Fatwa Ulama :
BOLEHKAH SHOLAT TARAWIH 11 RAKA'AT PADAHAL IMAM 23 RAKAAT?
┈┉┅━━━━━•༺❁❁༺•━━━━━┅┉┈
*📝 🎓 Fatwa Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz رحمه الله :*
*Soal :*
Jika seseorang shalat tarawih berjama’ah bersama imam yang 23 raka’at, namun orang tersebut hanya shalat 11 raka’at saja. Apakah perbuatan ini sesuai dengan sunnah?
*Jawab :*
Yang sesuai dengan sunnah adalah tetap mengikuti imam meski ia shalat 23 rakaat. Karena Rasulullah ﷺ bersabda :
من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب الله له قيام ليلة
```“Orang yang shalat tarawih mengikuti imam sampai selesai, ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk”```
📚 [ HR. At Tirmidzi, no. 734, Ibnu Majah, no. 1317, Ahmad, no. 20450 ]
*Dalam lafazh yang lain :*
بقية ليلته
```“Ditulis baginya pahala shalat di sisa malamnya”```
📚 [ HR. Ahmad, no. 20474 ]
☑ Maka yang paling afdhal bagi seorang ma’mum adalah mengikuti imam sampai imam selesai. Baik ia shalat 11 rakaat maupun 23 rakaat, atau jumlah rakaat yang lain. Inilah yang paling baik.
Selain itu, shalat tarawih 23 rakaat pernah dilakukan oleh 'Umar _Radhiallahu’anhu_ dan shahabat yang lain. Ini bukanlah keburukan, bukan pula kebid’ahan. Bahkan shalat tarawih 23 rakaat adalah sunnah Khulafa Ar Rasyidin. Hal ini memiliki dalil dari hadits Ibnu 'Umar _Radhiallahu’anhuma,_ dari Nabi ﷺ
صلاة الليل مثنى مثنى فإذا خشي أحدكم الصبح صلى واحدة توتر له ما قد صلى
```“Shalat Malam itu dua rakaat-dua rakaat. Jika engkau khawatir akan datanya fajar maka shalatlah 1 rakaat agar jumlah rakaatnya ganjil”```
*[ Muttafaqun ‘ilaihi ]*
Rasulullah ﷺ tidak membatasi rakaat shalat Malam dengan batasan jumlah tertentu, namun yang beliau katakan:
صلاة الليل مثنى مثنى
```“Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat”```
*Namun memang lebih afdhal jika imam mengerjakan shalat tarawih sebanyak 11 rakaat atau 13 rakaat dengan salam setiap 2 rakaat. Karena inilah yang paling sering dipraktekan Rasulullah ﷺ pada shalat Malamnya.* Alasan lain, karena shalat tarawih 11 atau 13 rakaat lebih sesuai dengan kondisi kebanyakan orang (tidak terlalu berat, pent) di bulan Ramadhan ataupun di luar bulan Ramadhan. Namun bila ada yang melakukannya lebih dari itu, atau kurang dari itu, tidak masalah. Karena perkara rakaat tarawih adalah perkara yang longgar.
► Sumber: http://www.ibnbaz.org.sa/mat/1028
❀✿••••••••••••••••••••••••••••✿❀
✒ Penerjemah: *Yulian Purnama*
🌐 https://muslim.or.id/6628-bolehkah-shalat-tarawih-11-rakaat-padahal-imam-23-rakaat.html
Senin, 27 April 2020
SHOLAT TARAWIH NABI DAN PARA SHAHABAT ADALAH TIDAK LEBIH DARI SEBELAS RAKA'AT
https://aslibumiayu.net/5140-shalat-tarawih-nabi-dan-para-sahabat-adalah-sebelas-rakaat.html
┈┉┅━━━━━•༺❁❁༺•━━━━━┅┉┈
SHOLAT TARAWIH NABI DAN PARA SHAHABAT ADALAH TIDAK LEBIH DARI SEBELAS RAKA'AT
┈┉┅━━━━━•༺❁❁༺•━━━━━┅┉┈
✒ Oleh : Al-Ustadz *Abdul Hakim bin Amir Abdat*
*Derajat Hadits Shalat Tarawih Dua Puluh Tiga Raka'at.*
*》HADITS PERTAMA*
“Artinya : Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Nabi _Shallahu ‘alaihi wa sallam,_ shalat di bulan Ramadlan *dua puluh raka’at,"* [ Hadits riwayat : Ibnu Abi Syaibah, Abdu bin Humaid, Thabrani di kitabnya Al-Mu’jam Kabir dan Awsath, Baihaqi dan bnu Adi dan lain-lain ]
Di riwayat lain ada tambahan : “Dan (Nabi _Shallallahu ‘alaihi wa sallam_) witir *(setelah shalat dua puluh raka’at)”*. Riwayat ini semuanya dari jalan Abu Syaibah, yang namanya : Ibrahim bin Utsman dari Al-Hakam dari Miqsam dari Ibnu Abbas.
► Imam Thabrani berkata : “Tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas melainkan dengan isnad ini”.
► Imam Baihaqi berkata : “Abu Syaibah menyendiri dengannya, *sedang dia itu dho’if”.*
► Imam Al-Haistami berkata di kitabnya “Majmauz Zawaid (3/172) : “Sesungguhnya Abu Syaibah ini dho’if”.
► Al-Hafidz (Ibnu Hajar) berkata di kitabnya Al-Fath (syarah Bukhari) :* “Isnadnya dla’if”.
► Al-Hafidz Zaila’i telah mendho’ifkan isnadnya di kitabnya Nashbur Rayah [ 2/153 ].
► Demikian juga Imam Shan’ani di kitabnya Subulus Salam (syarah Bulughul Maram) mengatakan *tidak ada yang sah tentang Nabi shalat di bulan Ramadlan dua puluh raka’at.*
Saya berkata : Bahwa hadits ini *“Dhai’fun Jiddan” (sangat lemah).* Bahkan muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan : *“Maudhu (palsu)”.*
Tentang kemaudhu’an hadits ini telah beliau terangkan di kitabnya *“Silsilah Hadits Dha’if wal Maudhu”* dan “Shalat Tarawih” dan “Irwaul Ghalil”. Siapa yang ingin mengetahui lebih luas lagi tentang masalah ini, bacalah tiga kitab Al-Albani di atas, *khususnya kitab shalat tarawih.*
Sebagaimana telah kita ketahui dari keterangan beberapa ulama di atas sebab lemahnya hadits ini, yakni karena di isnadnya ada seorang rawi tercela, yaitu Ibrahim bin Utsman Abu Syaibah. Tentang dia ini, ulama-ulama ahli hadits menerangkan kepada kita :
*1.* Kata Imam Ahmad, Abu Dawud, Muslim, Yahya, Ibnu Main dan lain-lain : *“Dha’if”.*
*2.* Kata Imam Tirmidzi : *“Munkarul Hadits”.*
*3.* Kata Imam Bukhari : “Ulama-ulama (ahli hadits) mereka diam tentangnya” (ini satu istilah untuk rawi lemah tingkat tiga).
*4.* Kata Imam Nasa’i dan Daulaby : *“Matrukul Hadits”.*
*5.* Kata Abu Hatim : *“Dha’iful Hadits,* Ulama-ulama diam tentangnya dan mereka (ahli hadits) meninggalkan haditsnya”.
*6.* Kata Ibnu Sa’ad : “Adalah dia Dla’iful Hadits”.
*7.* Kata Imam Jauzajaniy : “Orang yang putus” (satu istilah untuk lemah tingkat ketiga).
*8.* Kata Abu Ali Naisaburi : “Bukan orang yang kuat (riwayatnya)’.
*9.* Kata Imam Ad-Daruquthni : “Dha’if”.
*10.* Al-Hafidz menerangkan : “Bahwa ia meriwayatkan dari Al-Hakam hadits-hadits munkar”.
*》Periksalah kitab-kitab :*
*1.* Irwaul Ghalil, oleh Muhaddits Syaikh Al-Albani. 2 : 191, 192, 193.
*2.* Nashbur Raayah, oleh Al-Hafidz Zaila’i. [2 : 153.]
*3.* Al-Jarh wat Ta’dil, oleh Imam Ibnu Abi Hatim. 2 : 115
*4.* Tahdzibut-Tahdzib, oleh Imam Ibnu Hajar. [1 : 144, 145]
*5.* Mizanul I’tidal, oleh Imam Adz-Dzahabi. 1 : 47, 48
*》HADITS KEDUA.*
“Artinya : Dari Yazid bin Ruman, ia berkata : _"Adalah manusia pada zaman 'Umar bin Khattab mereka shalat (tarawih) di bulan Ramadlan *dua puluh tiga raka’at”.*_ [Hadits Riwayat : Imam Malik di kitabnya Al-Muwath-tha 1/115]
*Keterangan :*
*Hadits ini tidak sah !* Ketidaksahannya ini disebabkan karena dua penyakit :
*Pertama :*
“Munqati” (Terputus Sanadnya). Karena Yazid bin Ruman yang meriwayatkan hadits ini tidak bertemu dengan 'Umar bin Khaththab atau tidak sezaman dengannya. Imam Baihaqi sendiri mengatakan : Yazid bin Ruman tidak bertemu dengan 'Umar. Dengan demikian *sanad hadits ini terputus.* Sanad yang demikian oleh Ulama-ulama ahli hadits namakan Munqati’. Sedang hadits yang sanadnya munqati’ menurut ilmu Musthalah Hadits yang telah disepakati, masuk kebagian hadits Dha’if yang tidak boleh dibuat alasan atau dalil.
Tentang tidak bertemunya Yazid bin Ruman ini dengan 'Umar telah saya periksa seteliti mungkin di kitab-kitab rijalul hadits yang ternyata memang benar bahwa ia tidak pernah bertemu atau sezaman dengan Umar bin Khattab.
*Kedua.*
Riwayat diatas bertentangan dengan riwayat yang sudah shahih di bawah ini :
*》HADITS KETIGA.*
“Artinya : Dari Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata : _“Umar bin Khattab telah memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dariy supaya keduanya shalat mengimami manusia dengan *SEBELAS RAKAAT”.*_
*Sanad hadits ini shahih, karena :*
1. Imam Malik seorang Imam besar lagi sangat kepercayaan yang telah diterima umat riwayatnya.
2. Muhammad bin Yusuf seorang kepercayaan yang dipakai riwayatnya oleh Imam Bukhari dan Muslim.
3. Sedang Saib bin Yazid seorang shahabat kecil yang bertemu dan sezaman dengan Umar bin Khatab.
4. Dengan demikian sanad hadits ini Muttashil/bersambung.
*》KESIMPULAN.*
1. Riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa Nabi _Shallallahu ‘alaihi wa sallam_ shalat di bulan Ramadlan (shalat tarawih) *20 raka’at atau 21 atau 23 raka’at tidak ada satupun yang shahih.* Tentang ini tidak tersembunyi bagi mereka yang alim dalam ilmu hadits.
2. Riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa di zaman Umar bin Khattab para shahabat shalat *tarawih 23 raka’at tidak ada satupun yang shahih* sebagaimana keterangan di atas. *Bahkan dari riwayat yang Shahih kita ketahui bahwa 'Umar bin Khattab memerintahkan shalat tarawih dilaksanakan sebelas raka’at* sesuai dengan contoh Rasululullah _Shallallahu ‘alaihi wa sallam._
•┈┈•••○○○❁📚❁○○○•••┈┈•
[Disalin dari kitab Al-Masaa-il (Masalah-Masalah Agama)- Jilid ke satu, Penulis Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Terbitan Darul Qolam – Jakarta, Cetakan ke III Th 1423/2002M]
_________
Foote Note
[1]. Ditulis tanggal 14-3-1986
Sumber: https://almanhaj.or.id/1115-derajat-hadits-shalat-tarawih-dua-puluh-tiga-rakaat.html
https://aslibumiayu.net/5140-shalat-tarawih-nabi-dan-para-sahabat-adalah-sebelas-rakaat.html
┈┉┅━━━━━•༺❁❁༺•━━━━━┅┉┈
SHOLAT TARAWIH NABI DAN PARA SHAHABAT ADALAH TIDAK LEBIH DARI SEBELAS RAKA'AT
┈┉┅━━━━━•༺❁❁༺•━━━━━┅┉┈
✒ Oleh : Al-Ustadz *Abdul Hakim bin Amir Abdat*
*Derajat Hadits Shalat Tarawih Dua Puluh Tiga Raka'at.*
*》HADITS PERTAMA*
“Artinya : Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Nabi _Shallahu ‘alaihi wa sallam,_ shalat di bulan Ramadlan *dua puluh raka’at,"* [ Hadits riwayat : Ibnu Abi Syaibah, Abdu bin Humaid, Thabrani di kitabnya Al-Mu’jam Kabir dan Awsath, Baihaqi dan bnu Adi dan lain-lain ]
Di riwayat lain ada tambahan : “Dan (Nabi _Shallallahu ‘alaihi wa sallam_) witir *(setelah shalat dua puluh raka’at)”*. Riwayat ini semuanya dari jalan Abu Syaibah, yang namanya : Ibrahim bin Utsman dari Al-Hakam dari Miqsam dari Ibnu Abbas.
► Imam Thabrani berkata : “Tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas melainkan dengan isnad ini”.
► Imam Baihaqi berkata : “Abu Syaibah menyendiri dengannya, *sedang dia itu dho’if”.*
► Imam Al-Haistami berkata di kitabnya “Majmauz Zawaid (3/172) : “Sesungguhnya Abu Syaibah ini dho’if”.
► Al-Hafidz (Ibnu Hajar) berkata di kitabnya Al-Fath (syarah Bukhari) :* “Isnadnya dla’if”.
► Al-Hafidz Zaila’i telah mendho’ifkan isnadnya di kitabnya Nashbur Rayah [ 2/153 ].
► Demikian juga Imam Shan’ani di kitabnya Subulus Salam (syarah Bulughul Maram) mengatakan *tidak ada yang sah tentang Nabi shalat di bulan Ramadlan dua puluh raka’at.*
Saya berkata : Bahwa hadits ini *“Dhai’fun Jiddan” (sangat lemah).* Bahkan muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan : *“Maudhu (palsu)”.*
Tentang kemaudhu’an hadits ini telah beliau terangkan di kitabnya *“Silsilah Hadits Dha’if wal Maudhu”* dan “Shalat Tarawih” dan “Irwaul Ghalil”. Siapa yang ingin mengetahui lebih luas lagi tentang masalah ini, bacalah tiga kitab Al-Albani di atas, *khususnya kitab shalat tarawih.*
Sebagaimana telah kita ketahui dari keterangan beberapa ulama di atas sebab lemahnya hadits ini, yakni karena di isnadnya ada seorang rawi tercela, yaitu Ibrahim bin Utsman Abu Syaibah. Tentang dia ini, ulama-ulama ahli hadits menerangkan kepada kita :
*1.* Kata Imam Ahmad, Abu Dawud, Muslim, Yahya, Ibnu Main dan lain-lain : *“Dha’if”.*
*2.* Kata Imam Tirmidzi : *“Munkarul Hadits”.*
*3.* Kata Imam Bukhari : “Ulama-ulama (ahli hadits) mereka diam tentangnya” (ini satu istilah untuk rawi lemah tingkat tiga).
*4.* Kata Imam Nasa’i dan Daulaby : *“Matrukul Hadits”.*
*5.* Kata Abu Hatim : *“Dha’iful Hadits,* Ulama-ulama diam tentangnya dan mereka (ahli hadits) meninggalkan haditsnya”.
*6.* Kata Ibnu Sa’ad : “Adalah dia Dla’iful Hadits”.
*7.* Kata Imam Jauzajaniy : “Orang yang putus” (satu istilah untuk lemah tingkat ketiga).
*8.* Kata Abu Ali Naisaburi : “Bukan orang yang kuat (riwayatnya)’.
*9.* Kata Imam Ad-Daruquthni : “Dha’if”.
*10.* Al-Hafidz menerangkan : “Bahwa ia meriwayatkan dari Al-Hakam hadits-hadits munkar”.
*》Periksalah kitab-kitab :*
*1.* Irwaul Ghalil, oleh Muhaddits Syaikh Al-Albani. 2 : 191, 192, 193.
*2.* Nashbur Raayah, oleh Al-Hafidz Zaila’i. [2 : 153.]
*3.* Al-Jarh wat Ta’dil, oleh Imam Ibnu Abi Hatim. 2 : 115
*4.* Tahdzibut-Tahdzib, oleh Imam Ibnu Hajar. [1 : 144, 145]
*5.* Mizanul I’tidal, oleh Imam Adz-Dzahabi. 1 : 47, 48
*》HADITS KEDUA.*
“Artinya : Dari Yazid bin Ruman, ia berkata : _"Adalah manusia pada zaman 'Umar bin Khattab mereka shalat (tarawih) di bulan Ramadlan *dua puluh tiga raka’at”.*_ [Hadits Riwayat : Imam Malik di kitabnya Al-Muwath-tha 1/115]
*Keterangan :*
*Hadits ini tidak sah !* Ketidaksahannya ini disebabkan karena dua penyakit :
*Pertama :*
“Munqati” (Terputus Sanadnya). Karena Yazid bin Ruman yang meriwayatkan hadits ini tidak bertemu dengan 'Umar bin Khaththab atau tidak sezaman dengannya. Imam Baihaqi sendiri mengatakan : Yazid bin Ruman tidak bertemu dengan 'Umar. Dengan demikian *sanad hadits ini terputus.* Sanad yang demikian oleh Ulama-ulama ahli hadits namakan Munqati’. Sedang hadits yang sanadnya munqati’ menurut ilmu Musthalah Hadits yang telah disepakati, masuk kebagian hadits Dha’if yang tidak boleh dibuat alasan atau dalil.
Tentang tidak bertemunya Yazid bin Ruman ini dengan 'Umar telah saya periksa seteliti mungkin di kitab-kitab rijalul hadits yang ternyata memang benar bahwa ia tidak pernah bertemu atau sezaman dengan Umar bin Khattab.
*Kedua.*
Riwayat diatas bertentangan dengan riwayat yang sudah shahih di bawah ini :
*》HADITS KETIGA.*
“Artinya : Dari Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata : _“Umar bin Khattab telah memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dariy supaya keduanya shalat mengimami manusia dengan *SEBELAS RAKAAT”.*_
*Sanad hadits ini shahih, karena :*
1. Imam Malik seorang Imam besar lagi sangat kepercayaan yang telah diterima umat riwayatnya.
2. Muhammad bin Yusuf seorang kepercayaan yang dipakai riwayatnya oleh Imam Bukhari dan Muslim.
3. Sedang Saib bin Yazid seorang shahabat kecil yang bertemu dan sezaman dengan Umar bin Khatab.
4. Dengan demikian sanad hadits ini Muttashil/bersambung.
*》KESIMPULAN.*
1. Riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa Nabi _Shallallahu ‘alaihi wa sallam_ shalat di bulan Ramadlan (shalat tarawih) *20 raka’at atau 21 atau 23 raka’at tidak ada satupun yang shahih.* Tentang ini tidak tersembunyi bagi mereka yang alim dalam ilmu hadits.
2. Riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa di zaman Umar bin Khattab para shahabat shalat *tarawih 23 raka’at tidak ada satupun yang shahih* sebagaimana keterangan di atas. *Bahkan dari riwayat yang Shahih kita ketahui bahwa 'Umar bin Khattab memerintahkan shalat tarawih dilaksanakan sebelas raka’at* sesuai dengan contoh Rasululullah _Shallallahu ‘alaihi wa sallam._
•┈┈•••○○○❁📚❁○○○•••┈┈•
[Disalin dari kitab Al-Masaa-il (Masalah-Masalah Agama)- Jilid ke satu, Penulis Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Terbitan Darul Qolam – Jakarta, Cetakan ke III Th 1423/2002M]
_________
Foote Note
[1]. Ditulis tanggal 14-3-1986
Sumber: https://almanhaj.or.id/1115-derajat-hadits-shalat-tarawih-dua-puluh-tiga-rakaat.html
https://aslibumiayu.net/5140-shalat-tarawih-nabi-dan-para-sahabat-adalah-sebelas-rakaat.html
Shaf Renggang di Mekkah, Kenapa harus di ributin?
☄ Shaf Renggang di Mekkah, Kenapa harus di ributin?
┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈
📆 Madinah, 04 Ramadhan 1441 H
___✍ *Abu Yusuf*
Bismillah wa sholatu wasalamu ala Rasululillah
Amma Ba'du.
Pertama-tama : Dari kemaren banyak WA ke Ana, nanyakan apa bener shaf di Masjid Haram Renggang, terus itu bagaimana hukumnya? Kok dibiarin aja sih, apa itu boleh? Apa Sah Sholatnya?
Begini bapak dan ibu yang kami cintai karena Allah.
Tentang Kebenaran Shaf Renggang di Masjidil Haram itu bener adanya, bukan hoax, bukan editan. Jadi yang kemaren bilang hoax atau editan, taubat minta ampun sama Allah. Mumpung Ramadhan, pintu ampunan terbuka lebar.
*Terus, bagaimana hukumnya?*
Hukum asal, merapatkan shof dalam sholat jamaah sunnah (Jumhur ulama), sebagian bilang wajib (simak fatwa Syaikhuna Sulaiman dibawah ini)
Kok dibiarin aja, kenapa gak dilarang? Jadi kita kan bingung.
Semoga Allah merahmati antum semua karena udh sangat kritis dengan masalah ini, ana hargai segala bentuk ghiroh antum dalam agama Allah.
Jadi begini, Di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi sejak semua masjid ditutup di Saudi, 2 masjid itu masih ada sholat jamaah, sholat Jum`at.
Tapi untuk petugas masjid saja. Adapun untuk orang luar belum boleh karena menjaga agar virus corona tidak tersebar.
Lha kenapa gk sekalian di tutup aja? Lha, asalkan antum tau Negara Saudi itu termasuk negara terbaik dalam penanganan corona, jadi tentu sudah dipertimbangkan kenapa 2 masjid itu tetep ada sholat jamaah. Meskipun terbatas. Dan orang-orangnya itu itu saja, dilarang keras yang lain ikutan.
Dan ini juga membantah si pembuat hoax yang bilang raja salman menutup total masjid al haram dan nabawi karena takut corona.
Terlebih lagi mereka ulil amri, punya otoritas. Sah-sah saja kan. Untuk membuka tutup masjid untuk kemaslahatan bersama.
Kalau yang di maksud menutup semua masjid selain dua masjid di atas benar adanya. Dan ini sesuai Syariat. Jadi jangan kaget. Kalau gak setuju, ya protes aja ke Raja.
Terus, apakah Sholatnya Sah Shaf Renggang?
*Sholatnhya Sah,* yang di perselisihkan ulama itu tentang fadhilah jamaahnya. Ada yang menganggap dapat dan ada yang tidak.
Cukup kan.
Dan satu lagi, ini masalah fiqh harus luwes, lapang dada jika ada yang beda, tidak boleh kagetan dan maksain ke orang lain. Nanti kalau sakit hati repot sendiri.
*Berikut ini fatwa dari guru kami Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaily Hafidzahullahu Ta’ala.*
✅ فتوى و ترجيح الشيخ سليمان الرحيلي في مسألة صلاة الجماعة متباعدين متر أو متر ونصف ✅
Fatwa dan Tarjih (Pendapat yang kuat) menurut Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaily Hafidzahullahu tentang Sholat Jamaah yang Shafnya renggang 1 meter, atau 1,5 meter.
السؤال:
هل يجوز للمصلين أن يجعلوا بينهم مسافة متر أو مترين عن يمينهم شمالهم في الصف في الجماعة وقاية من هذا الوباء !؟
*Soal :*
Apakah boleh bagi orang yang sholat (jamaah) untuk memberi jarak antar mereka 1 meter atau 2 meter kanan dan kiri mereka dalam shaf, untuk penjagaan diri dari wabah (covid19 pent)?
الجواب:
*Jawab :*
ينبغي يا إخوة أن نعلم أن وقوف المصلين في صف واحد و لو كانوا متباعدين ليس من باب صلاة المنفرد خلف الصفّ لأنّهم في صف واحد.
Ya ikhwah, Kita harus tau bahwa berdirinya orang-orang yang sholat dalam satu shof walaupun renggang, bukan termasuk sholat sendiri (munfarid) dibelakang
Imam, tapi mereka itu (dihitung jamaah) karena masih satu shof sama imam
إذن هذا ليس من هذه المسألة يقينا
Jadi yang jadi masalah bukan ini. Clear...
بقي أنّ الأصل أنه يجب تراص المأمومين [ الجمهور يقولون هذا مستحبّ و التفريج مكروه ] لكنّ الصحيح أنّه يَجب !
Hukum asal harus meluruskan shof bagi makmum ( jumhur mengatakan sunnah, adapun merenggangkan makruh). *Tapi yang benar bahwa meluruskan shaf wajib hukumnya.*
لكن إذا وُجدت الحاجة جاز تباعد المصلّين
Akan tetapi, jika ada hajat (kebutuhan) boleh renggang antar makmum.
فإذا كنّا بين أمرين إمّا أن نقولَ لا يصلّون جماعة
Maka kita ada di dua pilihan :
*Kita katakan : Jangan sholat jamaah*
و إمَّا أن نقول على أساس علميّ: يصلون جماعة و يتباعدون.. فإنهم يصلّون جماعة و يتباعدون و لا حرج في هذا.
Atau kita katakan berdasarkan asas ilmiyah, Sholatlah jamaah tapi renggang. Karena jika mereka melakukan demikian maka boleh.
على أنّه يُلتزم بما يوجه به وليّ الأمر في المسألة ففي هذه المصالح العامّة الأمرُ منوطٌ بوليّ الأمر !
Yang harus di perhatikan, Harus tetap nurut kepada arahan pemerintah dalam masalah ini, karena ini menyangkut kemaslahatan umum (bersama) yang memang tugasnya pemerintah untuk mengatur.
وقال في موضع آخر موضحا لما سبق من كلامه :
Beliau berkata di lain waktu, memperjelas hal diatas
إذا كان هناك ضرر غالب من صلاتهم
في المساجد حتى مع التباعد فالأفضل أن يلزموا بيوتهم و لو لم يُلزَموا بهذا.
Jika ada mudhorot (bahaya) yang besar dari Sholatnya ke masjid, meskipun dengan renggang. Lebih baik sholat di rumah meskipun tidak perintah sholat dirumah.
أمّا إذا لم يكن هناك ضرر و لكن أُلزموا بالتباعد ، أو لا يكون هناك ضرر إذا حصل التباعد لمتر أو متر و نصف فإنهم يصلّون في المساجد مع التّباعد.
مع لزوم ما يوجه به وليّ الأمر في هذه المسألة انتھ.
Namu jika tidak ada bahaya, akan tetapi harus tetap sholat renggang. Karena jika sholat dengan renggang semeter atau setengah, maka sholat di masjid dengan renggang.
Tapi tetap harus ikuti arahan pemerintah di masalah ini.
*Selesai*
🎙 شرح كتاب الصيام من بلوغ المرام
( أسئلة درس باب الإعتكاف وقيام رمضان )
Pelajaran Syarh Kitab Siyam dari Kitab Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-Asqolany
(Pertanyaannya di pelajaran bab I'tikaf dan Qiyam Lail).
~Fatwa di salin dari grup WA Multaqo Duat Indonesia~
Masih bingung? Atau sudah tercerhkan?
Atau malah tambah pusing?
Berarti kita harus belajar lagi fiqh secara runut, dari mulai belajar fiqh madzhab, sampai fiqh tarjih kalau umur masih panjang.
Tapi kalau loncat loncat, apalagi belum belajar sama sekali. Masih ada waktu untuk belajar lagi.
Selamat sholat bersama keluarga masing-masing di rumah dan semoga Allah menerima amalan kita.
Ramadhan sudah di depan mata, mari kita banyakin amal saja yang baik-baik. Kalau ngomong beginian trus nanti tilawah Al-Qur'an gak khatam-khatam. Kan sayang banget.
Mohon maaf guru guru ana atas tulisan ini jika terlalu panjang. Tidak dipaksa untuk baca dan komentar kok. Dan tidak dipaksa harus sama dengan yang disampaikan diatas.
Barokallahu fikum
Wallaahua’lam bissowab
┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈
Madinah, 04 Ramadhan 1441 H
___✍ *Abu Yusuf*
┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈
📆 Madinah, 04 Ramadhan 1441 H
___✍ *Abu Yusuf*
Bismillah wa sholatu wasalamu ala Rasululillah
Amma Ba'du.
Pertama-tama : Dari kemaren banyak WA ke Ana, nanyakan apa bener shaf di Masjid Haram Renggang, terus itu bagaimana hukumnya? Kok dibiarin aja sih, apa itu boleh? Apa Sah Sholatnya?
Begini bapak dan ibu yang kami cintai karena Allah.
Tentang Kebenaran Shaf Renggang di Masjidil Haram itu bener adanya, bukan hoax, bukan editan. Jadi yang kemaren bilang hoax atau editan, taubat minta ampun sama Allah. Mumpung Ramadhan, pintu ampunan terbuka lebar.
*Terus, bagaimana hukumnya?*
Hukum asal, merapatkan shof dalam sholat jamaah sunnah (Jumhur ulama), sebagian bilang wajib (simak fatwa Syaikhuna Sulaiman dibawah ini)
Kok dibiarin aja, kenapa gak dilarang? Jadi kita kan bingung.
Semoga Allah merahmati antum semua karena udh sangat kritis dengan masalah ini, ana hargai segala bentuk ghiroh antum dalam agama Allah.
Jadi begini, Di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi sejak semua masjid ditutup di Saudi, 2 masjid itu masih ada sholat jamaah, sholat Jum`at.
Tapi untuk petugas masjid saja. Adapun untuk orang luar belum boleh karena menjaga agar virus corona tidak tersebar.
Lha kenapa gk sekalian di tutup aja? Lha, asalkan antum tau Negara Saudi itu termasuk negara terbaik dalam penanganan corona, jadi tentu sudah dipertimbangkan kenapa 2 masjid itu tetep ada sholat jamaah. Meskipun terbatas. Dan orang-orangnya itu itu saja, dilarang keras yang lain ikutan.
Dan ini juga membantah si pembuat hoax yang bilang raja salman menutup total masjid al haram dan nabawi karena takut corona.
Terlebih lagi mereka ulil amri, punya otoritas. Sah-sah saja kan. Untuk membuka tutup masjid untuk kemaslahatan bersama.
Kalau yang di maksud menutup semua masjid selain dua masjid di atas benar adanya. Dan ini sesuai Syariat. Jadi jangan kaget. Kalau gak setuju, ya protes aja ke Raja.
Terus, apakah Sholatnya Sah Shaf Renggang?
*Sholatnhya Sah,* yang di perselisihkan ulama itu tentang fadhilah jamaahnya. Ada yang menganggap dapat dan ada yang tidak.
Cukup kan.
Dan satu lagi, ini masalah fiqh harus luwes, lapang dada jika ada yang beda, tidak boleh kagetan dan maksain ke orang lain. Nanti kalau sakit hati repot sendiri.
*Berikut ini fatwa dari guru kami Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaily Hafidzahullahu Ta’ala.*
✅ فتوى و ترجيح الشيخ سليمان الرحيلي في مسألة صلاة الجماعة متباعدين متر أو متر ونصف ✅
Fatwa dan Tarjih (Pendapat yang kuat) menurut Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaily Hafidzahullahu tentang Sholat Jamaah yang Shafnya renggang 1 meter, atau 1,5 meter.
السؤال:
هل يجوز للمصلين أن يجعلوا بينهم مسافة متر أو مترين عن يمينهم شمالهم في الصف في الجماعة وقاية من هذا الوباء !؟
*Soal :*
Apakah boleh bagi orang yang sholat (jamaah) untuk memberi jarak antar mereka 1 meter atau 2 meter kanan dan kiri mereka dalam shaf, untuk penjagaan diri dari wabah (covid19 pent)?
الجواب:
*Jawab :*
ينبغي يا إخوة أن نعلم أن وقوف المصلين في صف واحد و لو كانوا متباعدين ليس من باب صلاة المنفرد خلف الصفّ لأنّهم في صف واحد.
Ya ikhwah, Kita harus tau bahwa berdirinya orang-orang yang sholat dalam satu shof walaupun renggang, bukan termasuk sholat sendiri (munfarid) dibelakang
Imam, tapi mereka itu (dihitung jamaah) karena masih satu shof sama imam
إذن هذا ليس من هذه المسألة يقينا
Jadi yang jadi masalah bukan ini. Clear...
بقي أنّ الأصل أنه يجب تراص المأمومين [ الجمهور يقولون هذا مستحبّ و التفريج مكروه ] لكنّ الصحيح أنّه يَجب !
Hukum asal harus meluruskan shof bagi makmum ( jumhur mengatakan sunnah, adapun merenggangkan makruh). *Tapi yang benar bahwa meluruskan shaf wajib hukumnya.*
لكن إذا وُجدت الحاجة جاز تباعد المصلّين
Akan tetapi, jika ada hajat (kebutuhan) boleh renggang antar makmum.
فإذا كنّا بين أمرين إمّا أن نقولَ لا يصلّون جماعة
Maka kita ada di dua pilihan :
*Kita katakan : Jangan sholat jamaah*
و إمَّا أن نقول على أساس علميّ: يصلون جماعة و يتباعدون.. فإنهم يصلّون جماعة و يتباعدون و لا حرج في هذا.
Atau kita katakan berdasarkan asas ilmiyah, Sholatlah jamaah tapi renggang. Karena jika mereka melakukan demikian maka boleh.
على أنّه يُلتزم بما يوجه به وليّ الأمر في المسألة ففي هذه المصالح العامّة الأمرُ منوطٌ بوليّ الأمر !
Yang harus di perhatikan, Harus tetap nurut kepada arahan pemerintah dalam masalah ini, karena ini menyangkut kemaslahatan umum (bersama) yang memang tugasnya pemerintah untuk mengatur.
وقال في موضع آخر موضحا لما سبق من كلامه :
Beliau berkata di lain waktu, memperjelas hal diatas
إذا كان هناك ضرر غالب من صلاتهم
في المساجد حتى مع التباعد فالأفضل أن يلزموا بيوتهم و لو لم يُلزَموا بهذا.
Jika ada mudhorot (bahaya) yang besar dari Sholatnya ke masjid, meskipun dengan renggang. Lebih baik sholat di rumah meskipun tidak perintah sholat dirumah.
أمّا إذا لم يكن هناك ضرر و لكن أُلزموا بالتباعد ، أو لا يكون هناك ضرر إذا حصل التباعد لمتر أو متر و نصف فإنهم يصلّون في المساجد مع التّباعد.
مع لزوم ما يوجه به وليّ الأمر في هذه المسألة انتھ.
Namu jika tidak ada bahaya, akan tetapi harus tetap sholat renggang. Karena jika sholat dengan renggang semeter atau setengah, maka sholat di masjid dengan renggang.
Tapi tetap harus ikuti arahan pemerintah di masalah ini.
*Selesai*
🎙 شرح كتاب الصيام من بلوغ المرام
( أسئلة درس باب الإعتكاف وقيام رمضان )
Pelajaran Syarh Kitab Siyam dari Kitab Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-Asqolany
(Pertanyaannya di pelajaran bab I'tikaf dan Qiyam Lail).
~Fatwa di salin dari grup WA Multaqo Duat Indonesia~
Masih bingung? Atau sudah tercerhkan?
Atau malah tambah pusing?
Berarti kita harus belajar lagi fiqh secara runut, dari mulai belajar fiqh madzhab, sampai fiqh tarjih kalau umur masih panjang.
Tapi kalau loncat loncat, apalagi belum belajar sama sekali. Masih ada waktu untuk belajar lagi.
Selamat sholat bersama keluarga masing-masing di rumah dan semoga Allah menerima amalan kita.
Ramadhan sudah di depan mata, mari kita banyakin amal saja yang baik-baik. Kalau ngomong beginian trus nanti tilawah Al-Qur'an gak khatam-khatam. Kan sayang banget.
Mohon maaf guru guru ana atas tulisan ini jika terlalu panjang. Tidak dipaksa untuk baca dan komentar kok. Dan tidak dipaksa harus sama dengan yang disampaikan diatas.
Barokallahu fikum
Wallaahua’lam bissowab
┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈
Madinah, 04 Ramadhan 1441 H
___✍ *Abu Yusuf*
HUKUM MEMBACA SHOLAWAT PADA SAAT TASYAHUD AWAL
HUKUM MEMBACA SHOLAWAT PADA SAAT TASYAHUD AWAL
Ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca shalawat ketika tasyahud awal.
*Pendapat pertama wajib membaca shalawat ketika tasyhud awal.*
Ini adalah pendapat kedua Imam As-Syafii sebagaimana yang beliau tegaskan dalam kitab Al-Umm. Imam As-Syafii bahkan menegaskan, orang yang tidak membaca shalawat ketika tasyahud awal karena lupa maka dia harus sujud sahwi. (al-Umm, 1/110). Pendapat ini juga dipilih Ibnu Hubairah Al-Hambali sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab Al-Ifshah, Imam Ibnu Baz dalam Fatwa beliau, dan Imam Al-Albani dalam sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. *Pendapat kedua, ketika tasyahud awal hanya membaca bacaan tasyahud sampai dua kalimat syahadat dan boleh tidak ditambahi shalawat.
Pendapat kedua ini adalah pendapat mayoritas ulama, diantaranya An-Nakhai, As-Sya’bi, Sufyan Ats-Tsauri, dan Ishaq bin Rahuyah. Pendapat ini yang lebih kuat dalam madzhab Syafiiyah, dan pendapat yang dipilih Ibnu Utsaimin.
In syaa Allah, pendapat kedua inilah yang lebih kuat, karena beberapa pertimbangan,
1. Makna zahir dari hadits di atas, dimana Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ hanya mengajarkan bacaan tasyahud, dan bukan shalawat.
2. Kebiasaan Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ duduk ringan ketika tasyahud awal, sebagaimana keterangan Ibnul Qoyim dalam Zadul Ma’ad (1/232)
3. Terdapat hadits yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya, bahwa Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca tasyahud dalam duduk tasyahud awal dan beliau tidak berdoa. [simak As-Syarhul Mumthi’, 3/162]
__________________
Oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan https://konsultasisyariah.com/23215-hukum-membaca-shalawat-pada-tasyahud-awal.html
Ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca shalawat ketika tasyahud awal.
*Pendapat pertama wajib membaca shalawat ketika tasyhud awal.*
Ini adalah pendapat kedua Imam As-Syafii sebagaimana yang beliau tegaskan dalam kitab Al-Umm. Imam As-Syafii bahkan menegaskan, orang yang tidak membaca shalawat ketika tasyahud awal karena lupa maka dia harus sujud sahwi. (al-Umm, 1/110). Pendapat ini juga dipilih Ibnu Hubairah Al-Hambali sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab Al-Ifshah, Imam Ibnu Baz dalam Fatwa beliau, dan Imam Al-Albani dalam sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. *Pendapat kedua, ketika tasyahud awal hanya membaca bacaan tasyahud sampai dua kalimat syahadat dan boleh tidak ditambahi shalawat.
Pendapat kedua ini adalah pendapat mayoritas ulama, diantaranya An-Nakhai, As-Sya’bi, Sufyan Ats-Tsauri, dan Ishaq bin Rahuyah. Pendapat ini yang lebih kuat dalam madzhab Syafiiyah, dan pendapat yang dipilih Ibnu Utsaimin.
In syaa Allah, pendapat kedua inilah yang lebih kuat, karena beberapa pertimbangan,
1. Makna zahir dari hadits di atas, dimana Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ hanya mengajarkan bacaan tasyahud, dan bukan shalawat.
2. Kebiasaan Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ duduk ringan ketika tasyahud awal, sebagaimana keterangan Ibnul Qoyim dalam Zadul Ma’ad (1/232)
3. Terdapat hadits yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya, bahwa Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca tasyahud dalam duduk tasyahud awal dan beliau tidak berdoa. [simak As-Syarhul Mumthi’, 3/162]
__________________
Oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan https://konsultasisyariah.com/23215-hukum-membaca-shalawat-pada-tasyahud-awal.html
BERISYARAT KETIKA TASYAHUD
BERISYARAT KETIKA TASYAHUD
*Soal :*
Ustadz, sebetulnya kapan sih disunnahkan berisyarat ketika tahiyat, apakah dari awal tahiyat atau ketika mengucapkan Asyhadu an laa ilaaha illallah ?
*Jawab :*
Pendapat yang kuat in syaa Allah, isyarat itu dimulai dari awal tasyahhud. Berdasarkan hadits Ibnu 'Umar _radhiallahu’anhuma :_
أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- كان إذا قعد في التشهد وضع يده اليسرى على ركبته اليسرى ، ووضع يده اليمنى على ركبته اليمنى ، وعقد ثلاثة وخمسين وأشار بالسبابة
“Sesungguhnya Nabi _shallallahu alaihi wa sallam_ apabila duduk ber-tasyahhud beliau letakkan tangan kirinya diatas lututnya yang kiri, dan meletakkan tangan kanannya diatas lututnya yang kanan dan membentuk lima puluh tiga dan berisyarat dengan telunjuknya”. (HR Muslim).
Dalam hadits ini disebutkan bahwa beliau berisyarat apabila duduk tasyahhud.
Sebagian ulama berpendapat bahwa isyarat dengan telunjuk itu dimulai saat mengucapkan asyhadu an laa ilaaha illallah. Mereka berdalil dengan lafadz hadits:
قد حلَّقَ الإبهامَ والوُسطَى , ورفَع الَّتي تليهِما , يَدعو بِها في التَّشهُّدِ
“Nabi melingkarkan jari telunjuk dan jari tengah, lalu mengangkat jari yang ada diantara keduanya (yaitu jari telunjuk), beliau berdoa dengan isyarat tersebut ketika tasyahud”. (HR. Ibnu Majah. Shahih).
Beliau berdoa dengan isyarat tersebut. Sedangkan doa dimulai setelah mengucapkan dua kalimat syahadat.
Akan tetapi pendalilan dengan lafadz ini lemah, karena doa itu mencakup doa ibadah dan doa memohon. Dan tahiyat terdiri dari dua macam doa tadi, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa yang dimaksud doa dalam hadits tersebut adalah doa memohon saja karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
*Kesimpulannya,* tidak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa isyarat dengan telunjuk dimulai saat ucapan asyhadu..dst.
Wallahu a’lam.
____________________
Ustadz : Badru Salam, Lc.
S1 Universitas Islam Madinah Saudi Arabia Fakultas hadits, pembina Radio Rodja dan Rodja TV, penulis buku “KEINDAHAN ISLAM DAN PERUSAKNYA” terbitan Pustaka Al Bashirah, penulis buku “KUNCI MEMAHAMI HADITS NABI“ terbitan Pustaka Al Bashirah, penulis buku “MENYELAMI SAMUDRA BASMALAH“ terbitan Pustaka Darul Ilmi, dan tulisan lainnya
Artikel : muslim.or.id
*Soal :*
Ustadz, sebetulnya kapan sih disunnahkan berisyarat ketika tahiyat, apakah dari awal tahiyat atau ketika mengucapkan Asyhadu an laa ilaaha illallah ?
*Jawab :*
Pendapat yang kuat in syaa Allah, isyarat itu dimulai dari awal tasyahhud. Berdasarkan hadits Ibnu 'Umar _radhiallahu’anhuma :_
أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- كان إذا قعد في التشهد وضع يده اليسرى على ركبته اليسرى ، ووضع يده اليمنى على ركبته اليمنى ، وعقد ثلاثة وخمسين وأشار بالسبابة
“Sesungguhnya Nabi _shallallahu alaihi wa sallam_ apabila duduk ber-tasyahhud beliau letakkan tangan kirinya diatas lututnya yang kiri, dan meletakkan tangan kanannya diatas lututnya yang kanan dan membentuk lima puluh tiga dan berisyarat dengan telunjuknya”. (HR Muslim).
Dalam hadits ini disebutkan bahwa beliau berisyarat apabila duduk tasyahhud.
Sebagian ulama berpendapat bahwa isyarat dengan telunjuk itu dimulai saat mengucapkan asyhadu an laa ilaaha illallah. Mereka berdalil dengan lafadz hadits:
قد حلَّقَ الإبهامَ والوُسطَى , ورفَع الَّتي تليهِما , يَدعو بِها في التَّشهُّدِ
“Nabi melingkarkan jari telunjuk dan jari tengah, lalu mengangkat jari yang ada diantara keduanya (yaitu jari telunjuk), beliau berdoa dengan isyarat tersebut ketika tasyahud”. (HR. Ibnu Majah. Shahih).
Beliau berdoa dengan isyarat tersebut. Sedangkan doa dimulai setelah mengucapkan dua kalimat syahadat.
Akan tetapi pendalilan dengan lafadz ini lemah, karena doa itu mencakup doa ibadah dan doa memohon. Dan tahiyat terdiri dari dua macam doa tadi, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa yang dimaksud doa dalam hadits tersebut adalah doa memohon saja karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
*Kesimpulannya,* tidak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa isyarat dengan telunjuk dimulai saat ucapan asyhadu..dst.
Wallahu a’lam.
____________________
Ustadz : Badru Salam, Lc.
S1 Universitas Islam Madinah Saudi Arabia Fakultas hadits, pembina Radio Rodja dan Rodja TV, penulis buku “KEINDAHAN ISLAM DAN PERUSAKNYA” terbitan Pustaka Al Bashirah, penulis buku “KUNCI MEMAHAMI HADITS NABI“ terbitan Pustaka Al Bashirah, penulis buku “MENYELAMI SAMUDRA BASMALAH“ terbitan Pustaka Darul Ilmi, dan tulisan lainnya
Artikel : muslim.or.id
HUKUM SHALAT BERJAMAAH DENGAN JARAK ANTARA JAMAAH SATU METER
HUKUM SHALAT BERJAMAAH DENGAN JARAK ANTARA JAMAAH SATU METER
Bagaimana hukum shalat berjamah dengan jarak antara jamaah satu meter seperti saat wabah virus covid-19 (virus corona) melanda negeri kita ini?
Beberapa masjid masih menyelenggarakan shalat, baris shaf antara jamaah dibuat dengan selisih jarak satu meter. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang hal ini?
Rumaysho.Com bagi artikel kali ini dalam beberapa poin pembahasan.
*Dalil yang membicarakan meluruskan dan merapatkan shaf*
Imam Nawawi rahimahullah dalam Riyadhus Sholihin membicarakan lima belas hadits dalam judul bab “Keutamaan Shaf Pertama dan Perintah untuk Menyempurnakan Shaf Pertama, Meluruskan, dan Merapatkannya”.
Dalil-dalil yang dibawakan oleh Imam Nawawi dalam bab di atas yang terkait dengan bahasan ini ada delapan dalil.
Hadits pertama (Hadits #1086)
وَعَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِي الصَّلاَةِ ، وَيَقُولُ : (( اِسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ ، لِيَلِيَنِي مِنْكُمْ أُولُو الأَحْلاَمِ وَالنُّهَى ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ )) رَوَاهُ مُسلِمٌ
Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengusap pundak-pundak kami ketika shalat dan berkata, “Luruskanlah dan janganlah berselisih, lalu berselisihlah pula hati kalian. Hendaklah orang-orang yang dewasa dan berakal (yang punya keutamaan) dekat denganku (dekat dengan imam), lalu diikuti orang-orang setelah mereka, lalu orang-orang setelah mereka.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 432].
Hadits kedua (Hadits #1087)
وَعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( سَوُّوا صُفُوفَكُمْ ؛ فَإنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِي : (( فَإنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إقَامَةِ الصَّلاَةِ )) .
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Luruskanlah shaf-shaf kalian karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 723 dan Muslim, no. 433].Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Karena lurusnya shaf termasuk mendirikan shalat.”
Hadits ketiga (Hadits #1088)
وَعَنْهُ ، قَالَ : أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَأقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِوَجْهِهِ ، فَقَالَ : (( أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا ؛ فَإنِّي أرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي )) رَوَاهُ البُخَارِيُّ بِلَفْظِهِ ، وَمُسْلِمٌ بِمَعْنَاهُ .وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِي: وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ.
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Iqamah shalat telah dikumandangkan, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap kami kemudian berkata, ‘Luruskanlah dan rapatkanlah shaf-shaf kalian karena aku dapat melihat kalian dari belakang punggungku.’” (HR. Bukhari dengan lafazhnya, sedangkan diriwayatkan oleh Imam Muslim secara makna) [HR. Bukhari, no. 719 dan Muslim, no. 434].Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Salah seorang dari kami menempelkan bahunya dengan bahu rekannya dan telapak kakinya dengan telapak kaki rekannya.”
Hadits keempat (Hadits #1089)
وَعَنِ النُّعْمَانَ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، يَقُوْلُ : (( لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ ، أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : أَنَّ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يُسَوِّي صُفُوفَنَا ، حَتَّى كَأنَّمَا يُسَوِّي بِهَا القِدَاحَ حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ ، ثُمَّ خَرَجَ يَوماً فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ ، فَرَأَى رَجُلاً بَادِياً صَدْرُهُ مِنَ الصَّفِّ ، فَقَالَ : (( عِبَادَ اللهِ ، لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ ، أو لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ ))
An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‘Hendaklah kalian meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah akan menyel
isihkan di antara wajah-wajah kalian.’” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, 717 dan Muslim, no. 436].
Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa meluruskan shaf-shaf kami sampai seolah-olah beliau sedang meluruskan gelas sehingga beliau melihat bahwa kami telah mengerti. Kemudian pada suatu hari, beliau keluar. Lantas beliau berdiri. Lalu saat hampir bertakbir, beliau melihat seseorang pada dadanya maju dari shaf, maka beliau berkata, ‘Wahai hamba-hamba Allah, luruskanlah shaf kalian atau Allah akan menyelisihkan di antara wajah-wajah kalian.’”
Hadits kelima (Hadits #1090)
وَعَنِ البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَتَخَلَّلُ الصَّفَّ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَى نَاحِيَةٍ ، يَمْسَحُ صُدُورَنَا وَمَنَاكِبَنَا ، وَيَقُولُ : (( لاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ )) وَكَانَ يَقُولُ : (( إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الأَوَّلِ )) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ
Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memeriksa shaf dari satu sisi ke sisi yang lain. Beliau mengusap dada dan pundak kami seraya berkata, ‘Janganlah kalian berselisih sehingga berselisihlah pula hati kalian.’ Beliau biasa mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya (memberikan rahmat dan memintakan ampun) atas shaf-shaf yang pertama.” (HR. Abu Daud, sanadnya hasan) [HR. Abu Daud, no. 664; An-Nasa’i, no. 812. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih].
Hadits keenam (Hadits #1091)
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنهُمَا : أَنَّ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( أَقِيْمُوا الصُّفُوفَ ، وَحَاذُوا بَيْنَ المَنَاكِبِ ، وَسُدُّوا الخَلَلَ ، وَلِيَنُوا بِأيْدِي إِخْوَانِكُمْ ، وَلاَ تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ ، وَمَنْ وَصَلَ صَفّاً وَصَلَهُ اللهُ ، وَمَنْ قَطَعَ صَفّاً قَطَعَهُ اللهُ )) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Luruskanlah shaf-shaf kalian, ratakanlah pundak-pundak kalian, isilah shaf yang kosong, bersikap lemah lembutlah terhadap tangan-tangan saudara kalian, dan janganlah kalian biarkan shaf kosong untuk diisi setan. Barangsiapa yang menyambungkan shaf, Allah pasti akan menyambungkannya dan barangsiapa yang memutuskan shaf, Allah pasti akan memutuskannya.” (HR. Abu Daud, sanadnya hasan) [HR. Abu Daud, no. 666; An-Nasa’i, no. 820. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan].
Hadits ketujuh (Hadits #1092)
وَعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( رُصُّوا صُفُوفَكُمْ ، وَقَارِبُوا بَيْنَهَا ، وَحَاذُوا بِالأعْنَاقِ؛ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إنِّي لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ ، كَأَنَّهَا الحَذَفُ )) حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ رَوَاهُ أبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ .(( الحَذَفُ )) بِحَاءِ مُهْمَلَةٍ وَذَالٍ مُعْجَمَةٍ مَفْتُوْحَتَيْنِ ثُمَّ فَاء وَهِيَ : غَنَمٌ سُودٌ صِغَارٌ تَكُونُ بِاليَمَنِ .
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rapatkanlah shaf kalian, dekatkanlah di antara shaf-shaf, dan sejajarkanlah tengkuk-tengkuk kalian. Demi Allah yang diriku ada pada tangan-Nya, sesungguhnya aku melihat setan masuk ke sela-sela shaf, seperti domba kecil.” (HR. Abu Daud, shahih dengan sanad sesuai syarat Muslim). Al-Hadzaf adalah domba hitam kecil yang hidup di Yaman. [HR. Abu Daud, no. 667 dan An-Nasa’i, no. 816. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih]
Hadits kedelapan (Hadits #1093)
وَعَنْهُ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( أتِمُّوا الصَّفَّ المُقَدَّمَ ، ثُمَّ الَّذِي يَلِيهِ ، فَمَا كَانَ مِنْ نَقْصٍ فَلْيَكُنْ في الصَّفِّ المُؤَخَّرِ )) رواه أبُو دَاوُدَ بإسناد حسن
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sempurnakanlah shaf depan, kemudian yang selanjutnya. Jika masih ada yang kurang, jadikanlah di shaf b
elakang.” (HR. Abu Daud dengan sanad sahih) [HR. Abu Daud, no. 671 dan An-Nasa’i, no. 819. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih].
*Hukum meluruskan dan merapatkan shaf*
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Tidak lurusnya shaf akan menimbulkan permusuhan dan kebencian, serta perselisihan antar hati orang yang shalat.” (Syarh Shahih Muslim, 4:157)
Dalam Ensiklopedia Fikih disebutkan, “Mayoritas ulama berpandangan bahwa dianjurkan meluruskan shalat dalam shalat berjamaah, maksudnya adalah tidak boleh satu jamaah lebih di depan dari jamaah lainnya. Orang yang akan melaksanakan shalat membuat shaf jadi lurus dalam satu baris dengan shaf dirapatkan. Rapatnya shaf adalah dengan mendekatkan pundak yang satu dan lainnya, telapak kaki yang satu dan lainnya, mata kaki yang satu dan lainnya, sampai-sampai dalam shaf tidak dibuat ada celah. Imam disunnahkan memerintahkan pada jamaah sebagaimana perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Luruskanlah dan rapatkanlah shaf, karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat’.” (Al-Mawsu’ah Al-Kuwaitiyyah, 27:35)
Masih dalam kitab yang sama, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah menyebutkan bahwa hukum shaf yang lurus adalah wajib. Namun shaf yang tidak lurus dihukumi sah. Shalat yang telah dilakukan dalam keadaan seperti itu tidak perlu diulangi. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Kuwaitiyyah, 27:36.
*Cara meluruskan shaf*
Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily menerangkan,
“Imam disarankan untuk meluruskan shaf-shaf yang ada sebelum melakukan takbiratul ihram. Imam hendaklah menyuruh makmum di belakangnya untuk meluruskan shaf sebelum masuk takbiratul ihram. Jika masjid berukuran besar, imam dianjurkan menyuruh orang lain untuk meluruskan shaf dengan cara mengelilingi shaf-shaf yang ada atau orang yang diperintah tadi menghimbau yang lainnya untuk meluruskan shaf. Setiap yang hadir shalat berjamaah hendaklah mengajak yang lain meluruskan shaf. Perbuatan seperti ini termasuk amar makruf nahi mungkar, juga termasuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Sebagaimana diketahui, shaf yang lurus merupakan kesempurnaan shalat.”
Az-Zuhaily, semoga Allah menjaga beliau, melanjutkan,
“Yang dimaksud meluruskan shaf adalah menyempurnakan shaf yang pertama lalu shaf yang berikutnya. Termasuk juga meluruskan shaf adalah menutup shaf yang masih kosong. Shaf yang lurus akan terlihat rata dan posisi badan yang satu tidak maju dari yang lainnya. Shaf kedua barulah diisi ketika shaf pertama terisi penuh. Jamaah tidak boleh berdiri pada shaf yang baru sebelum shaf pertama diisi.” (Lihat bahasan beliau dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:439).
*Apa yang dimaksud menempelkan bahu dengan bahu rekannya?*
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menyatakan bahwa kalimat “menempelkan bahu pada bahu lainnya dan telapak kaki pada telapak kaki lainnya”, maksudnya adalah benar-benar shaf itu dibuat lurus dan celah shaf itu ditutup. Kalimat semacam ini disebut dengan kalimat mubalaghah. Ada perintah dalam hadits lainnya untuk menutup celah shaf. Dalam banyak hadits ada anjuran demikian pula, di antaranya terkumpul dalam hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, di mana hadits tersebut disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Lafal hadits yang dimaksud adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَقِيمُوا الصُّفُوفَ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفًا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ“
"Luruskanlah shaf, rapatkanlah antara pundak, tutuplah celah shaf, dan janganlah biarkan celah shaf untuk setan. Siapa yang menyambung shaf, maka Allah menyambungnya. Siapa yang memotong shaf, maka Allah memotongnya.” (Fath Al-Bari, 2:211)
*Merapatkan apakah dengan menempelkan telapak kaki?*
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
“Yang tepat dan terpercaya, shaf yang lurus adalah shaf yang antara mata kaki itu lurus, bukan antara ujung jari yang lurus. Tubuh kita memiliki mata kaki. Jari-jari yang ada berbeda sesuai dengan bentuk telapak kaki. Telapak kaki ada y
ang panjang dan telapak kaki yang pendek, sehingga keduanya dibuat sama lurus tidaklah mungkin. Yang bisa dibuat sama adalah lurusnya mata kaki. Adapun menempelkan kedua mata kaki antara jamaah, hadits tentang hal ini ada dari para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Dahulu mereka meluruskan shaf dengan menempelkan mata kaki antara satu dan lainnya. Namun tujuan menempelkan di sini adalah untuk membuat shaf menjadi lurus. Yang dimaksud menempelkan di sini bukanlah harus benar-benar menempel dan menjaganya sampai akhir shalat seperti itu. Sebagian orang melakukan tindakan ekstrim dengan menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, akhirnya kedua telapak kakinya sendiri terbuka lebar dan antara pundak mereka terdapat celah besar. Padahal yang dimaksud adalah antara pundak dan mata kaki itu dibuat lurus.” (Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dikumpulkan oleh Asyraf ‘Abdur Rahim, 1:436-437)
Syaikh Ibnu Jibrin rahimahullah juga menjelaskan hal yang sama dengan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Syaikh Ibnu Jibrin menjelaskan kalimat dari Ibnu Hajar yang dinukilkan di atas, lalu beliau berkata,
“Yang dimaksudkan menempelkan pundak dan telapak kaki adalah untuk meluruskan shaf, lalu dekatnya satu jamaah dan lainnya. Yang dimaksud menempelkan bukanlah benar-benar menempel. Pundak satu dan lainnya bisa saja saling menyentuh. Adapun kaki dan lutut tidak mungkin menempel. Karena karena terlalu menempel dan terlalu rapat antara jamaah malah saling menyakiti. Yang dimaksudkan hadits adalah merapatkan shaf dan menutup celah shaf sehingga tidak dimasuki oleh setan.”
Dua fatwa di atas dinukil dari Website Multaqa Ahlil Hadits.
*Kesimpulan dari bahasan meluruskan dan merapatkan shaf*
Hukum meluruskan shaf adalah sunnah menurut jumhur ulama. Ulama yang menyatakan wajib, seperti Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, tidak menganggapnya sebagai syarat sah shalat.
Shaf yang lurus didapati dari shaf yang rapat. Cara meluruskan shaf adalah dengan mendekatkan mata kaki dan pundak. Jika shaf yang lurus dihukumi sunnah, shaf yang rapat berarti dihukumi sunnah pula.
Maksud shahabat dengan menempelkan pundak dan telapak kaki adalah mendekatkan, bukan saling menyakiti satu dan lainnya.
Bagaimana jika baris shaf saling berjauhan?
Syaikh Khalid Al-Musyaiqih hafizhahullah menyatakan,
“Baris shaf itu disunnahkan saling berdekatan jarak antara shaf depan dan belakang, sekadar jarak di mana seseorang bisa sujud dalam shalat. Namun jika dibutuhkan, dikhawatirkan akan penyakit menular, atau sebab lainnya, shaf depan dan belakangnya dibuat lebih lebar. Jika ada yang shalat sendirian di belakang shaf, itu juga dibolehkan ketika mendesak. Ibnu Taimiyyah rahimahullah sendiri menganggap bahwa membentuk satu baris shaf (al-mushaffah) itu wajib. Namun, beliau rahimahullah membolehkan tidak dibuat barisan shaf ketika mendesak. Contoh keadaan mendesak di sini adalah adanya penyakit menular. Akhirnya ada yang melaksanakan shalat sendirian di belakang shaf, shalat seperti itu sah. Jika tidak kondisi mendesak, barisan shaf mesti dibentuk. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits ‘Ali bin Syaiban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak ada shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya.” (Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 17).
*Afdal mana, meninggalkan shalat berjamaah di masjid ataukah tetap shalat berjamaah dan shafnya saling berjauhan?*
Ada beberapa poin yang bisa dipahami:
Pertama, hukum shalat berjamaah itu wajib sebagaimana pendapat dalam madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi seorang lelaki buta. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki seorang penuntun yang menuntunku ke masjid.’ Maka ia meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendapatkan keringanan sehingga dapat shalat di rumahnya. Pada awalnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya keringanan tersebut. Ketika orang itu mau berbalik, beliau memanggilnya, lalu berkata kepada
nya, هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ ؟‘ Apakah engkau mendengar panggilan shalat?’ Ia menjawab, نَعَمْ‘ Ya.’ Beliau bersabda,فَأجِب ْ ‘Penuhilah panggilan adzan tersebut.’” (HR. Muslim, no. 503)
Kedua, jika mendapati udzur, shalat berjamaah bisa gugur termasuk saat wabah corona ini melanda. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit, beliau tidak melakukan shalat berjamaah. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan,
مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ“
"Perintahkanlah kepada Abu Bakar untuk memimpin shalat.” (HR. Bukhari, no. 664 dan Muslim, no. 418)
Ada kaedah fikih yang berbunyi,
المشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ
“Kesulitan mendatangkan kemudahan.”
Atau seperti ibarat yang diungkapkan oleh Imam Asy Syafi’i dalam Al-Umm,
إِذَا ضَاقَ الأَمْرُ اِتَّسَعَ
“Jika perkara itu sempit, datanglah kelapangan.”Dalil dari kaedah di atas adalah firman Allah,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16)
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، ولَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أحَدٌ إلَّا غَلَبَهُ
“Sesungguhnya agama itu mudah. Orang yang memperberat diri dalam beragama, dialah yang akan kalah.” (HR. Bukhari, no. 39)
Ketiga, ada yang menyatakan, “Wabah juga muncul di masa silam namun tidak ada peniadaan shalat berjamaah.”
Jawaban: Kalimat ini perlu ditinjau ulang. Karena wabah virus corona yang saat ini ada berbeda dengan wabah di masa silam. Para pakar menilai bahwa virus ini benar-benar berbahaya. Virus ini bisa menyebar begitu cepat. Bahkan dari orang yang sehat dan kuat pun bisa terkena virus ini, walaupun ia tidak merasakan gejala apa-apa. Fatwa itu akan berbeda sesuai zaman dan tempat masing-masing.
Lihat sanggahan dari Syaikh Khalid Al-Musyaiqih dalam Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 13-14.
Keempat, jika ada yang shalat di rumah padahal sudah terbiasa shalat berjamaah, ia tetap dicatat pahala sempurna di sisi Allah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا“
Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996)
Dari hadits itu, Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan,
وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ كَانَ يَعْمَل طَاعَة فَمَنَعَ مِنْهَا وَكَانَتْ نِيَّته لَوْلَا الْمَانِع أَنْ يَدُوم عَلَيْهَا
“Hadits di atas berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas terhalang dari melakukannya. Padahal ia sudah punya niatan kalau tidak ada yang menghalangi, amalan tersebut akan dijaga rutin.” (Fath Al-Bari, 6:136)
*Kesimpulan*
Lebih afdal shalat di rumah daripada shalat di masjid dengan pertimbangan bahayanya virus corona ini:
Bahayanya virus corona seperti penyakit pernapasan lainnya, infeksi covid-19 dapat menyebabkan gejala ringan seperti: demam, batuk, pilek, gangguan pernapasan, sakit tenggorokan, letih, dan lesu.
Kondisi ini bisa menjadi lebih parah bagi beberapa orang dan dapat menyebabkan pneumonia atau kesulitan bernafas.Orang tua dan orang-orang yang mempunyai riwayat medis sebelumnya, seperti diabetes dan penyakit jantung, lebih rentan mengalami kondisi parah jika terkena virus corona.
Salah satu penyebab virus sulit dikendalikan adalah silent carrier corona. Silent carrier corona adalah orang yang memiliki atau terinfeksi virus corona tetapi tidak bergejala, alias asimtompatis, terlihat seperti orang sehat, tidak merasa sakit atau memiliki gejala yang sangat ringan, tetapi bisa menyebabkan orang lain tertular penyakit. (Sumber: Kompas dan CNN Indonesia)
Saran penulis
Karena pertimbangan inilah, shalat di rumah lebih disarankan dibandingkan shalat di masjid walaupun dengan jarak shaf dib
uat satu meter (dengan anggapan shaf yang tidak rapat tetap sah), walaupun juga sebelum masuk masjid ada penyemprotan disinfektan. Ini akan sesuai dengan saran pemerintah dan MUI untuk #DiRumahAja. Saran #DiRumahAja dari pemerintah dan MUI kita sudah menunjukkan bahwa mereka menyayangi rakyat Indonesia, agar tidak terus berjatuhan korban karena yang positif corona sudah mencapai empat digit (di atas 1.000).
Semoga Allah segera mengangkat musibah wabah ini dari negeri kita tercinta. Moga badai segera berlalu.
•┈┈┈┈•◈◉✹❒❒✹◉◈•┈┈┈┈•
Referensi:
Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna. Prof. Dr. Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih. (File PDF)
Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman.Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.
Ash-Shalah wa Hukmu Taarikiha. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Penerbit Dar Al-Imam Ahmad.
Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari. Cetakan Keempat. Tahun 1432 H. Ibnu Hajar Al-Asqalani. Penerbit Dar Ath-Thiybah.
Referensi web:
Website Multaqa Ahlil Hadeeth, http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=9912,
Website CNN Inonesia, https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200324133443-255-486436/mengenal-carrier-si-pembawa-penyakit-yang-tak-jatuh-sakit,
Website KOMPAS, https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/13/090400365/serial-infografik-virus-corona–seberapa-bahayairus-corona-,
Darush Sholihin, 4 Syakban 1441 H / Sabtu, 28 Maret 2020
_✍ Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc
Sumber: rumaysho.com
https://surautv.id/hukum-shalat-berjamaah-dengan-jarak-antara-jamaah-satu-meter/
•┈┈┈┈•◈◉✹❒❒✹◉◈•┈┈┈┈•
Bagaimana hukum shalat berjamah dengan jarak antara jamaah satu meter seperti saat wabah virus covid-19 (virus corona) melanda negeri kita ini?
Beberapa masjid masih menyelenggarakan shalat, baris shaf antara jamaah dibuat dengan selisih jarak satu meter. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang hal ini?
Rumaysho.Com bagi artikel kali ini dalam beberapa poin pembahasan.
*Dalil yang membicarakan meluruskan dan merapatkan shaf*
Imam Nawawi rahimahullah dalam Riyadhus Sholihin membicarakan lima belas hadits dalam judul bab “Keutamaan Shaf Pertama dan Perintah untuk Menyempurnakan Shaf Pertama, Meluruskan, dan Merapatkannya”.
Dalil-dalil yang dibawakan oleh Imam Nawawi dalam bab di atas yang terkait dengan bahasan ini ada delapan dalil.
Hadits pertama (Hadits #1086)
وَعَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِي الصَّلاَةِ ، وَيَقُولُ : (( اِسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ ، لِيَلِيَنِي مِنْكُمْ أُولُو الأَحْلاَمِ وَالنُّهَى ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ )) رَوَاهُ مُسلِمٌ
Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengusap pundak-pundak kami ketika shalat dan berkata, “Luruskanlah dan janganlah berselisih, lalu berselisihlah pula hati kalian. Hendaklah orang-orang yang dewasa dan berakal (yang punya keutamaan) dekat denganku (dekat dengan imam), lalu diikuti orang-orang setelah mereka, lalu orang-orang setelah mereka.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 432].
Hadits kedua (Hadits #1087)
وَعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( سَوُّوا صُفُوفَكُمْ ؛ فَإنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِي : (( فَإنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إقَامَةِ الصَّلاَةِ )) .
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Luruskanlah shaf-shaf kalian karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 723 dan Muslim, no. 433].Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Karena lurusnya shaf termasuk mendirikan shalat.”
Hadits ketiga (Hadits #1088)
وَعَنْهُ ، قَالَ : أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَأقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِوَجْهِهِ ، فَقَالَ : (( أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا ؛ فَإنِّي أرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي )) رَوَاهُ البُخَارِيُّ بِلَفْظِهِ ، وَمُسْلِمٌ بِمَعْنَاهُ .وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِي: وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ.
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Iqamah shalat telah dikumandangkan, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap kami kemudian berkata, ‘Luruskanlah dan rapatkanlah shaf-shaf kalian karena aku dapat melihat kalian dari belakang punggungku.’” (HR. Bukhari dengan lafazhnya, sedangkan diriwayatkan oleh Imam Muslim secara makna) [HR. Bukhari, no. 719 dan Muslim, no. 434].Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Salah seorang dari kami menempelkan bahunya dengan bahu rekannya dan telapak kakinya dengan telapak kaki rekannya.”
Hadits keempat (Hadits #1089)
وَعَنِ النُّعْمَانَ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، يَقُوْلُ : (( لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ ، أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : أَنَّ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يُسَوِّي صُفُوفَنَا ، حَتَّى كَأنَّمَا يُسَوِّي بِهَا القِدَاحَ حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ ، ثُمَّ خَرَجَ يَوماً فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ ، فَرَأَى رَجُلاً بَادِياً صَدْرُهُ مِنَ الصَّفِّ ، فَقَالَ : (( عِبَادَ اللهِ ، لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ ، أو لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ ))
An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‘Hendaklah kalian meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah akan menyel
isihkan di antara wajah-wajah kalian.’” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, 717 dan Muslim, no. 436].
Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa meluruskan shaf-shaf kami sampai seolah-olah beliau sedang meluruskan gelas sehingga beliau melihat bahwa kami telah mengerti. Kemudian pada suatu hari, beliau keluar. Lantas beliau berdiri. Lalu saat hampir bertakbir, beliau melihat seseorang pada dadanya maju dari shaf, maka beliau berkata, ‘Wahai hamba-hamba Allah, luruskanlah shaf kalian atau Allah akan menyelisihkan di antara wajah-wajah kalian.’”
Hadits kelima (Hadits #1090)
وَعَنِ البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَتَخَلَّلُ الصَّفَّ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَى نَاحِيَةٍ ، يَمْسَحُ صُدُورَنَا وَمَنَاكِبَنَا ، وَيَقُولُ : (( لاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ )) وَكَانَ يَقُولُ : (( إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الأَوَّلِ )) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ
Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memeriksa shaf dari satu sisi ke sisi yang lain. Beliau mengusap dada dan pundak kami seraya berkata, ‘Janganlah kalian berselisih sehingga berselisihlah pula hati kalian.’ Beliau biasa mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya (memberikan rahmat dan memintakan ampun) atas shaf-shaf yang pertama.” (HR. Abu Daud, sanadnya hasan) [HR. Abu Daud, no. 664; An-Nasa’i, no. 812. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih].
Hadits keenam (Hadits #1091)
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنهُمَا : أَنَّ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( أَقِيْمُوا الصُّفُوفَ ، وَحَاذُوا بَيْنَ المَنَاكِبِ ، وَسُدُّوا الخَلَلَ ، وَلِيَنُوا بِأيْدِي إِخْوَانِكُمْ ، وَلاَ تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ ، وَمَنْ وَصَلَ صَفّاً وَصَلَهُ اللهُ ، وَمَنْ قَطَعَ صَفّاً قَطَعَهُ اللهُ )) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Luruskanlah shaf-shaf kalian, ratakanlah pundak-pundak kalian, isilah shaf yang kosong, bersikap lemah lembutlah terhadap tangan-tangan saudara kalian, dan janganlah kalian biarkan shaf kosong untuk diisi setan. Barangsiapa yang menyambungkan shaf, Allah pasti akan menyambungkannya dan barangsiapa yang memutuskan shaf, Allah pasti akan memutuskannya.” (HR. Abu Daud, sanadnya hasan) [HR. Abu Daud, no. 666; An-Nasa’i, no. 820. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan].
Hadits ketujuh (Hadits #1092)
وَعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( رُصُّوا صُفُوفَكُمْ ، وَقَارِبُوا بَيْنَهَا ، وَحَاذُوا بِالأعْنَاقِ؛ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إنِّي لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ ، كَأَنَّهَا الحَذَفُ )) حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ رَوَاهُ أبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ .(( الحَذَفُ )) بِحَاءِ مُهْمَلَةٍ وَذَالٍ مُعْجَمَةٍ مَفْتُوْحَتَيْنِ ثُمَّ فَاء وَهِيَ : غَنَمٌ سُودٌ صِغَارٌ تَكُونُ بِاليَمَنِ .
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rapatkanlah shaf kalian, dekatkanlah di antara shaf-shaf, dan sejajarkanlah tengkuk-tengkuk kalian. Demi Allah yang diriku ada pada tangan-Nya, sesungguhnya aku melihat setan masuk ke sela-sela shaf, seperti domba kecil.” (HR. Abu Daud, shahih dengan sanad sesuai syarat Muslim). Al-Hadzaf adalah domba hitam kecil yang hidup di Yaman. [HR. Abu Daud, no. 667 dan An-Nasa’i, no. 816. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih]
Hadits kedelapan (Hadits #1093)
وَعَنْهُ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( أتِمُّوا الصَّفَّ المُقَدَّمَ ، ثُمَّ الَّذِي يَلِيهِ ، فَمَا كَانَ مِنْ نَقْصٍ فَلْيَكُنْ في الصَّفِّ المُؤَخَّرِ )) رواه أبُو دَاوُدَ بإسناد حسن
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sempurnakanlah shaf depan, kemudian yang selanjutnya. Jika masih ada yang kurang, jadikanlah di shaf b
elakang.” (HR. Abu Daud dengan sanad sahih) [HR. Abu Daud, no. 671 dan An-Nasa’i, no. 819. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih].
*Hukum meluruskan dan merapatkan shaf*
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Tidak lurusnya shaf akan menimbulkan permusuhan dan kebencian, serta perselisihan antar hati orang yang shalat.” (Syarh Shahih Muslim, 4:157)
Dalam Ensiklopedia Fikih disebutkan, “Mayoritas ulama berpandangan bahwa dianjurkan meluruskan shalat dalam shalat berjamaah, maksudnya adalah tidak boleh satu jamaah lebih di depan dari jamaah lainnya. Orang yang akan melaksanakan shalat membuat shaf jadi lurus dalam satu baris dengan shaf dirapatkan. Rapatnya shaf adalah dengan mendekatkan pundak yang satu dan lainnya, telapak kaki yang satu dan lainnya, mata kaki yang satu dan lainnya, sampai-sampai dalam shaf tidak dibuat ada celah. Imam disunnahkan memerintahkan pada jamaah sebagaimana perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Luruskanlah dan rapatkanlah shaf, karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat’.” (Al-Mawsu’ah Al-Kuwaitiyyah, 27:35)
Masih dalam kitab yang sama, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah menyebutkan bahwa hukum shaf yang lurus adalah wajib. Namun shaf yang tidak lurus dihukumi sah. Shalat yang telah dilakukan dalam keadaan seperti itu tidak perlu diulangi. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Kuwaitiyyah, 27:36.
*Cara meluruskan shaf*
Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily menerangkan,
“Imam disarankan untuk meluruskan shaf-shaf yang ada sebelum melakukan takbiratul ihram. Imam hendaklah menyuruh makmum di belakangnya untuk meluruskan shaf sebelum masuk takbiratul ihram. Jika masjid berukuran besar, imam dianjurkan menyuruh orang lain untuk meluruskan shaf dengan cara mengelilingi shaf-shaf yang ada atau orang yang diperintah tadi menghimbau yang lainnya untuk meluruskan shaf. Setiap yang hadir shalat berjamaah hendaklah mengajak yang lain meluruskan shaf. Perbuatan seperti ini termasuk amar makruf nahi mungkar, juga termasuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Sebagaimana diketahui, shaf yang lurus merupakan kesempurnaan shalat.”
Az-Zuhaily, semoga Allah menjaga beliau, melanjutkan,
“Yang dimaksud meluruskan shaf adalah menyempurnakan shaf yang pertama lalu shaf yang berikutnya. Termasuk juga meluruskan shaf adalah menutup shaf yang masih kosong. Shaf yang lurus akan terlihat rata dan posisi badan yang satu tidak maju dari yang lainnya. Shaf kedua barulah diisi ketika shaf pertama terisi penuh. Jamaah tidak boleh berdiri pada shaf yang baru sebelum shaf pertama diisi.” (Lihat bahasan beliau dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:439).
*Apa yang dimaksud menempelkan bahu dengan bahu rekannya?*
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menyatakan bahwa kalimat “menempelkan bahu pada bahu lainnya dan telapak kaki pada telapak kaki lainnya”, maksudnya adalah benar-benar shaf itu dibuat lurus dan celah shaf itu ditutup. Kalimat semacam ini disebut dengan kalimat mubalaghah. Ada perintah dalam hadits lainnya untuk menutup celah shaf. Dalam banyak hadits ada anjuran demikian pula, di antaranya terkumpul dalam hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, di mana hadits tersebut disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Lafal hadits yang dimaksud adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَقِيمُوا الصُّفُوفَ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفًا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ“
"Luruskanlah shaf, rapatkanlah antara pundak, tutuplah celah shaf, dan janganlah biarkan celah shaf untuk setan. Siapa yang menyambung shaf, maka Allah menyambungnya. Siapa yang memotong shaf, maka Allah memotongnya.” (Fath Al-Bari, 2:211)
*Merapatkan apakah dengan menempelkan telapak kaki?*
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
“Yang tepat dan terpercaya, shaf yang lurus adalah shaf yang antara mata kaki itu lurus, bukan antara ujung jari yang lurus. Tubuh kita memiliki mata kaki. Jari-jari yang ada berbeda sesuai dengan bentuk telapak kaki. Telapak kaki ada y
ang panjang dan telapak kaki yang pendek, sehingga keduanya dibuat sama lurus tidaklah mungkin. Yang bisa dibuat sama adalah lurusnya mata kaki. Adapun menempelkan kedua mata kaki antara jamaah, hadits tentang hal ini ada dari para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Dahulu mereka meluruskan shaf dengan menempelkan mata kaki antara satu dan lainnya. Namun tujuan menempelkan di sini adalah untuk membuat shaf menjadi lurus. Yang dimaksud menempelkan di sini bukanlah harus benar-benar menempel dan menjaganya sampai akhir shalat seperti itu. Sebagian orang melakukan tindakan ekstrim dengan menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, akhirnya kedua telapak kakinya sendiri terbuka lebar dan antara pundak mereka terdapat celah besar. Padahal yang dimaksud adalah antara pundak dan mata kaki itu dibuat lurus.” (Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dikumpulkan oleh Asyraf ‘Abdur Rahim, 1:436-437)
Syaikh Ibnu Jibrin rahimahullah juga menjelaskan hal yang sama dengan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Syaikh Ibnu Jibrin menjelaskan kalimat dari Ibnu Hajar yang dinukilkan di atas, lalu beliau berkata,
“Yang dimaksudkan menempelkan pundak dan telapak kaki adalah untuk meluruskan shaf, lalu dekatnya satu jamaah dan lainnya. Yang dimaksud menempelkan bukanlah benar-benar menempel. Pundak satu dan lainnya bisa saja saling menyentuh. Adapun kaki dan lutut tidak mungkin menempel. Karena karena terlalu menempel dan terlalu rapat antara jamaah malah saling menyakiti. Yang dimaksudkan hadits adalah merapatkan shaf dan menutup celah shaf sehingga tidak dimasuki oleh setan.”
Dua fatwa di atas dinukil dari Website Multaqa Ahlil Hadits.
*Kesimpulan dari bahasan meluruskan dan merapatkan shaf*
Hukum meluruskan shaf adalah sunnah menurut jumhur ulama. Ulama yang menyatakan wajib, seperti Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, tidak menganggapnya sebagai syarat sah shalat.
Shaf yang lurus didapati dari shaf yang rapat. Cara meluruskan shaf adalah dengan mendekatkan mata kaki dan pundak. Jika shaf yang lurus dihukumi sunnah, shaf yang rapat berarti dihukumi sunnah pula.
Maksud shahabat dengan menempelkan pundak dan telapak kaki adalah mendekatkan, bukan saling menyakiti satu dan lainnya.
Bagaimana jika baris shaf saling berjauhan?
Syaikh Khalid Al-Musyaiqih hafizhahullah menyatakan,
“Baris shaf itu disunnahkan saling berdekatan jarak antara shaf depan dan belakang, sekadar jarak di mana seseorang bisa sujud dalam shalat. Namun jika dibutuhkan, dikhawatirkan akan penyakit menular, atau sebab lainnya, shaf depan dan belakangnya dibuat lebih lebar. Jika ada yang shalat sendirian di belakang shaf, itu juga dibolehkan ketika mendesak. Ibnu Taimiyyah rahimahullah sendiri menganggap bahwa membentuk satu baris shaf (al-mushaffah) itu wajib. Namun, beliau rahimahullah membolehkan tidak dibuat barisan shaf ketika mendesak. Contoh keadaan mendesak di sini adalah adanya penyakit menular. Akhirnya ada yang melaksanakan shalat sendirian di belakang shaf, shalat seperti itu sah. Jika tidak kondisi mendesak, barisan shaf mesti dibentuk. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits ‘Ali bin Syaiban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak ada shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya.” (Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 17).
*Afdal mana, meninggalkan shalat berjamaah di masjid ataukah tetap shalat berjamaah dan shafnya saling berjauhan?*
Ada beberapa poin yang bisa dipahami:
Pertama, hukum shalat berjamaah itu wajib sebagaimana pendapat dalam madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi seorang lelaki buta. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki seorang penuntun yang menuntunku ke masjid.’ Maka ia meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendapatkan keringanan sehingga dapat shalat di rumahnya. Pada awalnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya keringanan tersebut. Ketika orang itu mau berbalik, beliau memanggilnya, lalu berkata kepada
nya, هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ ؟‘ Apakah engkau mendengar panggilan shalat?’ Ia menjawab, نَعَمْ‘ Ya.’ Beliau bersabda,فَأجِب ْ ‘Penuhilah panggilan adzan tersebut.’” (HR. Muslim, no. 503)
Kedua, jika mendapati udzur, shalat berjamaah bisa gugur termasuk saat wabah corona ini melanda. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit, beliau tidak melakukan shalat berjamaah. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan,
مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ“
"Perintahkanlah kepada Abu Bakar untuk memimpin shalat.” (HR. Bukhari, no. 664 dan Muslim, no. 418)
Ada kaedah fikih yang berbunyi,
المشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ
“Kesulitan mendatangkan kemudahan.”
Atau seperti ibarat yang diungkapkan oleh Imam Asy Syafi’i dalam Al-Umm,
إِذَا ضَاقَ الأَمْرُ اِتَّسَعَ
“Jika perkara itu sempit, datanglah kelapangan.”Dalil dari kaedah di atas adalah firman Allah,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16)
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، ولَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أحَدٌ إلَّا غَلَبَهُ
“Sesungguhnya agama itu mudah. Orang yang memperberat diri dalam beragama, dialah yang akan kalah.” (HR. Bukhari, no. 39)
Ketiga, ada yang menyatakan, “Wabah juga muncul di masa silam namun tidak ada peniadaan shalat berjamaah.”
Jawaban: Kalimat ini perlu ditinjau ulang. Karena wabah virus corona yang saat ini ada berbeda dengan wabah di masa silam. Para pakar menilai bahwa virus ini benar-benar berbahaya. Virus ini bisa menyebar begitu cepat. Bahkan dari orang yang sehat dan kuat pun bisa terkena virus ini, walaupun ia tidak merasakan gejala apa-apa. Fatwa itu akan berbeda sesuai zaman dan tempat masing-masing.
Lihat sanggahan dari Syaikh Khalid Al-Musyaiqih dalam Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 13-14.
Keempat, jika ada yang shalat di rumah padahal sudah terbiasa shalat berjamaah, ia tetap dicatat pahala sempurna di sisi Allah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا“
Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996)
Dari hadits itu, Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan,
وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ كَانَ يَعْمَل طَاعَة فَمَنَعَ مِنْهَا وَكَانَتْ نِيَّته لَوْلَا الْمَانِع أَنْ يَدُوم عَلَيْهَا
“Hadits di atas berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas terhalang dari melakukannya. Padahal ia sudah punya niatan kalau tidak ada yang menghalangi, amalan tersebut akan dijaga rutin.” (Fath Al-Bari, 6:136)
*Kesimpulan*
Lebih afdal shalat di rumah daripada shalat di masjid dengan pertimbangan bahayanya virus corona ini:
Bahayanya virus corona seperti penyakit pernapasan lainnya, infeksi covid-19 dapat menyebabkan gejala ringan seperti: demam, batuk, pilek, gangguan pernapasan, sakit tenggorokan, letih, dan lesu.
Kondisi ini bisa menjadi lebih parah bagi beberapa orang dan dapat menyebabkan pneumonia atau kesulitan bernafas.Orang tua dan orang-orang yang mempunyai riwayat medis sebelumnya, seperti diabetes dan penyakit jantung, lebih rentan mengalami kondisi parah jika terkena virus corona.
Salah satu penyebab virus sulit dikendalikan adalah silent carrier corona. Silent carrier corona adalah orang yang memiliki atau terinfeksi virus corona tetapi tidak bergejala, alias asimtompatis, terlihat seperti orang sehat, tidak merasa sakit atau memiliki gejala yang sangat ringan, tetapi bisa menyebabkan orang lain tertular penyakit. (Sumber: Kompas dan CNN Indonesia)
Saran penulis
Karena pertimbangan inilah, shalat di rumah lebih disarankan dibandingkan shalat di masjid walaupun dengan jarak shaf dib
uat satu meter (dengan anggapan shaf yang tidak rapat tetap sah), walaupun juga sebelum masuk masjid ada penyemprotan disinfektan. Ini akan sesuai dengan saran pemerintah dan MUI untuk #DiRumahAja. Saran #DiRumahAja dari pemerintah dan MUI kita sudah menunjukkan bahwa mereka menyayangi rakyat Indonesia, agar tidak terus berjatuhan korban karena yang positif corona sudah mencapai empat digit (di atas 1.000).
Semoga Allah segera mengangkat musibah wabah ini dari negeri kita tercinta. Moga badai segera berlalu.
•┈┈┈┈•◈◉✹❒❒✹◉◈•┈┈┈┈•
Referensi:
Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna. Prof. Dr. Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih. (File PDF)
Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman.Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.
Ash-Shalah wa Hukmu Taarikiha. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Penerbit Dar Al-Imam Ahmad.
Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari. Cetakan Keempat. Tahun 1432 H. Ibnu Hajar Al-Asqalani. Penerbit Dar Ath-Thiybah.
Referensi web:
Website Multaqa Ahlil Hadeeth, http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=9912,
Website CNN Inonesia, https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200324133443-255-486436/mengenal-carrier-si-pembawa-penyakit-yang-tak-jatuh-sakit,
Website KOMPAS, https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/13/090400365/serial-infografik-virus-corona–seberapa-bahayairus-corona-,
Darush Sholihin, 4 Syakban 1441 H / Sabtu, 28 Maret 2020
_✍ Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc
Sumber: rumaysho.com
https://surautv.id/hukum-shalat-berjamaah-dengan-jarak-antara-jamaah-satu-meter/
•┈┈┈┈•◈◉✹❒❒✹◉◈•┈┈┈┈•
Jumat, 24 April 2020
🔎 SHOLAT ISYRAQ DI RUMAH SAAT WABAH MELANDA
🔎 SHOLAT ISYRAQ DI RUMAH SAAT WABAH MELANDA
┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈
✒ Oleh Ustadz *Muhammad Abduh Tuasikal, MSc*
Kita tahu bagaimana keutamaan shalat isyraq. Apakah boleh melakukannya di rumah saat wabah seperti saat ini?
*》Dari Abu Umamah _radhiyallahu ‘anhu,_ Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ bersabda :*
مَنْ صَلَّى صَلاةَ الصُّبْحِ فِي مَسْجِدِ جَمَاعَةٍ يَثْبُتُ فِيهِ حَتَّى يُصَلِّيَ سُبْحَةَ الضُّحَى، كَانَ كَأَجْرِ حَاجٍّ، أَوْ مُعْتَمِرٍ تَامًّا حَجَّتُهُ وَعُمْرَتُهُ
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat Shubuh dengan berjamaah di masjid, lalu dia tetap berdiam di masjid sampai melaksanakan shalat sunnah Dhuha, maka ia seperti mendapat pahala orang yang berhaji atau berumroh secara sempurna.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 8: 174, 181, 209. Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, 1: 189 mengatakan bahwa hadits ini hasan).
*》Dari Anas bin Malik _radhiyallahu ‘anhu,_ Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ bersabda,*
« مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ ». قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ »
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat Shubuh secara berjamaah lalu ia duduk sambil berdzikir pada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan shalat dua raka’at, maka ia seperti memperoleh pahala haji dan umroh.” Beliau pun bersabda, “Pahala yang sempurna, sempurna dan sempurna.” (HR. Tirmidzi, no. 586. Syaikh Muhammad Bazmul menyatakan bahwa hadits ini hasan lighairihi, hasan dilihat dari jalur lain).
*》Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz _rahimahullah_ sebagai mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam berkata :*
“Jika wanita duduk di tempat shalatnya setelah shalat Shubuh lalu berdzikir pada Allah, membaca Al-Qur’an, sampai Matahari meninggi, lalu ia melaksanakan shalat dua raka’at, maka ia mendapatkan pahala yang dijanjikan dalam shalat lsyraq, yaitu akan dicatat mendapatkan pahala haji dan umrah yang sempurna.”
*》Ulama lain seperti Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menyatakan,*
"Wanita yang shalat di rumah tidak mendapatkan pahala yang dijanjikan, namun yang dilakukan dinilai baik." (Lihat Fatwa Islamweb, no. 144643)
*》Syaikh Dr. Nayif bin Muhammad Al-Yahya dalam channel telegram Fawaid Fiqhiyyah tentang cara shalat di rumah saat wabah corona seperti saat ini, beliau mengatakan,*
يُسْتَحَبُّ أَنْ يَجْلِسَ فِي مُصَلاَّهُ بَعْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ كَمَا ذُكِرَ الشَيْخُ اِبْنُ بَازٍ.
“Disunnahkan duduk di tempat shalat setelah shalat Shubuh hingga Matahari terbit (meninggi) sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ibnu Baz.”
*Cara melakukan shalat lsyraq di rumah*
1⃣ Shalat Shubuh dilakukan di rumah.
2⃣ Diam di tempat shalat sampai Matahari meninggi (kira-kira 15 menit setelah Matahari terbit).Isi waktu saat menunggu Matahari meninggi dengan membaca dzikir Pagi, tilawah Al-Qur’an, mendengarkan kajian, dan kegiatan manfaat lainnya, asalkan tidak menyambi dengan aktivitas lainnya (seperti memasak, mengurus anak, dan menyapu rumah).
3⃣ Setelah matahari meninggi, hendaknya mengerjakan shalat dua rakaat. Surah yang dibaca bebas, tidak ada surah tertentu yang disyariatkan.
_*Catatan :*_
Jika wudhu batal saat menunggu shalat lsyraq, tetap masih bisa melanjutkan shalat Isyraq dengan mengulangi wudhu lagi.
Semoga bermanfaat.
•┈┈┈┈•◈◉✹🌑✹◉◈•┈┈┈┈•
🌐 https://rumaysho.com/24107-shalat-isyraq-di-rumah-saat-wabah-melanda.html
┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈
✒ Oleh Ustadz *Muhammad Abduh Tuasikal, MSc*
Kita tahu bagaimana keutamaan shalat isyraq. Apakah boleh melakukannya di rumah saat wabah seperti saat ini?
*》Dari Abu Umamah _radhiyallahu ‘anhu,_ Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ bersabda :*
مَنْ صَلَّى صَلاةَ الصُّبْحِ فِي مَسْجِدِ جَمَاعَةٍ يَثْبُتُ فِيهِ حَتَّى يُصَلِّيَ سُبْحَةَ الضُّحَى، كَانَ كَأَجْرِ حَاجٍّ، أَوْ مُعْتَمِرٍ تَامًّا حَجَّتُهُ وَعُمْرَتُهُ
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat Shubuh dengan berjamaah di masjid, lalu dia tetap berdiam di masjid sampai melaksanakan shalat sunnah Dhuha, maka ia seperti mendapat pahala orang yang berhaji atau berumroh secara sempurna.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 8: 174, 181, 209. Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, 1: 189 mengatakan bahwa hadits ini hasan).
*》Dari Anas bin Malik _radhiyallahu ‘anhu,_ Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ bersabda,*
« مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ ». قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ »
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat Shubuh secara berjamaah lalu ia duduk sambil berdzikir pada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan shalat dua raka’at, maka ia seperti memperoleh pahala haji dan umroh.” Beliau pun bersabda, “Pahala yang sempurna, sempurna dan sempurna.” (HR. Tirmidzi, no. 586. Syaikh Muhammad Bazmul menyatakan bahwa hadits ini hasan lighairihi, hasan dilihat dari jalur lain).
*》Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz _rahimahullah_ sebagai mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam berkata :*
“Jika wanita duduk di tempat shalatnya setelah shalat Shubuh lalu berdzikir pada Allah, membaca Al-Qur’an, sampai Matahari meninggi, lalu ia melaksanakan shalat dua raka’at, maka ia mendapatkan pahala yang dijanjikan dalam shalat lsyraq, yaitu akan dicatat mendapatkan pahala haji dan umrah yang sempurna.”
*》Ulama lain seperti Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menyatakan,*
"Wanita yang shalat di rumah tidak mendapatkan pahala yang dijanjikan, namun yang dilakukan dinilai baik." (Lihat Fatwa Islamweb, no. 144643)
*》Syaikh Dr. Nayif bin Muhammad Al-Yahya dalam channel telegram Fawaid Fiqhiyyah tentang cara shalat di rumah saat wabah corona seperti saat ini, beliau mengatakan,*
يُسْتَحَبُّ أَنْ يَجْلِسَ فِي مُصَلاَّهُ بَعْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ كَمَا ذُكِرَ الشَيْخُ اِبْنُ بَازٍ.
“Disunnahkan duduk di tempat shalat setelah shalat Shubuh hingga Matahari terbit (meninggi) sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ibnu Baz.”
*Cara melakukan shalat lsyraq di rumah*
1⃣ Shalat Shubuh dilakukan di rumah.
2⃣ Diam di tempat shalat sampai Matahari meninggi (kira-kira 15 menit setelah Matahari terbit).Isi waktu saat menunggu Matahari meninggi dengan membaca dzikir Pagi, tilawah Al-Qur’an, mendengarkan kajian, dan kegiatan manfaat lainnya, asalkan tidak menyambi dengan aktivitas lainnya (seperti memasak, mengurus anak, dan menyapu rumah).
3⃣ Setelah matahari meninggi, hendaknya mengerjakan shalat dua rakaat. Surah yang dibaca bebas, tidak ada surah tertentu yang disyariatkan.
_*Catatan :*_
Jika wudhu batal saat menunggu shalat lsyraq, tetap masih bisa melanjutkan shalat Isyraq dengan mengulangi wudhu lagi.
Semoga bermanfaat.
•┈┈┈┈•◈◉✹🌑✹◉◈•┈┈┈┈•
🌐 https://rumaysho.com/24107-shalat-isyraq-di-rumah-saat-wabah-melanda.html
TATA CARA SHOLAT IDHUL FITRI
TATA CARA SHOLAT IDHUL FITRI
┈┉┅━━━━━•༺❁❁༺•━━━━━┅┉┈
📝___✍ Oleh : Ustadz *Ammi Nur Baits*
Bagaimana tata cara shalat Idul Fitri? Mohon dijelaskan dengan lengkap beserta dalil-dalilnya. Jazakumullah khairan.
*Jawaban:*
*1. Sutrah (pembatas shalat) bagi imam*
Dari Ibnu 'Umar _radhiallahu ‘anhuma,_ bahwa ketika Nabi _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ menuju lapangan pada hari raya, beliau memerintahkan untuk menancapkan bayonet di depan beliau, kemudian beliau shalat menghadap ke benda tersebut. (HR. Al-Bukhari)
*2. Shalat Idhul Fitri dua rakaat*
'Umar bin Khaththab _radhiyallahu 'anhuma_ mengatakan,
“Shalat Jum´at dua rakaat, shalat Idhul Fitri dua rakaat, shalat Idul Adha dua rakaat ….” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i; dinilai shahih oleh Al-Albani)
*3. Shalat dilaksanakan sebelum khutbah*
Dari Ibnu Abbas _radhiallahu ‘anhuma;_ beliau mengatakan, “Saya mengikuti shalat id bersama Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam,_ Abu Bakar, 'Umar, dan 'Utsman _radhiallahu ‘anhum._ Mereka semua melaksanakan shalat sebelum khotbah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
*4. Takbir ketika shalat Idhul Fitri*
Takbiratul ihram di rakaat pertama lalu membaca doa iftitah, kemudian *bertakbir tujuh kali.* Di rakaat kedua, setelah takbir intiqal, berdiri dari sujud, *kemudian bertakbir lima kali.*
Dari 'Aisyah _radhiallahu ‘anha,_ bahwa Nabi _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ bertakbir ketika Idhul Fitri dan Idhul Adha; di *rakaat pertama sebanyak tujuh kali takbir dan di rakaat kedua sebanyak lima kali takbir* selain takbir rukuk di masing-masing rakaat.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah; dinilai shahih oleh Al-Albani)
Dari Abdullah bin Amr bin Ash, bahwa Nabi _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ bersabda, “Takbir ketika shalat Idhul Fitri: tujuh kali di rakaat pertama dan lima kali di rakaat kedua, dan ada bacaan di masing-masing rakaat.” (HR. Abu Daud dan At-Turmudzi; dinilai shahih oleh Al-Albani)
Al-Baghawi mengatakan, “Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan shahabat maupun orang-orang setelahnya. Mereka bertakbir ketika shalat id : di rakaat pertama tujuh kali –selain takbiratul ihram– dan di rakaat kedua lima kali selain takbir bangkit dari sujud. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu bakar, 'Umar, Ali … radhiallahu ‘anhum ….” (Syarhus Sunnah, 4:309; dinukil dari Ahkamul Idain, karya Syekh Ali Al-Halabi)
*5. Mengangkat tangan ketika takbir tambahan*
Syekh Ali bin Hasan Al-Halabi mengatakan, “Tidak terdapat riwayat yang shahih dari Nabi _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ bahwa beliau mengangkat kedua tangan setiap takbir shalat id.” (Ahkamul Idain, hlm. 20)
Akan tetapi, terdapat riwayat dari Ibnu 'Umar bahwa beliau mengangkat kedua tangan setiap takbir tambahan shalat id. (Zadul Ma’ad, 1:425)
Al-Faryabi menyebutkan riwayat dari Al-Walid bin Muslim, bahwa beliau bertanya kepada Imam Malik tentang mengangkat tangan ketika takbir-takbir tambahan. Imam Malik menjawab, “Ya, angkatlah kedua tanganmu setiap takbir tambahan ….” (Riwayat Al-Faryabi; sanadnya dinilai shahih oleh Al-Albani)
*_Keterangan :_*
Takbir tambahan: Takbir sebanyak 7 kali pada rakaat pertama, dan sebanyak 5 kali pada rakaat kedua.
*6. Dzikir di sela-sela takbir tambahan*
Syekh Ali bin Hasan Al-Halabi mengatakan, “Tidak terdapat riwayat yang shahih dari Nabi _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ tentang dzikir tertentu di sela-sela takbir tambahan.” (Ahkamul Idain, hlm. 21)
Meski demikian, terdapat riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud _radhiallahu ‘anhu;_ beliau menjelaskan tentang shalat id, “Di setiap sela-sela takbir tambahan dianjurkan membaca tahmid dan memuji Allah.” (HR. Al-Baihaqi; dinilai shahih oleh Al-Albani)
Ibnul Qayyim _rahimahullah_ mengatakan, “Disebutkan dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau menjelaskan, ‘(Di setiap sela-sela takbir, dianjurkan) membaca hamdalah, memuji Allah, dan bersalawat kepada Nabi _shallallahu ‘alaihi wa sallam._'” (Zadul Ma’ad, 1:425)
*7. Bacaan ketika shalat Idhul Fitri*
Setelah selesai bertakbir tambahan, membaca ta’awudz, membaca Al-Fatihah, kemudian membaca surat dengan kombinasi berikut:
● Surat Qaf di rakaat pertama dan surat Al-Qamar di rakaat kedua.
● Surat Al-A’la di rakaat pertama dan surat Al-Ghasyiyah di rakaat kedua.
Semua kombinasi tersebut terdapat dalam riwayat Muslim, An-Nasa’i, dan At-Turmudzi.
*8. Tata cara shalat Idhul Fitri selanjutnya*
“Tata cara shalat id selanjutnya sama dengan shalat lainnya, tidak ada perbedaan sedikit pun.” (Ahkamul Idain, hlm. 22)
•┈┈┈┈•◈◉✹❒❒✹◉◈•┈┈┈┈•
✍ Oleh Ustadz *Ammi Nur Baits*
🌐 https://konsultasisyariah.com/7074-shalat-idul-fitri-tata-cara.html
┈┉┅━━━━━•༺❁❁༺•━━━━━┅┉┈
📝___✍ Oleh : Ustadz *Ammi Nur Baits*
Bagaimana tata cara shalat Idul Fitri? Mohon dijelaskan dengan lengkap beserta dalil-dalilnya. Jazakumullah khairan.
*Jawaban:*
*1. Sutrah (pembatas shalat) bagi imam*
Dari Ibnu 'Umar _radhiallahu ‘anhuma,_ bahwa ketika Nabi _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ menuju lapangan pada hari raya, beliau memerintahkan untuk menancapkan bayonet di depan beliau, kemudian beliau shalat menghadap ke benda tersebut. (HR. Al-Bukhari)
*2. Shalat Idhul Fitri dua rakaat*
'Umar bin Khaththab _radhiyallahu 'anhuma_ mengatakan,
“Shalat Jum´at dua rakaat, shalat Idhul Fitri dua rakaat, shalat Idul Adha dua rakaat ….” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i; dinilai shahih oleh Al-Albani)
*3. Shalat dilaksanakan sebelum khutbah*
Dari Ibnu Abbas _radhiallahu ‘anhuma;_ beliau mengatakan, “Saya mengikuti shalat id bersama Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam,_ Abu Bakar, 'Umar, dan 'Utsman _radhiallahu ‘anhum._ Mereka semua melaksanakan shalat sebelum khotbah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
*4. Takbir ketika shalat Idhul Fitri*
Takbiratul ihram di rakaat pertama lalu membaca doa iftitah, kemudian *bertakbir tujuh kali.* Di rakaat kedua, setelah takbir intiqal, berdiri dari sujud, *kemudian bertakbir lima kali.*
Dari 'Aisyah _radhiallahu ‘anha,_ bahwa Nabi _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ bertakbir ketika Idhul Fitri dan Idhul Adha; di *rakaat pertama sebanyak tujuh kali takbir dan di rakaat kedua sebanyak lima kali takbir* selain takbir rukuk di masing-masing rakaat.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah; dinilai shahih oleh Al-Albani)
Dari Abdullah bin Amr bin Ash, bahwa Nabi _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ bersabda, “Takbir ketika shalat Idhul Fitri: tujuh kali di rakaat pertama dan lima kali di rakaat kedua, dan ada bacaan di masing-masing rakaat.” (HR. Abu Daud dan At-Turmudzi; dinilai shahih oleh Al-Albani)
Al-Baghawi mengatakan, “Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan shahabat maupun orang-orang setelahnya. Mereka bertakbir ketika shalat id : di rakaat pertama tujuh kali –selain takbiratul ihram– dan di rakaat kedua lima kali selain takbir bangkit dari sujud. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu bakar, 'Umar, Ali … radhiallahu ‘anhum ….” (Syarhus Sunnah, 4:309; dinukil dari Ahkamul Idain, karya Syekh Ali Al-Halabi)
*5. Mengangkat tangan ketika takbir tambahan*
Syekh Ali bin Hasan Al-Halabi mengatakan, “Tidak terdapat riwayat yang shahih dari Nabi _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ bahwa beliau mengangkat kedua tangan setiap takbir shalat id.” (Ahkamul Idain, hlm. 20)
Akan tetapi, terdapat riwayat dari Ibnu 'Umar bahwa beliau mengangkat kedua tangan setiap takbir tambahan shalat id. (Zadul Ma’ad, 1:425)
Al-Faryabi menyebutkan riwayat dari Al-Walid bin Muslim, bahwa beliau bertanya kepada Imam Malik tentang mengangkat tangan ketika takbir-takbir tambahan. Imam Malik menjawab, “Ya, angkatlah kedua tanganmu setiap takbir tambahan ….” (Riwayat Al-Faryabi; sanadnya dinilai shahih oleh Al-Albani)
*_Keterangan :_*
Takbir tambahan: Takbir sebanyak 7 kali pada rakaat pertama, dan sebanyak 5 kali pada rakaat kedua.
*6. Dzikir di sela-sela takbir tambahan*
Syekh Ali bin Hasan Al-Halabi mengatakan, “Tidak terdapat riwayat yang shahih dari Nabi _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ tentang dzikir tertentu di sela-sela takbir tambahan.” (Ahkamul Idain, hlm. 21)
Meski demikian, terdapat riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud _radhiallahu ‘anhu;_ beliau menjelaskan tentang shalat id, “Di setiap sela-sela takbir tambahan dianjurkan membaca tahmid dan memuji Allah.” (HR. Al-Baihaqi; dinilai shahih oleh Al-Albani)
Ibnul Qayyim _rahimahullah_ mengatakan, “Disebutkan dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau menjelaskan, ‘(Di setiap sela-sela takbir, dianjurkan) membaca hamdalah, memuji Allah, dan bersalawat kepada Nabi _shallallahu ‘alaihi wa sallam._'” (Zadul Ma’ad, 1:425)
*7. Bacaan ketika shalat Idhul Fitri*
Setelah selesai bertakbir tambahan, membaca ta’awudz, membaca Al-Fatihah, kemudian membaca surat dengan kombinasi berikut:
● Surat Qaf di rakaat pertama dan surat Al-Qamar di rakaat kedua.
● Surat Al-A’la di rakaat pertama dan surat Al-Ghasyiyah di rakaat kedua.
Semua kombinasi tersebut terdapat dalam riwayat Muslim, An-Nasa’i, dan At-Turmudzi.
*8. Tata cara shalat Idhul Fitri selanjutnya*
“Tata cara shalat id selanjutnya sama dengan shalat lainnya, tidak ada perbedaan sedikit pun.” (Ahkamul Idain, hlm. 22)
•┈┈┈┈•◈◉✹❒❒✹◉◈•┈┈┈┈•
✍ Oleh Ustadz *Ammi Nur Baits*
🌐 https://konsultasisyariah.com/7074-shalat-idul-fitri-tata-cara.html
Kamis, 23 April 2020
📖 BOLEHKAH SHALAT SUNNAH/TARAWIH DENGAN MEMEGANG MUSHAF?
📖 BOLEHKAH SHALAT SUNNAH/TARAWIH DENGAN MEMEGANG MUSHAF?
❅❖❅•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
*📝 🎓 Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin baz _rahimahullah_*
*❓Pertanyaan :*
Bolehkah shalat (Sunnah/Tarawih) dengan memegang mushaf (Al-Quran)?
*☑ Jawab :*
.
والصواب أنه لا حرج في ذلك، إذا دعت الحاجة إلى أن الإمام يقرأ من المصحف، أو إنسانا يتهجد من الليل يقرأ من المصحف فلا حرج في ذلك والحمد لله
❞ Yang benar hal tersebut tidak mengapa. Apabila Imam membutuhkannya atau ada seseorang yang ingin tahajud di malam hari dengan membacanya sambil melihat mushaf, maka hal ini tidak mengapa. Wal hamdu lillaahi. ❞
📚 [ Diringkas dari Fatawa Nuur 'alaa darb juz 9 hal. 455 ]
•┅┅════ ༻🎯༺ ════┅┅•
🌏 Web | shahihfiqih.com/fatwa/bolehkan-shalat-sunnah-tarawih-dengan-memegang-mushaf/
❅❖❅•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
*📝 🎓 Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin baz _rahimahullah_*
*❓Pertanyaan :*
Bolehkah shalat (Sunnah/Tarawih) dengan memegang mushaf (Al-Quran)?
*☑ Jawab :*
.
والصواب أنه لا حرج في ذلك، إذا دعت الحاجة إلى أن الإمام يقرأ من المصحف، أو إنسانا يتهجد من الليل يقرأ من المصحف فلا حرج في ذلك والحمد لله
❞ Yang benar hal tersebut tidak mengapa. Apabila Imam membutuhkannya atau ada seseorang yang ingin tahajud di malam hari dengan membacanya sambil melihat mushaf, maka hal ini tidak mengapa. Wal hamdu lillaahi. ❞
📚 [ Diringkas dari Fatawa Nuur 'alaa darb juz 9 hal. 455 ]
•┅┅════ ༻🎯༺ ════┅┅•
🌏 Web | shahihfiqih.com/fatwa/bolehkan-shalat-sunnah-tarawih-dengan-memegang-mushaf/
IBADAH RAMADHAN DI MASA PANDEMI CORONA
IBADAH RAMADHAN DI MASA PANDEMI CORONA
┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈
🎓 Oleh : *Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh hafidzhahullah*
● Mufti Kerajaan Arab Saudi
● Ketua Hai'ah Kibarul Ulama Kerajaan Arab Saudi
● Ketua Umum Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi
*➡ SHALAT TARAWIH DAN SHALAT IED DI RUMAH*
Apabila kondisi tidak memungkinkan untuk dilaksanakannya shalat Tarawih dan shalat Ied dikarenakan kebijakan pemerintah terkait virus Corona, maka shalat Tarawih dan shalat Ied dapat dikerjakan di rumah masing-masing.
*➡ HUKUM SHALAT TARAWIH*
Hukum sholat Tarawih adalah sunnah, bukan wajib.
*➡ 📖 HADITS SHALAT TARAWIH DI RUMAH*
Terdapat hadits shahih yang menunjukkan bahwa Nabi ﷺ pernah melaksanakan shalat Tarawih di rumah pada bulan Ramadhan.
*➡ SHALAT IED DI RUMAH TANPA KHUTBAH*
Apabila kondisi saat ini tetap belum membaik hingga hari raya Ied, sehingga belum diperbolehkan untuk melaksanakannya di tanah lapang maupun di masjid khusus, maka shalat Ied dilakukan di rumah masing-masing tanpa ada khutbah setelahnya.
*➡ BATAS WAKTU PEMBAYARAN ZAKAT FITRI*
Apabila tidak ada shalat Ied berjamaah, maka batas waktu pembayaran Zakat Fitri adalah setelah waktu syuruq, yang biasanya shalat Ied mulai dilaksanakan.
▬▬▬▬▬▬ஜ۩♻۩ஜ▬▬▬▬▬▬
📚 www.moia.gov.sa/MediaCenter/News/Pages/24081441_2.aspx
🌏 Web | shahihfiqih.com/fatwa/ibadah-ramadhan-di-masa-pandemi-corona
▬▬▬▬▬▬ஜ۩♻۩ஜ▬▬▬▬▬▬
┈┉┅━━━•❖❅❖•━━━┅┉┈
🎓 Oleh : *Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh hafidzhahullah*
● Mufti Kerajaan Arab Saudi
● Ketua Hai'ah Kibarul Ulama Kerajaan Arab Saudi
● Ketua Umum Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi
*➡ SHALAT TARAWIH DAN SHALAT IED DI RUMAH*
Apabila kondisi tidak memungkinkan untuk dilaksanakannya shalat Tarawih dan shalat Ied dikarenakan kebijakan pemerintah terkait virus Corona, maka shalat Tarawih dan shalat Ied dapat dikerjakan di rumah masing-masing.
*➡ HUKUM SHALAT TARAWIH*
Hukum sholat Tarawih adalah sunnah, bukan wajib.
*➡ 📖 HADITS SHALAT TARAWIH DI RUMAH*
Terdapat hadits shahih yang menunjukkan bahwa Nabi ﷺ pernah melaksanakan shalat Tarawih di rumah pada bulan Ramadhan.
*➡ SHALAT IED DI RUMAH TANPA KHUTBAH*
Apabila kondisi saat ini tetap belum membaik hingga hari raya Ied, sehingga belum diperbolehkan untuk melaksanakannya di tanah lapang maupun di masjid khusus, maka shalat Ied dilakukan di rumah masing-masing tanpa ada khutbah setelahnya.
*➡ BATAS WAKTU PEMBAYARAN ZAKAT FITRI*
Apabila tidak ada shalat Ied berjamaah, maka batas waktu pembayaran Zakat Fitri adalah setelah waktu syuruq, yang biasanya shalat Ied mulai dilaksanakan.
▬▬▬▬▬▬ஜ۩♻۩ஜ▬▬▬▬▬▬
📚 www.moia.gov.sa/MediaCenter/News/Pages/24081441_2.aspx
🌏 Web | shahihfiqih.com/fatwa/ibadah-ramadhan-di-masa-pandemi-corona
▬▬▬▬▬▬ஜ۩♻۩ஜ▬▬▬▬▬▬
3 TANDA KEJAHILAN
*📋 3 TANDA KEJAHILAN*
✍🏻 Berkata Abu Ad-Darda رَضِيَ اللًٰهُ عَنْهُ
» Tanda-tanda kejahilan ada 3:
1⃣ Ujub (bangga diri).
2⃣ Banyak bicara tentang perkara yang tidak bermanfaat baginya.
3⃣ Melarang dari sesuatu namun dia sendiri melakukannya.
📕 Jami' Bayan Al-Ilmi karya Ibnu Abdil Barr (1/569).
--------------
قَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ-:
عَلَامَةُ الْجَهْلِ ثَلَاثٌ: الْعُجْبُ، وَكَثْرَةُ الْمَنْطِقِ فِيمَا لَا يَعْنِيهِ، وَأَنْ يَنْهَى عَنْ شَيْءٍ وَيَأْتِيَهِ.
جَامِعُ بَيَانِ العِلْمِ لابْنِ عَبْدِ الْبَرِّ (1/569)
✍🏻 Berkata Abu Ad-Darda رَضِيَ اللًٰهُ عَنْهُ
» Tanda-tanda kejahilan ada 3:
1⃣ Ujub (bangga diri).
2⃣ Banyak bicara tentang perkara yang tidak bermanfaat baginya.
3⃣ Melarang dari sesuatu namun dia sendiri melakukannya.
📕 Jami' Bayan Al-Ilmi karya Ibnu Abdil Barr (1/569).
--------------
قَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ-:
عَلَامَةُ الْجَهْلِ ثَلَاثٌ: الْعُجْبُ، وَكَثْرَةُ الْمَنْطِقِ فِيمَا لَا يَعْنِيهِ، وَأَنْ يَنْهَى عَنْ شَيْءٍ وَيَأْتِيَهِ.
جَامِعُ بَيَانِ العِلْمِ لابْنِ عَبْدِ الْبَرِّ (1/569)
Apakah Ada Ucapan Selamat Sebelum Memasuki Bulan Ramadhan ❓
Apakah Ada Ucapan Selamat Sebelum Memasuki Bulan Ramadhan ❓
═════════════════════
*📝 Syekh Ibnu Utsaimin رحمه الله menjawab :*
✅ Na'am, ada datang riwayat dari sebagian salaf, mereka mengucapkan diantara mereka, dan ini tidak mengapa diucapkan. antara lain : - Syahrun Mubarok شَهْرٌ مُبَارَك
- Barakallahu Laka Fi Syahrik بَارك الله لك في شهرك
••• ════ ༻📜༺ ════ •••
🌏 Web | https://abuazzamofficial.com
═════════════════════
*📝 Syekh Ibnu Utsaimin رحمه الله menjawab :*
✅ Na'am, ada datang riwayat dari sebagian salaf, mereka mengucapkan diantara mereka, dan ini tidak mengapa diucapkan. antara lain : - Syahrun Mubarok شَهْرٌ مُبَارَك
- Barakallahu Laka Fi Syahrik بَارك الله لك في شهرك
••• ════ ༻📜༺ ════ •••
🌏 Web | https://abuazzamofficial.com
📚 10 POIN RINGKASAN IBADAH RAMADHAN DI TENGAH WABAH
📚 10 POIN RINGKASAN IBADAH RAMADHAN DI TENGAH WABAH
•┅┅════✿❀🏠❀✿════┅┅•
Tentunya cara-cara ibadah Ramadhan di tengah wabah secara umum sama seperti cara-cara ibadah biasanya, kecuali beberapa hal saja yang perlu dibahas:
*1. Shalat berjama'ah,* shalat Jum'at dan shalat tarawih dilakukan di rumah. Sudah banyak pembahasan masalah ini, walhamdulillah.
*2. Ifthar jama'i (buka puasa bersama).* Tidak perlu di adakan, karena memang tidak ada kewajiban dan juga tidak ada anjuran khusus untuk melakukannya. Walaupun boleh saja dilakukan dalam kondisi normal.
*3. Shalat tarawih. Maka perlu diperhatikan :*
★ Tata cara shalat tarawih di rumah tidak ada bedanya dengan tata cara shalat di masjid
★ Boleh dikerjakan setelah shalat Isya, boleh juga diakhirkan hingga tengah malam atau akhir malam.
★ Walaupun di rumah, tetap dianjurkan berjamaah
★ Jumlah rakaat tarawih 8 rakaat dengan 3 rakaat witir, boleh juga lebih dari itu.
★ Cara mengerjakannya tiap 2 rakaat salam, demikian juga witir, 2 rakaat salam lalu 1 rakaat salam.
★ Mengerjakan tarawih tiap 4 rakaat salam, boleh.
★ Mengerjakan witir 3 rakaat langsung satu salam, juga boleh.
★ Tidak ada baca-bacaan khusus yang dibaca setiap selesai shalat tarawih. Itu amalan yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah ataupun para sahabat.
★ Dianjurkan setiap selesai 4 rakaat, istirahat sejenak.
★ Shalat sambil membaca mushaf hukumnya makruh.
*4. Anak kecil laki-laki boleh mengimami shalat fardhu berjama'ah ataupun shalat tarawih di rumah,* walaupun yang menjadi makmum adalah orang tuanya. Adapun wanita, walaupun hafalannya banyak, tidak boleh menjadi imam bagi laki-laki.
*5. Tadarus Al Qur'an (belajar Al Qur'an), perlu diperhatikan :*
★ Belajar Al Qur'an tidak harus setelah tarawih. Justru sepanjang waktu (Pagi, Siang, Sore, Malam), di bulan Ramadhan, dianjurkan untuk memperbanyak belajar Al Qur'an.
★ Dianjurkan untuk mengkhatamkan Al Qur'an di bulan Ramadhan minimal sekali.
★ Membaca secara berantai, misal A membaca ayat 1-20, B membaca ayat 21 - 40, dst. ini tidak dianggap mengkhatamkan Al Qur'an.
★ Jika belajar membaca secara berkelompok, yang paling utama caranya adalah: satu orang membaca lalu yang lain mendengarkan dan mengoreksi, setelah itu orang yang lain membaca, yang lain mendengarkan dan mengoreksi, dst.
★ Membaca untuk mengkhatamkan, juga menghafal dan mentadabburi Al Qur'an semuanya berusaha dilakukan.
*6. I'tikaf, perlu diperhatikan :*
★ I'tikaf tidak sah dilakukan di rumah
★ Sebagai pengganti i'tikaf, lakukan ibadah mandiri di rumah, hidupkan hari dan malam dengan ibadah di 10 hari terakhir, dan kurangi aktivitas duniawi.
★ I'tikaf tidak menjadi syarat untuk mendapatkan lailatul qadar.
*7. Takbiran tidak ada kewajiban untuk kumpul-kumpul dan tidak harus dari masjid.* Anjuran takbiran itu untuk semua orang, baik yang di rumah, di jalan, di pasar dan semua tempat. Masing-masing memperbanyak takbir sejak Malam Idul Fitri sampai waktu shalat Id.
*8. Ketika shalat Id tidak bisa dilakukan di lapangan karena ada udzur, maka disunnahkan untuk menggantinya dengan shalat Id di rumah tanpa khutbah.* Dianjurkan secara berjama'ah, boleh juga sendiri-sendiri.
*9. Dianjurkan saling mendoakan di hari Idul Fitri dengan doa "Taqabbalallahu minna wa minkum".* Saling mengunjungi di hari raya itu boleh namun tidak diwajibkan. Maka tidak perlu saling mengunjungi di masa wabah ini, dan cukup saling mendoakan dan berkomunikasi jarak jauh, demi kemaslahatan dan keamanan semua orang.
*10. Mudik lebaran juga hukum asalnya boleh, namun tidak ada anjuran atau kewajiban.* Dan di masa wabah ini mudik bisa menimbulkan mudharat bagi diri sendiri dan keluarga di kampung. Maka kami sarankan untuk tidak mudik dulu. Berbakti kepada orang tua dan menjalin silaturahmi bisa dilakukan dengan cara lain seperti: menelpon, video call, mengirim hadiah, mendoakan keluarga di kampung, mendakwahi keluarga di kampung, dll.
Wallahu ta'ala a'lam.
•┅┅════✿❀🏠❀✿════┅┅•
🌐 t.me/s/IslamAdalahSunnah/1698
📂 Fawaid Kang Aswad
🔰 @IslamAdalahSunnah
•┅┅════✿❀🏠❀✿════┅┅•
•┅┅════✿❀🏠❀✿════┅┅•
Tentunya cara-cara ibadah Ramadhan di tengah wabah secara umum sama seperti cara-cara ibadah biasanya, kecuali beberapa hal saja yang perlu dibahas:
*1. Shalat berjama'ah,* shalat Jum'at dan shalat tarawih dilakukan di rumah. Sudah banyak pembahasan masalah ini, walhamdulillah.
*2. Ifthar jama'i (buka puasa bersama).* Tidak perlu di adakan, karena memang tidak ada kewajiban dan juga tidak ada anjuran khusus untuk melakukannya. Walaupun boleh saja dilakukan dalam kondisi normal.
*3. Shalat tarawih. Maka perlu diperhatikan :*
★ Tata cara shalat tarawih di rumah tidak ada bedanya dengan tata cara shalat di masjid
★ Boleh dikerjakan setelah shalat Isya, boleh juga diakhirkan hingga tengah malam atau akhir malam.
★ Walaupun di rumah, tetap dianjurkan berjamaah
★ Jumlah rakaat tarawih 8 rakaat dengan 3 rakaat witir, boleh juga lebih dari itu.
★ Cara mengerjakannya tiap 2 rakaat salam, demikian juga witir, 2 rakaat salam lalu 1 rakaat salam.
★ Mengerjakan tarawih tiap 4 rakaat salam, boleh.
★ Mengerjakan witir 3 rakaat langsung satu salam, juga boleh.
★ Tidak ada baca-bacaan khusus yang dibaca setiap selesai shalat tarawih. Itu amalan yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah ataupun para sahabat.
★ Dianjurkan setiap selesai 4 rakaat, istirahat sejenak.
★ Shalat sambil membaca mushaf hukumnya makruh.
*4. Anak kecil laki-laki boleh mengimami shalat fardhu berjama'ah ataupun shalat tarawih di rumah,* walaupun yang menjadi makmum adalah orang tuanya. Adapun wanita, walaupun hafalannya banyak, tidak boleh menjadi imam bagi laki-laki.
*5. Tadarus Al Qur'an (belajar Al Qur'an), perlu diperhatikan :*
★ Belajar Al Qur'an tidak harus setelah tarawih. Justru sepanjang waktu (Pagi, Siang, Sore, Malam), di bulan Ramadhan, dianjurkan untuk memperbanyak belajar Al Qur'an.
★ Dianjurkan untuk mengkhatamkan Al Qur'an di bulan Ramadhan minimal sekali.
★ Membaca secara berantai, misal A membaca ayat 1-20, B membaca ayat 21 - 40, dst. ini tidak dianggap mengkhatamkan Al Qur'an.
★ Jika belajar membaca secara berkelompok, yang paling utama caranya adalah: satu orang membaca lalu yang lain mendengarkan dan mengoreksi, setelah itu orang yang lain membaca, yang lain mendengarkan dan mengoreksi, dst.
★ Membaca untuk mengkhatamkan, juga menghafal dan mentadabburi Al Qur'an semuanya berusaha dilakukan.
*6. I'tikaf, perlu diperhatikan :*
★ I'tikaf tidak sah dilakukan di rumah
★ Sebagai pengganti i'tikaf, lakukan ibadah mandiri di rumah, hidupkan hari dan malam dengan ibadah di 10 hari terakhir, dan kurangi aktivitas duniawi.
★ I'tikaf tidak menjadi syarat untuk mendapatkan lailatul qadar.
*7. Takbiran tidak ada kewajiban untuk kumpul-kumpul dan tidak harus dari masjid.* Anjuran takbiran itu untuk semua orang, baik yang di rumah, di jalan, di pasar dan semua tempat. Masing-masing memperbanyak takbir sejak Malam Idul Fitri sampai waktu shalat Id.
*8. Ketika shalat Id tidak bisa dilakukan di lapangan karena ada udzur, maka disunnahkan untuk menggantinya dengan shalat Id di rumah tanpa khutbah.* Dianjurkan secara berjama'ah, boleh juga sendiri-sendiri.
*9. Dianjurkan saling mendoakan di hari Idul Fitri dengan doa "Taqabbalallahu minna wa minkum".* Saling mengunjungi di hari raya itu boleh namun tidak diwajibkan. Maka tidak perlu saling mengunjungi di masa wabah ini, dan cukup saling mendoakan dan berkomunikasi jarak jauh, demi kemaslahatan dan keamanan semua orang.
*10. Mudik lebaran juga hukum asalnya boleh, namun tidak ada anjuran atau kewajiban.* Dan di masa wabah ini mudik bisa menimbulkan mudharat bagi diri sendiri dan keluarga di kampung. Maka kami sarankan untuk tidak mudik dulu. Berbakti kepada orang tua dan menjalin silaturahmi bisa dilakukan dengan cara lain seperti: menelpon, video call, mengirim hadiah, mendoakan keluarga di kampung, mendakwahi keluarga di kampung, dll.
Wallahu ta'ala a'lam.
•┅┅════✿❀🏠❀✿════┅┅•
🌐 t.me/s/IslamAdalahSunnah/1698
📂 Fawaid Kang Aswad
🔰 @IslamAdalahSunnah
•┅┅════✿❀🏠❀✿════┅┅•
SAHUR NABI ﷺ DEKAT DENGAN SHOLAT SHUBUH
SAHUR NABI ﷺ DEKAT DENGAN SHOLAT SHUBUH
┅┅════ ༻♾༺ ════┅┅•
✒ Oleh : Ustadz *Muhammad Abduh Tuasikal*
Kapan waktu makan sahur Nabi ﷺ ❓
》Waktu makan sahur Nabi ﷺ diterangkan dalam hadits Anas bin Malik berikut ini.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَزَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ – رضى الله عنه – تَسَحَّرَا ، فَلَمَّا فَرَغَا مِنْ سَحُورِهِمَا قَامَ نَبِىُّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى الصَّلاَةِ فَصَلَّى . قُلْنَا لأَنَسٍ كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سَحُورِهِمَا وَدُخُولِهِمَا فِى الصَّلاَةِ قَالَ كَقَدْرِ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِينَ آيَةً
“Dari Anas bin Malik _radhiyallahu ‘anhu_ bahwasanya Nabi ﷺ dan Zaid bin Tsabit _radhiyallahu ‘anhu_ pernah makan sahur. Ketika keduanya selesai dari makan sahur, Nabi ﷺ berdiri untuk shalat, lalu beliau mengerjakan shalat. Kami bertanya pada Anas tentang berapa lama antara selesainya makan sahur mereka berdua dan waktu melaksanakan shalat Shubuh. Anas menjawab, ‘Yaitu sekitar seseorang membaca 50 ayat (Al-Qur’an).’
📚 [ HR. Bukhari no. 1134 dan Muslim no. 1097.].
📝 Ibnu Hajar _rahimahullah_ menyatakan bahwa yang ditanyakan pada Anas adalah jarak waktu antara berakhirnya makan sahur dan dimulainya shalat Shubuh.
📚 [ Fath Al-Bari, 4: 138 ]
》🎓 Imam Nawawi _rahimahullah_ menyatakan bahwa dalil ini menunjukkan disunnahkannya mengakhirkan makan sahur hingga dekat dengan waktu Shubuh.
📚 [ Syarh Shahih Muslim, 7: 184 ].
》Al-Qurthubi menjelaskan, “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa sahur tersebut selesai sebelum terbit fajar Shubuh (azan Shubuh).”
📚 [ Fath Al-Bari, 4: 139 ]
♾ Faedah makan sahur diakhirkan disebutkan oleh Ibnu Abi Jamrah, ia berkata, “Nabi ﷺ telah memandang suatu amalan yang sangat mudah bagi ummatnya untuk dilakukan. Seandainya tidak makan sahur, maka berat menjalankan puasa. Seandainya makan sahur dilakukan di tengah Malam (bukan di akhir waktu sahur, pen.) tentu juga memberatkan. Orang yang makan sahur tengah Malam tentu tak bisa terkalahkan dengan rasa kantuknya. Makan sahur tengah Malam pun dapat membuat lalai dari shalat Shubuh atau membuat seseorang berusaha keras untuk begadang.”
📚 [ Fath Al-Bari, 4: 138 ].
*🔳 Kesimpulannya,* waktu makan sahur Nabi ﷺ adalah dekat dengan waktu Shubuh, artinya beliau akhirkan. Sedangkan waktu berakhirnya adalah mendekati azan Shubuh berkumandang.
Wallahu a’lam.
•┅┅════ ༻🎯༺ ════┅┅•
✒ Oleh : Ustadz *Muhammad Abduh Tuasikal*
Artikel Rumaysho.Com
🌐 https://rumaysho.com/11227-sahur-nabi-dekat-dengan-shalat-shubuh.html
┅┅════ ༻♾༺ ════┅┅•
✒ Oleh : Ustadz *Muhammad Abduh Tuasikal*
Kapan waktu makan sahur Nabi ﷺ ❓
》Waktu makan sahur Nabi ﷺ diterangkan dalam hadits Anas bin Malik berikut ini.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَزَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ – رضى الله عنه – تَسَحَّرَا ، فَلَمَّا فَرَغَا مِنْ سَحُورِهِمَا قَامَ نَبِىُّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى الصَّلاَةِ فَصَلَّى . قُلْنَا لأَنَسٍ كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سَحُورِهِمَا وَدُخُولِهِمَا فِى الصَّلاَةِ قَالَ كَقَدْرِ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِينَ آيَةً
“Dari Anas bin Malik _radhiyallahu ‘anhu_ bahwasanya Nabi ﷺ dan Zaid bin Tsabit _radhiyallahu ‘anhu_ pernah makan sahur. Ketika keduanya selesai dari makan sahur, Nabi ﷺ berdiri untuk shalat, lalu beliau mengerjakan shalat. Kami bertanya pada Anas tentang berapa lama antara selesainya makan sahur mereka berdua dan waktu melaksanakan shalat Shubuh. Anas menjawab, ‘Yaitu sekitar seseorang membaca 50 ayat (Al-Qur’an).’
📚 [ HR. Bukhari no. 1134 dan Muslim no. 1097.].
📝 Ibnu Hajar _rahimahullah_ menyatakan bahwa yang ditanyakan pada Anas adalah jarak waktu antara berakhirnya makan sahur dan dimulainya shalat Shubuh.
📚 [ Fath Al-Bari, 4: 138 ]
》🎓 Imam Nawawi _rahimahullah_ menyatakan bahwa dalil ini menunjukkan disunnahkannya mengakhirkan makan sahur hingga dekat dengan waktu Shubuh.
📚 [ Syarh Shahih Muslim, 7: 184 ].
》Al-Qurthubi menjelaskan, “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa sahur tersebut selesai sebelum terbit fajar Shubuh (azan Shubuh).”
📚 [ Fath Al-Bari, 4: 139 ]
♾ Faedah makan sahur diakhirkan disebutkan oleh Ibnu Abi Jamrah, ia berkata, “Nabi ﷺ telah memandang suatu amalan yang sangat mudah bagi ummatnya untuk dilakukan. Seandainya tidak makan sahur, maka berat menjalankan puasa. Seandainya makan sahur dilakukan di tengah Malam (bukan di akhir waktu sahur, pen.) tentu juga memberatkan. Orang yang makan sahur tengah Malam tentu tak bisa terkalahkan dengan rasa kantuknya. Makan sahur tengah Malam pun dapat membuat lalai dari shalat Shubuh atau membuat seseorang berusaha keras untuk begadang.”
📚 [ Fath Al-Bari, 4: 138 ].
*🔳 Kesimpulannya,* waktu makan sahur Nabi ﷺ adalah dekat dengan waktu Shubuh, artinya beliau akhirkan. Sedangkan waktu berakhirnya adalah mendekati azan Shubuh berkumandang.
Wallahu a’lam.
•┅┅════ ༻🎯༺ ════┅┅•
✒ Oleh : Ustadz *Muhammad Abduh Tuasikal*
Artikel Rumaysho.Com
🌐 https://rumaysho.com/11227-sahur-nabi-dekat-dengan-shalat-shubuh.html
Selasa, 21 April 2020
SHOLAT DENGAN SAJADAH BUKAN SUNNAH
SHOLAT DENGAN SAJADAH BUKAN SUNNAH
•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••┛
✍ Ustadz Abdullah bin Suyitno
Ibnu Taimiyah _rahimahullah_ :
أَمَّا الصَّلَاةُ عَلَى السَّجَّادَةِ ،بِحَيْثُ يَتَحَـــرَّى الْمُصَلِّي ذَلِكَ ، فَلَمْ تَكُنْ هَذِهِ سُنَّةَ السَّلَفِ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ… وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ التَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؛ بَلْ كَانُوا يُصَلُّونَ فِي مَسْجِدِهِ عَلَى الْأَرْضِ… لَا يَتَّخِذُ أَحَدُهُمْ سَجَّادَةً يَخْتَصُّ بِالصَّلَاةِ عَلَيْهَا وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ مَهْدِيٍّ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ بَسَطَ سَجَّادَةً فَأَمَرَ مَالِكٌ بِحَبْسِهِ، فَقِيلَ لَهُ: إنَّهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ.. فَقَالَ: أَمَا عَلِمْت أَنَّ بَسْطَ السَّجَّادَةِ فِي مَسْجِدِنَا بِدْعَةٌ
"Adapun shalat di atas sajadah, dimana seseorang berusaha untuk shalat di atas sajadah, maka ini bukan termasuk (Sunnah) para salaf dari kalangan Muhajirin maupun Anshar dan orang-orang setelahnya yang mengikuti mereka dengan baik sejak zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Bahkan dahulu mereka shalat di masjid dengan beralaskan bumi (TANAH), tidaklah salah seorang dari mereka menjadikan sebuah sajadah khusus yang ia gunakan untuk shalat di atasnya.. Dan telah diriwayatkan bahwasanya Abdurrahman bin Mahdi tatkala datang ke Madinah ia membentangkan sajadah. Lalu Imam Malik memerintahkan untuk menahanya (dari shalat). Kemudian ada yang mengatakan kepada Imam Malik : “Dia adalah Abdurrahman bin Mahdi.” Maka Imam Malik mengatakan : “Apakah engkau tahu, bahwasanya membentangkan sajadah di masjid kami merupakan perkara bid’ah.”
📚 [Fatawa Al kubro 60/2]
•┈┈┈┈•◈◉✹❒❒✹◉◈•┈┈┈┈•
🌐 https://shahihfiqih.com/mutiara-salaf/shalat-dengan-sajadah-bukan-sunnah/
•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••┛
✍ Ustadz Abdullah bin Suyitno
Ibnu Taimiyah _rahimahullah_ :
أَمَّا الصَّلَاةُ عَلَى السَّجَّادَةِ ،بِحَيْثُ يَتَحَـــرَّى الْمُصَلِّي ذَلِكَ ، فَلَمْ تَكُنْ هَذِهِ سُنَّةَ السَّلَفِ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ… وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ التَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؛ بَلْ كَانُوا يُصَلُّونَ فِي مَسْجِدِهِ عَلَى الْأَرْضِ… لَا يَتَّخِذُ أَحَدُهُمْ سَجَّادَةً يَخْتَصُّ بِالصَّلَاةِ عَلَيْهَا وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ مَهْدِيٍّ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ بَسَطَ سَجَّادَةً فَأَمَرَ مَالِكٌ بِحَبْسِهِ، فَقِيلَ لَهُ: إنَّهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ.. فَقَالَ: أَمَا عَلِمْت أَنَّ بَسْطَ السَّجَّادَةِ فِي مَسْجِدِنَا بِدْعَةٌ
"Adapun shalat di atas sajadah, dimana seseorang berusaha untuk shalat di atas sajadah, maka ini bukan termasuk (Sunnah) para salaf dari kalangan Muhajirin maupun Anshar dan orang-orang setelahnya yang mengikuti mereka dengan baik sejak zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Bahkan dahulu mereka shalat di masjid dengan beralaskan bumi (TANAH), tidaklah salah seorang dari mereka menjadikan sebuah sajadah khusus yang ia gunakan untuk shalat di atasnya.. Dan telah diriwayatkan bahwasanya Abdurrahman bin Mahdi tatkala datang ke Madinah ia membentangkan sajadah. Lalu Imam Malik memerintahkan untuk menahanya (dari shalat). Kemudian ada yang mengatakan kepada Imam Malik : “Dia adalah Abdurrahman bin Mahdi.” Maka Imam Malik mengatakan : “Apakah engkau tahu, bahwasanya membentangkan sajadah di masjid kami merupakan perkara bid’ah.”
📚 [Fatawa Al kubro 60/2]
•┈┈┈┈•◈◉✹❒❒✹◉◈•┈┈┈┈•
🌐 https://shahihfiqih.com/mutiara-salaf/shalat-dengan-sajadah-bukan-sunnah/
HADITS PALSU TENTANG SEPULUH SURAT AL-QUR’AN DAPAT MENCEGAH SEPULUH KEBURUKAN
📖 HADITS PALSU TENTANG SEPULUH SURAT AL-QUR’AN DAPAT MENCEGAH SEPULUH KEBURUKAN / الحديث الموضوع في “عشرة تمنع عشرة”
┈┉┅━━━━━━•❅•━━━━━━┅┉┈
✒ Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz
Akhir-akhir ini banyak sekali beredar di internet, BBM, SMS atau media lainnya hadits-hadits bathil dan palsu yang tidak jelas asal-usul dan sumbernya. Sehingga kita sebagai penuntut ilmu yang menginginkan beribadah kepada Allah berdasarkan landasan hukum yang jelas dari Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shohih, merasa kesulitan dan tidak akan pernah mendapatkannya ketika mencari dan menelitinya di dalam kitab-kitab hadits shohih, dho’if, maupun palsu yang disusun oleh para ahli hadits dari ulama-ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Ini menunjukkan bahwa pemalsuan hadits dan berdusta atas nama Nabi _shallallahu alaihi wasallam_ masih terus terjadi dan jumlahnya sangat banyak, tiada terbatas. Karena siapapun bisa membuat hadits palsu yang dinisbatkan kepada Nabi _shallallahu alaihi wasallam,_ khususnya dalam masalah Fadhilah Amal (amalan-amalan yang memiliki keutaaan dan pahala yang besar).
*Diantara tanda-tanda kepalsuan hadits-hadits tersebut sangat jelas,* selain tidak ada sanad dan sumbernya, biasanya di bagian terakhir setelah selesai menyebutkan hadits palsu yang didustakan atas nama Nabi _shallallahu alaihi wasallam_ tersebut disebutkan kalimat *‘kirimkanlah atau sebarkanlah ke semua orang yang ada di dalam daftar kontakmu, niscaya anda akan memperoleh pahala, atau dalam waktu sekian jam atau hari anda akan mendapatkan kabar gembira, atau anda akan terbebas dari segala problem’,* dan kalimat-kalimat yang semisal itu.
Diantara hadits palsu yang beredar di internet, BBM dan SMS adalah hadits berikut:
قال الرسول صلى الله عليه وسلم : عشرة تمنع عشرة :
سورة الفاتحة … تمنع غضب الله
سورة يس … تمنع عطش يوم القيامة
سورة الدخان … تمنع أهوال يوم القيامة
سورة الواقعة … تمنع الفقر
سورة الملك … تمنع عذاب القبر
سورة الكوثر … تمنع الخصومة
سورة الكافرون … تمنع الكفر عند الموت
سورة الاخلاص … تمنع النفاق
سورة الفلق … تمنع الحسد
سورة الناس … تمنع الوسواس
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ada sepuluh perkara
yang mencegah sepulh perkara lainnya, (yaitu):
1. Surat Al Fatihah => mencegah kemarahan Alloh subhanahu wa ta’ala
2. Surat Yasin => mencegah kehausan dihari kiamat
3. Surat Ad Dukhon => mencegah kesusahan dihari kiamat
4. Al Waqi’ah => mencegah kefakiran
5. Al Mulk => mencegah siksa kubur
6. Al Kautsar => mencegah permusuhan
7. Al Kafirun => mencegah kekufuran pada saat dicabut nyawa
8. Al Ikhlas => mencegah kemunafiqan
9. Al Falaq => mencegah iri hati
10. An Nas => mencegah rasa was was
Ketetangan :
*DERAJAT HADITS :*
Hadits ini derajatnya *MAUDHU’ (PALSU).* Termasuk hadits yang didustakan
atas nama Nabi Muhammad _shallallahu alaihi wasallam,_ karena tidak
mempunyai sanad, tidak jelas asal-usul dan sumbernya. Kita tidak akan menemukan hadits ini dengan susunan kalimat seperti itu di dalam kitab-kitab hadits yang disusun oleh para ulama hadits dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Baik itu kitab yang memuat hadits-hadits shohih, dho’if maupun palsu.
Memang sebagian surat Al-Qur’an yang disebutkan di dalam hadits ini memiliki keutamaan berdasarkan hadits-hadits yang shohih, seperti surat Al-Fatihah, Al-Mulk, Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas. Sedangkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan surat Yasin secara khusus tidak ada yang shohih satu pun dari nabi _shallallahu alaihi wasallam._ Dan hadits tentang keutamaan surat Al-Waqi’ah yang menunjukkan bahwa ia dapat mencegah kefakiran bagi yang membacanya juga derajatnya tidak shohih. Demikian pula hadits tentang keutamaan surat Ad-Dkhon, dan surat Al-Kautsar tidak ada satu hadits pun yang shohih yang menjelaskan tentang keutamaannya secara khusus. Bahkan sangat banyak hadits-hadits yang dipalsukan oleh para pemalsu hadits dan disandarkan kepada Nabi _shallallahu alaihi wasallam_ berkaitan dengan keutamaan-keutamaan surat-surat Al-Qur'an. Masing-masing surat mempunyai hadits palsu yang menerangkan keutamaannya secara khusus.
Setelah menyebutkan hadits-hadits yang shohih berkaitan dengan keutamaan surat-surat Al-Qur’an, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah mengatakan;
“Kemudian hadits-hadits selain itu, seperti hadits dengan lafazh, “Barangsiapa membaca surat ini maka ia diberi pahala demikian (dan semisalnya, pent), maka hadits-hadits tersebut dipalsukan atas nama Rasulullah _shallallahu alaihi wasallam.”_ (Lihat Al-Manar Al-Munif,
hal. 225-228).
Demikianlah salah satu *HADITSPALSU* yang telah beredar di internet, BBM, SMS atau media lainnya yang dapat saya sebutkan untuk kali ini.
Semoga kita semua semakin berhati-hati dalam mengamalkan hadits-hadits Nabi, mengajarkan dan menyebarluaskannya kepada orang lain. Dan hendaknya kita semua semakin bertambah semangat dalam mempelajari dan memegang teguh hadits-hadits Nabi yang shohih. wabillahi at-taufiq. wa Al-Hamdulillah alladzi bi ni’matihi tatimmu ash-sholihaat.
••• ════ ༻🎯༺ ════ •••
https://abufawaz.wordpress.com/2012/03/16/hadits-palsu-tentang-sepuluh-surat-al-quran-dapat-mencegah-sepuluh-keburukan/
┈┉┅━━━━━━•❅•━━━━━━┅┉┈
✒ Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz
Akhir-akhir ini banyak sekali beredar di internet, BBM, SMS atau media lainnya hadits-hadits bathil dan palsu yang tidak jelas asal-usul dan sumbernya. Sehingga kita sebagai penuntut ilmu yang menginginkan beribadah kepada Allah berdasarkan landasan hukum yang jelas dari Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shohih, merasa kesulitan dan tidak akan pernah mendapatkannya ketika mencari dan menelitinya di dalam kitab-kitab hadits shohih, dho’if, maupun palsu yang disusun oleh para ahli hadits dari ulama-ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Ini menunjukkan bahwa pemalsuan hadits dan berdusta atas nama Nabi _shallallahu alaihi wasallam_ masih terus terjadi dan jumlahnya sangat banyak, tiada terbatas. Karena siapapun bisa membuat hadits palsu yang dinisbatkan kepada Nabi _shallallahu alaihi wasallam,_ khususnya dalam masalah Fadhilah Amal (amalan-amalan yang memiliki keutaaan dan pahala yang besar).
*Diantara tanda-tanda kepalsuan hadits-hadits tersebut sangat jelas,* selain tidak ada sanad dan sumbernya, biasanya di bagian terakhir setelah selesai menyebutkan hadits palsu yang didustakan atas nama Nabi _shallallahu alaihi wasallam_ tersebut disebutkan kalimat *‘kirimkanlah atau sebarkanlah ke semua orang yang ada di dalam daftar kontakmu, niscaya anda akan memperoleh pahala, atau dalam waktu sekian jam atau hari anda akan mendapatkan kabar gembira, atau anda akan terbebas dari segala problem’,* dan kalimat-kalimat yang semisal itu.
Diantara hadits palsu yang beredar di internet, BBM dan SMS adalah hadits berikut:
قال الرسول صلى الله عليه وسلم : عشرة تمنع عشرة :
سورة الفاتحة … تمنع غضب الله
سورة يس … تمنع عطش يوم القيامة
سورة الدخان … تمنع أهوال يوم القيامة
سورة الواقعة … تمنع الفقر
سورة الملك … تمنع عذاب القبر
سورة الكوثر … تمنع الخصومة
سورة الكافرون … تمنع الكفر عند الموت
سورة الاخلاص … تمنع النفاق
سورة الفلق … تمنع الحسد
سورة الناس … تمنع الوسواس
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ada sepuluh perkara
yang mencegah sepulh perkara lainnya, (yaitu):
1. Surat Al Fatihah => mencegah kemarahan Alloh subhanahu wa ta’ala
2. Surat Yasin => mencegah kehausan dihari kiamat
3. Surat Ad Dukhon => mencegah kesusahan dihari kiamat
4. Al Waqi’ah => mencegah kefakiran
5. Al Mulk => mencegah siksa kubur
6. Al Kautsar => mencegah permusuhan
7. Al Kafirun => mencegah kekufuran pada saat dicabut nyawa
8. Al Ikhlas => mencegah kemunafiqan
9. Al Falaq => mencegah iri hati
10. An Nas => mencegah rasa was was
Ketetangan :
*DERAJAT HADITS :*
Hadits ini derajatnya *MAUDHU’ (PALSU).* Termasuk hadits yang didustakan
atas nama Nabi Muhammad _shallallahu alaihi wasallam,_ karena tidak
mempunyai sanad, tidak jelas asal-usul dan sumbernya. Kita tidak akan menemukan hadits ini dengan susunan kalimat seperti itu di dalam kitab-kitab hadits yang disusun oleh para ulama hadits dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Baik itu kitab yang memuat hadits-hadits shohih, dho’if maupun palsu.
Memang sebagian surat Al-Qur’an yang disebutkan di dalam hadits ini memiliki keutamaan berdasarkan hadits-hadits yang shohih, seperti surat Al-Fatihah, Al-Mulk, Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas. Sedangkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan surat Yasin secara khusus tidak ada yang shohih satu pun dari nabi _shallallahu alaihi wasallam._ Dan hadits tentang keutamaan surat Al-Waqi’ah yang menunjukkan bahwa ia dapat mencegah kefakiran bagi yang membacanya juga derajatnya tidak shohih. Demikian pula hadits tentang keutamaan surat Ad-Dkhon, dan surat Al-Kautsar tidak ada satu hadits pun yang shohih yang menjelaskan tentang keutamaannya secara khusus. Bahkan sangat banyak hadits-hadits yang dipalsukan oleh para pemalsu hadits dan disandarkan kepada Nabi _shallallahu alaihi wasallam_ berkaitan dengan keutamaan-keutamaan surat-surat Al-Qur'an. Masing-masing surat mempunyai hadits palsu yang menerangkan keutamaannya secara khusus.
Setelah menyebutkan hadits-hadits yang shohih berkaitan dengan keutamaan surat-surat Al-Qur’an, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah mengatakan;
“Kemudian hadits-hadits selain itu, seperti hadits dengan lafazh, “Barangsiapa membaca surat ini maka ia diberi pahala demikian (dan semisalnya, pent), maka hadits-hadits tersebut dipalsukan atas nama Rasulullah _shallallahu alaihi wasallam.”_ (Lihat Al-Manar Al-Munif,
hal. 225-228).
Demikianlah salah satu *HADITSPALSU* yang telah beredar di internet, BBM, SMS atau media lainnya yang dapat saya sebutkan untuk kali ini.
Semoga kita semua semakin berhati-hati dalam mengamalkan hadits-hadits Nabi, mengajarkan dan menyebarluaskannya kepada orang lain. Dan hendaknya kita semua semakin bertambah semangat dalam mempelajari dan memegang teguh hadits-hadits Nabi yang shohih. wabillahi at-taufiq. wa Al-Hamdulillah alladzi bi ni’matihi tatimmu ash-sholihaat.
••• ════ ༻🎯༺ ════ •••
https://abufawaz.wordpress.com/2012/03/16/hadits-palsu-tentang-sepuluh-surat-al-quran-dapat-mencegah-sepuluh-keburukan/
BENARKAH MEMBACA SURAT AL WAQI'AH REZEKI JADI LANCAR❓
📖 BENARKAH MEMBACA SURAT AL WAQI'AH REZEKI JADI LANCAR❓
☀️💧☀️💧☀️💧☀️💧☀️💧☀️
Saya pernah membaca tentang khasiat Surat Al Waqi’ah yang dapat mendatangkan rezeki. Apakah benar QS. Al Waqi’ah tersebut dapat mendatangkan rezeki/kebaikan? Apakah ada hadits yang shahih mengenai hal ini? Dan apakah boleh saya membaca Al qur'an setelah itu berdoa memohon kebaikan/rezeki Allah Subhanahu wa Ta’ala? Terus terang saya takut bid’ah namun saya membutuhkan rezeki untuk kepentingan keluarga dan pribadi saya. Mohon penjelasannya Ustadz.
*Jawaban :*
Keutamaan surat Al Waqi’ah memang disebutkan di dalam banyak hadits, akan tetapi semua hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah karena sebagiannya lemah, bahkan ada yang palsu.
*Berikut ini di antara contoh hadits tersebut :*
من قرأ سورة الواقعة في كل ليلة لم تصبه فاقة أبدا
“Barangsiapa membaca surat Al Waqi’ah setiap Malam, maka dia tidak akan jatuh miskin selamanya.”
Hadits di atas dikeluarkan oleh al Harits bin Abu Usamah dalam kitab Musnad-nya, no. 178, dikeluarkan pula oleh Ibnu Sunniy dalam kitab Amalul Yaum wal Lailah, no. 674, dikeluarkan pula oleh Ibnu Bisyron dalam Al ‘Amali, I:38:20, dikeluarkan juga oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dan selainnya. Semuanya berasal dari jalan Abu Syuja’ dari Abu Thoyyibah dari Abdullah bin Mas’ud _radliallahu’anhu_
*Keterangan*
*Hadis ini dho'if (lemah)* karena dalam silsilah perawinya ada seorang yang lemah.
Al Imam Adz Dzahabi _rahimahullah_ berkata,” Abu Syuja’ adalah seorang yang tidak jelas, tidak dikenal. Demikian juga ia meriwayatkan dari Abu Thayyibah, siapa Abu Thayyibah itu?” (maksudnya dia adalah perawi yang tidak dikenal juga)
Al Munawi _rahimahullah_ dalam Fathul Qadir berkata,” Imam Az Zaila’i mengatakan bahwa ada perawi yang riwayatnya banyak cacat dari berbagai sisi. Pertama, riwayatnya terputus sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ad Daruquthni dan lainnya. Kedua, isi hadisnya munkar sebagaimana dijelaskan Imam Ahmad. Ketiga, perawi adalah orang-orang yang lemah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Jazari. Keempat, sungguh hadis ini berguncang dan telah sepakat atas kelemahan hadis ini di antaranya adalah Imam Ahmad, Imam Abu Hatim Ar Razi, putranya, Imam Ad Daruquthni, Al Baihaqi dan selainnya…”
(diringkas dari buku Silsilah Adh Dha’ifah, no. 289)
Kemudian hadits lainnya adalah
من قرأ سورة الواقعة كل ليلة لم تصبه فاقة أبدا، ومن قرأ كل ليلة {لا أقسم بيوم القيامة} لقي الله يوم القيامة ووجهه في صورة القمر ليلة البدر
“Barangsiapa yang membaca surat Al Waqi’ah setiap malam maka dia tidak akan jatuh miskin selamanya. Dan barangsiapa setiap malam membaca Surat Al Qiyamah maka dia akan berjumpa dengan Allah di hari kiamat sedangkan wajahnya bersinar layaknya rembulan di malam purnama.”
*Keterangan*
Hadits di atas adalah *PALSU / MAUDHU’* yang dikeluarkan oleh Ad Dailami dari jalan Ahmad bin Umar Al Yamami dengan sanadnya sampai Ibnu ‘Abbas _radliallahu ’anhuma_ dan disebutkan oleh Al Imam As Suyuthi dalam Dzailul Ahadis al Maudhu’ah no. 177. Imam Ahmad berkata,” Ahmad al Yamami adalah rawi yang kadzdzab (yang suka berdusta).”
(dikutip dari buku Silsilah Adh Dha’ifah, no. 290)
═════════════════════
📍 https://konsultasisyariah.com/11336-kasiat-surat-al-waqiah.html
☀️💧☀️💧☀️💧☀️💧☀️💧☀️
Saya pernah membaca tentang khasiat Surat Al Waqi’ah yang dapat mendatangkan rezeki. Apakah benar QS. Al Waqi’ah tersebut dapat mendatangkan rezeki/kebaikan? Apakah ada hadits yang shahih mengenai hal ini? Dan apakah boleh saya membaca Al qur'an setelah itu berdoa memohon kebaikan/rezeki Allah Subhanahu wa Ta’ala? Terus terang saya takut bid’ah namun saya membutuhkan rezeki untuk kepentingan keluarga dan pribadi saya. Mohon penjelasannya Ustadz.
*Jawaban :*
Keutamaan surat Al Waqi’ah memang disebutkan di dalam banyak hadits, akan tetapi semua hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah karena sebagiannya lemah, bahkan ada yang palsu.
*Berikut ini di antara contoh hadits tersebut :*
من قرأ سورة الواقعة في كل ليلة لم تصبه فاقة أبدا
“Barangsiapa membaca surat Al Waqi’ah setiap Malam, maka dia tidak akan jatuh miskin selamanya.”
Hadits di atas dikeluarkan oleh al Harits bin Abu Usamah dalam kitab Musnad-nya, no. 178, dikeluarkan pula oleh Ibnu Sunniy dalam kitab Amalul Yaum wal Lailah, no. 674, dikeluarkan pula oleh Ibnu Bisyron dalam Al ‘Amali, I:38:20, dikeluarkan juga oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dan selainnya. Semuanya berasal dari jalan Abu Syuja’ dari Abu Thoyyibah dari Abdullah bin Mas’ud _radliallahu’anhu_
*Keterangan*
*Hadis ini dho'if (lemah)* karena dalam silsilah perawinya ada seorang yang lemah.
Al Imam Adz Dzahabi _rahimahullah_ berkata,” Abu Syuja’ adalah seorang yang tidak jelas, tidak dikenal. Demikian juga ia meriwayatkan dari Abu Thayyibah, siapa Abu Thayyibah itu?” (maksudnya dia adalah perawi yang tidak dikenal juga)
Al Munawi _rahimahullah_ dalam Fathul Qadir berkata,” Imam Az Zaila’i mengatakan bahwa ada perawi yang riwayatnya banyak cacat dari berbagai sisi. Pertama, riwayatnya terputus sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ad Daruquthni dan lainnya. Kedua, isi hadisnya munkar sebagaimana dijelaskan Imam Ahmad. Ketiga, perawi adalah orang-orang yang lemah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Jazari. Keempat, sungguh hadis ini berguncang dan telah sepakat atas kelemahan hadis ini di antaranya adalah Imam Ahmad, Imam Abu Hatim Ar Razi, putranya, Imam Ad Daruquthni, Al Baihaqi dan selainnya…”
(diringkas dari buku Silsilah Adh Dha’ifah, no. 289)
Kemudian hadits lainnya adalah
من قرأ سورة الواقعة كل ليلة لم تصبه فاقة أبدا، ومن قرأ كل ليلة {لا أقسم بيوم القيامة} لقي الله يوم القيامة ووجهه في صورة القمر ليلة البدر
“Barangsiapa yang membaca surat Al Waqi’ah setiap malam maka dia tidak akan jatuh miskin selamanya. Dan barangsiapa setiap malam membaca Surat Al Qiyamah maka dia akan berjumpa dengan Allah di hari kiamat sedangkan wajahnya bersinar layaknya rembulan di malam purnama.”
*Keterangan*
Hadits di atas adalah *PALSU / MAUDHU’* yang dikeluarkan oleh Ad Dailami dari jalan Ahmad bin Umar Al Yamami dengan sanadnya sampai Ibnu ‘Abbas _radliallahu ’anhuma_ dan disebutkan oleh Al Imam As Suyuthi dalam Dzailul Ahadis al Maudhu’ah no. 177. Imam Ahmad berkata,” Ahmad al Yamami adalah rawi yang kadzdzab (yang suka berdusta).”
(dikutip dari buku Silsilah Adh Dha’ifah, no. 290)
═════════════════════
📍 https://konsultasisyariah.com/11336-kasiat-surat-al-waqiah.html
HUKUM NAMA KUNYAH
HUKUM NAMA KUNYAH
Pertanyaan :
1. Apa hukum nama kunyah itu?
2. Apakah harus sudah mempunyai anak?
3. Apa adab-adab dalam membuat nama kunyah?
Jawab :
Dari Anas bin Malik, “Rasulullah sering menemui kami. Aku punya adik yang berkunyah Abu ‘Umair. Dia punya seekor burung yang sering dipakai untuk bermain. Suatu hari Nabi datang setelah burung tersebut mati. Beliau melihat Abu ‘Umair bermuram muka. Nabi lantas bertanya kepada kami ‘ada apa dengannya?’, ‘burungnya mati,’ sahut kami. Nabi lalu bersabda ‘Hai Abu ‘Umair apa yang telah dilakukan oleh burungmu?'” (HR. Bukhori, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi, Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 7830)
Kunyah adalah nama yang dimulai dengan ABU atau UMMU. Ada juga ulama yang mengatakan termasuk juga nama yang diawali dengan saudara/paman…, kunyah terkadang untuk memuji sebagaimana shahabat Nabi yang dulunya berkunyah Abu Hakam, terkadang untuk mencela semacam Abu Jahal, terkadang disebabkan karena membawa sesuatu semisal Abu Hurairah dan terkadang hanya sekedar nama semisal Abu Bakar dan Abul Abbas Ibnu Taimiyyah, padahal Ibnu Taimiyyah tidak mempunyai anak. (Lihat Al-Qoul Al-Mufid ‘Ala Kitab At-Tauhid 2/169, Maktabah Al-’Ilmi).
Dalam Syarah Muslim 14/129, Imam Nawawi mengatakan, “Pelajaran yang bisa dipetik dari Hadits tersebut sangat banyak sekali. Diantaranya menunjukkan bahwa kunyah untuk orang yang tidak punya anak itu diperbolehkan, juga menunjukkan bolehnya kunyah untuk anak kecil dan hal tersebut tidak termasuk kebohongan.” (Dari Ahkam Ath-Thifli hal. 165).
Dalam Tuhfatul Aba’ dinyatakan, “Hadits di atas menunjukkan bahwa anak kecil boleh punya kunyah. Anak kecil yang suka bermain dengan burung dalam Hadits di atas berkunyah Abu ‘Umair, bahkan Nabi pun memanggilnya dengan kunyah tersebut. Ini termasuk adab Arab yang bagus. Kunyah untuk anak kecil itu berfungsi mengangkat dirinya, meningkatkan kecerdasannya dan menyebabkan dia merasa dihargai.” (Tuhfatul Aba’ Bima Warada fi Tarbi Yatul Aulad, Dar Al-Qasim hal. 33).
Jadi Hadits di atas menunjukkan bahwa anak kecil boleh diberi kunyah. (Lihat juga Ahkam Ath-Thifli, Darul Hijrah hal. 164).
Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bertanya kepada seorang sjahabat, beliau berkunyah Abul Hakam -padahal Al-Ahkam adalah nama Allah-, ‘Apakah engkau mempunyai anak ?’, shahabat tersebut menjawab, ‘Syuraih, Muslim, dan Abdullah’, ‘Siapa yang paling tua diantara ketiganya? lanjut Nabi, ‘Syuraih’ kata shahabat tersebut. Nabi bersabda, ‘Jika demikian maka engkau adalah Abu Syuraih.’ (HR. Abu dawud dan Nasai, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 2615).
Dalam Ahkam Ath-Thifli dinyatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa berkunyah dengan nama Allah semisal Abul Ahkam dan Abul ‘Ala adalah tidak dibolehkan.” (Ahkam Ath-Thifli karya Ahmad Al-Isawi hal. 165).
Syaikh Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Hadits di atas tidak menunjukkan bahwa berkunyah itu dianjurkan karena Nabi ingin mengubah shahabat tersebut dengan kunyah yang diperbolehkan dan Nabi tidak memerintahkan berkunyah pada awal mulanya.” (Al-Qoul Al-Mufid 2/170).
Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim mengatakan, “Dalam Hadits di atas Nabi memberi kunyah dengan anak yang paling tua dan itulah yang sesuai dengan sunnah sebagaimana terdapat dalam beberapa Hadits. Jika tidak memiliki anak laki-laki maka dengan nama anak perempuan yang paling tua. Ketentuan ini juga berlaku untuk kunyah seorang perempuan.” (Hasyiah Kitab At-Tauhid hal. 318).
Jadi, diantara adab yang berkenaan dengan nama kunyah adalah:
Tidak boleh berkunyah dengan nama Allah semisal Abul A’la (Al-Maududi).
Kunyah itu dengan nama anak laki-laki yang paling tua. Jika tidak ada anak laki-laki maka dengan nama anak perempuan yang paling tua.
Orang yang belum atau tidak punya anak boleh berkunyah. Oleh karena itu anak kecil yang jelas belum menikah diperbolehkan untuk berkunyah.
Tidak boleh berkunyah ‘Abul Qosim’ berdasarkan Hadits Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, “Hendaklah kalian bernama dengan nama-namaku tetapi jangan berkunyah dengan kunyahku (Abul Qosim).” (HR. Bukhori no. 3537 dll).
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Pendapat yang benar bernama dengan nama Nabi itu diperbolehkan. Sedangkan berkunyah dengan kunyah Nabi itu terlarang. Berkunyah dengan kunyah Nabi saat beliau masih hidup itu terlarang lagi. Terkumpulnya nama dan kunyah Nabi pada diri seseorang juga terlarang.” (Zaadul Ma’ad, 2/317, Muassasah Ar-Risalah).
Beliau juga mengatakan, “Kunyah adalah salah satu bentuk penghormatan terhadap orang yang diberi kunyah… diantara petunjuk Nabi adalah memberi kepada orang yang sudah punya ataupun yang tidak punya anak. Tidak terdapat Hadits yang melarang berkunyah dengan nama tertentu, kecuali berkunyah dengan nama Abul Qasim.” (Zaadul Maad, 2/314).
Imam Ibnu Muflih berkata, “Diperbolehkan berkunyah meskipun belum memiliki anak.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 3/152, Muassasah Ar-Risalah).
***
Dijawab Oleh: Ust. Abu Ukkasyah Aris Munandar
https://konsultasisyariah.com/397-hukum-nama-kunyah.html
Pertanyaan :
1. Apa hukum nama kunyah itu?
2. Apakah harus sudah mempunyai anak?
3. Apa adab-adab dalam membuat nama kunyah?
Jawab :
Dari Anas bin Malik, “Rasulullah sering menemui kami. Aku punya adik yang berkunyah Abu ‘Umair. Dia punya seekor burung yang sering dipakai untuk bermain. Suatu hari Nabi datang setelah burung tersebut mati. Beliau melihat Abu ‘Umair bermuram muka. Nabi lantas bertanya kepada kami ‘ada apa dengannya?’, ‘burungnya mati,’ sahut kami. Nabi lalu bersabda ‘Hai Abu ‘Umair apa yang telah dilakukan oleh burungmu?'” (HR. Bukhori, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi, Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 7830)
Kunyah adalah nama yang dimulai dengan ABU atau UMMU. Ada juga ulama yang mengatakan termasuk juga nama yang diawali dengan saudara/paman…, kunyah terkadang untuk memuji sebagaimana shahabat Nabi yang dulunya berkunyah Abu Hakam, terkadang untuk mencela semacam Abu Jahal, terkadang disebabkan karena membawa sesuatu semisal Abu Hurairah dan terkadang hanya sekedar nama semisal Abu Bakar dan Abul Abbas Ibnu Taimiyyah, padahal Ibnu Taimiyyah tidak mempunyai anak. (Lihat Al-Qoul Al-Mufid ‘Ala Kitab At-Tauhid 2/169, Maktabah Al-’Ilmi).
Dalam Syarah Muslim 14/129, Imam Nawawi mengatakan, “Pelajaran yang bisa dipetik dari Hadits tersebut sangat banyak sekali. Diantaranya menunjukkan bahwa kunyah untuk orang yang tidak punya anak itu diperbolehkan, juga menunjukkan bolehnya kunyah untuk anak kecil dan hal tersebut tidak termasuk kebohongan.” (Dari Ahkam Ath-Thifli hal. 165).
Dalam Tuhfatul Aba’ dinyatakan, “Hadits di atas menunjukkan bahwa anak kecil boleh punya kunyah. Anak kecil yang suka bermain dengan burung dalam Hadits di atas berkunyah Abu ‘Umair, bahkan Nabi pun memanggilnya dengan kunyah tersebut. Ini termasuk adab Arab yang bagus. Kunyah untuk anak kecil itu berfungsi mengangkat dirinya, meningkatkan kecerdasannya dan menyebabkan dia merasa dihargai.” (Tuhfatul Aba’ Bima Warada fi Tarbi Yatul Aulad, Dar Al-Qasim hal. 33).
Jadi Hadits di atas menunjukkan bahwa anak kecil boleh diberi kunyah. (Lihat juga Ahkam Ath-Thifli, Darul Hijrah hal. 164).
Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bertanya kepada seorang sjahabat, beliau berkunyah Abul Hakam -padahal Al-Ahkam adalah nama Allah-, ‘Apakah engkau mempunyai anak ?’, shahabat tersebut menjawab, ‘Syuraih, Muslim, dan Abdullah’, ‘Siapa yang paling tua diantara ketiganya? lanjut Nabi, ‘Syuraih’ kata shahabat tersebut. Nabi bersabda, ‘Jika demikian maka engkau adalah Abu Syuraih.’ (HR. Abu dawud dan Nasai, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 2615).
Dalam Ahkam Ath-Thifli dinyatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa berkunyah dengan nama Allah semisal Abul Ahkam dan Abul ‘Ala adalah tidak dibolehkan.” (Ahkam Ath-Thifli karya Ahmad Al-Isawi hal. 165).
Syaikh Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Hadits di atas tidak menunjukkan bahwa berkunyah itu dianjurkan karena Nabi ingin mengubah shahabat tersebut dengan kunyah yang diperbolehkan dan Nabi tidak memerintahkan berkunyah pada awal mulanya.” (Al-Qoul Al-Mufid 2/170).
Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim mengatakan, “Dalam Hadits di atas Nabi memberi kunyah dengan anak yang paling tua dan itulah yang sesuai dengan sunnah sebagaimana terdapat dalam beberapa Hadits. Jika tidak memiliki anak laki-laki maka dengan nama anak perempuan yang paling tua. Ketentuan ini juga berlaku untuk kunyah seorang perempuan.” (Hasyiah Kitab At-Tauhid hal. 318).
Jadi, diantara adab yang berkenaan dengan nama kunyah adalah:
Tidak boleh berkunyah dengan nama Allah semisal Abul A’la (Al-Maududi).
Kunyah itu dengan nama anak laki-laki yang paling tua. Jika tidak ada anak laki-laki maka dengan nama anak perempuan yang paling tua.
Orang yang belum atau tidak punya anak boleh berkunyah. Oleh karena itu anak kecil yang jelas belum menikah diperbolehkan untuk berkunyah.
Tidak boleh berkunyah ‘Abul Qosim’ berdasarkan Hadits Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, “Hendaklah kalian bernama dengan nama-namaku tetapi jangan berkunyah dengan kunyahku (Abul Qosim).” (HR. Bukhori no. 3537 dll).
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Pendapat yang benar bernama dengan nama Nabi itu diperbolehkan. Sedangkan berkunyah dengan kunyah Nabi itu terlarang. Berkunyah dengan kunyah Nabi saat beliau masih hidup itu terlarang lagi. Terkumpulnya nama dan kunyah Nabi pada diri seseorang juga terlarang.” (Zaadul Ma’ad, 2/317, Muassasah Ar-Risalah).
Beliau juga mengatakan, “Kunyah adalah salah satu bentuk penghormatan terhadap orang yang diberi kunyah… diantara petunjuk Nabi adalah memberi kepada orang yang sudah punya ataupun yang tidak punya anak. Tidak terdapat Hadits yang melarang berkunyah dengan nama tertentu, kecuali berkunyah dengan nama Abul Qasim.” (Zaadul Maad, 2/314).
Imam Ibnu Muflih berkata, “Diperbolehkan berkunyah meskipun belum memiliki anak.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 3/152, Muassasah Ar-Risalah).
***
Dijawab Oleh: Ust. Abu Ukkasyah Aris Munandar
https://konsultasisyariah.com/397-hukum-nama-kunyah.html
Nisab Barang Temuan
Nisab Barang Temuan
*Pertanyaan:*
Berapa nishob (batas bawah) barang temuan, saya bingung ketika menemukan uang 5 ribu di jalan mau diapakan, terimakasih.
*Jawaban:*
Bismillah, walhamdulillah, wassholatu wassalamu ‘ala Rasulillah, Amma Ba’du:
Saudara/saudari yang kami muliakan, *barang temuan atau Luqathah* merupakan harta/barang yang hilang dari pemiliknya dan ditemukan oleh orang lain, Para ulama di antaranya Ibnul Ghorobili rahimahullahu ta’ala mendefenisikan:
مالٌ ضاع من مالكه بسقوط أو غفلة ونحوهما
“Luqathah adalah harta yang hilang dari pemiliknya baik dengan cara terjatuh ataupun karena kelalaian dan selainnya” (fathul Qoribil Mujib fi Alfazhit Taqrib: 1/206).
Islam telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara memperlakukan harta/barang temuan tersebut, sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ :
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ -رضي الله عنه-: «أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- عَنِ اللُّقَطَةِ قَالَ: عَرِّفْهَا سَنَةً ثُمَّ اعْرِفْ وِكَاءَهَا وَعِفَاصَهَا، ثُمَّ اسْتَنْفِقْ بِهَا، فَإِنْ جَاءَ رَبُّهَا فَأَدِّهَا إِلَيْهِ
“Dari Zaid bin Khalid al-Juhani bahwa Nabi ﷺ ditanya oleh seseorang tentang barang temuan, maka Nabi ﷺ bersabda: “Umumkanlah selama satu tahun, kemudian kenalilah tali pengikatnya atau kantongnya, kemudian kamu pergunakan, jika datang pemiliknya maka berikanlah kepadanya” (HR. Bukhari : 2256, Muslim : 3248).
Dari hadits tersebut dijelaskan bahwa barang temuan harus diumumkan selama satu tahun, sebagaimana juga yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah:
وَأَمَّا تَعْرِيفُ سَنَةٍ فَقَدْ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى وُجُوبِهِ إِذَا كَانَتِ اللُّقَطَةُ لَيْسَتْ تَافِهَةً وَلَا فِي مَعْنَى التَّافِهَةِ
“Dan dalam urusan mengumumkan barang temuan selama satu tahun merupakan perkara yang telah disepakati kewajibannya oleh para ulama jika barang temuan tersebut bukanlah sesuatu yang remeh atau tidak berharga. ( Syarhun Nawawi ala Muslim: 12/22).
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah juga menjelaskan:
الواجب عليك وعلى غيرك ممن يجد لقطة ذات أهمية تعريفها سنة كاملة في مجامع الناس كل شهر مرتين أو ثلاثا فإن عرفت سلمها لصاحبها، وإن لم تعرف فهي له بعد السنة
“Yang diwajibkan kepadamu dan kepada selainmu di antara orang-orang yang menemukan sebuah barang temuan yang bernilai adalah mengumumkannya selama satu tahun penuh di tempat-tempat umum (tempat berkumpulnya manusia) setiap satu bulan sebanyak dua kali atau tiga kali, jika telah kamu ketahui pemiliknya maka serahkan kepadanya, dan jika belum diketahui pemiliknya maka barang tersebut menjadi milikmu setelah satu tahun berlalu” (Majmu’ Fatawa ibnu Baaz: 19/429).
Adapun jika setelah satu tahun berlalu dan pemiliknya datang maka dijelaskan oleh Imam Badruddin Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-‘Ainiy rahimahullah:
إذَا جاءَ صاحِبُ اللُّقَطَةِ بَعْدَ سَنَةٍ ردَّهَا علَيْهِ لِأَنَّها ودِيعَةٌ عِنْدَهُ
“Jika datang pemilik barang temuan tersebut setelah berlalu satu tahun, maka harus dikembalikan kepadanya, karena ia berstatus barang titipan di sisinya“. (Umdatul Qori Syarhu Shohihil Bukhari: 12/279)
Berdasarkan penjelasan para ulama, bahwa barang temuan yang wajib diumumkan selama satu tahun adalah barang-barang yang memiliki nilai atau berharga, adapun barang-barang yang tidak berharga, maka dikecualikan, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama:
وقال قوم ينتفع بالقليل التافه من غير تعريف كالنعل والسوط والجراب ونحوها مما يرتفق به ولا يتمول. وعن بعضهم أن ما دون عشرة دراهم قليل. وقال بعضهم إنما يعرف من اللقطة ما كان فوق الدينار واستدل بحديث علي رضي الله عنه أنه وجد دينارا فأخبر بذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم فأمره أن يشتري به دقيقا ولحما فلما وضع الطعام جاء صاحب الدينار قال فهذا لم يعرفه سنة لكن استنفقه حين وجده فدل ذلك على فرق ما بين القليل من اللقطة والكثير منها
“Sebagian ulama mengatakan bahwa bolehnya memanfaatkan barang temuan yang sedikit dan tidak bernilai tanpa harus diumumkan selama setahun, seperti sandal, cambuk, kantong, dan yang semisal dengannya dari apa-apa yang bisa dimanfaatkan dan tidak dijadikan modal usaha, dan sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa apa yang nilainya kurang dari 10 dirham maka dianggap sedikit, dan sebagian lagi berpendapat bahwa apapun yang nilainya di atas 1 dinar maka wajib diumumkan setahun berdasarkan hadits Ali radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau mendapatkan 1 dinar dan mengabarkannya kepada Rasulullah ﷺ, maka Rasulullah ﷺ menyuruhnya untuk membeli tepung dan daging, maka ketika ia meletakkan makanan tersebut datanglah pemilik 1 dinar tersebut, dan beliau berkata: “ini belum diumumkannya selama satu tahun akan tetapi ia belanjakan langsung ketika mendapatkannya”, hal ini menunjukkan bahwa berbeda hukumnya antara barang temuan yang sedikit dengan yang banyak”. (Maalimus Sunan : 2/87).
Sehingga mengenai batas bawah barang temuan yang dianggap sedikit, maka Imam Abul Abbas Ahmad bin Muhammad al-Khatib al-Qhasthalaniy rahimahullah menyebutkan bahwa:
وحدّ القليل ما لا يوجب القطع وهو ما دون العشرة
“dan batas bawah barang temuan yang dianggap sedikit adalah yang tidak menjatuhkan hukuman potong tangan dalam kasus pencurian, yaitu di bawah 10 dirham” (Irsyadus Saari lisyarhi Shohihil Bukhari: 4/251).
Imam Badruddin Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-‘Ainiy rahimahullah menjelaskan bahwa:
وَإِن كَانَت اللّقطَة مِمَّا يعلم أَن صَاحبهَا لَا يتطلبها: كالنواة وقشور الرُّمَّان فإلقاؤه إِبَاحَة أَخذه فَيجوز الِانْتِفَاع بِهِ من غير تَعْرِيف، وَلكنه يبْقى على ملك مَالِكه، لِأَن التَّمْلِيك من الْمَجْهُول لَا يَصح, وَقَالَ ابْن رشد الأَصْل فِي ذَلِك مَا رُوِيَ أَنه صلى الله عَلَيْهِ وَسلم مر بتمرة فِي الطَّرِيق، (فَقَالَ: لَوْلَا أَن تكون من الصَّدَقَة لأكلتها) ، وَلم يذكر فِيهَا تعريفاً، وَهَذَا مثل الْعَصَا وَالسَّوْط
“Dan jika barang temuan tersebut dari hal-hal yang diketahui bahwa pemiliknya tidak akan mencarinya, seperti biji kurma, atau kulit delima, maka dibolehkan mengambilnya dan memanfaatkannya tanpa harus diumumkan, akan tetapi statusnya tetap hak milik bagi pemilik semula, karena kepemilikan dari sesuatu yang tidak diketahui asal-usulnya tidaklah sah, dan Ibnu Rusyd berkata bahwa dalilnya berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah menemukan sebuah kurma di jalan dan beliau ﷺ bersabda: “Seandainya kurma ini bukan harta sedekah maka akan aku makan”, dan beliau ﷺ tidak mengharuskan untuk diumumkan barang temuan tersebut, hal ini serupa dengan tongkat dan cambuk”. (Umdatul Qori Syarhu Shohihil Bukhari: 12/273).
Penjelasan lainnya mengenai batas bawah yang dianggap sebagai barang temuan yang sedikit telah diungkapkan pula oleh Al-Imam Syihabuddin Abul Abbas Ahmad bin an-Naqib al-Mishriy rahimahullah:
وإنْ كانت اللقَطةُ يسيرةً وهيَ مما لا يُتأَسَّفُ عليهِ ويُعرَضُ عنهُ غالباً إذا فُقِدَ لمْ يجبْ تعريفها سنةً بلْ زمناً يُظَنُّ أنَّ فاقدها أعرضَ عنها
“Dan jika barang temuan bernilai sedikit yaitu sesuatu yang apabila pemiliknya tidak merasa bersedih atau pemiliknya merasa tidak peduli pada umumnya jika barang tersebut hilang, maka tidak diwajibkan untuk diumumkan selama satu tahun, akan tetapi cukup diumumkan dalam waktu yang diperkirakan bahwa pemiliknya telah merasa tidak peduli terhadap barang tersebut” (Umdatul Masalik wa Uddatun Nasik: 1/179).
Sehingga, dari penjelasan-penjelasan tersebut, maka batas bawah harta/barang temuan yang dianggap sedikit adalah dikembalikan kepada “Urf” atau kebiasaan/anggapan masyarakat di daerah setempat karena dalam hal ini tidaklah disebutkan secara jelas oleh syariat. Sehingga pada anggapan masyarakat kita di saat ini uang Rp. 5.000,- sudah dinilai tidak berharga, dan boleh untuk dimanfaatkan, Wallahu A’lam.
_______________
Dijawab Oleh Ustadz Hafzan Elhadi, Lc. M.Kom
https://konsultasisyariah.com/35954-nisab-barang-temuan-menemukan-uang-5-ribu-boleh-dimanfaatkan.html
*Pertanyaan:*
Berapa nishob (batas bawah) barang temuan, saya bingung ketika menemukan uang 5 ribu di jalan mau diapakan, terimakasih.
*Jawaban:*
Bismillah, walhamdulillah, wassholatu wassalamu ‘ala Rasulillah, Amma Ba’du:
Saudara/saudari yang kami muliakan, *barang temuan atau Luqathah* merupakan harta/barang yang hilang dari pemiliknya dan ditemukan oleh orang lain, Para ulama di antaranya Ibnul Ghorobili rahimahullahu ta’ala mendefenisikan:
مالٌ ضاع من مالكه بسقوط أو غفلة ونحوهما
“Luqathah adalah harta yang hilang dari pemiliknya baik dengan cara terjatuh ataupun karena kelalaian dan selainnya” (fathul Qoribil Mujib fi Alfazhit Taqrib: 1/206).
Islam telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara memperlakukan harta/barang temuan tersebut, sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ :
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ -رضي الله عنه-: «أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- عَنِ اللُّقَطَةِ قَالَ: عَرِّفْهَا سَنَةً ثُمَّ اعْرِفْ وِكَاءَهَا وَعِفَاصَهَا، ثُمَّ اسْتَنْفِقْ بِهَا، فَإِنْ جَاءَ رَبُّهَا فَأَدِّهَا إِلَيْهِ
“Dari Zaid bin Khalid al-Juhani bahwa Nabi ﷺ ditanya oleh seseorang tentang barang temuan, maka Nabi ﷺ bersabda: “Umumkanlah selama satu tahun, kemudian kenalilah tali pengikatnya atau kantongnya, kemudian kamu pergunakan, jika datang pemiliknya maka berikanlah kepadanya” (HR. Bukhari : 2256, Muslim : 3248).
Dari hadits tersebut dijelaskan bahwa barang temuan harus diumumkan selama satu tahun, sebagaimana juga yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah:
وَأَمَّا تَعْرِيفُ سَنَةٍ فَقَدْ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى وُجُوبِهِ إِذَا كَانَتِ اللُّقَطَةُ لَيْسَتْ تَافِهَةً وَلَا فِي مَعْنَى التَّافِهَةِ
“Dan dalam urusan mengumumkan barang temuan selama satu tahun merupakan perkara yang telah disepakati kewajibannya oleh para ulama jika barang temuan tersebut bukanlah sesuatu yang remeh atau tidak berharga. ( Syarhun Nawawi ala Muslim: 12/22).
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah juga menjelaskan:
الواجب عليك وعلى غيرك ممن يجد لقطة ذات أهمية تعريفها سنة كاملة في مجامع الناس كل شهر مرتين أو ثلاثا فإن عرفت سلمها لصاحبها، وإن لم تعرف فهي له بعد السنة
“Yang diwajibkan kepadamu dan kepada selainmu di antara orang-orang yang menemukan sebuah barang temuan yang bernilai adalah mengumumkannya selama satu tahun penuh di tempat-tempat umum (tempat berkumpulnya manusia) setiap satu bulan sebanyak dua kali atau tiga kali, jika telah kamu ketahui pemiliknya maka serahkan kepadanya, dan jika belum diketahui pemiliknya maka barang tersebut menjadi milikmu setelah satu tahun berlalu” (Majmu’ Fatawa ibnu Baaz: 19/429).
Adapun jika setelah satu tahun berlalu dan pemiliknya datang maka dijelaskan oleh Imam Badruddin Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-‘Ainiy rahimahullah:
إذَا جاءَ صاحِبُ اللُّقَطَةِ بَعْدَ سَنَةٍ ردَّهَا علَيْهِ لِأَنَّها ودِيعَةٌ عِنْدَهُ
“Jika datang pemilik barang temuan tersebut setelah berlalu satu tahun, maka harus dikembalikan kepadanya, karena ia berstatus barang titipan di sisinya“. (Umdatul Qori Syarhu Shohihil Bukhari: 12/279)
Berdasarkan penjelasan para ulama, bahwa barang temuan yang wajib diumumkan selama satu tahun adalah barang-barang yang memiliki nilai atau berharga, adapun barang-barang yang tidak berharga, maka dikecualikan, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama:
وقال قوم ينتفع بالقليل التافه من غير تعريف كالنعل والسوط والجراب ونحوها مما يرتفق به ولا يتمول. وعن بعضهم أن ما دون عشرة دراهم قليل. وقال بعضهم إنما يعرف من اللقطة ما كان فوق الدينار واستدل بحديث علي رضي الله عنه أنه وجد دينارا فأخبر بذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم فأمره أن يشتري به دقيقا ولحما فلما وضع الطعام جاء صاحب الدينار قال فهذا لم يعرفه سنة لكن استنفقه حين وجده فدل ذلك على فرق ما بين القليل من اللقطة والكثير منها
“Sebagian ulama mengatakan bahwa bolehnya memanfaatkan barang temuan yang sedikit dan tidak bernilai tanpa harus diumumkan selama setahun, seperti sandal, cambuk, kantong, dan yang semisal dengannya dari apa-apa yang bisa dimanfaatkan dan tidak dijadikan modal usaha, dan sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa apa yang nilainya kurang dari 10 dirham maka dianggap sedikit, dan sebagian lagi berpendapat bahwa apapun yang nilainya di atas 1 dinar maka wajib diumumkan setahun berdasarkan hadits Ali radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau mendapatkan 1 dinar dan mengabarkannya kepada Rasulullah ﷺ, maka Rasulullah ﷺ menyuruhnya untuk membeli tepung dan daging, maka ketika ia meletakkan makanan tersebut datanglah pemilik 1 dinar tersebut, dan beliau berkata: “ini belum diumumkannya selama satu tahun akan tetapi ia belanjakan langsung ketika mendapatkannya”, hal ini menunjukkan bahwa berbeda hukumnya antara barang temuan yang sedikit dengan yang banyak”. (Maalimus Sunan : 2/87).
Sehingga mengenai batas bawah barang temuan yang dianggap sedikit, maka Imam Abul Abbas Ahmad bin Muhammad al-Khatib al-Qhasthalaniy rahimahullah menyebutkan bahwa:
وحدّ القليل ما لا يوجب القطع وهو ما دون العشرة
“dan batas bawah barang temuan yang dianggap sedikit adalah yang tidak menjatuhkan hukuman potong tangan dalam kasus pencurian, yaitu di bawah 10 dirham” (Irsyadus Saari lisyarhi Shohihil Bukhari: 4/251).
Imam Badruddin Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-‘Ainiy rahimahullah menjelaskan bahwa:
وَإِن كَانَت اللّقطَة مِمَّا يعلم أَن صَاحبهَا لَا يتطلبها: كالنواة وقشور الرُّمَّان فإلقاؤه إِبَاحَة أَخذه فَيجوز الِانْتِفَاع بِهِ من غير تَعْرِيف، وَلكنه يبْقى على ملك مَالِكه، لِأَن التَّمْلِيك من الْمَجْهُول لَا يَصح, وَقَالَ ابْن رشد الأَصْل فِي ذَلِك مَا رُوِيَ أَنه صلى الله عَلَيْهِ وَسلم مر بتمرة فِي الطَّرِيق، (فَقَالَ: لَوْلَا أَن تكون من الصَّدَقَة لأكلتها) ، وَلم يذكر فِيهَا تعريفاً، وَهَذَا مثل الْعَصَا وَالسَّوْط
“Dan jika barang temuan tersebut dari hal-hal yang diketahui bahwa pemiliknya tidak akan mencarinya, seperti biji kurma, atau kulit delima, maka dibolehkan mengambilnya dan memanfaatkannya tanpa harus diumumkan, akan tetapi statusnya tetap hak milik bagi pemilik semula, karena kepemilikan dari sesuatu yang tidak diketahui asal-usulnya tidaklah sah, dan Ibnu Rusyd berkata bahwa dalilnya berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah menemukan sebuah kurma di jalan dan beliau ﷺ bersabda: “Seandainya kurma ini bukan harta sedekah maka akan aku makan”, dan beliau ﷺ tidak mengharuskan untuk diumumkan barang temuan tersebut, hal ini serupa dengan tongkat dan cambuk”. (Umdatul Qori Syarhu Shohihil Bukhari: 12/273).
Penjelasan lainnya mengenai batas bawah yang dianggap sebagai barang temuan yang sedikit telah diungkapkan pula oleh Al-Imam Syihabuddin Abul Abbas Ahmad bin an-Naqib al-Mishriy rahimahullah:
وإنْ كانت اللقَطةُ يسيرةً وهيَ مما لا يُتأَسَّفُ عليهِ ويُعرَضُ عنهُ غالباً إذا فُقِدَ لمْ يجبْ تعريفها سنةً بلْ زمناً يُظَنُّ أنَّ فاقدها أعرضَ عنها
“Dan jika barang temuan bernilai sedikit yaitu sesuatu yang apabila pemiliknya tidak merasa bersedih atau pemiliknya merasa tidak peduli pada umumnya jika barang tersebut hilang, maka tidak diwajibkan untuk diumumkan selama satu tahun, akan tetapi cukup diumumkan dalam waktu yang diperkirakan bahwa pemiliknya telah merasa tidak peduli terhadap barang tersebut” (Umdatul Masalik wa Uddatun Nasik: 1/179).
Sehingga, dari penjelasan-penjelasan tersebut, maka batas bawah harta/barang temuan yang dianggap sedikit adalah dikembalikan kepada “Urf” atau kebiasaan/anggapan masyarakat di daerah setempat karena dalam hal ini tidaklah disebutkan secara jelas oleh syariat. Sehingga pada anggapan masyarakat kita di saat ini uang Rp. 5.000,- sudah dinilai tidak berharga, dan boleh untuk dimanfaatkan, Wallahu A’lam.
_______________
Dijawab Oleh Ustadz Hafzan Elhadi, Lc. M.Kom
https://konsultasisyariah.com/35954-nisab-barang-temuan-menemukan-uang-5-ribu-boleh-dimanfaatkan.html
APA YANG HARUS DILAKUKAN BILA MENEMUKAN UANG
APA YANG HARUS DILAKUKAN BILA MENEMUKAN UANG
Saya ingin bertanya, di tempat saya bekerja terkadang saya menemukan uang,
apa yang harus di lakukan dengan uang tersebut???
sementara tidak ada orang yang mengakui nya.
*Jawab :*
Apabila nilai uang itu remeh dan kecil yang biasanya tidak diperdulikan bila hilang maka tidak wajib mengumumkannya misalnya uang 500 rupiah atau yang senilai dengan itu. Apabila uang yang anda temukan nilainya besar maka wajib mengumumkannya selama setahun.
Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi pernah ditanya:
*Pertanyaan:*
Seseorang menemukan lima ratus riyal di jalan yang saat itu tidak ada pejalan kaki sama sekali. Uang itu disimpannya dengan harapan pemiliknya datang dan menanyakannya. Namun tidak ada satu orang pun yang datang menanyakannya, padahal uang itu sudah disimpannya selama satu setengah bulan. Apa yang harus dia lakukan dengan uang itu? Apakah dia boleh mengambil seluruhnya, atau menggunakan setengahnya dan menyedekahkan setengahnya lagi kepada kaum fakir miskin atas nama pemiliknya? Ataukah dia harus menyerahkannya ke baitul mal? Bagaimana hukum bagi orang yang menemukan sejumlah uang di Makkah al-Mukarramah, atau di luarnya seperti Thaif atau Jeddah?
*Mereka menjawab:*
Orang yang menemukan sejumlah uang yang terjatuh di jalan boleh memungutnya jika dia mau dan dia berusaha mengenali ciri-ciri pembedanya. Lalu uang itu diumumkan selama setahun di tempat berkumpulnya banyak orang atau diiklankan di majalah-majalah. Apabila pemiliknya datang dan menyebutkan ciri-cirinya dengan tepat, maka uang itu harus diserahkan kepadanya. Dasarnya adalah sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tatkala ditanya tentang barang temuan,
اِعْرِفْ عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا وَعَدَدَهَا ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً، فَإِنْ لَمْ تُعْرَفْ فَهِيَ لَكَ
"Kenalilah tempat penyimpannya, tali pengikat, dan jumlahnya. Kemudian umumkan selama satu tahun. Jika tidak ada yang mengenalnya, maka barang temuan itu menjadi milikmu."(Muttafaq `Alaih).
Apabila pemiliknya datang dan mengetahui ciri-cirinya, maka barang itu harus diserahkan kepadanya tanpa perlu menyerahkan hasil perkembangan dari pemanfaatan barang temuan itu jika telah diumumkan setahun. Sebab, dalam periode itu status barang tersebut adalah milik orang yang menemukan, sehingga harta yang berkembang itu merupakan miliknya.
Dia wajib mengumumkan barang temuan itu selama satu tahun dengan cara menyerukan dan mengiklankannya sebanyak dua atau tiga kali setiap bulan. Semua keterangan di atas berlaku untuk selain barang temuan di Makkah. Adapun barang temuan di Makkah tidak boleh dimiliki, dan hanya boleh diambil oleh orang yang hendak mengumumkannya setiap saat. Ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam,
وَلاَ تَحِلُّ لُقَطَتُهَا إِلَّا لِمُنْشِدٍ
"Barang temuan yang berada di tanah Haram tidak boleh diambil, kecuali bagi orang yang bermaksud mengumumkannya." Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam. Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 11/229-230 Pertanyaan Pertama dari Fatwa Nomor:16482
Terkait standar nilai sedikit dan banyak Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi pernah ditanya:
Apa standar yang diberlakukan terhadap barang temuan sehingga dapat dikategorikan kecil atau sedikit di mata hukum syariat, yaitu yang hanya memberikan konsekuensi menyimpannya selama tiga hari bagi orang yang menemukannya? Apa pula standarnya sehingga dapat dikategorikan besar atau banyak di mata hukum syariat, yaitu yang memberikan konsekuensi bagi orang yang menemukan untuk menyimpannya selama satu tahun, sebagaimana yang berlaku pada barang temuan pada umumnya?
Mereka menjawab:
Setiap barang yang bernilai, disukai dan diinginkan untuk dimiliki, maka wajib diumumkan. Akan tetapi barang yang sepele, tidak menarik hati, dan tidak membuat orang ingin memiliki (dalam pandangan umum), maka barang tersebut dianggap kecil sehingga tidak harus diumumkan. Jika ditemukan. Masing-masing berbeda sesuai perbedaan standar hidup dan kondisi masyarakat, dan yang dijadikan tolok ukur adalah adat kebiasaan. Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 15/471-472 Pertanyaan Keempat dari Fatwa Nomor:9371
Tempat mengumumkannya adalah tempat di mana kemungkinan pemiliknya bisa mengetahui pengumuman tersebut.
*Ulama' Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi pernah ditanya:*
Seorang laki-laki pernah berjalan di jalan raya ketika dia bersafar, kemudian ia menemukan uang, namun ia tidak menemukan seorangpun yang bisa dihubungkan dengan uang itu. Dia bertanya apa yang ia perbuat terhadap uang itu?
*Mereka menjawab:*
Dia wajib mengumumkannya di tempat berkumpulnya orang-orang di dua dua daerah yang dilintasi jalanan itu (di mana ia menemukan uang) dan daerah selain keduanya yang kemungkinan menjadi temat tinggal penduduk yang memiliki uang itu...Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 15/442 pertanyaan pertama dari fatwa no.1230
والله تعالى أعلم بالحق والصواب
http://www.salamdakwah.com/pertanyaan/4320-apa-yang-harus-dilakukan-bila-menemukan-uang
Saya ingin bertanya, di tempat saya bekerja terkadang saya menemukan uang,
apa yang harus di lakukan dengan uang tersebut???
sementara tidak ada orang yang mengakui nya.
*Jawab :*
Apabila nilai uang itu remeh dan kecil yang biasanya tidak diperdulikan bila hilang maka tidak wajib mengumumkannya misalnya uang 500 rupiah atau yang senilai dengan itu. Apabila uang yang anda temukan nilainya besar maka wajib mengumumkannya selama setahun.
Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi pernah ditanya:
*Pertanyaan:*
Seseorang menemukan lima ratus riyal di jalan yang saat itu tidak ada pejalan kaki sama sekali. Uang itu disimpannya dengan harapan pemiliknya datang dan menanyakannya. Namun tidak ada satu orang pun yang datang menanyakannya, padahal uang itu sudah disimpannya selama satu setengah bulan. Apa yang harus dia lakukan dengan uang itu? Apakah dia boleh mengambil seluruhnya, atau menggunakan setengahnya dan menyedekahkan setengahnya lagi kepada kaum fakir miskin atas nama pemiliknya? Ataukah dia harus menyerahkannya ke baitul mal? Bagaimana hukum bagi orang yang menemukan sejumlah uang di Makkah al-Mukarramah, atau di luarnya seperti Thaif atau Jeddah?
*Mereka menjawab:*
Orang yang menemukan sejumlah uang yang terjatuh di jalan boleh memungutnya jika dia mau dan dia berusaha mengenali ciri-ciri pembedanya. Lalu uang itu diumumkan selama setahun di tempat berkumpulnya banyak orang atau diiklankan di majalah-majalah. Apabila pemiliknya datang dan menyebutkan ciri-cirinya dengan tepat, maka uang itu harus diserahkan kepadanya. Dasarnya adalah sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tatkala ditanya tentang barang temuan,
اِعْرِفْ عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا وَعَدَدَهَا ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً، فَإِنْ لَمْ تُعْرَفْ فَهِيَ لَكَ
"Kenalilah tempat penyimpannya, tali pengikat, dan jumlahnya. Kemudian umumkan selama satu tahun. Jika tidak ada yang mengenalnya, maka barang temuan itu menjadi milikmu."(Muttafaq `Alaih).
Apabila pemiliknya datang dan mengetahui ciri-cirinya, maka barang itu harus diserahkan kepadanya tanpa perlu menyerahkan hasil perkembangan dari pemanfaatan barang temuan itu jika telah diumumkan setahun. Sebab, dalam periode itu status barang tersebut adalah milik orang yang menemukan, sehingga harta yang berkembang itu merupakan miliknya.
Dia wajib mengumumkan barang temuan itu selama satu tahun dengan cara menyerukan dan mengiklankannya sebanyak dua atau tiga kali setiap bulan. Semua keterangan di atas berlaku untuk selain barang temuan di Makkah. Adapun barang temuan di Makkah tidak boleh dimiliki, dan hanya boleh diambil oleh orang yang hendak mengumumkannya setiap saat. Ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam,
وَلاَ تَحِلُّ لُقَطَتُهَا إِلَّا لِمُنْشِدٍ
"Barang temuan yang berada di tanah Haram tidak boleh diambil, kecuali bagi orang yang bermaksud mengumumkannya." Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam. Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 11/229-230 Pertanyaan Pertama dari Fatwa Nomor:16482
Terkait standar nilai sedikit dan banyak Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi pernah ditanya:
Apa standar yang diberlakukan terhadap barang temuan sehingga dapat dikategorikan kecil atau sedikit di mata hukum syariat, yaitu yang hanya memberikan konsekuensi menyimpannya selama tiga hari bagi orang yang menemukannya? Apa pula standarnya sehingga dapat dikategorikan besar atau banyak di mata hukum syariat, yaitu yang memberikan konsekuensi bagi orang yang menemukan untuk menyimpannya selama satu tahun, sebagaimana yang berlaku pada barang temuan pada umumnya?
Mereka menjawab:
Setiap barang yang bernilai, disukai dan diinginkan untuk dimiliki, maka wajib diumumkan. Akan tetapi barang yang sepele, tidak menarik hati, dan tidak membuat orang ingin memiliki (dalam pandangan umum), maka barang tersebut dianggap kecil sehingga tidak harus diumumkan. Jika ditemukan. Masing-masing berbeda sesuai perbedaan standar hidup dan kondisi masyarakat, dan yang dijadikan tolok ukur adalah adat kebiasaan. Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 15/471-472 Pertanyaan Keempat dari Fatwa Nomor:9371
Tempat mengumumkannya adalah tempat di mana kemungkinan pemiliknya bisa mengetahui pengumuman tersebut.
*Ulama' Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi pernah ditanya:*
Seorang laki-laki pernah berjalan di jalan raya ketika dia bersafar, kemudian ia menemukan uang, namun ia tidak menemukan seorangpun yang bisa dihubungkan dengan uang itu. Dia bertanya apa yang ia perbuat terhadap uang itu?
*Mereka menjawab:*
Dia wajib mengumumkannya di tempat berkumpulnya orang-orang di dua dua daerah yang dilintasi jalanan itu (di mana ia menemukan uang) dan daerah selain keduanya yang kemungkinan menjadi temat tinggal penduduk yang memiliki uang itu...Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 15/442 pertanyaan pertama dari fatwa no.1230
والله تعالى أعلم بالحق والصواب
http://www.salamdakwah.com/pertanyaan/4320-apa-yang-harus-dilakukan-bila-menemukan-uang
MENIKAH DENGAN ORANG YANG BEDA MANHAJ
Ⓜedia Sunnah
MENIKAH DENGAN ORANG YANG BEDA MANHAJ
Bismillah..
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah mewajibkan atas setiap muslim dan muslimah untuk untuk selektif dalam memilih teman duduk dan teman bergaul, hendaknya dia hanya memilih teman yang baik agar agamanya tetap terjaga.
Perkara ini pada teman duduk, maka tentunya dalam memilih teman hidup itu harus lebih selektif dan hanya memilih yang betul-betul baik akidah dan manhajnya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَرْكَنُوْا إِلَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
_“Dan janganlah kalian condong kepada orang-orang yang zhalim yang menyebabkan kalian disentuh oleh api neraka.”_
Dan dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari yang masyhur, Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- memperumpamakan teman duduk yang baik dengan penjual minyak wangi yang bisa memberikan manfaat kepada orang di dekatnya, sedangkan teman duduk yang jelek bagaikan pandai besi yang bisa memudharatkan orang di dekatnya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan dalil-dalil lain yang semisal dengannya.
Karenanya seorang muslim yang baik akidah dan manhajnya hendaknya tidak menikah dengan muslimah yang tidak benar akidah dan manhajnya, demikian pula sebaliknya.
Bahkan menikahnya seorang muslimah yang baik akidah dan manhajnya dengan muslim tapi tidak benar akidah dan manhajnya, adalah lebih parah dan lebih jelek akibatnya, karena biasanya istri akan mengikuti suaminya, sementara suaminya tidak berakidah yang benar.
Karenanya sikap untuk tidak mau menikah kecuali dengan yang benar akidah dan manhajnya adalah sikap yang benar guna menjaga kehormatan dan agamanya.
Ada sebuah kisah disebutkan oleh para ulama mengenai seseorang yang bernama Imran Al-Haththan :
Orang ini dulunya salah seorang ulama ahlussunnah, akan tetapi dia menikah dengan putri pamannya (sepupunya) yang mempunyai pemikiran khawarij, dia berdalih menikahinya agar dia bisa menasehati jika dia sudah jadi istrinya.
Akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, dia yang dinasehati oleh istrinya hingga akhirnya dia keluar dari ahlussunnah menuju ke mazhab khawarij bahkan disebutkan bahwa dia lebih ekstrim daripada istrinya dalam mazhab khawarij ini.
*Maka* lihatlah bagaimana seorang alim bisa terpengaruh oleh wanita yang notabene adalah istrinya sendiri, maka bagaimana sangkaanmu dengan seorang wanita yang tidak alim lalu menikah dengan lelaki yang tidak benar akidah dan manhajnya, tentunya potensi untuk dia tersesat dan mengikuti suaminya lebih besar, wallahul musta’an.
Karenanya amalan seperti ini dijauhi, insya Allah masih banyak ikhwan/akhwat yang bagus akidah dan manhajnya, karenanya dia bersabar dan bertawakkal kepada Allah Ta'ala.
Adapun jodoh, maka dia adalah perkara ghaib karena dia termasuk dari takdir seseorang, dan tidak ada yang mengetahui apa takdirnya kecuali setelah terjadinya.
Hanya saja mungkin dia bisa shalat istikharah guna menetapkan hatinya apakah calonnya bisa mendatangkan kebaikan bagi agama dan dunianya ataukah tidak, dia beristikharah kepada Allah dan bertawakkal kepadanya, wallahu a’lam.
*****
✍ Oleh:
Al Ustadz Hammad Abu Muawiah
https://aburamiza.wordpress.com/2010/10/21/menikah-dengan-orang-yang-beda-manhaj/
https://deskgram.net/p/1767275933586583985_4011748040
MENIKAH DENGAN ORANG YANG BEDA MANHAJ
Bismillah..
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah mewajibkan atas setiap muslim dan muslimah untuk untuk selektif dalam memilih teman duduk dan teman bergaul, hendaknya dia hanya memilih teman yang baik agar agamanya tetap terjaga.
Perkara ini pada teman duduk, maka tentunya dalam memilih teman hidup itu harus lebih selektif dan hanya memilih yang betul-betul baik akidah dan manhajnya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَرْكَنُوْا إِلَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
_“Dan janganlah kalian condong kepada orang-orang yang zhalim yang menyebabkan kalian disentuh oleh api neraka.”_
Dan dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari yang masyhur, Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- memperumpamakan teman duduk yang baik dengan penjual minyak wangi yang bisa memberikan manfaat kepada orang di dekatnya, sedangkan teman duduk yang jelek bagaikan pandai besi yang bisa memudharatkan orang di dekatnya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan dalil-dalil lain yang semisal dengannya.
Karenanya seorang muslim yang baik akidah dan manhajnya hendaknya tidak menikah dengan muslimah yang tidak benar akidah dan manhajnya, demikian pula sebaliknya.
Bahkan menikahnya seorang muslimah yang baik akidah dan manhajnya dengan muslim tapi tidak benar akidah dan manhajnya, adalah lebih parah dan lebih jelek akibatnya, karena biasanya istri akan mengikuti suaminya, sementara suaminya tidak berakidah yang benar.
Karenanya sikap untuk tidak mau menikah kecuali dengan yang benar akidah dan manhajnya adalah sikap yang benar guna menjaga kehormatan dan agamanya.
Ada sebuah kisah disebutkan oleh para ulama mengenai seseorang yang bernama Imran Al-Haththan :
Orang ini dulunya salah seorang ulama ahlussunnah, akan tetapi dia menikah dengan putri pamannya (sepupunya) yang mempunyai pemikiran khawarij, dia berdalih menikahinya agar dia bisa menasehati jika dia sudah jadi istrinya.
Akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, dia yang dinasehati oleh istrinya hingga akhirnya dia keluar dari ahlussunnah menuju ke mazhab khawarij bahkan disebutkan bahwa dia lebih ekstrim daripada istrinya dalam mazhab khawarij ini.
*Maka* lihatlah bagaimana seorang alim bisa terpengaruh oleh wanita yang notabene adalah istrinya sendiri, maka bagaimana sangkaanmu dengan seorang wanita yang tidak alim lalu menikah dengan lelaki yang tidak benar akidah dan manhajnya, tentunya potensi untuk dia tersesat dan mengikuti suaminya lebih besar, wallahul musta’an.
Karenanya amalan seperti ini dijauhi, insya Allah masih banyak ikhwan/akhwat yang bagus akidah dan manhajnya, karenanya dia bersabar dan bertawakkal kepada Allah Ta'ala.
Adapun jodoh, maka dia adalah perkara ghaib karena dia termasuk dari takdir seseorang, dan tidak ada yang mengetahui apa takdirnya kecuali setelah terjadinya.
Hanya saja mungkin dia bisa shalat istikharah guna menetapkan hatinya apakah calonnya bisa mendatangkan kebaikan bagi agama dan dunianya ataukah tidak, dia beristikharah kepada Allah dan bertawakkal kepadanya, wallahu a’lam.
*****
✍ Oleh:
Al Ustadz Hammad Abu Muawiah
https://aburamiza.wordpress.com/2010/10/21/menikah-dengan-orang-yang-beda-manhaj/
https://deskgram.net/p/1767275933586583985_4011748040
Wajibkah Istri Taat Pada Suami Dalam Masalah Khilafiyah?
Wajibkah Istri Taat Pada Suami Dalam Masalah Khilafiyah?
Telah kita ketahui bersama bahwa istri wajib taat kepada suami selama bukan dalam perkara maksiat. Namun ketika suami dan istri berselisih paham dalam suatu masalah khilafiyah, apakah istri wajib taat kepada suami ketika itu?
Sebelumnya perlu diketahui bahwa tidak semua khilafiyah itu ditoleransi. Seorang yang berpendapat bahwa shalat lima waktu itu tidak wajib, atau berpendapat adanya Nabi baru, atau berpendapat Al Qur’an sudah tidak berlaku lagi, dan keyakinan batil lainnya tidak ditoleransi walaupun dianggap khilafiyah oleh sebagian orang.
Silakan baca tulisan kami “Tidak Semua Pendapat Dalam Khilafiyah Ditoleransi” dan tulisan guru kami Ustadz Badrusalam Lc. “Berikut Ini Khilafiyah Yang Tidak Tidak Dapat Ditolerir“.
https://muslim.or.id/8216-tidak-semua-pendapat-dalam-khilafiyah-ditoleransi.html
https://muslim.or.id/28304-berikut-ini-khilafiyah-yang-tidak-tidak-dapat-ditolerir.html
Maka scope bahasan kita adalah khilafiyah yang mu’tabar, yang ditoleransi dalam agama ini. Dalam perkara khilafiyah semacam ini apakah istri wajib taat kepada suami? Apakah istri harus mengikuti pendapat yang dipegang oleh sang suami?
Dalam hal ini terdapat rincian:
*1. Pada amalan atau ibadah yang merupakan masalah khilafiyah dan istri meyakini hukumnya wajib atau sunnah, dan pelaksanaannya tidak terkait dan tidak melalaikan hak-hak suami*
Dalam keadaan ini maka istri tidak wajib untuk menaati suami jika suami melarang melakukannya. Karena amalan-amalan tersebut dalam rangka menunaikan hak-hak Allah dan hak Allah lebih utama untuk ditunaikan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:
بعض الأزواج يمنع زوجته من إخراج زكاة حليها بناءً على القول الثاني الضعيف – الذي أشرنا إليه آنفاً – ، وهذا حرام عليه ، لا يحل للزوج ، ولا للأب ، ولا للأخ أن يمنع أحداً يريد أن يزكي ماله ، وعلى الزوجة أن تعصي زوجها بهذا ، وأن تخرج الزكاة رغماً على أنفه ؛ لأن طاعة الله أولى من طاعة الزوج ، وقضاء الله أحق ، وشرط الله أوثق ، وزوجها لا ينجيها يوم القيامة من عذاب الله عز وجل
“Sebagian suami melarang istrinya untuk mengeluarkan zakat perhiasan karena sang suami berpegang pada pendapat kedua yang lebih lemah (sebagaimana telah kami jelaskan), maka perbuatan ini haram bagi suami dan tidak halal baginya. Tidak halal juga bagi seorang ayah, atau saudara kandung, untuk melarang seseorang membayar zakat. Dan wajib bagi sang istri dalam keadaan tersebut untuk menyelisihi suaminya dan tetap mengeluarkan zakat di hadapannya. Karena ketaatan kepada Allah itu lebih utama dari ketaatan kepada suami. Janji Allah itu lebih benar dan perjanjian dengan Allah itu lebih kuat. Dan suaminya tidak bisa menyelamatkan istrinya kelak di hari kiamat dari azab Allah Azza wa Jalla“.
*2. Pada amalan atau ibadah yang merupakan masalah khilafiyah dan istri meyakini hukumnya sunnah, namun pelaksanaanya terkait dengan hak-hak suami atau bisa melalaikan hak-hak suami*
Dalam keadaan ini sang istri tidak boleh mengerjakan amalan atau ibadah tersebut. Semisal seorang istri ingin melakukan puasa sunnah sedangkan suaminya tidak mengizinkannya. Maka ketika itu tidak boleh sang istri tetap ngotot untuk melakukan puasa sunnah. Karena taat kepada suami serta menunaikan hak-hak suami hukumnya wajib, dan perkara wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah.
Ibnu Qudamah mengatakan:
وله منعها من الخروج إلى حج التطوع والإحرام به بغير خلاف ، قال ابن المنذر : أجمع كل من نحفظ قوله من أهل العلم على أن للرجل منع زوجته من الخروج إلى حج التطوع .
ولأنه تطوع يفوِّت حق زوجها ، فكان لزوجها منعها منه
“Suami boleh melarang istrinya untuk berangkat haji tathawwu‘ (sunnah) dan ihram, ini tanpa ada khilaf di antara ulama. Ibnul Mundzir mengatakan: para ulama yang kami ingat pendapatnya telah sepakat bahwa suami boleh melarang istrinya berangkat haji tathawwu’ karena ini adalah amalan tathawwu’ (sunnah) yang bisa melalaikan hak suami. Maka boleh suami melarang istrinya untuk melakukannya” (Al Mughni, 3/572).
Beliau juga mengatakan:
وللزوج منعها من الخروج من منزله إلى ما لها منه بدٌّ ، سواء أرادت زيارة والديها ، أو عيادتهما ، أو حضور جنازة أحدهما ، قال أحمد في امرأة لها زوج وأم مريضة : طاعة زوجها أوجب عليها من أمها ، إلا أن يأذن لها … .
ولأن طاعة الزوج واجبة ، والعيادة غير واجبة ، فلا يجوز ترك الواجب لما ليس بواجب ، ولا يجوز لها الخروج إلا بإذنه ، ولكن لا ينبغي للزوج منعها من عيادة والديها وزيارتهما ؛ لأن في ذلك قطيعة لهما ، وحملاً لزوجته على مخالفته ، وقد أمر الله تعالى بالمعاشرة بالمعروف ، وليس هذا من المعاشرة بالمعروف
“Suami boleh melarang istrinya keluar dari rumah agar ia menunaikan hak-hak suaminya. Baik sang istri ingin keluar rumah untuk mengunjungi orang tuanya, atau menjenguk orang tuanya yang sakit, ataupun menghadiri pemakaman dari salah satu orang tuanya. Tentang seorang wanita yang memiliki suami dan ibu yang sedang sakit, imam Ahmad mengatakan: taat kepada suaminya lebih wajib baginya daripada kepada ibunya, kecuali jika suaminya mengizinkan (maka boleh menjenguk ibunya) karena taat kepada suami itu wajib, sedangkan menjenguk orang sakit itu tidak wajib. Maka tidak boleh meninggalkan yang wajib untuk mengerjakan yang tidak wajib. Dan tidak boleh sang istri keluar rumah tanpa izin suaminya. Namun bagi sang suami, hendaknya ia tidak melarang istrinya untuk menjenguk orang tuanya atau sekedar mengunjunginya. Karena ini bisa menyebabkan terputusnya silaturahim. Dan bisa menyebabkan sang istri membangkang pada suaminya. Dan Allah Ta’ala telah memerintahkan para suami untuk memperlakukan istri dengan ma’ruf. Sedangkan perbuatan demikian bukanlah perlakuan yang ma’ruf” (Al Mughni, 8/130).
*3. Pada amalan yang merupakan masalah khilafiyah dan istri meyakini hukumnya mubah*
Jika suami berbeda pendapat dengan sang istri, suami boleh melarangnya, atau menganjurkannya, atau mewajibkannya kepada sang istri. Dan sang istri wajib menaatinya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid menjelaskan:
ومثاله : تغطية وجهها ، فهي مسألة خلافية ، وليس يوجد من يقول بحرمة تغطيتها لوجهها ، فإن كانت ترى أنه يسعها كشف وجهها : فإن له أن يمنعها من إظهاره للأجانب ، وله أن يلزمها بقوله وترجيحه ، وهو وجوب ستر وجهها – وهو القول الراجح – ، وليس لها مخالفته ، وهي مأجورة على فعلها ذلك إن احتسبت طاعة ربها بطاعة زوجها ، وفعل ما هو أستر
“Contohnya: perkara menutup wajah wanita. Ini masalah khilafiyah, dan tidak ada ulama yang berpendapat haramnya menutup wajah wanita. Jika sang istri mengambil pendapat bolehnya membuka wajah, maka suami boleh melarang istri untuk membuka wajahnya di depan lelaki non mahram. Suami boleh mewajibkan istri untuk mengamalkan pendapat yang dikuatkan oleh suaminya, yaitu wajibnya menutup wajah (dan ini pendapat yang lebih kuat menurutku), sang istri tidak boleh melanggarnya. Dan ia (istri) mendapatkan pahala atas ketaatannya tersebut jika ia meniatkan diri untuk menaati Rabb-nya dengan menaati suaminya, serta mendapatkan pahala karena mengamalkan yang lebih sempurna dalam menutup keindahan wanita”.
*4. Pada setiap ibadah atau amalan yang diyakini sang istri sebagai suatu kewajiban, atau keharaman atau kebid’ahan*
Maka dalam keadaan ini sang istri tidak boleh taat kepada suaminya jika suaminya menyelisihinya. Walaupun dalam perkara khilafiyah, terlebih lagi jika pada perkara yang mujma’ (bukan khilafiyah). Karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah.
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق
“tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Al Khaliq” (HR. Thabrani, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’, 7520).
*Peringatan penting*
Terlepas dari rincian masalah khilafiyah yang telah dijelaskan di atas, terdapat beberapa peringatan penting yang hendaknya dicamkan oleh para suami dan istri, yang diringkas dalam poin-poin berikut:
● Pergaulan dan perlakuan yang ma’ruf itu wajib hukum dari kedua belah pihak (istri kepada suami dan suami kepada istri)
● Tidak boleh suami dan istri berlaku kasar atau arogan terhadap pasangannya dalam menguatkan suatu pendapat dalam masalah khilafiyah atau ketika meminta untuk mengikuti pendapatnya
● Wajib bagi suami dan istri untuk mengikuti ulama yang lebih berilmu dan lebih bertaqwa sebagai rujukan mereka dalam fatwa, dan wajib meninggalkan mengikuti hawa nafsu dalam mencari-cari keringanan dalam beragama
● Dalam perkara yang ada kelonggaran dan keluasan, maka tidak boleh suami mempersulit istri. Namun bagi istri, dalam perkara yang ada kelonggaran dan keluasan yang lebih utama adalah mengikuti pendapat suami.
● Kami nasehatkan bagi para suami-istri secara umum untuk senantiasa menuntut ilmu syar’i dan senantiasa mencari kebenaran, meninggalkan perdebatan di atas kebatilan, dan hendaknya benar-benar menempatkan kebenaran di hadapannya.
● Keluarga yang bahagia adalah keluarga yang dibangun di atas rasa sayang, kedekatan hati, cinta dan saling memahami. Anda berdua tidak sedang berada di suatu pondok pesantren atau universitas Islam, yang segala perkaranya dibangun di atas debat dan adu argumen. Jadilah teladan bagi anak-anak anda dalam mengikuti kebenaran, dan dalam menampilkan sikap rasional dalam perselisihan, tidak melampaui batas.
Semoga bermanfaat.
***
Diringkas dari fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid pada halaman: https://islamqa.info/ar/97125
https://kangaswad.wordpress.com/2017/04/02/wajibkah-istri-taat-pada-suami-dalam-masalah-khilafiyah/
Telah kita ketahui bersama bahwa istri wajib taat kepada suami selama bukan dalam perkara maksiat. Namun ketika suami dan istri berselisih paham dalam suatu masalah khilafiyah, apakah istri wajib taat kepada suami ketika itu?
Sebelumnya perlu diketahui bahwa tidak semua khilafiyah itu ditoleransi. Seorang yang berpendapat bahwa shalat lima waktu itu tidak wajib, atau berpendapat adanya Nabi baru, atau berpendapat Al Qur’an sudah tidak berlaku lagi, dan keyakinan batil lainnya tidak ditoleransi walaupun dianggap khilafiyah oleh sebagian orang.
Silakan baca tulisan kami “Tidak Semua Pendapat Dalam Khilafiyah Ditoleransi” dan tulisan guru kami Ustadz Badrusalam Lc. “Berikut Ini Khilafiyah Yang Tidak Tidak Dapat Ditolerir“.
https://muslim.or.id/8216-tidak-semua-pendapat-dalam-khilafiyah-ditoleransi.html
https://muslim.or.id/28304-berikut-ini-khilafiyah-yang-tidak-tidak-dapat-ditolerir.html
Maka scope bahasan kita adalah khilafiyah yang mu’tabar, yang ditoleransi dalam agama ini. Dalam perkara khilafiyah semacam ini apakah istri wajib taat kepada suami? Apakah istri harus mengikuti pendapat yang dipegang oleh sang suami?
Dalam hal ini terdapat rincian:
*1. Pada amalan atau ibadah yang merupakan masalah khilafiyah dan istri meyakini hukumnya wajib atau sunnah, dan pelaksanaannya tidak terkait dan tidak melalaikan hak-hak suami*
Dalam keadaan ini maka istri tidak wajib untuk menaati suami jika suami melarang melakukannya. Karena amalan-amalan tersebut dalam rangka menunaikan hak-hak Allah dan hak Allah lebih utama untuk ditunaikan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:
بعض الأزواج يمنع زوجته من إخراج زكاة حليها بناءً على القول الثاني الضعيف – الذي أشرنا إليه آنفاً – ، وهذا حرام عليه ، لا يحل للزوج ، ولا للأب ، ولا للأخ أن يمنع أحداً يريد أن يزكي ماله ، وعلى الزوجة أن تعصي زوجها بهذا ، وأن تخرج الزكاة رغماً على أنفه ؛ لأن طاعة الله أولى من طاعة الزوج ، وقضاء الله أحق ، وشرط الله أوثق ، وزوجها لا ينجيها يوم القيامة من عذاب الله عز وجل
“Sebagian suami melarang istrinya untuk mengeluarkan zakat perhiasan karena sang suami berpegang pada pendapat kedua yang lebih lemah (sebagaimana telah kami jelaskan), maka perbuatan ini haram bagi suami dan tidak halal baginya. Tidak halal juga bagi seorang ayah, atau saudara kandung, untuk melarang seseorang membayar zakat. Dan wajib bagi sang istri dalam keadaan tersebut untuk menyelisihi suaminya dan tetap mengeluarkan zakat di hadapannya. Karena ketaatan kepada Allah itu lebih utama dari ketaatan kepada suami. Janji Allah itu lebih benar dan perjanjian dengan Allah itu lebih kuat. Dan suaminya tidak bisa menyelamatkan istrinya kelak di hari kiamat dari azab Allah Azza wa Jalla“.
*2. Pada amalan atau ibadah yang merupakan masalah khilafiyah dan istri meyakini hukumnya sunnah, namun pelaksanaanya terkait dengan hak-hak suami atau bisa melalaikan hak-hak suami*
Dalam keadaan ini sang istri tidak boleh mengerjakan amalan atau ibadah tersebut. Semisal seorang istri ingin melakukan puasa sunnah sedangkan suaminya tidak mengizinkannya. Maka ketika itu tidak boleh sang istri tetap ngotot untuk melakukan puasa sunnah. Karena taat kepada suami serta menunaikan hak-hak suami hukumnya wajib, dan perkara wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah.
Ibnu Qudamah mengatakan:
وله منعها من الخروج إلى حج التطوع والإحرام به بغير خلاف ، قال ابن المنذر : أجمع كل من نحفظ قوله من أهل العلم على أن للرجل منع زوجته من الخروج إلى حج التطوع .
ولأنه تطوع يفوِّت حق زوجها ، فكان لزوجها منعها منه
“Suami boleh melarang istrinya untuk berangkat haji tathawwu‘ (sunnah) dan ihram, ini tanpa ada khilaf di antara ulama. Ibnul Mundzir mengatakan: para ulama yang kami ingat pendapatnya telah sepakat bahwa suami boleh melarang istrinya berangkat haji tathawwu’ karena ini adalah amalan tathawwu’ (sunnah) yang bisa melalaikan hak suami. Maka boleh suami melarang istrinya untuk melakukannya” (Al Mughni, 3/572).
Beliau juga mengatakan:
وللزوج منعها من الخروج من منزله إلى ما لها منه بدٌّ ، سواء أرادت زيارة والديها ، أو عيادتهما ، أو حضور جنازة أحدهما ، قال أحمد في امرأة لها زوج وأم مريضة : طاعة زوجها أوجب عليها من أمها ، إلا أن يأذن لها … .
ولأن طاعة الزوج واجبة ، والعيادة غير واجبة ، فلا يجوز ترك الواجب لما ليس بواجب ، ولا يجوز لها الخروج إلا بإذنه ، ولكن لا ينبغي للزوج منعها من عيادة والديها وزيارتهما ؛ لأن في ذلك قطيعة لهما ، وحملاً لزوجته على مخالفته ، وقد أمر الله تعالى بالمعاشرة بالمعروف ، وليس هذا من المعاشرة بالمعروف
“Suami boleh melarang istrinya keluar dari rumah agar ia menunaikan hak-hak suaminya. Baik sang istri ingin keluar rumah untuk mengunjungi orang tuanya, atau menjenguk orang tuanya yang sakit, ataupun menghadiri pemakaman dari salah satu orang tuanya. Tentang seorang wanita yang memiliki suami dan ibu yang sedang sakit, imam Ahmad mengatakan: taat kepada suaminya lebih wajib baginya daripada kepada ibunya, kecuali jika suaminya mengizinkan (maka boleh menjenguk ibunya) karena taat kepada suami itu wajib, sedangkan menjenguk orang sakit itu tidak wajib. Maka tidak boleh meninggalkan yang wajib untuk mengerjakan yang tidak wajib. Dan tidak boleh sang istri keluar rumah tanpa izin suaminya. Namun bagi sang suami, hendaknya ia tidak melarang istrinya untuk menjenguk orang tuanya atau sekedar mengunjunginya. Karena ini bisa menyebabkan terputusnya silaturahim. Dan bisa menyebabkan sang istri membangkang pada suaminya. Dan Allah Ta’ala telah memerintahkan para suami untuk memperlakukan istri dengan ma’ruf. Sedangkan perbuatan demikian bukanlah perlakuan yang ma’ruf” (Al Mughni, 8/130).
*3. Pada amalan yang merupakan masalah khilafiyah dan istri meyakini hukumnya mubah*
Jika suami berbeda pendapat dengan sang istri, suami boleh melarangnya, atau menganjurkannya, atau mewajibkannya kepada sang istri. Dan sang istri wajib menaatinya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid menjelaskan:
ومثاله : تغطية وجهها ، فهي مسألة خلافية ، وليس يوجد من يقول بحرمة تغطيتها لوجهها ، فإن كانت ترى أنه يسعها كشف وجهها : فإن له أن يمنعها من إظهاره للأجانب ، وله أن يلزمها بقوله وترجيحه ، وهو وجوب ستر وجهها – وهو القول الراجح – ، وليس لها مخالفته ، وهي مأجورة على فعلها ذلك إن احتسبت طاعة ربها بطاعة زوجها ، وفعل ما هو أستر
“Contohnya: perkara menutup wajah wanita. Ini masalah khilafiyah, dan tidak ada ulama yang berpendapat haramnya menutup wajah wanita. Jika sang istri mengambil pendapat bolehnya membuka wajah, maka suami boleh melarang istri untuk membuka wajahnya di depan lelaki non mahram. Suami boleh mewajibkan istri untuk mengamalkan pendapat yang dikuatkan oleh suaminya, yaitu wajibnya menutup wajah (dan ini pendapat yang lebih kuat menurutku), sang istri tidak boleh melanggarnya. Dan ia (istri) mendapatkan pahala atas ketaatannya tersebut jika ia meniatkan diri untuk menaati Rabb-nya dengan menaati suaminya, serta mendapatkan pahala karena mengamalkan yang lebih sempurna dalam menutup keindahan wanita”.
*4. Pada setiap ibadah atau amalan yang diyakini sang istri sebagai suatu kewajiban, atau keharaman atau kebid’ahan*
Maka dalam keadaan ini sang istri tidak boleh taat kepada suaminya jika suaminya menyelisihinya. Walaupun dalam perkara khilafiyah, terlebih lagi jika pada perkara yang mujma’ (bukan khilafiyah). Karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah.
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق
“tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Al Khaliq” (HR. Thabrani, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’, 7520).
*Peringatan penting*
Terlepas dari rincian masalah khilafiyah yang telah dijelaskan di atas, terdapat beberapa peringatan penting yang hendaknya dicamkan oleh para suami dan istri, yang diringkas dalam poin-poin berikut:
● Pergaulan dan perlakuan yang ma’ruf itu wajib hukum dari kedua belah pihak (istri kepada suami dan suami kepada istri)
● Tidak boleh suami dan istri berlaku kasar atau arogan terhadap pasangannya dalam menguatkan suatu pendapat dalam masalah khilafiyah atau ketika meminta untuk mengikuti pendapatnya
● Wajib bagi suami dan istri untuk mengikuti ulama yang lebih berilmu dan lebih bertaqwa sebagai rujukan mereka dalam fatwa, dan wajib meninggalkan mengikuti hawa nafsu dalam mencari-cari keringanan dalam beragama
● Dalam perkara yang ada kelonggaran dan keluasan, maka tidak boleh suami mempersulit istri. Namun bagi istri, dalam perkara yang ada kelonggaran dan keluasan yang lebih utama adalah mengikuti pendapat suami.
● Kami nasehatkan bagi para suami-istri secara umum untuk senantiasa menuntut ilmu syar’i dan senantiasa mencari kebenaran, meninggalkan perdebatan di atas kebatilan, dan hendaknya benar-benar menempatkan kebenaran di hadapannya.
● Keluarga yang bahagia adalah keluarga yang dibangun di atas rasa sayang, kedekatan hati, cinta dan saling memahami. Anda berdua tidak sedang berada di suatu pondok pesantren atau universitas Islam, yang segala perkaranya dibangun di atas debat dan adu argumen. Jadilah teladan bagi anak-anak anda dalam mengikuti kebenaran, dan dalam menampilkan sikap rasional dalam perselisihan, tidak melampaui batas.
Semoga bermanfaat.
***
Diringkas dari fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid pada halaman: https://islamqa.info/ar/97125
https://kangaswad.wordpress.com/2017/04/02/wajibkah-istri-taat-pada-suami-dalam-masalah-khilafiyah/
Langganan:
Postingan (Atom)