Kerancuan Seputar Hukum Selain dengan Hukum Allah
وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٤٤
“Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” (QS. al-Maidah: 44)
Penjelasan Mufradat Ayat
Asal makna kufur adalah menutupi sesuatu. Dikatakan petani itu *“kafir”* karena dia menutupi biji (dengan tanah). Dinamakan *Malam dengan “kafir”* karena ia menutupi segala sesuatu (dengan kegelapan). Pengertian kufur secara bahasa ini seperti yang terdapat dalam surat al-Hadid ayat 20.
*Adapun makna secara istilah syar’i adalah bahwa kekafiran itu terbagi menjadi dua:*
*Kufur Akbar* yaitu yang menyebabkan pelakunya kekal dalam neraka.
*Kufur Ashgar* yaitu kekafiran yang menyebabkan pelakunya berhak mendapatkan ancaman tanpa dikekalkan (dalam neraka). [al-Qaulul Mufid, hlm. 103]
*Sebab Turunnya Ayat*
Al-Imam Ahmad dan ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas _radhiallahu ‘anhuma_ dan beliau menyebutkan sebab turunnya ayat ini, Allah _subhanahu wa ta’ala_ menurunkan ayat ini berkenaan tentang dua kelompok di kalangan Yahudi di masa jahiliah, yang salah satu kelompok telah menguasai yang lainnya sehingga mereka ridha. Mereka berdamai (mengikat perjanjian) dengan ketentuan bahwa bila ada orang dari kelompok yang mulia membunuh (seseorang) dari kelompok yang hina maka (dia) diharuskan membayar diyat sebesar 50 wasq (1 wasq kurang lebih 130 kg, –pen.). Sementara itu, bila ada orang dari kelompok yang hina membunuh (seseorang) dari kelompok yang mulia maka diyat-nya sebesar 100 wasq.
Mereka tetap memegangi hukum (perjanjian) ini sampai Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ tiba di Madinah. Kedua kelompok tersebut merasa hina dengan kedatangan Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ (padahal) beliau belum mengetahui di saat (mereka) melakukan perjanjian damai. (Suatu ketika) ada orang dari kelompok yang hina membunuh seseorang dari kelompok yang mulia. Kelompok yang mulia mengirim utusan kepada kelompok hina agar mereka membayar 100 wisq. Berkata yang hina, “Beginikah cara dua kampung yang agamanya satu, nasab keturunannya satu, negerinya satu
Adapun diyat sebagian mereka setengah diyat sebagian yang lain?! Sesungguhnya kami hanya memberikan kamu (jumlah diyat tersebut) karena penganiayaan kalian terhadap kami dan kami takut terhadap kalian. Adapun jika Muhammad _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ telah datang, maka kami tidak memberikan ini kepada kalian.”
(Sikap kelompok yang hina ini) hampir menyebabkan peperangan berkobar di antara mereka. Kemudian mereka memutuskan untuk menjadikan Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ (sebagai hakim) di antara mereka.
Kelompok yang mulia (di antara mereka) berkata, “Demi Allah, Muhammad tidak akan memberikan kepada kalian dari mereka (kelompok hina) dua kali lipat dari apa yang diberikan mereka kepada kalian (selama ini). Sungguh mereka telah benar, mereka tidaklah memberikan kepada kita (diyat tersebut) melainkan karena penganiayaan kita dan kekuasaan kita atas mereka. Hendaklah kalian temui Muhammad untuk meminta pendapatnya. Jika dia memberikan kepada kalian apa yang kalian inginkan maka kalian boleh mengangkatnya jadi hakim. Jika dia tidak memberikan kepadamu, maka kalian waspada dan jangan kalian jadikan dia sebagai hakim.”
Mereka pun menyusupkan beberapa orang dari kalangan munafikin kepada Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ untuk mengecek pendapat Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam._ Ketika Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ datang, Allah _subhanahu wa ta’ala_ mengabarkan Rasul-Nya tentang seluruh perkara mereka dan apa yang mereka kehendaki. Allah _subhanahu wa ta’ala_ pun menurunkan firman-Nya,
وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٤٤
_“Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”_ (QS. al-Maidah: 44)
Ibnu ‘Abbas _radhiallahu ‘anhuma_ berkata, “Demi Allah, untuk mereka turun ayat ini dan mereka yang dimaksud oleh Allah _subhanahu wa ta’ala.”_ [asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan hasan dalam ash-Shahihah, 6/109—110]
*Penafsiran Ayat*
Ayat Allah subhanahu wa ta’ala yang mulia ini telah ditafsirkan oleh ahli tafsir dari kalangan shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah dengan sanad yang shahih, dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma beliau berkata, “Dengan perbuatan itu adalah kekafiran, namun bukan kafir terhadap Allah subhanahu wa ta’ala, para malaikat-Nya, kitabkitab- Nya, dan para rasul-Nya.”
Dalam riwayat lain, beliau berkata, “Bukan (yang dimaksud) adalah kekufuran yang mereka inginkan. Sesungguhnya maksud (ayat ini) bukan kekufuran yang mengeluarkan dari agama, (namun) kufrun duna kufrin (kekufuran di bawah kekufuran, yaitu tidak mengeluarkan dari Islam).” [Dikeluarkan oleh al-Hakim dan berkata, sanadnya sahih, dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Terdapat jalan lain, silakan lihat dalam Silsilah ash-Shahihah karangan al-‘Allamah al-Albani, 6/113—114]
*Berhukum dengan Selain Hukum Allah subhanahu wa ta’ala*
Telah menyebar di kalangan sebagian kaum muslimin dan orangorang yang terkena penyakit kelompok Hamas (yaitu semangat tapi tanpa ilmu), suatu fikrah (pemikiran) bahwa setiap yang berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala, maka dia kafir dan keluar dari Islam. Dengan alasan ini, mereka berkesimpulan bahwa mayoritas bahkan seluruh pemerintahan di negara-negara Islam adalah pemerintahan kafir. Dengan demikian para pejabatnya pun kafir, orang-orang (dalam hal ini rakyat) yang tidak turut mengafirkan mereka pun kafir.
Muncullah fitnah yang disebut dengan fitnah at-takfir (fitnah pengkafiran) yang sampai kepada tingkat pengkafiran masyarakat muslim. Kelompok ini yang masyhur sebagai kelompok Khawarij.
*Terjerumusnya mereka ke dalam kesesatan ini disebabkan dua hal:*
*Pertama, sedikitnya ilmu.*
*Kedua, mereka tidak memahami kaidah-kaidah syariat yang benar yang merupakan asas dakwah Islam.*
Setiap orang dari kalangan kelompok sesat, yang keluar dari asas tersebut maka dia telah menyelisihi Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا ١١٥
_“Barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa dalam kesesatan yang telah ia kuasai itu. Dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”_ (QS. an-Nisa: 115)
Allah subhanahu wa ta’ala memberikan penekanan yang sangat tegas dengan firman-Nya, _“Mengikuti selain jalan kaum mukminin.”_ Kalimat ini merupakan poin yang sangat penting untuk membedakan antara orang-orang yang benar-benar memiliki komitmen terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah. Yaitu mereka yang senantiasa mengikuti jalan kaum mukminin dari kalangan para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang mengikutinya dengan baik, dengan kelompok yang “mengaku” berpegang di atas al-Qur’an dan as-Sunnah namun menyelisihi jalan kaum mukminin tersebut. Orang-orang demikian mendapat ancaman kesesatan dan siksaan yang pedih.
Ayat ini menjadi pemisah antara golongan yang jujur dengan kelompok sempalan yang menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah hanya sebagai slogan semata. Kandungan ayat tersebut sangat mirip dengan apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits tentang perpecahan umat dan yang selamat hanya satu yaitu “Siapa yang berjalan di atas jalanku dan jalan para sahabatku.” Lihat perkataan al-‘Allamah al-Albani rahimahullah dalam kitab Fitnatut Takfir, hlm. 14—18.
Jika mereka memerhatikan dengan saksama penafsiran dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma yang lalu, akan tampak bagi mereka bahwa sesungguhnya orang yang berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah memiliki makna kafir secara mutlak yang mengeluarkan seseorang dari Islam. Namun tergantung dari keadaan mereka ketika menjadikannya sebagai hukum selain dari hukum Allah subhanahu wa ta’ala tersebut. Apakah mereka melakukan hal tersebut karena menganggap halal berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala atau disebabkan karena mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka?!
*Fatwa Ulama tentang Berhukum dengan selain Hukum Allah subhanahu wa ta’ala*
Al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata setelah menjelaskan sebab kesesatan, “Jika engkau telah mengetahui hal ini, maka tidak boleh menerapkan ayat-ayat ini kepada sebagian pemerintah kaum muslimin dan para hakim mereka yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala berupa undang-undang buatan manusia. Saya nyatakan bahwa tidak boleh mengafirkan mereka dan mengeluarkannya dari agama jika mereka beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Walaupun mereka berdosa dengan sebab berhukum dengan selain yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab ,walaupun mereka seperti Yahudi dari sisi berhukum tersebut, namun mereka menyelisihinya dari sisi yang lain; yaitu keimanan mereka dan pembenaran mereka dengan apa yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala. Berbeda dengan Yahudi yang kafir, mereka mengingkari (hukum Allah subhanahu wa ta’ala).”
Beliau juga berkata, “Kekufuran terbagai menjadi dua macam: kufur i’tiqadi dan amali. Adapun i’tiqadi tempatnya di hati, sedangkan amali tempatnya di jasmani. Barang siapa yang amalannya kufur karena menyelisihi syariat dan sesuai dengan apa yang diyakini dalam hatinya berupa kekafiran, maka itu kufur i’tiqadi yang tidak diampuni Allah subhanahu wa ta’ala dan dikekalkan pelakunya dalam neraka selamanya. Adapun bila perbuatan tersebut menyelisihi yang diyakini dalam hati, maka dia mukmin dengan hukum Rabb-nya. Namun penyelisihannya dalam hal amalan, maka kekafirannya adalah amali saja dan bukan kufur i’tiqadi. Dia berada di bawah kehendak Allah subhanahu wa ta’ala, jika Dia menghendaki maka disiksa dan jika Dia menghendaki maka diampuni.” (Silsilah ash-Shahihah karya al-‘Allamah al-Albani rahimahullah, 6/111—112)
Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala karena meremehkan atau menganggap hina, atau meyakini bahwa yang lainnya lebih mendatangkan kemaslahatan dan lebih bermanfaat bagi makhluk atau yang semisalnya, maka dia kafir dan keluar dari Islam. Di antara mereka adalah orang-orang yang berperan dalam pembuatan undang-undang yang menyelisihi syariat Islam agar dijadikan sebagai sistem yang dianut masyarakat.
Sebab, tidaklah mereka membuat undang-undang yang menyelisihi syariat melainkan karena mereka yakin bahwa hal tersebut lebih bermaslahat dan bermanfaat bagi makhluk. Karena telah diketahui secara fitrah dan dengan logika yang pasti, tidaklah manusia berpaling dari suatu sistem ke sistem lain yang bertentangan, melainkan dia meyakini adanya keutamaan sistem (baru) yang dia cenderungi dan adanya kelemahan dari sistem yang dia anut sebelumnya. Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala namun dia tidak merendahkan dan meremehkannya, dan tidak meyakini bahwa hukum yang selainnya lebih mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya atau yang semisalnya, maka dia zalim dan tidak kafir. Berbeda tingkatan kezalimannya, tergantung yang dijadikan sebagai hukum dan perantaraan hukumnya.
Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala bukan karena merendahkan hukum Allah subhanahu wa ta’ala, tidak pula meremehkan dan tidak meyakini bahwa hukum lainnya lebih mendatangkan maslahat dan lebih bermanfaat bagi makhluk-Nya atau semisalnya, namun dia berhukum dengannya karena adanya nepotis terhadap yang dihukum, karena suap, atau kepentingan dunia yang lainnya, maka dia fasiq dan tidak kafir. Berbeda pula tingkatan kefasiqannya, tergantung kepada ada yang dia jadikan sebagai hukum dan perantaraan hukumnya.”
Kemudian beliau berkata, “Masalah ini, yaitu masalah berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala, termasuk permasalahan besar yang menimpa para hakim (pemerintah) di zaman ini. Hendaklah seseorang tidak terburu-buru dalam memberi vonis (kafir) kepada mereka dengan apa yang mereka tidak pantas mendapatkannya, sampai jelas baginya kebenaran, karena masalah ini sangatlah berbahaya—kita memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk memperbaiki pemerintahan muslimin dan orang dekat mereka. Sebagaimana pula wajib atas seseorang yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepadanya ilmu, untuk menjelaskan kepada mereka supaya ditegakkan kepada mereka hujah dan keterangan yang jelas, agar seseorang binasa di atas kejelasan dan seseorang selamat di atas kejelasan pula. Jangan dia menganggap rendah dirinya untuk menjelaskan dan jangan pula dia segan kepada siapa pun, karena sesungguhnya kemuliaan itu milik Allah subhanahu wa ta’ala, Rasul-Nya dan milik kaum mukminin.” (Syarah Tsalatsatul Ushul, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hlm. 158—159, kitab Fitnatut Takfir, hlm. 98—103)
*Fatwa al-Lajnah ad-Daimah*
Mereka ditanya, “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala apakah dia muslim atau kafir kufur akbar (yang mengeluarkan dari Islam) dan tidak diterima amalannya?”
*Jawaban al-Lajnah ad-Daimah,*
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٤٤
_“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang kafir.”_ (QS. al-Maidah: 44)
وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٤٥
_“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang zalim.”_ (QS. al-Maidah: 45)
وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٤٧
_“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.”_ (QS. al-Maidah: 47)
Namun apabila dia meyakini halalnya hal tersebut dan meyakini kebolehannya, maka ini kufur akbar, zalim akbar, dan fasiq akbar yang mengeluarkan dari agama.
Adapun jika dia melakukan itu karena suap atau karena maksud lain, dan dia meyakini haramnya hal tersebut, maka dia berdosa, termasuk kufur ashgar, zalim ashgar, dan fasiq ashgar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi taufik, dan shalawat serta salam dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya. Lihat Fitnatut Takfir, hlm. 104—105.
[Ketua: Abdul ‘Aziz bin Baz; Wakil ketua: Abdurrazzaq ‘Afifi; Anggota: Abdullah Ghudayyan].
Wallahul muwaffiq.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal
https://asysyariah.com/kerancuan-seputar-hukum-selain-dengan-hukum-allah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar