuk bergaul di tengah masyarakat walaupun bobrok keadaannya, dalam rangka berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar di dalamnya. Diantaranya firman Allah _Ta’ala:_

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

_“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”_ (QS. Al Maidah: 2).

juga firman Allah _Ta’ala:_

وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ﴿٣﴾

_“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”_ (QS. Al Ashr: 1-3)

Diantaranya juga sabda Nabi _Shallallahu’alaihi Wasallam:_

المؤمنُ الذي يخالطُ الناسَ ويَصبرُ على أذاهم خيرٌ منَ الذي لا يُخالطُ الناسَ ولا يصبرُ على أذاهمْ

_“Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka”_ (HR. At Tirmidzi 2507, Al Bukhari dalam Adabul Mufrad 388, Ahmad 5/365, syaikh Musthafa Al ‘Adawi mengatakan hadits ini shahih dalam Mafatihul Fiqh 44).

Juga sabda beliau _Shallallahu’alaihi Wasallam:_

فواللهِ لَأن يُهدى بك رجلٌ واحدٌ خيرٌ لك من حُمْرِ النَّعَمِ

_“Demi Allah, sungguh engkau menjadi sebab hidayah bagi satu orang saja, itu lebih baik bagimu daripada unta Merah”_ (HR. Al Bukhari 2942)ز

Juga sabda beliau _Shallallahu’alaihi Wasallam:_

اتَّقِ اللهَ حيثُما كنتَ ، وأَتبِعِ السَّيِّئَةَ الحسنةَ تمحُها ، و خالِقِ الناسَ بخُلُقٍ حَسنٍ

_“bertaqwalah engkau kepada Allah dimanapun berada, dan perbuatan buruk itu hendaknya diikuti dengan perbuatan baik yang bisa menghapus dosanya, dan pergaulilah orang-orang dengan akhlaq yang baik”_ (HR. At Tirmidzi 1906, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami, 97).

dan masih banyak lagi dalil-dalil yang lain.

*Memahami dan Menggabungkan Dalil-Dalil*

Jika kita melihat penjelasan para ulama, ternyata dalil-dalil di atas tidaklah saling bertabrakan. Juga dengan memahami pernyataan para ulama, kita bisa mengamalkan dan menggabungkan dalil-dalil yang ada dalam masalah ini. Sehingga kita pun bisa bersikap dengan benar dan proporsional, tidak mutlak memutuskan untuk mengasingkan diri dan juga tidak mutlak memutuskan untuk bergaul di masyarakat yang buruk keadaannya.

*Al Khathabi dalam kitab Al ‘Uzlah menyatakan* bahwa dalil-dalil yang menganjurkan untuk berkumpul di dalam masyarakat di bawa ke makna bahwa hal itu dalam hal-hal yang berkaitan dengan ketaatan terhadap ulil amri dan ketaatan dalam menjalankan perintah agama. Dan sebaliknya, jika berkaitan dengan adanya pengingkaran terhadap ulil amri dan pengingkaran terhadap perintah-perintah agama maka 'uzlah. Adapun mengenai memutuskan untuk ijtima’ (berkumpul) atau iftiraq (memisahkan diri) secara lahiriah, maka orang yang merasa dapat menjaga kecukupan penghidupannya dan menjaga agamannya, maka lebih utama baginya untuk tetap bergaul di tengah masyarakat. Dengan syarat, ia harus tetap dapat menjaga shalat jama’ah, senantiasa menebarkan salam, menjawab salam, memenuhi hak-hak sesama muslim seperti menjenguk orang yang sakit, melayat orang yang meninggal, dan lainnya (walaupun tinggal di masyarakat yang bobrok, pent). Dan yang dituntut dalam keadaannya ini adalah meninggalkan *fudhulus shahbah (terlalu berlebihan dalam bergaul atau bermasyarakat).* Karena hal itu dapat menyibukkan diri, membuang banyak waktu, sehingga lalai dari hal-hal yang lebih penting. Hal itu juga dapat menjadikan kegiatan kumpul-kumpul dimasyarakat sebagai kegaitan yang sampai taraf kebutuhan baginya untuk dilakukan Pagi dan Malam. Yang benar hendaknya seseorang itu mencukupkan diri bergaul di masyarkat (yang buruk) sebatas yang dibutuhkan saja, yaitu yang memberikan kelonggaran badan dan hati. Wallahu’alam. (lihat Fathul Baari, 11/333, dinukil dari Mafatihul Fiqh, 45).

*Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani menyatakan:*

“Para salaf berbeda pendapat mengenai hukum asal 'uzlah. Jumhur ulama berpendapat bahwa bergaul di tengah masyarakat (yang bobrok) itu lebih utama karena dengan hal itu didapatkan banyak keuntungan diniyyah, semisal tersebarnya syiar-syiar Islam, memperkokoh kekuatan kaum Muslimin, tercapainya banyak kebaikan-kebaikan seperti saling menolong, saling membantu, saling mengunjungi, dan lainnya. Dan sebagian ulama berpendapat, 'uzlah itu lebih utama karena lebih terjamin keselamatan dari keburukan, namun dengan syarat ia memahami benar keadaan yang sedang terjadi” (Fathul Baari, 13/42, dinukil dari Mafatihul Fiqh, 46).

*An Nawawi _rahimahullah_ menjelaskan:*

“Yang lebih rajih adalah merinci masalah bergaul di masyarakat yang buruk, bagi orang yang menyangka dengan kuat bahwa ia tidak akan ikut terjerumus dalam maksiat. Bagi orang yang ragu ia akan ikut bermaksiat atau tidak, maka yang lebih utama baginya adalah 'uzlah. Sebagian ulama mengatakan, keputusannya tergantung keadaan. Jika keadaannya saling bertentangan juga, keputusannya juga masih perlu melihat waktu. Bagi orang yang memang diwajibkan baginya untuk bergaul di masyarakat karena ia sangat mampu mengingkari kemungkaran, maka hukumnya wajib ‘ain atau wajib kifayah baginya. Tergantu keadaan dan kemungkinan yang ada. Adapun orang yang menyangka dengan kuat bahwa ia masih bisa selamat di masyarakat tersebut dengan tetap melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, atau orang yang merasa dirinya masih aman namun ia merasa tidak bisa menjadi orang yang shalih, (maka boleh tetap bergaul di masyarakat). Ini selama tidak ada fitnah yang tersebar luas. Adapun jika ada fitnah maka lebih dianjurkan untuk uzlah. Karena di dalam masyarakat tersebut terjadi pelanggaran syariat yang meluas (dilakukan mayoritas orang). Dan dalam keadaan ini terkadang hukuman dari Allah diturunkan bagi ashabul fitan (pelaku keburukan dimasyarakat) namun hukuman tersebar hingga orang yang tidak termasuk ashabul fitan pun terkena. sebagaimana firman Allah _Ta’ala:_

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

_“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.”_ (QS. Al Anfal: 25) (dinukil dari Mafatihul Fiqh, 46).

*Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya:*

“Apakah bagi orang yang berusaha menjalani agama dengan benar itu lebih baik 'uzlah atau bergaul di tengah masyarakat?”. Beliau menjawab: “Masalah ini walaupun para ulama khilaf, baik khilaf kulliy maupun khilaf haliy, namun yang benar adalah bergaul di tengah masyarakat terkadang wajib dan terkadang mustahab (dianjurkan). Dan seseorang terkadang diperintahkan untuk tetap bergaul di tengah masyarakat dan terkadang diperintahkan untuk menyendiri. Mengkompromikannya yaitu dengan melihat apakah dengan bergaul itu dapat terwujud saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, jika demikian maka diperintahkan untuk bergaul. Namun jika dalam bergaul di tengah masyarakat terdapat unsur saling tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran, maka ketika itu terlarang. Dan berkumpul bersama orang-orang dalam berbagai jenis ibadah seperti shalat 5 waktu, shalat Jum’at, shalat Id, shalat Kusuf, shalat lstisqa, dan yang lainnya adalah perkara yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya."

Demikian juga berkumpul bersama masyarakat dalam ibadah haji, dalam memerangi orang kafir, dalam memerangi kaum khawarij, (adalah hal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya). Walau penguasa ketika itu fajir. Walaupun diantara masyarakat itu ada banyak orang fajir. Demikian juga (diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya) berkumpul bersama orang-orang dalam hal-hal yang dapat menambah keimanan, karena ia mendapat manfaat dari kumpulan itu maupun ia yang memberi manfaat, atau semisal itu.

Dan semestinya seseorang memiliki waktu menyendiri, yang ia gunakan untuk berdoa, berdzikir, shalat, ber-tafakkur, muhasabah, memperbaiki hatinya, dan hal-hal lain yang khusus untuknya tanpa ada orang lain. Ini semua butuh bersendirian. Baik di rumahnya, sebagaimana kata Thawus: ‘sebaik-baik tempat bagi seseorang untuk menyimpan dirinya adalah rumahnya, ia dapat menahan pandangannya dan lisannya disana’, maupun di luar rumah.

Maka memutuskan untuk bergaul di tengah masyarakat secara mutlak, ini adalah kesalahan. Dan memutuskan untuk menyendiri secara mutlak, ini juga kesalahan. Namun untuk menakar kadar mana yang lebih utama bagi seseorang apakah yang ini ataukah yang itu, dan mana yang lebih baik baginya dalam setiap keadaan, ini sangat membutuhkan penelaahan keadaan masing-masing sebagaimana telah kami jelaskan” (Majmu’ Al Fatawa, 10/425, dinukil dari Mafatihul Fiqh 47 – 48).

Semoga bermanfaat.

••• ════♦🍃♦════ •••
Referensi utama: Mafatihul Fiqhi Fid Diin, Syaikh Musthafa Al ‘Adawi, hal. 43-48, cetakan Maktabah Al Makkah

📝____✒ Penyusun: Yulian Purnama

🌍 https://muslim.or.id/19472-mana-yang-lebih-utama-uzlah-atau-bergaul-dengan-masyarakat.html

Minggu, 29 Maret 2020

WAKTU MENG-QODHO PUASA RAMADHAN

┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈
WAKTU MENG-QODHO PUASA RAMADHAN
┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈

Ummul Mu’minin 'Aisyah _Radhiyallahu ‘anha_ berkata,

« قالت أُمُّ الؤمنين عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: كَانَ يَكُونُ عَلّـي الصّـوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ، قال الراوي: الشُّغْلُ مِنَ النَّبِيِّ أَوْ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلّمَ »

*“Aku pernah berhutang puasa Ramadhan dan aku tidak bisa mengqadha'nya kecuali pada bulan Sya’ban.”*

Sang Perawi hadits berkata, “ _Karena beliau sibuk dengan Nabi ﷺ atau bersama Nabi ﷺ_." (HR. Bukhari: 1951 dan Muslim: 1950)

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata,
“Dapat diambil faidah dari semangat beliau (Ibunda 'Aisyah) mengganti puasanya di bulan Sya’ban, bahwa tidak diperbolehkan menunda qadha’ (membayar hutang puasa) sampai masuknya bulan Ramadhan berikutnya.”

📕 (Fathul Bari: IV/191)

Barangsiapa yang memiliki hutang puasa Ramadhan dan ia belum mengqadha’nya hingga masuk Ramadhan berikutnya, maka :

Jika memang ada alasan (udzur) yang berkesinambungan diantara dua Ramadhan, maka ia wajib mengqadha’nya setelah Ramadhan kedua dan ia tidak berdosa asalkan ia tetap mengqadha’nya.

Misalnya, lantaran sakit yang berlanjut hingga masuk Ramadhan berikutnya, maka ia tidak berdosa ketika menunda qadha’ nya. Karena ia memang dalam kondisi ma’dzur (yang dimaklumi). Dan kewajibannya hanyalah qadha’ puasa yang ia tinggalkan saja.

Namun jika ia meninggalkan qadha' tanpa ada udzur, maka ia berdosa lantaran telah menunda-nunda di dalam meng qadha' puasanya tanpa alasan yang dibenarkan.

Ulama bersepakat bahwa ia tetap wajib meng qadha' puasanya, namun mereka berbeda pendapat apakah ia wajib membayar kafarat atas sikap menunda-nundanya ataukah tidak?

Sebagian ulama berpendapat ia wajib qadha' dan memberi makan orang miskin sejumlah hari yang ia tidak berpuasa. Ini adalah pendapat Syafi’i dan Ahmad. Ada pula atsar dari sejumlah sahabat yang berpendapat seperti ini.

Sebagian ulama lain berpendapat ia hanya wajib qadha' dan tidak wajib memberi makan orang miskin. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan pendapat yang dipilih oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin _Rahimahullahu._

📕 Lihat: al-Mughni karya Ibnu Qudamah (IV/400), al-Majmu’ karya Nawawi (VI/366), Latha'iful Ma’arif Hal: 134 dan Syarhul Mumti’ karya Ibnu ‘Utsaimin (VI/445)


••• ════ ༻🍃༺ ════ •••
Dialih bahasakan oleh:

*✒️  Ustadz Abu Salma*

Repost by :
📡 SYIAR TAUHID ACEH 96.1 FM

📡 Live Streaming
http://www.syiartauhidaceh.com/live/

••• ════ ༻🍃༺ ════ •••

ADAKAH SUNNAH MEMATIKAN LAMPU SAAT TIDUR

┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈
ADAKAH SUNNAH MEMATIKAN LAMPU SAAT TIDUR ?
┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈


*➡ 🎓Dari shahabat 'Umar ibnul Khatthab _radhiyallahu_ ‘anhu beliau mengatakan:*
“ Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

لاَ تَتْرُكُوا النَّارَ فِي بُيُوتِكُمْ حِينَ تَنَامُون

_“Jangan biarkan api di rumah-rumah kalian (menyala) tatkala kalian sedang tidur.”_ [ HR. Al-Bukhari no. 6293 - Muslim no.2015-(10) ] Derajat Hadits: Shahih.


▪Sebab Pelarangan :
Dari shahabat Abu Musa _radhiyallahu ‘anhu_ beliau mengatakan:

_”Dahulu di kota Madinah ada sebuah rumah yang terbakar menimpa penghuninya di waktu Malam.” Tatkala kejadian yang menimpa mereka dikabarkan kepada Rasulullah ﷺ , beliau lantas mengatakan:_

«إِنَّ هَذِهِ النَّارَ إِنَّمَا هِيَ عَدُوٌّ لَكُمْ، فَإِذَا نِمْتُمْ فَأَطْفِئُوهَا عَنْكُمْ»

_*“Api ini adalah musuh bagi kalian. Jika kalian hendak tidur padamkanlah api itu dari kalian.”*_

➡️ Dalam hadits terdapat rincian penjelasan bahwa lampu yang berbahaya terbuat dari api.

*➡️ 🎓 Dalam hadits Jabir _radhiyallahu ‘anhu_ dijelaskan lebih lanjut sisi bahayanya; Rasulullah ﷺ  bersabda:

«فَإِنَّ الْفُوَيْسِقَةَ تُضْرِمُ عَلَى أَهْلِ الْبَيْتِ بَيْتَهُمْ»

_*”Karena sesungguhnya tikus-tikus itu bisa menyebabkan rumah terbakar menimpa penghuninya.”*_

*🔖 Al-Hafizh Ibnu Hajar _rahimahullah_ menjelaskan;*

*Adapun "lampu pelita gantung" jika bisa menyebabkan kebakaran maka masuk pada larangan ini. Jika dirasa aman sebagaimana yang biasa terjadi, maka hukumnya tidak mengapa.*
📚 [ Fathul Bari (6/356) ]

✅ Lampu Listrik Tidak Masuk dalam Larangan:

*🎓 Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin _rahimahullah_ menjelasakan:*
. ▪️ Di zaman sekarang ini lampu dari api tidak lagi dinyalakan sebagaimana tempo dulu. Hari ini listrik sudah ada, dengannya lampu bisa menyala.

▪️ Misal saja, ada orang tidur dan lampu dirumahnya masih menyala, biasanya dinamakan dengan *“Lampu Begadang”* maka hukumnya tidak mengapa.

✅ Karena sebab pelarangan ﷺ yang ada pada api tidak ada pada listrik.

📚 [ Lihat Syarah Riyadhis Sholihin (6/390) ]


••• ════ ༻🍃༺ ════ •••
✅ https://www.instagram.com/p/B8q8WTZhRoK/?igshid=184imlt7jcqk4

Sabtu, 28 Maret 2020

MASJID DITUTUP KARENA WABAH

┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈
MASJID DITUTUP KARENA WABAH
┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈

Dalam Sejarah Islam, dahulu masjid pernah ditutup karena wabah.

Adz-Dzahabi menceritakan,

"Dahulu terjadi musim paceklik besar-besaran di Mesir dan Andalus,  kemudian terjadi juga paceklik dan wabah di Qordoba

حتى بقيت المساجد مغلقة بلا مصل

Sehingga masjid-masjid ditutup dan tidak ada orang yang shalat.” [Siyar A’lam An-Nubala 18/311]

Semoga kita tidak kaget apabila ulil amri, pengurus masjid dengan bimbingan ulama serta ahli medis SETEMPAT memutuskan bahwa masjid sementara ditutup, maksudnya tidak ada kegiatan ibadah shalat berjamaah dan shalat Jum'at di masjid. Ini hanya sementara saja semoga wabah segera diangkat oleh Allah.

•═════▪◎❅◎▪═════•
🎙Pemateri: Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp.PK (Alumni ma'had Al-Ilmi Yogyakarta)

Video singkat 1 menit oleh tim @indonesiabertauhidofficial
•═════▪◎❅◎▪═════•

Jumat, 27 Maret 2020

Pemahaman Keliru Tentang Takdir dan Tawakkal.

╔═══════⛔❌⛔═══════╗
Pemahaman Keliru Tentang Takdir dan Tawakkal.
╚═══════⛔❌⛔═══════╝


1. Gak usah takut Corona, tetap seperti biasa aja, gak perlu himbauan Pemerintah, datangi saja tempai ramai, kalau Allah gak takdirkan gak akan kena, gak akan Mati!

2. Gak usah berobat, kalau Allah takdirkan sembuh ya nanti juga sembuh.

3. Gak usah makan, kalau Allah takdirkan kenyang ya ntar juga kenyang.

4. Gak usah Nikah, ntar kalau Allah takdirkan punya anak, ya ana bakal punya anak juga. (Anak Kucing?)

5. Gak usah takut Mati, taruh saja leher di rel Kereta Api, kalau Allah gak takdirkan Mati ya saya gak bakal Mati.

6. Gak usah Kerja, Rezeki sudah ditentukan Allah, ntar juga bakal datang Sendiri.

7. Gak usah peduli dengan nasib Anak-Istri, yang penting Khuruj 40 Hari, biar Allah yang ngasih makan mereka.

8. Dan semua redaksi yang mirip dengan itu..

*🚫 Padahal Ajaran Islam bukan begitu!*

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

Rasulullah ﷺ bersabda :

_*“Andai saja kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenarnya, niscaya kalian diberi Rizki seperti rizkinya Burung, pergi dengan perut kosong di Pagi hari dan pulang di Sore hari dengan perut terisi penuh.”*_ [HR. Tirmidzi : 2266]

➡ Burung saja nyari nafkah dan berbuat, pergi Pagi pulang Sore, bukan berdiam diri.

➡ Tawakkal bukan pasrah, tetapi Tawakkal itu berbuat semampu kita namun hasilnya barulah Kita serahkan kepada Allah ﷻ Sang Pencipta.

*✍🏻 Memahami Iman kepada Takdir Allah.*

1️⃣ Meyakini dan menetapkan bahwa Allah ﷻ telah menentukan Takdir/ketetapan segala sesuatu, Bahwa Allah mengetahui, menuliskan, berkehendak dan menciptakannya.

2️⃣ Meyakini dan menetapkan bahwa Allah ﷻ memberikan kemampuan kepada makhluk-makhluk-Nya untuk berbuat, berusaha dan ber-ikhtiyar. Namun seluruh perbuatan makhluk sangatlah terbatas dan bergantung pada kehendak Allah ﷻ .

✔️ Maka keimanan kita Ahlussunnah wal Jama'ah adalah menetapkan kedua poin tersebut secara bersamaan.
Berbuatlah..!! Maka hasilnya serahkan kepada Allah yang Maha Kuasa.

❎ Tidak hanya poin 1️⃣ sebagaimana *Kaum Jabriyyah,* pasrah tanpa berbuat.

❎ Tidak hanya poin 2️⃣ sebagaimana *kaum Qodariyyah.* Berbuat mengandalkan diri sendiri tanpa mengandalkan kekuatan Allah.

👉🏻 ❎ Yang nggak mau berusaha, pasrah dan berhujjah dengan Takdir Allah tanpa ambil sebab-sebab penjagaan, maka ini *pemikiran Jabriyyah.*

👉🏻 ❎ Yang hanya mengandalkan pikirannya dan mencari sebab Duniawi tanpa berdoa, dan tidak percaya dengan Takdir Allah dalam wabah ini, maka ini *pemikiran Qodariyyah.*

*👍🏻 ✔️ Adapun yang berdo’a, bertawakkal dan mencari sebab-sebab penjagaan dan kesembuhan yang dibolehkan, inilah Madzhab pertengahan, yaitu Ahlussunnah wal Jama'ah.*

📌 Semoga bermanfaat, 𝘉𝘢𝘳𝘢𝘬𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶𝘧𝘪𝘪𝘬𝘶𝘮



┈┉┅━━━•❀◎⬇⬇◎❀•━━━┅┉┈
*🖊 Penulis : Ustadz Hafzan El Hadi 𝘏𝘢𝘧𝘪𝘻𝘩𝘢𝘩𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶 𝘛𝘢'𝘢𝘭𝘢*
*🖊 Penulis : Ustadz Fadlan Fahamsyah 𝘏𝘢𝘧𝘪𝘻𝘩𝘢𝘩𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶 𝘛𝘢'𝘢𝘭𝘢*

✅ Facebook : https://facebook.com/AdaYangBertanya
✅ Instagram : @AdaYangBertanya
✅ Telegram : https://t.me/AdaYangBertanya
✅ Twitter : https://twitter.com/AdaYangBertanya

#AdaYangBertanya

Social Distancing, Lockdown, dan Menghindari Bersalaman Sementara dalam Konsep Islam ketika Wabah

┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈
Social Distancing, Lockdown, dan Menghindari Bersalaman Sementara dalam Konsep Islam ketika Wabah
┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈

Ketika ada wabah para ahli kesehatan menghimbau “social distancing” yaitu berusaha meminimalkan interaksi, bertemu, berkumpul dalam jumlah massa yang banyak untuk sementara. Inilah yang paling efektif untuk menegah wabah menular dan menyebar, sehingga sangat ditekankan –maaf sekali lagi ditekankan- agar tetap di rumah dan tidak keluar dahulu apabila tidak ada kebutuhan yang sangat penting.


*🔹Konsep “SOCIAL DISTANCING”*

Ternyata konsep *“SOCIAL DISTANCING”* ini telah diterapkan sejak dulu oleh sahabat Rasulullah ﷺ , yaitu shahabat ‘Amr bin ‘Ash. Kisahnya ketika terjadi wabah di Syam. *Para sejarawan muslim mencatat sekitar 25.000 sampai 30.000 korban meninggal akibat wabah tha’un di Syam. Dua gubernur sebelumnya, shahabat yang mulia Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah dan Mu’adz bin Jabal meninggal karena wabah.* Ketika ‘Amr bin ‘Ash menjadi gubernur, beliau memerintahkan agar kaum muslimin berpencar dan pergi tinggal ke gunung-gunung saling menjauh satu sama lainnya. Beliau berkata,

أيها الناس إن هذا الوجع إذا وقع فإنما يشتعل اشتعال النار فتجبلوا منه في الجبال.

*“Wahai manusia, sesungguhnya wabah ini terjadi seperti api yang menyala (semakin dahsyat jika bahan bakarnya berkumpul), hendaknya kalian menyebar tinggal di gunung-gunung.”* [Musnad Ahmad no. 1697]


*🔹Konsep “LOCKDOWN” atau Karantina Wilayah*

Demikian juga konsep *“LOCKDOWN"*  yaitu mencegah dan melarang orang masuk di suatu wilayah serta melarang orang keluar dari suatu wilayah untuk mencegah wabah masuk maupun keluar. Konsep ini adalah konsep Islam sejak dahulu kala di mana Rasulullah ﷺ bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمُ الطَّاعُونَ بِأَرْضٍ، فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأرْضٍ، وأنْتُمْ فِيهَا، فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا. متفق عَلَيْهِ

_*“Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian ada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri itu.”*_ (Muttafaqun ‘alaihi)

An-Nawawi _rahimahullah_ menjelaskan,

وفي هذه الأحاديث منع القدوم على بلد الطاعون ومنع الخروج منه فرارا من ذلك. أما الخروج لعارض فلا بأس به

*“Hadits-hadits ini menunjukkan terlarangnya mendatangi daerah yang terkena wabah tha’un dan larangan untuk keluar dengan tujuan menghindari wabah, Adapun keluar karena ada keperluan, maka tidaklah mengapa (misalnya untuk belanja keperluan makanan ke negeri tetangga).”* [Syarh Shahih Muslim, 14: 205-207]


*🔹Tidak Bersentuhan atau Berjabat Tangan*

Kemudian wabah juga cepat menular dengan salah satunya caranya adalah sentuhan serta berjabat tangan dengan orang lain (close contact). Para ahli kesehatan memberikan himbauan akan hal ini, dan kembali ajaran Islam yang jauh sebelumnya telah mengajarkannya. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tidak bersalaman untuk menerima bai’at dari orang yang terkena penyakit menular lepra.

*Dari ‘Amr bin Asy-Syarid* dari bapaknya, beliau berkata,

كَانَ فِى وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذُومٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم-  إِنَّا قَدْ بَايَعْنَاكَ فَارْجِعْ

*“Dahulu ada utusan dari Tsaqif ada yang terkena kusta. Maka Nabi ﷺ mengirim pesan, “Sungguh kami telah membaiat Anda (tidak perlu bersalaman, pent.), maka pulanglah.”* [HR. Muslim no. 328]

Semoga Allah Ta’ala segera mengangkat wabah dari Indonesia dan seluruh dunia. Aamiin.

•═════▪◎❅◎▪═════•
➡ @Lombok, Pulau seribu Masjid
 📖________✒
Penyusun: Raehanul Bahraen

✅ https://muslim.or.id/55340-konsep-islam-ketika-wabah.html

Garis Nasab Nabi Muhammad ﷺ

🥀 _Sirah Nabi_ 🥀


🌱 Garis Nasab Nabi Muhammad ﷺ

Nama lengkap Nabi Muhammad ﷺ adalah Muhammad bin ‘Abdullāh bin ‘Abdil Muththalib bin Hāsyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilāb. Qushay ini adalah orang pertama dari kakek moyang Nabi yang mengumpulkan kaum Quraisy untuk berkumpul di kota Mekkah demi menyusun kembali kekuatan. Mereka adalah keturunan Nabi Ismā’īl ‘alayhissalām yang tersebar, kemudian dikumpulkan oleh kakek moyang mereka yaitu Qushay bin Kilāb.

Setelah mereka memiliki kekuatan yang mamadai, dengan dibantu oleh Qudha’ah maka mereka mulai menyerang Bani Khuza’ah untuk merebut kembali Ka’bah. Karena sebenarnya yang berhak menguasai Ka’bah adalah keturunan Nabi Ismā’īl ‘alayhissalām. Bukankah Jurhum ketika pertama kali menemui Hajar, pada saat itu Hajar lah yang menguasai zamzam? Bukankah yang membangun Ka’bah adalah Nabi Isma’il yang merupakan nenek moyang suku Quraisy –sebagaimana telah lalu-? Oleh karena itu, sebenarnya yang berhak menguasai Makkah adalah anak-anak keturunan Ismā’īl ‘alayhissalām yaitu Quraisy. Akhirnya mereka pun menyerang Khuza’ah dan berhasil mengalahkan mereka. Maka semenjak saat itu, kepengurusan Mekkah beserta Ka’bah dipegang oleh orang-orang Quraisy yang dipimpin oleh Qushay bin Kilāb.

Setelah itu Qushay bin Kilab membagi kepengurusan Ka’bah dalam scope yang lebih kecil, ada bagian siqoyah (yang bertugas memberi minuman kepada jama’ah haji), rifadah (yang bertugas memberi makanan kepada jama’ah haji), hijabah (yang bertugas menentukan waktu penutupan Ka’bah dengan Kiswah dan kapan Ka’bah dibuka pintunya), dan liwā’ (yang memegang kepemimpinan di dalam peperangan). Qushay membagi kepengurusan Ka’bah ini kepada anak-anaknya.

Qushay bin Kilab memiliki 4 orang anak ‘Abduddār, ‘Abdu Manāf (kakek Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam), ‘Abdusysyams dan ‘Abdul ‘Uzza. Saat Qushay bin Kilab telah mencapai masa tua, dia pun memberikan kepengurusan kepada anaknya yang tertua yaitu ‘Abduddār.

Setelah ‘Abduddār meninggal dunia, terjadi perselisihan diantara anak-anak ‘Abduddār dan anak-anak ‘Abd Manaf. Mereka terpecah menjadi 2 kubu, yaitu kubu yang mendukung anak-anak ‘Abduddār dan kubu yang mendukung anak-anak ‘Abdu Manaf. Bahkan mereka saling membuat sekutu, dan saling bersumpah. Diantara mereka ada yang mengadakan sumpah setia yang kemudian disebut Halful Muthayyabīn, yaitu dari anak-anak ‘Abdu Manaf. Dikatakan demikian karena mereka berkumpul dan mencelupkan tangan mereka di sebuah tempat yang berisi minyak wangi, sehingga mereka dikenal dengan sebutan al-Muthayyabīn(yang wangi), dimana mereka bersumpah untuk melawan saudara-saudara mereka sendiri. Sementara anak-anak ‘Abduddār bersama sekutunya juga bersumpah dengan cara yang sama, namun bukan dengan cara mencelupkan tangan ke minyak wangi, melainkan ke darah.

Mereka meyakini bahwa kepengurusan terhadap Ka’bah adalah perkara yang mulia. Sejak dahulu mereka mengagungkan Ka’bah. Mereka rela mengeluarkan uang dan harta, bukan sebaliknya dengan mengambil uang dan harta dari pengelolaan Ka’bah. Mereka mengeluarkan uang untuk memberi makan dan minum kepada jama’ah haji, dan ini adalah suatu kebanggaan bagi mereka. Bahkan mereka rela berperang dan saling membunuh demi memperoleh kebanggaan ini. Dan ini terjadi sudah sejak zaman dahulu.

Perselisihan ini pun akhirnya mereda dan merekapun akhirnya berdamai. Lalu mereka membuat kesepakatan pembagian tugas menjadi dua, yaitu :

Bagian rifadah dan siqayah (memberi makanan dan minuman) diberikan kepada Bani ‘Abdi Manaf.Bagian peperangan, liwa’, dan hijabah serta kunci Ka’bah diserahkan kepada Bani ‘Abduddār.

‘Abd Manaf punya 4 orang anak yaitu Hāsyim, Al-Muttholib, ‘Abdusysyams dan Naufal. Hāsyim putra sulung ‘Abdu Manaf (kakeknya Nabi), dialah yang memegang siqayah dan rifadah. Dia terkenal sebagai orang yang bertanggung jawab memberi makanan dan minuman bagi jamaah haji. Hāsyim terkenal sebagai orang yang sangat baik dan dermawan. Beliau dikenal dengan panggilan Hasyim, karena namanya diambil dari لِهَشْمِهِ الْخُبْزَ “memecahkan roti” untuk dibagikan kepada jama’ah haji. Diantara kisahnya yaitu suatu hari beliau pergi ke negeri Syam untuk berdagang, namun beliau mampir ke kota Madinah terlebih dahulu. Di Madinah beliau menikah dengan seorang wanita yang bernama Salma binti ‘Amr dari bani ‘Adiy bin an-Najjaar, lalu tinggal di Madinah beberapa waktu. Setelah itu beliau melanjutkan perjalanan menuju negeri Syam, dan ternyata istrinya yaitu Salma dalam kondisi mengandung.  Hasyim akhirnya meninggal di kota Gozzah di Palestina, dan Salma melahirkan putranya yang bernama Syaibah, karena ada syaibah (uban) di kepalanya. Maka tumbuhlah Syaibah di Yatsrib (Madinah) tanpa sepengatahuan paman-pamannya (saudara-saudara Hasyim).

Setelah Hāsyim meninggal maka pengurusan rifadah dan siqoyah berpindah kepada saudaranya Al-Muttholib. Dan Al-Muttholib juga dikenal sangat dermawan sehingga ia diberi gelar dengan Fayyadh (yang mengalir darinya kebaikan-kebaikan). Setelah beberapa tahun, Al-Muttholib mendengar tentang keponakannya -yaitu Syaibah bin Hasyim- yang ada di Yatsrib. Ia pun mencari keponakannya untuk dibawa pulang ke Mekah. Tatkala Al-Muttholib melihat Syaibah, ia sedih dan menangis. Lalu ia hendak membawanya ke Mekah, tetapi Syaibah tidak mau sampai dia meminta izin kepada ibunya. Ibunya tidak mengizinkan hingga akhirnya Al-Muttholib membujuknya dan berkata bahwa Syaibah hendak pergi ke kekuasaan ayahnya (Hasyim), akhirnya ibunya pun mengizinkan. Tatkala Al-Muttholib masuk ke kota Mekah sambil membonceng Syaibah di atas ontanya, orang-orang Mekah pun berkata kepada Syaibah “ini adalah Abdul Muttholib (budaknya Al-Muttholib)”, karena menyangka bahwa Syaibah adalah budaknya Al-Muttholib. Maka Al-Muttholib berkata, “Celaka kalian, ini adalah putra saudaraku Hasyim”. Setelah Al-Muttholib meninggal dunia, tanggung jawab ini (siqoyah dan rifadah) diteruskan kepada Abdul Muttholib (syaibah) bin Hasyim. (Lihat ar-Rohiiq al-Makhthuum 40-41). Abdul Muttholib adalah kakek Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Setelah ‘Abdul Muttholib meninggal dunia, tugasnya pun diserahkan kepada anaknya, yaitu Al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib (paman Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam).


                 

________✒*
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 07-01-1439 H / 27-09-2017 M

✍🏻Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
🌐 www.firanda.com
🌏 https://firanda.com/1806-sirah-nabi-4-garis-nasab-nabi-muhammad.html

Kamis, 26 Maret 2020

Menerima Kebenaran dari Selain Ahlussunnah


Menerima Kebenaran dari Selain Ahlussunnah



Copas (copy-paste) artikel atau link (dari blog lain) dalam dunia bloging sudah merupakan hal yang lumrah dan merupakan salah satu cara para bloger untuk mengisi content blog mereka. Dan sudah diketahui bersama bahwa ketika sebuah blog menukil artikel atau link dari blog lain, maka itu sama sekali tidak menunjukkan kalau kedua blog tersebut mempunyai koneksi atau hubungan atau kerjasama yang lebih khusus. Dan ini insya Allah yang dipahami oleh para bloger dan para pembaca blog. Hal itu karena terkadang seorang bloger menukil artikel dari blog lain dikarenakan dia setuju dengan isi artikel tersebut dan dia tidak bisa menulis sendiri atau dia tidak mempunyai referensi yang lengkap sebagaimana artikel yang akan dia nukil tersebut. Karenanya kita tidak bisa memastikan dua blog atau lebih itu mempunyai hubungan ‘khusus’ hanya berdasarkan salah satunya menukil artikel atau link dari blog yang lainnya.
Ini jika artikel yang dinukil adalah dalam masalah keduniaan, insya Allah bisa dipahami. Hanya saja permasalahan itu muncul jika artikel yang dinukil itu berkenaan dengan agama, dimana sebagian orang yang tidak jelas lagi jahil serta merta menghukumi dua blog atau lebih itu mempunyai koneksi dan hubungan ‘khusus’ hanya karena salah satunya menukil artikel keagamaan dari yang lainnya. Padahal alasan bloger yang menukil dari blog lain biasanya juga sama seperti alasan penukilan artikel keduniaan di atas. Yakni: Karena bloger tersebut memandang isi artikel itu adalah kebenaran dan dia tidak mempunyai waktu untuk menulis seperti itu ataukah dia tidak mempunyai referensi yang dimiliki oleh artikel yang akan dinukil tersebut. Wallahul Musta’an. Dan tentunya, sudah menjadi etika dalam dunia bloging secara umum dan copas secara khusus, bahwa blog yang menukil haruslah menyertakan link asal artikel, sebagai bentuk amanat ilmiah darinya.
Demikian gambaran permasalahannya secara umum. Adapun secara khusus, masalahnya adalah: Ketika sebuah blog ahlussunnah menukil atau copas dari blog selain ahlussunnah, apakah langsung divonis jika kedua blog ini mempunyai koneksi dan hubungan ‘khusus’?
Dari sisi kebiasaan yang berkembang dan ‘kode etik’ dalam dunia bloging sebagaimana yang tersebut di atas, jawabannya saya rasa sudah jelas bahwa: Kita tidak bisa langsung memvonis hal itu hanya karena masalah copas artikel atau penukilan link, dengan alasan yang sudah dijelaskan di atas.
Adapun dari sisi hukum syar’i keagamaan, maka jawabannya sebenarnya juga sudah jelas, yakni boleh menukil ucapan selain ahlussunnah selama itu merupakan kebenaran dan itu tidak menunjukkan ahlussunnah tersebut mentazkiyah (merekomendasi) selain ahlussunnah tersebut. Jadi, sebenarnya hukum masalah ini sudah jelas. Akan tetapi ucapan dan tindakan dari sebagian orang yang tidak jelas yang dibangun di atas ketergesa-gesaan, kejahilan, dan kedengkian, membuat semuanya menjadi tidak jelas. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, “Ilmu itu hanya setitik, akan tetapi dibuat banyak oleh orang-orang yang jahil.”
Karenanya artikel ini sengaja kami buat untuk meluruskan kesalahpahaman dan kejahilan yang terjadi dalam masalah ini, juga sebagai jawaban pertanyaan dari beberapa pertanyaan yang masuk kepada kami mengenai masalah ini, dan sekaligus sebagai panduan bagi para bloger secara umum. Berikut penjabarannya:
Dalil-dalil akan wajibnya menerima kebenaran dan bahwa menerima kebenaran dari siapapun berada merupakan sifat orang-orang yang beriman.
Allah Ta’ala berfirman:
فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah: 213)
Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan ayat di atas, “Maka siapa saja yang Allah Subhanahu berikan hidayah kepadanya untuk mengambil kebenaran dimanapun kebenaran itu berada dan bersama siapapun kebenaran itu berada -walaupun kebenaran itu bersama dengan orang yang dia benci dan dia musuhi- dan untuk menolak kebatilan bersama siapapun kebatilan tersebut -walaupun kebatilan itu bersama dengan orang yang dia sayangi dan dia tolong-, maka orang seperti inilah yang tergolong ke dalam orang-orang yang diberi hidayah menuju kebenaran dalam setiap masalah yang diperselisihkan. Inilah orang yang paling berilmu, paling benar jalannya, dan paling kuat ucapannya.” (Ash-Shawa’iq Al-Mursalah: 2/516)
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوأَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah : 8 )
Dan di antara bentuk berbuat adil kepada musuh adalah menerima dan menyetujui kebenaran yang ada pada mereka. As-Si’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya menafsirkan ayat di atas, “Sebagaimana kaliam bersaksi menguatkan teman kalian maka kalian juga harus bersaksi melawan teman kalian (jika dia memang salah, pent.). Dan sebagaimana kalian bersaksi melawan musuh kalian maka kalian juga harus bersaksi mendukungnya (jika dia memang benar, pent.). Maka walaupun musuh itu adalah orang kafir atau penganut bid’ah maka tetap wajib berlaku adil kepadanya dan wajib menerima kebenaran yang mereka bawa. Kita terima kebenaran itu bukan karena dia yang mengucapkannya (akan tetapi karena ucapannya itu memang kebenaran, pent.). Dan kebenaran tidak boleh ditolak hanya karena dia (musuh) yang mengucapkannya, karena perbuatan seperti ini adalah kezhaliman terhadap kebenaran.”
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا لَنَا لاَ نُؤْمِنُ بِاللّهِ وَمَا جَاءنَا مِنَ الْحَقِّ وَنَطْمَعُ أَن يُدْخِلَنَا رَبُّنَا مَعَ الْقَوْمِ الصَّالِحِينَ
“Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh.” (QS. Al-Maidah: 84)
Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُوْلَئِكَ هُمْ الْمُتَّقُونَ
“Dan orang yang membawa kebenaran dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zumar: 33)
Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata menjelaskan ayat di atas, “Maka wajib atas setiap manusia untuk membenarkan (baca: menerima) kebenaran yang diucapkan oleh orang lain, sebagaimana jika kebenaran itu diucapkan oleh dirinya sendiri. Dia tidak boleh mengimani makna ayat yang dia gunakan berdalil namun dia menolak makna ayat yang digunakan berdalil oleh lawannya. Dia tidak boleh menerima kebenaran hanya dari satu kelompok lalu dia menolak kebenaran dari kelompok lainnya.” (Dar`u At-Ta’arudh Al-Aql wa An-Naql: 8/404)
Dari Qutailah radhiallahu anha -seorang wanita dari Juhainah-, bahwa seorang Yahudi datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata:
أَنَّ يَهُودِيًّا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّكُمْ تُنَدِّدُونَ وَإِنَّكُمْ تُشْرِكُونَ تَقُولُونَ مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ وَتَقُولُونَ وَالْكَعْبَةِ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادُوا أَنْ يَحْلِفُوا أَنْ يَقُولُوا وَرَبِّ الْكَعْبَةِ وَيَقُولُونَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شِئْتَ
“Sesungguhnya kalian membuat tandingan (untuk Allah) dan sungguh kalian telah berbuat syirik. Kalian mengatakan, ‘Atas kehendak Allah dan kehendak kamu’. Dan kalian katakan, ‘Demi Ka’bah’.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para sahabat apabila hendak bersumpah untuk mengucapkan, ‘Demi Tuhan Pemilik Ka’bah’, dan mengucapkan, ‘Atas kehendak Allah, kemudian atas kehendak kamu’.” (HR. An-Nasai no. 3713)
Hadits ini jelas menunjukkan bagaimana Nabi shallallahu alaihi wasallam menerima kebenaran yang diucapkan oleh orang-orang Yahudi. Lalu beliau menetapkan hukum berdasarkan kebenaran yang beliau dengar dari Yahudi tersebut. Kebencian beliau kepada orang-orang Yahudi tidak menjadikan beliau menolak kebenaran yang mereka ucapkan.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dia bercerita:
وَكَّلَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ فَأَتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنْ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ لَأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَصَّ الْحَدِيثَ فَقَالَ إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِيِّ لَنْ يَزَالَ مَعَكَ مِنْ اللَّهِ حَافِظٌ وَلَا يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ ذَاكَ شَيْطَانٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menugaskanku untuk menjaga harta zakat. Lalu pada suatu hari ada seseorang yang menyusup hendak mengambil makanan, maka aku pun menyergapnya seraya berkata, “Aku benar-benar akan menyerahkanmu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam..” lalu ia bercerita dan berkata, “Jika kamu hendak beranjak ke tempat tidur maka bacalah ayat kursi, niscaya Allah akan senantiasa menjagamu dan syetan tidak akan mendekatimu hingga pagi.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “Ia telah berkata benar padamu, padahal ia adalah pendusta. Si penyusup tadi sebenarnya adalah setan.” (HR. Al-Bukhari no. 4624)
Hadits ini yang paling sering digunakan oleh para ulama untuk berdalil wajibnya menerima kebenaran dari siapapun walaupun dari pihak musuh. Sisi pendalilannya jelas, bagaimana Nabi shallallahu alaihi wasallam membenarkan dan menyetujui ucapan setan yang menganjurkan Abu Hurairah untuk membaca ayat kursi sebelum tidur.
Dan sebaliknya, di antara karakteristik orang-orang kafir adalah menolak kebenaran jika kebenaran tersebut tidak diucapkan oleh golongan mereka.
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah:
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُواْ بِمَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ نُؤْمِنُ بِمَآ أُنزِلَ عَلَيْنَا وَيَكْفُرونَ بِمَا وَرَاءهُ وَهُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقاً لِّمَا مَعَهُمْ قُلْ فَلِمَ تَقْتُلُونَ أَنبِيَاء اللّهِ مِن قَبْلُ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kepada Al Quran yang diturunkan Allah,” mereka berkata: “Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami”. Dan mereka kafir kepada Al Quran yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Quran itu adalah (Kitab) yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah: “Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 91)
Allah Ta’ala berfirman:
فَقَدْ كَذَّبُواْ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءهُمْ فَسَوْفَ يَأْتِيهِمْ أَنبَاء مَا كَانُواْ بِهِ يَسْتَهْزِؤُونَ
“Sesungguhnya mereka telah mendustakan yang haq (Al-Quran) tatkala sampai kepada mereka, maka kelak akan sampai kepada mereka (kenyataan dari) berita-berita yang selalu mereka perolok-olokkan.” (QS. Al-An’am: 5)
Allah Ta’ala berfirman:
وَكَذَّبَ بِهِ قَوْمُكَ وَهُوَ الْحَقُّ قُل لَّسْتُ عَلَيْكُم بِوَكِيلٍ
“Dan kaummu mendustakannya (azab) padahal azab itu benar adanya. Katakanlah: “Aku ini bukanlah orang yang diserahi mengurus urusanmu.” (QS. Al-An’am: 66)
Allah Ta’ala berfirman:
بَلْ كَذَّبُوا بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءهُمْ فَهُمْ فِي أَمْرٍ مَّرِيجٍ
“Sebenarnya, mereka telah mendustakan kebenaran tatkala kebenaran itu datang kepada mereka, maka mereka berada dalam keadaan kacau balau.” (QS. Qaf: 5)
Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam juga mengabarkan bahwa menolak kebenaran, di pihak manapun kebenaran itu berada merupakan tindakan kesombongan yang nyata. Di dalam sabdanya:
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan memandang remeh orang lain.” (HR. Muslim no. 131)
Menerima kebenaran dari siapapun merupakan fitrah manusia.
Allah Ta’ala berfirman:
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
“Dan kami tunjukkan kepadanya dua jalan.” (QS. Al-Balad: 10)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Manusia dilahirkan secara fitrah untuk menerima kebenaran.”
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata dalam Syirkiyat wa ‘Aqa`id Shufiah (1/1), “Maka tidak ada seorangpun di antara kita kecuali Allah telah memberinya fitrah untuk menerima dan mencintai kebenaran.”
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Si’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Karena Allah Ta’ala telah menciptakan hamba-hambaNya dalam keadaan hanif (bertauhid) dan mereka difitrahkan untuk menerima dan lebih mendahulukan kebenaran.”
Karenanya orang yang menolak kebenaran hanya karena kebenaran itu diucapkan oleh selain ahlussunnah, maka sungguh dia telah melenceng dari fitrahnya yang lurus, wallahul musta’an.
Ucapan para ulama ahlussunnah dalam wajibnya menerima kebenaran dari selain ahlussunnah.
Muadz bin Jabal radhiallahu anhu berkata:
اِقْبَلُوا الْحَقَّ مِنْ كُلِّ مَنْ جَاءَ بِهِ، وَإِنْ كَانَ كَافِراً – أَوْ قَالَ فَاجِراً –
“Terimalah kebenaran dari siapa saja yang membawanya, walaupun dia adalah orang kafir -atau beliau berkata: Orang fasik-.” (Riwayat Al-Baihaqi)
Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Dan Allah memerintahkan kita untuk berlaku adil dan lurus. Karenanya, jika ada orang yahudi atau nashrani -apalagi hanya orang syiah rafidhah- yang mengucapkan kebenaran, maka kita tidak boleh meninggalkannya atau menolaknya mentah-mentah. Akan tetapi yang kita tolak hanyalah yang mengandung kebatilan, bukannya yang mengandung kebenaran.” (Minhaj As-Sunnah An-Nabawiah: 2/342)
Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata, “Terimalah kebenaran dari setiap orang yang mengucapkannya walaupun dia orang yang kamu benci. Dan tolaklah kebatilan dari siapa saja yang mengucapkannya walaupun dia orang yang kamu sayangi.” (Madarij As-Salikin: 3/522)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam hafizhahullah berkata dalam sebuah artikel yang berudul Qubul Al-Haq, “Kalian sudah mengetahui -semoga Allah menjaga kalian- bahwa dakwah ahlussunnah tegak di atas kebenaran: Mencari kebenaran, mempelajarinya, menerimanya, berdakwah kepadanya, bersabar menapakinya, dan membuang yang menentangnya.” Beliau juga berkata, “Maka terimalah kebenaran secara mutlak, baik kebenaran itu mendukungmu maupun kebenaran itu menentangmu.” [Artikel selengkapnya bisa dibaca di: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=237449]
Harus dibedakan antara menerima kebenaran dengan mencari kebenaran.
Maka harus dibedakan antara menerima kebenaran dengan mencari kebenaran, dan antara menerima ilmu yang benar dengan menuntut ilmu yang benar. Pembedaan ini dari sisi bahwa menerima kebenaran dan ilmu yang benar itu dari siapa saja -walaupun dari selain ahlussunnah- berdasarkan semua dalil yang telah berlalu. Sementara mencari kebenaran dan menuntut ilmu yang benar harus hanya kepada para ulama ahlussunnah, tidak kepada selain mereka.
Asy-Syaikh Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah pernah ditanya dengan nash pertanyaan:
Apakah ucapan berikut ini benar? Dan tolong ditambahkan penjelasan tentangnya, semoga Allah membalas anda dengan kebaikan, amin. Ucapan yang dimaksud adalah: Kebenaran diterima dari siapa saja yang mengucapkannya dan kebatilan ditolak dari siapa saja yang mengucapkannya. Karenanya jika seorang penganut bid’ah -bahkan walaupun itu setan- mengucapkan ucapan yang benar, maka kebenaran ini diterima dan disetujui darinya. Hal ini sebagai pengamalan dari firman Allah Ta’ala:
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah: 8)
Akan tetapi tidak boleh mengambil ilmu dan mencari kebenaran dari penganut bid’ah tersebut, sebagaimana yang sudah menjadi manhaj as-salaf ash-shaleh. Akan tetapi kebenaran hanya dicari dari para ulama yang beramal dengan kebenaran tersebut, yaitu para ulama ahlussunnah, bukan selain mereka.
Maka beliau menjawab:
Kaidah ini benar insya Allah. Kebenaran diterima dari siapapun yang membawanya, namun tidak semua orang mengucapkan kebenaran itu menjadi imam dalam kebenaran. Setan yang mengajari Abu Hurairah radhiallahu anhu ayat kursi, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda tentangnya, “Ia telah berkata benar padamu, padahal ia adalah pendusta.” Dan juga sang rahib yahudi yang berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Wahai Abu Al-Qasim, sesungguhnya kami mendapati di dalam Taurat bahwa Allah mengangkat langit-langit di atas satu jari,” sampai akhir hadits. Mendengar hal itu, Nabi shallallahu alaihi wasallam bertasbih dengan membaca, “Subhanallah, subhanallah,” seraya tertawa hingga nampak geraham beliau karena membenarkan ucapan sang rahib.” (Dhawabith fi Mu’amalah As-Sunni li Al-Bid’i, pertanyaan no. 6)
Asy-Syaikh Saleh bin Abdil Aziz Alu Asy-Syaikh hafizhahullahu berkata, “Kebenaran diterima dari siapa saja yang datang membawanya walaupun dia adalah orang kafir. Sebagaimana diterimanya kebenaran dari setan, seperti yang tersebut dalam kisah yang masyhur antara Abu Hurairah bersama setan di dalam peristiwa penjagaan zakat fithri. Dimana setan datang mengambil (baca: hendak mencuri) namun Abu Hurairah menangkapnya. Kemudian dia datang lagi namun ditangkap lagi, kemudian dia datang lagi namun ditangkap lagi. Kemudian setan berkata kepadanya, “Maukah engkau aku tunjukkan sebuah ucapan yang apabila engkau mengucapkannya maka engkau akan menjadi aman atau kamu akan terjaga sepanjang malam? Bacalah ayat kursi setiap malam karena sesungguhnya engkau akan senantiasa pendapatkan penjagaan dari Allah sampai datangnya waktu pagi.” Kemudian Abu Hurairah mengabarkan hal ini kepada Nabi alaihishsholatu wassalam. Lalu Nabi alaihishsholatu wassalam bersabda: “Dia telah jujur padamu padahal dia adalah pendusta.” Beliau menerima pengajaran (setan) ini dan beliau mengambilnya padahal pengajaran ini berasal dari setan.” (Diterjemah dari Masaa`il fi Al-Hajri wa Maa Yata’allaqu Bihi via: http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=23982)
Menukil dari selain ahlussunnah bukanlah tazkiah (rekomendasi) terhadap mereka.
Asy-Syaikh Saleh Alu Asy-Syaikh hafizhahullah berkata, ”Dan hal ini termasuk manhaj yang bersifat umum dalam penegakkan hujjah dan penjelasan hujjah dalam semua bab-bab permasalahan agama. Yaitu bahwasanya tidaklah melazimkan seseorang yang menukil dari sebuah buku bahwa itu artinya dia mentazkiyahnya secara mutlak. Seseorang terkadang menukil darinya yang sesuai dengan kebenaran dalam rangka menyokong kebenaran, walaupun dia (penulis buku itu) menyelisihi kebenaran dalam masalah lainnya. Maka tidaklah tercela orang yang menukil dari buku yang mengandung kebenaran dan kebatilan, apabila yang dia nukil adalah bagian mengandung kebenaran. Lagipula, memperbanyak penukilan (sebuah kebenaran, pent.) dari orang-orang bersamaan dengan berbeda-bedanya mazhab dan pemikiran mereka, hal ini menunjukkan bahwa kebenaran (yang dinukil) itu bukanlah hal yang tersembunyi, namun kebenaran tersebut sudah banyak tersebar luas.” (Diterjemah dari Masaa`il fi Al-Hajri wa Maa Yata’allaqu Bihi via: http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=23982)
Kami juga pernah bertanya langsung kepada Asy-Syaikh Abdullah Mar’i tentang hukum membaca dan mengambil manfaat dari kitab yang ditulis oleh ulama yang dulunya ahlussunnah lalu belakangan dia menyimpang dari ahlussunnah, sementara kitab tersebut ditulis ketika dia masih berada dalam mazhab ahlussunnah.
Maka beliau hafizhahullah menyatakan bolehnya dengan catatan tetap mengingatkan (jika dia mengajarkan buku itu) bahwa penulisnya sekarang bukan lagi ahlussunnah. Maka ini juga menunjukkan kalau beliau membenarkan mengambil kebenaran yang ditulis oleh selain ahlussunnah.
Insya Allah inilah manhaj yang benar dan sikap yang inshaf serta adil dalam permasalahan ini, yaitu:
a. Wajib menerima kebenaran walaupun yang mengucapkannya adalah selain ahlussunnah.
b. Menukil kebenaran dari selain ahlussunnah tidak sama seperti menuntut ilmu dari selain ahlussunnah. Yang pertama dibenarkan dan yang kedua dilarang.
c. Menukil kebenaran dari selain ahlussunnah bukanlah bentuk dukungan dan rekomendasi terhadap selain ahlussunnah tersebut, akan tetapi ini merupakan penunaian hak dari kebenaran. Dimana hak kebenaran adalah dia harus diterima darimanapun datangnya.
Contoh amalan ulama dalam masalah ini:
Karenanya, kita mendapati para ulama ahlussunnah dari dahulu hingga belakangan, mereka tidak segan-segan untuk menukil ucapan selain ahlussunnah di dalam tulisan atau ucapan mereka, jika ucapan tersebut memang mengandung kebenaran. Berikut di antara contohnya:
Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdasi rahimahullah mengumpulkan hal-hal yang baik dari kitab Ihya` Ulum Ad-Din karya Al-Ghazali rahimahullah lalu menyusunnya menjadi kitab Minhaj Al-Qashidin. Dan para ulama menyatakan bahwa Al-Ghazali rahimahullah tidak pernah menulis karya apapun setelah dia bertaubat. Sementara status kitab Al-Ihya` ini saya rasa sudah cukup jelas di kalangan para penuntut ilmu, mengenai banyaknya kekeliruan dan kesalahan yang tersebut di dalamnya, dan kitab itu jelas ditulis oleh Al-Ghazali rahimahullah sebelum dia bertaubat. Maka amalan Ibnu Qudamah ini jelas menunjukkan bolehnya menukil kebenaran dari buku yang ditulis oleh selain ahlissunnah.
Di dalam kitab Sirah Nabawiyah karya Asy-Syaikh Al-Mubarakfuri, beliau mengutip ucapan dari kitab Husain Haikal, Sayyid Quthub, dan selainnya.
Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah menukil ucapan Sayyid Quthb dan Umar At-Tilmisani dalam Manhaj Al-Anbiya` fi Ad-Da’wah ilalllah hal. 181-186, yang berisi anjuran keduanya kepada para politikus untuk memperhatikan akidah.
Asy-Syaikh Saleh Al-Fauzan hafizhahullah di dalam kitab Al-Ath’imah beberapa kali menukil ucapan Sayyid Quthb dari tafsir Fii Zhilal Al-Qur`an.
Dan masih banyak lagi contoh lainnya, insya Allah akan ditambahkan jika memang dirasa perlu untuk ditambahkan. Akan tetapi insya Allah contoh-contoh ini sudah mencukupi bagi orang yang berakal dan yang inshaf dalam berbuat. Wallahu a’lam bishshawab.
_________________