Senin, 02 Maret 2020

HUKUM MANAQIBAN.MENURUT ULAMA JAWI

Hukum Manaqiban Menurut Ulama Jawi


Oleh Firman Hidayat Marwadi August 27, 2018

Di tengah masyarakat, kita mengenal suatu acara yang lazim disebut manaqiban, yaitu suatu acara di mana banyak orang berkumpul di suatu tempat untuk bersama-sama membaca suatu manaqib ulama tertentu, antara lain yang paling terkenal adalah Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani As-Salafi –rahimahullah-, dengan cara-cara tertentu yang sudah disepakati sebelumnya atau sudah digariskan oleh syaikh pimpinan mereka.

Pada asalnya, manaqib bermakna perangai yang terpuji, demikian yang tersebut dalam Kamus Al-Munawwir hlm. 1451 karya KH Ahmad Warson Munawwir –rahimahullah-. Atau makna umumnya adalah sejarah biografi seseorang. Jadi yang dimaksud Manaqib Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani ialah perangai Syaikh ‘Abdul Qadir yang elok dan bagus yang selayaknya dapat diteladani.

Di luar sana, kita dapatkan banyak kitab-kitab yang membicarakan tema manaqib. Ada Manaqib Ibunda ‘Aisyah, Manaqib Para Shahabat, Manaqib Imam Asy-Syafi’i, Manaqib Imam Ahmad, Manaqib Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan seterusnya.

Akan tetapi di kemudian hari ketika kebodohan sudah merambah luas di tengah masyarakat Muslim, timbul suatu kepercayaan aneh, terutama dari orang-orang yang mengaku shufi, bahwa membaca manaqib seorang wali dapat mendatangkan keberkahan tertentu yang mereka khayalkan. Sebagian mereka berkeyakinan bahwa jika manaqib seorang wali dibacakan, maka arwahnya akan turut hadir mendengarkan. Tidak hanya itu, mereka bahkan berkeyakinan ada pahala besar pada amalan tersebut. Lantas mereka membuat suatu acara dengan format tertentu yang belum pernah dikenal Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, tidak pula para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan imam-imam madzhab yang masyhur itu –rahimahumullah-.

Pada acara tersebut akan dibacakan atau dibaca bersama-sama manaqib seorang wali. Wali yang mereka maksud pun wali menurut pikiran mereka, bukan menurut Al-Quran dan As-Sunnah. Sebab, mereka membatasi gelar wali hanya layak disandang oleh orang yang sudah tinggi maqamnya. Bahkan ada sebagian mereka yang mensyaratkan keromah agar seseorang layak disebut wali. Padahal Allah sendiri hanya memberikan dua keriteria agar seseorang dapat disebut wali. Apa itu? Itulah iman dan takwa. Apa bila seseorang sudah benar-benar beriman dan bertaqwa dengan seluruh konsekuensinya, maka ia layak disebut sebagai wali Allah. Walaupun kita tidak berkewajiban menilainya secara pasti apalagi membesar-besarkannya.

Sedangkan karomah wali yang paling tinggi adalah sikap istiqamah di atas jalan kebenaran. Artinya, selain orang tersebut berada di atas kebenaran, juga komitmen dan terus menepakinya hingga ajal menjemputnya. Inilah karomah terbesar seorang wali, seperti yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah-.

Jadi sebenarnya, apakah acara yang diadakan sebagian masyarakat kita itu ada dasarnya ataukah hanya semata-mata pandangan tanpa ada dasarnya yang hanya menghasilkan keletihan dan kerugian? Sebagai seorang Muslim yang masih memiliki akal sehat, tentu kita tidak ingin amalan yang kita kerjakan sia-sia tak membuahkan hasil. Kita ingin mengetahui secara pasti apakah amalan di atas dibenarkan ataukah tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini, alangkah baiknya jika kita persilakan salah seorang ulama Melayu kenamaan bernama Syaikh Ibrahim bin Dawud bin  ‘Abdul Qadir Al-Fathani Asy-Syafi’i (1320-1413) –rahimahullah– yang lama mendiami Tanah Suci Makkah Al-Mukarramah memberikan penjelasannya ketika beliau ditanya tentang masalah yang sedang kita hadapi ini.

Pertanyaan:

Apa pendapat Anda, mudah-mudahan kemuliaan Anda terus berjaya, tentang berkumpulnya para ulama’ dan juhala’ (baca: orang-orang bodoh) dalam rangka membaca semacam Manaqib Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani yang memuat ucapan-ucapan mereka yang penuh dengan khayalan dan makanan yang disedekahkan oleh orang yang tengah dalam kesulitan dan shahibul hajat untuk para hadirin, pendengar, dan lainnya dengan maksud bertawasul dengan bacaan tersebut (baca: bacaan manaqib) dan sedekah agar kesulitan dapat terhenti atau dapat terpenuhi hajat, dalam pada itu terdapat kebid’ahan yang tidak lagi samar. Apakah hukum hal semacam itu? Apakah halal atau mubah?

Syaikh Ibrahim Dawud Al-Jawi Al-Fathani menjawab:

SEGALA PUJI HANYA MILIK ALLAH…

PADA DASARNYA BERKUMPUL-KUMPUL UNTUK MEMBACA SEMACAM MANAQIB ORANG-ORANG SHALIH DAN MENGINGAT KAROMAH-KAROMAH SERTA KISAH-KISAH MEREKA YANG TIDAK LEPAS DARI NASEHAT YANG MEMBEKAS DI HATI ORANG-ORANG AWAM DAN LAINNYA, TIDAK RAGU LAGI BAHWA HAL TERSEBUT DIANJURKAN SECARA SYARIAT, MENGINGAT PERNYATAAN SYAIKH ABUL QASIM AL-JUNAID, “HAL TERSEBUT DAPAT MENGOKOHKAN HATI PARA SANTRI BERDASARKAN PERSAKSIAN FIRMAN ALLAH TA’ALA,

و كلا نقص عليك من أنباء الرسل ما نثبت به فؤادك

“MASING-MASING KISAH DARI PARA RASUL TELAH KAMI CERITAKAN PADAMU AGAR KAMI DAPAT MENGOKOHKAN HATIMU DENGANNYA.” (QS HUD: 120)

SEBAGAIMANA YANG TELAH DINUKIL OLEH AL-YAFI’I DALAM RAUDH AR-RIYAHIN, KATANYA, “TELAH SAMPAI PADA KAMI BAHWA RAHMAT AKAN TURUN KETIKA ORANG-ORANG SHALIH DIINGAT.”

AKAN TETAPI AL-‘ALLAMAH AL-MUHAQQIQ ASY-SYAIKH ABU ISHAQ ASY-SYATHIBI BERKATA DALAM KITABNYA, AL-I’TISHAM, “TERMASUK BID’AH YANG TERCELA IALAH SEORANG MUKALLAF MENGKHUSUSKAN HARI A MENGERJAKAN REKAAT SEKIAN-SEKIAN ATAU BERSEDEKAH SEKIAN-SEKIAN ATAU MENGKHUSUSKAN MALAM ANU MENGERJAKAN REKAAT SEKIAN-SEKIAN, MENGKHATAMKAN AL-QURAN PADA KEDUA WAKTU TERSEBUT, DAN SEMISALNYA.

APABILA DITANYAKAN PADANYA, KENAPA ANDA MENGKHUSUSKAN WAKTU-WAKTU TERSEBUT BUKAN LAINNYA DENGAN MENGERJAKAN HAL ITU? IA TIDAK AKAN MEMILIKI ARGUMEN KECUALI (MENGIKUTI) UMUMNYA (MASYARAKAT), ATAU IA AKAN MENJAWAB, BAHWA SYAIKH A WAFAT PADA HARI ITU. TIDAK RAGU LAGI, BAHWA ITU SEMATA-MATA PENDAPAT YANG TIDAK MEMILIKI DALIL DAN MEMBUAT-BUAT SYARIAT TANPA ADA DASARNYA. ORANG MUKALLAF TADI BERMAKSUD MENYAMAI PEMBUAT SYARIAT (BACA: ALLAH) YANG TELAH MENGKHUSUSKAN BEBERAPA HARI BUKAN LAINNYA DENGAN AMALAN-AMALAN TERTENTU.

TERMASUK  BID’AH YANG TERCELA JUGA IALAH DIALOG DENGAN ORANG AWAM YANG TIDAK ANDA FAHAMI DAN TIDAK ANDA MENGERTI MAKNANYA. AKAN TETAPI MEREKA MEMAHAMINYA BUKAN DARI SEGI NORMALNYA. INILAH GALIBNYA.

MAKA JADILAH AMALAN-AMALAN TERSEBUT FITNAH (BACA: BENCANA) YANG DAPAT MENYEBABKAN MENDUSTAKAN YANG HAQ DAN MENGAMALKAN KEBATILAN.” SELESAI UCAPAN ABU ISHAQ SECARA RINGKAS.

OLEH SEBAB ITU, SEPANTASNYA MENGKHUSUSKAN SEMACAM SEDEKAH, IBADAH, MEMBACA SEMACAM MANAQIB TERSEBUT, DAN KISAH ORANG-ORANG SHALIH PADA HARI ATAU WAKTU TERTENTU DAPAT DIJAUHI, DAN MENCUKUPKAN DIRI DENGAN MEMBERI SEDEKAH MAKANAN UNTUK PARA HADIRIN KETIKA DIBACAKAN MANAQIB YANG TERLEPAS DARI APA YANG DIKHAYALKAN, TIDAK DIKHUSUSKAN PADA WAKTU WAFATNYA ORANG YANG MANAQIBNYA DIBACA ATAU SEMACAMNYA.

HANYA ALLAH SUBHANAH JUALAH YANG LEBIH TAHU.

Selesai fatwa Syaikh Ibrahim bin Dawud bin ‘Abdul Qadir Al-Fathani Al-Makki Asy-Syafi’i –rahimahullah– seperti yang termuat dalam kitab Al-Fath Ar-Rabbani Bi Tarjamah wa Asanid Syaikhina Asy-Syaikh Ibrahim Dawud Fathani wa Ba’dh Talamidzatih (hlm. 510-512) karya Syaikh Dr. Khalid ‘Abdul Karim At-Turkistani.

Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa acara manaqiban yang kerap diselenggarakan itu tidak terlepas dari keyakinan-keyakinan batil. Selain waktunya yang mengada-ada, juga tata caranya yang tidak pernah diketahui statusnya. Apatah lagi di sana ada keharusan membuat makanan untuk para hadirin yang tentu akan lebih membuat shahibul hajat merasa sulit. Sehingga, amalan tersebut di atas selayaknya dapat dijauhi sejauh-jauhnya kecuali jika memang acaranya tidak ditentukan menurut tata cara tertentu.

Misalnya yang diperbolehkan ialah mengadakan suatu pengajian yang temanya sejarah. Maksudnya ada seorang ustadz yang telah diakui keilmuannya yang mengupas sirah nabawiyyah, sejarah biografi para shahabat, atau ulama tertentu seperi Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Ibnu Taimiyyah, atau Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, dan seterusnya. Dengan demikian, tentu para hadirin akan lebih mendapatkan manfaat yang jauh lebih banyak daripada manaqiban yang biasa diadakan di tengah masyarakat yang kebanyakan tidak dapat difahami oleh masyarakat awwam. Pasalnya manaqib hanya sekedar dibaca yang terkadang dilagukan, parahnya tidak diterjemahkan atau dijelaskan. Belum lagi isi manaqib banyak yang perlu ditinjau ulang karena biasanya memuat kisah-kisah fiktif, tak nyata. Atau bahkan lebih pada peristiwa di luar jangkauan akal sehingga membuat masyarakat awam menjadi lebih menyukai khayalan daripada kenyataan dan fakwa. Wallahua’lam.


___________________________

Jatipadang, Jakarta Selatan, Indonesia

Oleh Firman Hidayat Nurwandi

https://safinah.id/651-hukum-manaqiban-menurut-ulama-jawi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar